Anda di halaman 1dari 11

bATRESIA ANI

A. PENGERTIAN
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresi Ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai
lubang keluar (Walley,1996)
Atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka
selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani
adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feces.

B. ANATOMI REKTUM DAN ANUS


Secara anatomi rektum terbentang dari
vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal.
Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi
menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian
sfingter disebut juga annulus hemoroidalis,
dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli
dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari
sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi
muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada
recto-sigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Rektum (Bahasa
Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung
usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus.
Letaknya dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigius. Struktur
rektum serupa dengan yang ada pada kolon, tetapi dinding yang berotot lebih tebal
dan membran mukosanya memuat lipatan lipatan membujur yang disebut kolumna
morgagni. Semua ini menyambung ke dalam saluran anus Struktur rektum Bagian
sepertiga atas dari rectum, sisi samping dan depannya diselubungi peritoneum.
Di bagian tengah, Hanya sisi depannya yang diselubungi peritoneum. Di
bagian bawah, tidak diselubungi peritoneum sama sekali. Terbagi menjadi dua bagian:
sfingter dan ampula. Memiliki panjang 10-15 cm Ampula pada rectum memiliki
bentuk seperti balon atau buah pir Dikelilingi oleh visceral pelvic fascia. Memiliki
empat lapisan: Mukosa, Submukosa, Muskular, dan Serosa Kolumnalrektal
Membantu dalam kontraksi dan dilatasi pada saluran anal dan otot sfingter rectum.
Terdiri atas sel-sel otot bermukosa yang cukup padat, dan mengandung lebih
banyak pembuluh limfa, pembuluh darah, dan jaringan saraf
dari pada sel-sel penyusun dinding rectum di sekitarnya.
Anus adalah bukan pada bagian akhir dari usus besar.
Saluran anal merupakan pipa kosong yang menghubungkan
rectum (bagian bawah akhir dari usus besar) dengan anus
dan luar tubuh. Letaknya di abdomen bawah bagaian tengah
di dasar pelvis setelah rektum-Anus manusia terletak di
bagian tengah pantat, bagian posterior dari periotoneum.
Struktur anus saluran anal memiliki panjang sekitar 2-4,5
cm.
Saluran anal dikelilingi oleh otot yang berbentuk seperti cincin yang disebut
internal anal sphincters dan external anal sphincters Saluran anal dilapisi oleh
membrane mukosa, Bagian atas saluran anal memiliki sel yang menghasilkan mucus
yang membantu memudahkan ekskret keluar tubuh. Bagian bawah saluran anal terdiri
dari sel epitel berbentuk kubus Saluran anal memiliki bagian berbentuk lipatan yang
disebut anal colums (kolumnal anal) Bagian atas kolumnal anal membentuk garis
anorectal yang merupakan perbatasan antara rectum dengan anus, Bagian bawah
kolumnal anal memiliki garis dentate yang menjadi penanda dari daerah dimana
terdapat sel-sel saluran anal yang bisa berubah dari sel penghasil mucus menjadi
selepitelkubus, Sel-selepitel anus lebih tebal dari yang di saluran anal dan memiliki
rambut Ada area perianal yang merupakankulit di sekeliling anus sejauh 5 cm.
Dinding otot anus diperkuat oleh 3 sfingter yaitu :
 Sfingter ani internus (tidak mengikuti keinginan)
 Sfingter levator ani (tidak mengikuti keinginan)
 Sfingter ani eksternus (mengikuti keinginan)

C. ETIOLOGI
Anus imperforate terjadi karena adanya kelainan congenital dimana saat
proses perkembangan embrionik tidak sempurna pada proses perkembangan anus dan
rectum. Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor belakang berkembang menjadi
kloaka yang juga akan berkembang menjadi genitourinaria dan struktur anorektal.
Atresia ani disebabkan karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan struktur
kolon antara 7- 10 minggu selama perkembangan fetal, kegagalan migrasi tersebut
juga terjadi karena gagalnya agnesis sacral dan abnormalitas pada daerah uretra dan
vagina atau juga pada proses obstruksi dan anus imperforate yang dapat terjadi karena
tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus, sehingga menyebabkan feses
tidak dapat dikeluarkan.

Ada beberapa factor penyebab terjadinya atresia ani adalah:

a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
d. kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik
e. Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir
seperti:
1) Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,
jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe)
2) Kelainan sistem pencernaan.
3) Kelainan sistem pekemihan.
4) Kelainan tulang belakang

Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal
resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier
penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat
kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau
kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan
bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus
urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal
yang memisahkannya.

D. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Atresia Ani
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
a. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna.
b. Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina
atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan
dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
c. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.
d. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1) Anomali rendah / infralevator
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis,
terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2) Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal
dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3) Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal
ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria)
atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai
kulit perineum lebih daai1 cm.
Terdapat bemacam – macam klasifikasi kelainan anorektal menurut beberapa penulis.
Menurut (Carpenito, Juall, 1997) terdapat 4 tipe :
1. Tipe I stenosi ani kongenital.
2. Tipe II anus imperforata membranase,
3. Tipe III anus imperforata,
4. Tipe IV atresia recti.

Klasifikasi ini sekarang sudah ditinggalkan. Klasifikasi berdasarkan hasil foto:


Menurut (Raffensperger dan Swenson's 1992), bila bayangan udara pada ujung rectum
dari foto di bawah garis puboischias adalah tipe rendah, bila bayangan udara diatas garis
pubococcygeus adalah tipe tinggi dan bila bayangan udara diantara garis puboischias dan
garis pubococcygeus adalah tipe intermediet. Klasifikasi internasional mempunyai arti
penting dalam penatalaksanaan kelainan anorektal.
Benson (1962)membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang melewati ischii
kelainan disebut :
 Letak tinggi : rectum berakhir diatas m.levator ani (m.pubo coxigeus).
 Letak intermediet : akhiran rectum terletak di m.levator ani.
 Letak rendah : akhiran rectum berakhir bawah m.levator ani.

Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut membuncit
seluruhnya merupakan kunci diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
menegakkan diagnosis ialah pemeriksaan radiologik dengan enema barium. disini akan
terlihat gambaran klasik seperti daerah transisi dari lumen sempit kedaerah yang melebar.
pada foto 24 jam kemudian terlihat retensi barium dan gambaran makrokolon pada
hirschsprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsi hisap rektum dapat digunakan untuk
mencari tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel ganglion parasimpatik
dilapisan muskularis mukosa dan adanya serabut syaraf yang menebal pada pemeriksaan
histokimia, aktifitas kolinaterase meningkat.
Atresia ani biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera
setelah bayi lahir dengan melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah
perineum. Diagnosis kelainan anurektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan
sampai diketahui bayi mengalami distensi perut dan tidak mengalamikesulitan
mengeluarkan mekonium.Pada bayi dengan kelainan tipe satu/kelainan letak rendah baik
berupa stenosis atau anus ektopik sering mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.
Pada stenosis yang ringan, bayi sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama
beberapa bulan setelah lahir.
Megakolon sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna
bagian bawah daerah stenosis yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja.
Bayi dengan kelainan tipe kedua yang tidak disertai fistula/fistula terlalu kecil untuk
dilalui mekonium sering akan mengalami obstruksi usus dalam 48 jam stelah lahir.
Didaerah anus seharusnya terentukpenonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap
dari kulit disekitarnya, karena mekonium terletak dibalik membrane tersebut. Kelainan
letak tinggi atau agenesis rectum seharusnya terdapat suatu lekukan yang berbatas tegas
dan memiliki pigmen yang lebih banyak daripada kulit disekitarnya sehingga pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan lubang fistulla pada dinding posterior
vagina/perinium, atau tanda-tanda adanya fistula rektourinaria.
Fistula rektourinaria biasanya ditandaioleh keluarnya mekonium serta keluarnya
udara dari uretra. Diagnosi keempat dapat terlewatkan sampai beberpa hari karena bayi
tampak memiliki anus yang normal namun salurran anus pendek dan berakhir buntu.
Manifestasi obstruksi usus terjadi segera setelah bayi lahir karena bayi tidak dapat
mengeluarkan mekonium. Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan colok
dubur.

E. PATHOFISIOLOGI
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang.
Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan
pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal.
Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar
melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan,
terdapat tiga letak:
a. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm.
Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran
genital.
b. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
c. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit
dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

F. MANIFESTASI KLINIS
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3
hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal
(dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang
rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi
fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
 Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
 Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi
 Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
 Perut kembung.
 Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

(Ngastiyah, 2005)

G. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit Atresia Ani yaitu :

1. Asidosis hiperkloremik

Asidosis hiperkloremik adalah bentuk asidosis metabolik yang berhubungandengan


gangguan gap anion, penurunan konsentrasi bikarbonat plasma, dan
peningkatan konsentrasi plasma klorida. Meskipun gap anion plasma normal, kondisi
ini sering dikaitkan dengan peningkatan anion gap urin, karena
ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan amonia.

