Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH DISKURSUS KONTEMPORER DALAM ISLAM

“Mengenal Respon Masyarakat Muslim Terhadap Kajian Mereka dan Pengaruh


Terhadap kajian Al-Quran “

Dosen Pengampu :
Dr. Abdur Rouf, MA

Disusun Oleh :
Indra
Fatah Yasin
Nadiyah Anggraini

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA
2020
DAFTAR ISI
BAB I....................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN................................................................................................... 2
BAB II...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
1. Biografi Sachiko Murata.......................................................................................... 6

Pengertian Sachiko Murata...................................................................................... 7

Pemikiran Sachiko Murata....................................................................................... 7

Relasi dalam Perspektif Sachiko Murata................................................................. 9

Pendekatan Sachiko Murata..................................................................................... 9

2. Respon Sarjana Muslim Terhadap Pemikiran Gender Sachiko...............................10


3. Kaitan Dengan Penafsiran........................................................................................14
4. PENUTUP................................................................................................................16
5. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..17
BAB I PENDAHULUAN

Sebagian umat Islam saat ini sedang berada di fase “kenyamanan” yakni fase memilih berada di
zona aman dalam menjalani kehidupan yang ditandai dengan kejenuhan pemikiran,,nyaman
dengan kondisi terjajahnya serta memberikan label sakral terhadap penemuan terdahulu. Tentu di
zona ini sangat memberi efek buruk terhadap perkembangan kajian keislaman. Hal ini karena
Islam adalah agama dinamis shahih li kulli zaman wa makan dengan dua pedoman pokonya yaitu
al-Qur’an dan al-Sunnah. Tetapi kedinamisan ini akan menjadi aktif apabila terjadi interaksi dialog
antara manusia dengan agamanya.

Melihat kondisi umat Islam yang lengah, orang-orang Barat bangkit dari masa kefakumannya.
mereka banyak belajar ke Timur dan mempelajari Islam. Lalu, diantara mereka muncul beberapa
tokoh yang mempelajari Islam untuk mencari kelemahannya atau akrab dikenal dengan orientalis.
Namun tidak semua orientalis mempunyai pemikiran sama dimana mereka mempelajari Islam
untuk menyerang Islam dan mencari-cari keselahan Islam, tetapi justru banyak diantara mereka
juga yang membela Islam.1

1
Shinta Sodikin, Wahyu Al-Qu’an Menurut William Montgomery Watt, Hlm. 36. Diakses: Rabu, 26 Februari 2020
17:50
BAB II PEMBAHASAN

A. Islam (Al-Qur’an) Dimata Orientalis

Al-Qur’an2 adalah kitab suci yang akan selalu terjaga keotentikannya. Seperti apa yang diyakini
oleh kalangan umat muslim dengan selalu mengukuhkan pendapat itu dengan sebuah ayat Al-
Qur’an itu sendiri sebagai sebuah legitimasi.3 Hal ini memang tidak akan menjadi masalah jika
dilihat dari kacamata orang yang mengimani terhadap Al-Qur’an. Namun akan sangat berbeda jika
pendapat ini disuguhkan kepada orang yang memulai studi nya tentang Al-Qur’an justru bertolak
dari sikap yang ragu seperti yang dilakukan orientalis.

Al-Qur’an yang kita baca hari ini masih sama seperti awal pertama ia diturunkan. Tema-tema
dalam Al-Qur’an tidak ada yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. “segala puji bagi
Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (AlQur’an) dan Dia tidak mengadakan
kebengkokan di dalalamnya.”4 Begitu bunyi sebuah ayat menegaskan seolah-olah mengatakan
bahwa carilah sebanyak mungkin kelemahan dalam Al-Qur’an ini jika engkau ragu. Begitu kira-
kira kalau kita fahami mafhum mukhalafahnya. Sebagai mukjizat terbesar bagi Nabi akhir zaman
tentu saja kitab ini membuka diri lebar-lebar bagi siapa saja yang merasa ragu kepadanya untuk
mencari sebanyak mungkin kesalahan didalam Al-Qur’an ini. Pada akhirnya semakin kesalahan
dicari justru semakin kentara salah satu fungsi Al-Qur’an sebagai I’jaz.

