Anda di halaman 1dari 4

http://shnews.co/kolom/periskop/detile-167-dilema-demokrasi-di-indonesia.

html

Dilema Demokrasi di Indonesia


Apakah memang sistem pemilihan langsung saat ini sudah cocok dan membawa
manfaat bagi kita?

Tahun 2014 adalah tahun politik. Semua yang mencalonkan di lembaga legislatif
atau berharap dapat dicalonkan sebagai presiden dalam Pemilu 2014 sudah mulai
berlomba menarik hati rakyat. Janji muluk, muka manis, dengan iming-iming uang
atau sembako, bahkan menggunakan organisasi masa, jadi hal biasa kini. Baliho,
spanduk dan billboard juga bertebaran.

Walaupun sudah ada aturannya, semua cenderung melanggar. Ada juga alat peraga
luar ruang yang selamat dari razia Polisi Pamong Praja. Entah, karena dekat dengan
kekuasaan, entah dengan cara-cara yang “lihai”.

Semua ulah politisi tersebut adalah konsekuensi dari sistem pemilihan langsung
yang kita anut sekarang. Mungkin karena kita terlalu yakin bahwa inti dari
demokrasi adalah pemilihan langsung, satu orang satu suara atau one man one
vote. Bapak Bangsa India Mahatma Gandhi memang mengatakan bahwa: in
democracy the people's will must rule .

Yang menentukan siapa yang menjadi pemimpin dan memerintah adalah rakyat. Di
Indonesia, sekarang demokrasi kita terjemahkan sebagai keharusan untuk
melaksanakan pemilihan langsung, termasuk pemilihan Presiden, maupun Gubernur
dan Bupati serta Walikota. Kita lupa bahwa demokrasi bukan tujuan, tetapi cara,
dan dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan the most fundamental norm
bangsa Indonesia dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Cocokkah Pemilihan Langsung?


Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa pemilihan langsung dan prinsip
majority rules seringkali pelan-pelan tapi secara pasti membawa akibat buruk dalam
penyelenggaraan Negara. Contoh, Stalin dan Hitler setelah memegang kekuasaan,
berkali-kali memenangkan pemilihan umum dengan selisih suara yang sangat besar,
mungkin dengan segala cara, dan kita tahu sendiri bagaimana mereka memerintah
secara opresif dan menjadi tirani.

1
Di negara asal demokrasi yang seolah menjadi kiblat kita, yaitu di Amerika Serikat
saja, banyak hasil survey yang menyatakan bahwa sistem pemilihan langsung hanya
menghasilkan pemimpin yang mediocre, biasa-biasa saja. Di Indonesia hal
mirip-mirip terjadi.

Banyak yang membandingan kualitas pemerintahan era 2009-2014 dengan


2004-2009. Dalam era 209-2014, korupsi lebih masif, terencana dan melibatkan
lebih banyak pihak, dengan kerugian Negara (baca: korupsi) dipercaya mencapai 40
persen. Kebijakan dan arah pembangunan pun tidak jelas. Dulu ada Garis Besar
Haluan Negara, Rencana Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun yang dijabarkan
dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun. Sekarang, rencana pembangunan dibuat
berdasarkan janji-janji kampanye Calon Presiden Terpilih.

Sering-sering hanya bersifat sesaat dan tidak sustainable dan tidak pula
berorientasi masa depan. Hasil Pemilu langsung menghasilkan banyak kepala daerah
yang akhirnya menjadi tersangka, mencapai angka sekitar 180 orang, dan terus
berkembang. Kepala daerah menjadi seperti raja kecil, membangun dinasti dan
memperkayadiri, menjaditirani yang tidak memperhatikan nasib rakyat kecil.
Sepertiga pejabat di daerah sudah menjadi tersangka.

Dari 33 gubernur, sudah 18 belas yang menjadi tersangka. Belum lagi mantan
menteri, bahkan menteri dan anggota DPRdan DPRD yang menjadi tersangka,
terdakwa, bahkan terpidana. Dengan demikian menjadi pertanyaaannya adalah,
apakah memang sistem pemilihan langsung yang kita anut saat ini sudah cocok dan
membawa manfaat bagi kita, yang tidak homogeny dari sisi etnis dan agama.