Pemberian laksatif berlebihan sering terjadi pada anak dengan gangguan kesulitan
buang air besar. Hal ini sering terjadi pada anak dengan riwayat alergi dan problema sulit
makan. Ternyata dampak pemberian obat laksatif yang berkepanjangan dan berlebihan bisa
berdampak terjadi Asidosis Hiperkloremik.

2. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan

3. Kerusakan uretra

4. Komplikasi jangka panjang

5. Eversi mukosa anal


6. Stenosis (akibat kontraksi jaringan perut dianastomosis)

7. Inkontenisia

Situasi ini meningkatkan tekanan pada otot kandung kemih dan otot sekitarnya, menyebabkan
otot melemah sehingga terjadi inkontinensiaurin ketika batuk atau bersin.

8. Prolaps mukosa anorektal

9. Fistula kambuhan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)

H. TES DIAGNOSTIK

Pemeriksaan penunjang untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksan


penunjangan sebagai berikut :

a. Pemeriksaan rectal digital dan visuall. Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada
gangguan ini.

b. Pemeriksaan Radiologis untuk mengetahui ada tidak nya obstruksi intestinal.

c. Sinar X terhadap abdomen untuk melihat menentukan kejelasan keseluruhan bowel


dan untuk mengetahui jarak pemanjangan antung rektum dari spingternya

d. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) . dapat menunjukkan adanya


kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara
sampai keujung kantong rectal.

e. Ultrasound terhadap abdomen untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
sistem pencernaan, untuk menentukan letak rectal kantong dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

f. CT Scan untuk menentukan lesi

g. Pyelografi intra vena untuk menilai pelviokalies dan ureter.

h. Pemeriksaan fisik Rektum. Kepatenan rektal dapat dilakukan coclok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
i. Rotgenogram abdomen dan pelvis. Juga biasa digunkan mengkonfirmasi adanya
fistula yang berhubungan dengan trakrus urinarius.

j. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai
melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek
tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

k. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki
diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak
dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

l. Teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik operasi ini punya akurasi tinggi
untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu
Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena
harus membuka dinding perut.

I. PENATALAKSANAAN MEDIK

A. Penatalaksaan Medis ada beberapa penanganan secara preventif antara lain:

1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap
obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.

2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga
hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja
akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.

3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
Rehabilitasi dan Pengobatan.

4. Melakukan pemeriksaan colok dubur.

5. Melakukan pemeriksaan radiologik pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha


menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan
dalam keadaan posisi terbalik sellama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit
ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan
pada daerah lakukan anus.

6. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada
evakuasi mekonium.

7. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi
hegar, atau speculum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan
dilatasi sendiri dirumah dengan tangan yang dilakukan selama 6 bulan sampai daerah
stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.

8. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada
anus yang baru pada kelainan tipe dua.

9. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada
masa neonatus.

Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain:

 Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun)

 Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-12 bulan)

 Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan).

10. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi
"abdominal pull-through" manfaat kolostomi adalah antara lain:

 Mengatasi obstruksi usus.

 Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan


operasi yang bersih.

 Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap


dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan
kelainan bawaan yang lain.

B. Penatalaksanaan Non medis


1. Toilet Training

Metode ini biasanya dilakukan pada anak usia 2-3 tahun, dimana strategi yang
digunakan sama halnya dengan anak normal pada umumnya. Toilet training ini diajarkan
apada anak untuk memungkinkan anak akan merasa nyaman aman ketika eliminasi, serta
strategi ini juga akan membantu memfasilitasi anak untuk defekasi.

2. Diet konstipasi

Penatalaksanaan ini dilakukan dengan membatasi anak untuk mengkonsumsi buah-


buahan dan sayuran mentah, serta menghindarkan anak mengkonsumsi makanan yang
mengandung gas seperti permen karet, buncis, kol, dan pemakaian sedotan.

3. Diet laktasit

Diet ini dilakukan dengan mengkonsumsi ASI pada anak, serta didampingi makanan
pendamping ASI yang berserat tinggi untuk menghindari anak dari terjadinya konstipasi.

4. Bowel Management

Management bowel disini maksudnya yaitu dengan dilakukan enema/irigasi kolon


satu kali sehari untuk membersihkan kolon. Hal ini dilakukan untuk mencegah obstruksi
sisa pencernaan makanan kesaluran organ lainnya.

Anda mungkin juga menyukai