Pandangan orang islam terhadap kitab sucinya memang tidak akan lepas dari tolak ukur iman
sehingga tidak menutup kemungkinan justru menjadikan Al-Qur’an terkesan sakral dan akan
sangat berpengaruh terhadap tujuan pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri. Adanya kajian yang
dilakukan para tokoh orientalis ini memiliki dampak positif dari sudut pandang keilmuan.
Walaupun kita tahu motivasi awal orientalis dalam mengkaji Al-Qur’an didorong oleh keresahan
mereka untuk mencari kelemahan umat islam melalui sumber rujukan utama nya ( Al-Qur’an dan
sunnah).

Beberapa tokoh orientalis awal yang mengkaji tentang tema Al-Qur’an misalnya Ignaz Golziher,
Theodor Noldeke, Joseph Schacht, dan Richard Bell.5 Walau tidak semua tokoh tersebut

2
3
4
Al-Kahfi (): 1
5
Al Makin, Antara Barat dan Timur, (Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka 2015), cet,1 hal 88.
membahas pokok bahasan tentang ke-Al-Qur’anan. perlu dicatat bahwa Golziher menjadi fondasi
dasar kajian islam di Barat dalam bidang sejarah terutama dalam bidang hadis, Bahasa Arab sastra
(adab), tafsir,teologi, dan hukum (fiqh). Sementara penerusnya Noldeke lebih focus terhadap
sejarah Al-Qur’an.

Sedangkan yang datang kemudian sebagai tokoh orientalis revisionis dengan pemikiran dan corak
kajian masing-masing tokoh seperti: Sachiko dengan teori revisi tentang gender dalam Al-Qur’an,
Izutsu dengan semantiknya, kemudian tampil seorang Philip dengan revisi sejarah Al-Qur’an yang
dilakukan pendahulunya Theodor Noldeke.

Pada generasi awal orientalis dalam meneliti dan mengkritisi Al-Qur’an tidak terlepas dari
sentiment keagamaan yang menjadi latar belakang mereka. Sehingga tentu akan berpengaruh besar
terhadap output dari penelitian tersebut. Seperti kita tahu memang tujuan awal kajian tentang ke-
Timuran ini dilatar belakangi untuk kepentingan gereja.6 Sehingga apapun kajian tentang
keislaman itu akan dipahami seperti latar belakangnya.

Ciri khas generasi awal memang terkesan sangat kental dalam mengkritisi kitab suci umat islam
ini dengan sentiment walaupun pada akhirnya ada pula yang memahami islam dengan apa adanya.
Tetapi kekhasan itu masih sangat kentara pada generasi awal para orientalis. Seperti apa yang
dilakukan Bell yang mengkritik tajam sistematika urutan ayat dan surah-surah Al-Qur’an, tidak
lupa dengan nada sinis melemparkan kesalahan pada para penulis wahyu.

Yang mereka tuduhkan adalah bahwa pengurutan surah-surah tersebut berdasarkan adanya rima-
rima berbeda dalam satu surah, terkadang ketika sebuah bacaan dengan asonasi ditambahkan pada
surah berasonasi lain, frase-frase ditambahkan untuk memberikan asonasi yang belakangan. Tidak
berhenti sampai dititik itu, masih menurut Bell ia mengemukakan bukti bahwa ketidak sesuaian
penempatan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukan hipotesa surah al-Ghasiyah. Dimana dalam
surah ini menjelaskan tentang Hari Kiamat dan nasib orang-orang durhaka, kemudian dilanjutkan
dengan gambaran orang-orang bertakwa. Disana Bell tidak menenukan pikiran yang saling
berkaitan antara ayat-ayat tersebut.

10) Di sebuah surga yang tinggi (Aliyah), 11) disana tidak engkau dengar omong kosong
(laghiyah), 12) ada mata air yang mengalir (jariyah), 13) ada dipan yang ditinggikan (marfu’ah),

6
Al Makin, Antara Barat dan Timur, (Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka 2015), cet,1 hal 84.
14) ada gelas minuman yang disediakan (maudhu’ah), 15) dan bantal berjajar (masfufah), 16)
dan peermadani tergelar (mabsusah), 17) apakah mereka tidak melihat kepada unta bagaimana
hewan itu diciptakan (khuliqat), 18) kepada langit bagaimana ditinggikan (rufi’at), 19) kepada
gunung-gunung bagaimana ditegakka (nusibat), 20) kepada bumi bagaimana dihamparkan
(suthihat), 21) maka berilah peringatan, kamu hanyalah seorang pemberi peringatan
(mudzakkir).7