Modifikasi Sistem Pemilu di Indonesia


Dalam kondisi masyarakat heterogen seperti di Indonesia kemungkinan besar
prinsip majority rule akan menjadi tirani kelompok besar terhadap golongan
minoritas. Masalahnya, kita lebih suka bicara kebinekaan kita ketimbang merajut
kemanunggal-ikaan. Benar, prinsip utama yang harus kita pegang dalam
berdemokrasi adalah Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat,
sehingga sistem pemilihan langsung dipandang lebih mencerminkan prinsip ini.

Namun, bagaimana kita menyiasati kebinekaan kita agar majority rule tidak akan
menjadi tirani kelompok besar terhadap golongan minoritas? Bagaimana kelompok
etnis minoritas yang tidak mungkin terpilih dalam pemilihan langsung karena pasti
kalah suara dan TNI dal Polri yang tidak berhak dipilih dan memilih dapat
diakomodasikan dalam sistem pemerintahan?

2
Rasanya kita perlu kembali ke dasar negara RI yang mengamanatkan bahwa
demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
mengandung arti, bahwa pemerintah harus membatasi dirinya sehingga hanya
mengatur hal-hal yang penting bagi kehidupan rakyat dan tidak memanfaatkan
kekuasan bagi kepentingan pribadi maupun golongan.

Kebijaksanaan juga untuk menampung prinsip – prinsip lain seperti penegakan hukum
dan akuntabilitas, pemisahan kekuasaan, kebebasan pers dan kebebasan individu.
Permusyawaratan harus pula diartikan sebagai pentingnya kehadiran kelompok
oposisi yang diakui dan dihormati sebagai check and balance, sekaligus
mengakomodasikan prinsip berbagi dan turut serta dalam kekuasaan atau sharing
and participation in power dalam demokrasi.

Perwakilan harus diartikan sebagai keterwakilan kelompok minoritas dalam


pemerintahan.
Kita tidak mungkin kembali ke pemilihan presiden oleh MPR, namun mungkin dapat
mempertimbangkan penambahan Fraksi Utusan Golongan yang diambil dari suku
minoritas mungkin dengan sistem noken seperti yang dilakukan dalam Pilkada di
Papua, ditambah perwakilan TNI dan Polri yang sekarang menjadi anak tiri dalam
demokrasi kita.

MPR hanya merupakan join session antara DPRRI dan DPDRI, dengan tugas yang
sama dengan yang berlaku saat ini, ditambah menetapkan Garis Besar Haluan
Negara yang merupakan penjabaran yang lebih rinci dari UUD 1945, khususnya
dalam upaya pembangunan nasional menyeluruh dalam segala bidang kehidupan.

Pemilihan kepala daerah juga dimodifikasi, dengan terlebih dulu menetapkan secara
tepat titik berat otonomi daerah. Bila otonomi diletakkan di kabupaten dan kota,
maka Gubernur tidak perlu dipilih, namun ditunjuk oleh Presiden dari pegawai negeri
paling senior yang berprestasi di daerah. Dengan demikian, peranan, tugas dan
fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat dijalankan secara lebih
optimal. Dan, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan agar tidak
dipakai sebagai alat politik, masa jabatannya dibatasi lebih singkat dari masa
Pemilu.

Tentunya perlu penjabaran ulang mengenai tugas, kewenangan dan tanggung jawab
Gubernur, serta mempertimbangkan apakah DPRD Propinsi masih diperlukan
keberadaanya, dan bila tetap perlu ada, bagaimana hubungan dan mekanisme kerja

3
antara Gubernur dengan DPRD, terutama dalam menjalankan fungsi pemerintahan
dalam pembangunan yang menggunakan APBD Propinsi.

Bagaimana pun baiknya sistem, harus diakui bahwa memang semua bergantung pada
semangat penyelenggara negara. Janganlah kita selalu berlaku bak kata pepatah:
“Buruk rupa cermin dibelah”, atau “Awak tak pandai menari dikatakan lantai
terjungkit”, sehingga cenderung mengubah-ubah aturan dan undang-undang.

Bahkan, konstitusi kita, UUD 1945 telah diamandemen empat kali sehingga
badannya sudah berbeda jauh dari ruhnya. Selain itu, perlu dicamkan bahwa
demokrasi hanya akan berjalan baik bila ada akuntabilitas seperti yang dikatakan
seorang pakar politik:

“There is one quality, perhaps above all others, which is essential if a state is to be
democratic and that is accountability”.

*Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn), Gubernur Sumsel 1998-2013,


President United in Diversity Forum, anggota Institute for Maritime Studies dan
Advisory Board Member Conservation International Indonesia. (Sinar Harapan)

Anda mungkin juga menyukai