Menurut Bell ayat 17-20 tidak memiliki kaitan pikiran, baik dengan ayat sebelumnya dan ayat
sesudahnya, Bell mengajukan hipotesanya dengan perbedaan rima yang berbeda antara ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya. Ia melontarkan sebuah pertanyaan yang sangat tajam, apakah seorang
pengumpul yang memiliki tangung jawab tidak mampu menemukan tempat yang lebih cocok
untuk itu?8

Demikian sedikit gambaran dan contoh kasus pandangan orientalis awal terhadap Al-Qur’an yang
pada dasarnya mencari kelemahan darinya. Tetapi sebagai dampak positif untuk perkembangan
keilmuan Al-Qur’an sendiri menjadi pemicu lahirnya cabang ilmu tentang munasabah9 (hubungan)
dalam ulumul Qur’an.

Pada perkembangannya kemudian banyak pula orientalis yang bersikap objektif terhadap kajian
ketimuran, baik itu tentang tema al-Qur’an Hadis, maupun khazanah keislaman lainnya seperti
Annemarie Schimmel dan tokoh lainnya. Seperti telah dibahas pada makalah sebelum ini. Agar
tidak terlalu banyak pengulangan kami hanya akan menampilkan sebagian tokoh dan pemikiranya
agar lebih terfokus membahas tema tertentu. Besar harapan kami mampu menyajikan dengan baik
dan mendalam tentu saja sesuai dengan batas kemampuan kami.

7
Al-Ghasiyah (): 10-21
8
Lihat pengantar tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab, disana Bell memberikan hipotesanya bahwa ayat 17-20
ditempatkan disana karena ayat-ayat itu ditemukan tertulis dibagian belakang ayat 13-16. Kemudian ia
berpendapat, dalam kasus ini, bahwa ayat 13-16 yang ditandai dengan rima dari ayat sebelumnya adalah
tambahan dari ayat-ayat itu, yang kebetulan ditulis pada sisi belakang potongan kerts yang sudah berisi ayat 17-20.
9
Ulama Al-Qur’an menggunakan kta munasabah ini terhadap dua hal. 1) hubungan kedekatan anatara ayat atau
kumpulan ayat-ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya, 2) hubungan makna satu ayat dengan ayat lain.
B. Biografi Sachiko Murata

Sachiko Murata dilahirkan di Jepang, tahun 1943 Perkenalannya dengan Islam dimulai semasa
menjadi mahasiswi yang tengah mempelajari hukum keluarga di Universitas Chiba di pinggiran
kota Tokyo. Lalu ia mendapat beasiswa dari Iran untuk belajar hukum Islam di Universitas
Teheran Iran di tahun 1967 iya berangkat ke Iran.10 sebagai Negara muslim dengan tradisi dan
hukum Islam yang ketat, hal ini tentu akan sangat membantu proses belajarnya dalam mengamati
dan mempelajari langsung hukum Islam khususnya hukum keluarga Islam yang menarik minatnya.

Rasa keingintahuan Sachiko Murata tergugah ketika mengetahui bahwa hukum keluarga Islam
membolehkan seorang pria mempunyai empat istri sembari pada saat yang sama diharapkan bisa
tetap mempertahankan kedamaian dan keharmonisannya sekaligus.11

Sachiko Murata tercatat sebagai seorang wanita non muslim pertama yang mendaftar masuk
Fakultas Teologi dalam Program Yurispundensi (fiqh), dan berkesempatan secara langsung
mempelajari hukum Islam dari beberapa otoritas terkemuka dibidangnya, diantaranya: Sayyid
Hassan Iftikharzada Sabziwari, seorang ulama terdidik dalam bidang metodologi tradisional yang
membantunya mengkaji beberapa teks tersulit dari Yurisprudensi (Fiqh dan prinsip-prinsip
Yurisprudensi (Ushul Fiqh). Profesor Abu al-Qasim Gurji’ serta Profesor Toshihiko Izutsu,
pembimbingnya, sehingga Sachiko Murata berhasil menerjemahkan teks klasik abad ke-10H
/16M, tentang prinsip-prinsip Yurispundensi, Mu’allim al-Ushul ke dalam bahasa Jepang.

Di Iran Sachiko Murata mulai mempelajari tradisi sufisme yang disebutnya sebagai tradisi
kearifan (hikmah) secara serius dan sungguh-sungguh,tentang beberapa kajian yuridis. Selama
beberapa tahun ia mengikuti beberapa kuliah yang disampaikan oleh Sayyed Hosein Nasr
mengenai karya besar klasik Persia yang menganut mazhab ibn al-Arabi, Syarhi Ghulsyani-I raz.
Salah satu kajian yang menjadi kenangan berkesan selama tahun-tahun studinya adalah ketika dia
menelaah dan mengkaji ajarancemerlang Jalal al-Din Huma‟i, yang kehadirannya cukup
meyakinkan Sachiko Murata bahwa Islam memiliki tradisi spiritual yang dalam dan hidup.

10
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1387
11
https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/al-banjari/article/viewFile/643/509
Tahun 1975 ia menyelesaikan tesis M.A di Fak Teologi dengan topik pernikahan sementara (nikah
mut’ah) berikut selevensi sosialnya.12

B.1 Pengertian Gender Sachiko Murata

Kata ‘gender’ berasal dari bahasa inggris, berarti jenis kelamin.13 Gender adalah sifat dan perilaku
yang dibentuk secara kultural pada semua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan.
Gender merupakan identitas yang telah membuat laki-laki dan perempuan menjadi terbedakan.
Gender telah menjadikan laki-laki dan perempuan berbeda secara tajam karena masingmasing
dikonstruksi sebagai lawan atas yang lain dan melalui pertentangan tersebut makin mempertegas
dominasi laki-laki atas perempuan.

Laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin superior, sedangkan perempuan inferior. Pemaknaan
gender pun mengalami perkembangan pesat. Ada yang cenderung pada pendekatan sosial. Ada
yang bersifat politis dan ada pula yang cenderung pada pendekatan biologis. Secara umum, benang
merah dari seluruh pendekatan para feminis tersebut adalah pola rasionalnya yang mewarnai
pandangan-pandangan mereka yang berkembang selama ini.14

B.2 Pemikiran Gender Sachiko Murata

Sachiko murata mencoba menganalisis relasi gender melalui teori Kosmologi dan Teologi dalam
Islam (mirip dengan teori kosmologi Cina yakni Yin dan Yang) degan mengedepankan
konsep Tajalliyat Ibn Arabi yang mirip dengan teori Emansipasinya Plotenus yaitu:
mengungkapkan apa makna Kesatuan, makna Dualitas yang berasal dari Kesatuan dan dari
dualitas menjadi kesatuan kembali.

Ada beberapa poin untuk mengklasifikasikan agar lebih mudah dipahami :


1. Argumen Kosmologi

12
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1387

13
http://digilib.uin-suka.ac.id/2577/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
14
https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/289/223
Konsep dasar dalam pendekatan kosmos atau alam (penjelasan dari alam semesta) yang
diejawantahkan Sachiko Murata, adalah dengan memunculkan statement bahwa “semua yang
diciptakan Tuhan di alam semesta ini serba berpasang-pasangan”. Pandangan dasar yang
beliau gunakan, berpangkal dari firman Allah dalam surat adz-Dzariat ayat 49:

َ‫ش ْىءٍ َخلَ ْقنَا زَ ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرون‬
َ ‫َو ِمن ُك ِل‬

Dalam pemahaman ayat inilah, Murata mengaplikasikannya pada penciptaan alam yang serba
berpasang-pasangan, seperti diciptakannya langit tentu ada bumi, ada pria ada wanita, ada siang
ada malam, ada baik ada buruk, dan segala hal macamnya. Namun, dalam kosmos atau alam tak
satu pun dapat dikatakan lengkap dan sempurna tanpa yang lainnya. Semua yang diciptakan Tuhan
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atas dasar ciptaan Tuhan yang
mempunyai kelebihan dan kekurangan inilah, memunculkan sebuah relasi untuk saling
melengkapi dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Pria dan wanita ini masing-
masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Untuk menyempurnakan anata kedua itu harus ada
relasi saling melengkapi dan saling membutuhkan diantara keduanya, sehingga muncul
kesejajaran tanpa adanya pembedaan yang menunjukkan superior dan interior. Konsep ini lah yang
digunakan sachiko murata untuk menejelaskan relasi gender.

2. Argumen Teologi

Dalam tradisi intelektual, berbicara tentang kosmos artinya dengan berbicara tentang Tuhan.
Pemikiran tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat ilahi yang diwahyukan dalam
al-Quran. Dalam teori ini dikemukakan bahwa pada mulanya adalah “Tao” atau Tuhan (zat yang
Esa menunjukkan pada maksa kesatuan). “Tao” menciptakan kosmos dengan dua kualitas atau
dualitas yaitu “Kualitas Feminim” (yin) dan “Kualitas Maskulin” (yang). Tuhan memiliki sifat dari
keduanya itu yang dipancarkan pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap
manusia memiliki sifat Maskulin dan Feminim. Yang artinya laki-laki memiliki sifat-sifat
Maskulin dan perempuan memiliki sifat feminim, sebagaimana fenomena siang-malam, gelap-
terang, dan seterusnya (makna dualitas).
Dari sifat-sifat yang dimiliki itulah seolah laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi dari
permpuan. Padahal, kualitas dua-duanya secara potensial adalah sama, sama-sama terbentuk dari
ciptaan Tuhan.15

B.3 Relasi Gender dalam Perspektif Sachiko Murata

Sachiko Murata menjelaskan tentang relasi gender yang terlihat dari proses tanda-tanda
perkawinan alam. Ketika tuhan menciptakan dengan perintah “kun”, maka tuhan melakukan
perkawinan dengan benda-benda yang non eksisten yang melahirkan ciptaannya “Fayakun”.(An-
Nahl (16): 40.) Seperti yang sudah diterangkan di atas dalam kosmos reproduksi berlangsung
sebagai berikut: langit menjatuhkan air hujan dan bumi menerima air itu. “ia menggelembung”
yaitu menjadi hamil “dan menumbuhkan tanaman-tanaman beraneka ragam”.(Al-Hajj (22): 5.)
Pernikahan menjadi sunah dalam perjalanan setiap hamba-Nya. Dalam keindahan perkawinan,
manusia dikuasai oleh kekuatan akan kesenangan, dan dengan jalan itu dapat mencicipi
kebahagiaan dari hubungan surgawi dengan Tuhan. Kesenangan ini mewujudkan kekuatan
Tuhan. Kesenangan ini mewujudkan kekuatan Tuhan (qahr), yang biasanya disejajarkan dengan
kelembutan-Nya (luthf). Dari sinilah kita dapat mengetahui hubungan antara Tuhan dan
makrokosmos (konsep dari tiga sudut segitiga yakni Allah, Makrokosmos, dan Mikrokosmos).16

3. Pendekatan Murata

Murata menarik garis pembeda dari pola tersebut melalui pendekatan yang digunakannya dalam
mendefinisikan gender. Murata berangkat dari sebuah keprihatinan terhadap realitas masyarakat
Barat yang cenderung memandang negatif kedudukan perempuan Islam sehingga mendorongnya
untuk membuat sebuah rumusan relasi gender baru. Rumusan ini diharapkan dapat mengubah
pandangan yang kurang positif,

Pandangan negatif yang telah memasyarakat di kalangan Barat tersebut dianggap Murata sebagai
pandangan yang telah berakar kuat sehingga sulit untuk diubah, kecuali melalui pendekatan baru

15
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1387
16
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1387
yang lebih dapat diterima mereka. Rumusan baru tersebut berbasis spiritualitas yang merupakan
hasil perpaduan pendekatan filsafat Tao Cina dan mistik Islam. Murata berharap dapat memberikan
gambaran yang benar mengenai posisi perempuan dalam Islam.

Murata memulai rumusannya dengan menempatkan kualitas sebagai sebuah kekuatan bahkan jati
diri manusia dalam menjalankan misi sucinya dalam kehidupannya di muka bumi ini. Wujud dari
kualitas tersebut dapat berupa spiritualitas yang merupakan upaya optimal manusia dalam
mendekati Tuhannya. Kualitas dapat pula berupa perilaku dalam menjalankan hubungan
17
horisontalnya baik dengan sesama manusia, maupun dengan alam. semua makhluk tersebut
mempunyai kesetaraan dan kesejajaran yang sama dihadapan Tuhan sebagai ciptaanNya(kembali
pada Yang Esa). menurut Murata, gender merupakan sifat yang dilekatkan laki-laki dan
perempuan pada dirinya sendiri sesuai usahanya dalam rangka menyempurnakan diri sebagai
wakil Allah di muka bumi.

C. Respon Sarjana Muslim Terhadap Pemikiran Gender Sachiko

Setiap ada api tentu akan ada asap begitu kata pepatah. Ada sebab tentu akan ada akibat setelahnya.
Pun dengan pemikiran Murata diatas mendapatkan respon baik dari kalangan orang dalam atau
kalangan orang luar sendiri. Dan respon itu adakalanya mendukung adapula yang berdiri
berhadapan disisi lain. Yang kami sajikan disini akan lebih terfokus kepada respon insider sebagai
orang yang berfungsi sebagai pemeran.

Memang isu gender ini santer dibicarakan oleh banyak kalangan barat yang menganggap terjadi
suatu diskriminasi dalam tubuh umat islam dengan menuduh kitab suci nya dengan tuduhan yag
tidak sedap. Tetapi kenyataan ini harus dianggap sebuah kemajuan dan cambuk bagi kalangan
umat islam sendiri. Karena dewasa ini khususnya kalangan feminism sangat rajin mengusung isu
gender sehingga menjadi isu yang sangat segar dipermukaan. Sebagai seorang yang diwarisi kitab
suci, kita jangan mudah menjatuhkan pula sawa sangka dengan menuduh mereka sebagai
penentang otoritas tuhan dan dianggap sebagai liberal. Alangkah bijaksana kalau kita sajikan
dalam sebuah karya ilmiah melalui penelaahan kembali dan penelitian yang serius .

Al-Qur’an yang memiliki keunikan yang selalu kita gembor-gemborkan dengan selogan “shalihun
likulli zaman wa makan” hendaknya benar-benar mampu menjawab apa yang disematkan

17
https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/289/223
kepadanya sebagai kitab yang selalu relevan itu. Sekali-kali jangan sampai kita menganggap
bahwa apa yang kita fahami saat ini telah final. Bukankah apa yang kita praktikan dewasa ini
merupakan sebuah hasil pemikiran pada masanya yang tidak terlepas dari corak dan karakter pada
masa pemikiran itu tumbuh. Kemudian pertanyaanya kemudian adalah: masih relevankah kita
hidup dimasa kini dengan pemikiran berabad-abad kebelakang?

Sekali-kali kita tidak menafikan dimana umat islam pada masa tertentu mengalami masa
keemasannya dan menelurkan sebuah sumbangan khazanah klasik yang sangat kaya dan menjadi
hampir rujukan semua umat islam dewasa ini. Itu artinya kita hidup dengan pemikiran masalalu.
Tidak pula kita harus melupakan mahakarya para pendahulu kita tersebut. Karena khazanah islam
yang kaya raya itu memang perlu dibaca secara serius, tapi sekali-kali tidak untuk diberhalakan.

Sebuah corak pemikiran, betapapun dahsyatnya, pasti terikat dengan iklim ruang dan waktu.
Adalah sebuah bencana sejarah bila suatu umat merasa “Bahagia” hidup di masa lampau tapi gagal
berurusan dengan masalah kekinian.18 Apalagi mengidealisasikan masa lampau dengan sangat
antusias seolah masa silam itu telah memberikan segala-galanya. Syafi’i Ma’arif mengatakan
bahwa konstruksi mental seperti ini merupakan cerminan mental ynag sedang sakit, sebagai
bayangan intelektual yang lumpuh tak berdaya menghadapi perubahan zaman yang sanagat cepat.

Adalah sebuah keniscayaan manusia akan terus bergerak kedepan dengan segala paradigma yang
berkembang sesuai dengan zamannya. Tidak bisa dipungkiri bukankah sejarah telah memberikan
contoh untuk kehidupan kita sekarang bahwa seiring berkembangnya kehidupan maka hukum
yang adapun akan menyesuaikan terhadapnya. Hal ini tidak menandakan bahwa hukum
mengalami inkonsisten tetapi sebaliknya menunjukan bahwa hukum itu akan selalu menyesuaikan
dengan waktu dan tempat.

Sejak awal perkembangan agama ini, Al-Quran sebagai sumber utama umat islam memang tidak
pernah berubah, tetapi hukum yang diterapkan kenyataannya tidak selalu tekstual. Yang terpenting
dari kitab suci ini adalah semangat dan hakikat dari teks tersebut yang perlu kita lakukan.19 Untuk

18
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Membumkan Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1, hal 9.
19
Dalam Bahasa usul fiqh kita sering mendengar dengan istilah maqashid syar’iyyah, sebuah hakikat yang hendak
dituju oleh syara.
merealisasikan maqashid asyar’iyyah tersebut tentu kita harus melihat kembali teks, konteks, dan
kontekstuaisasi terhadap teks tersebut.

Menurut hemat kami sangat mungkin untuk merekonstruksi sebuah pemikiran masalalu agar
relevan dengan waktu dimana kita hidup karena perubahan adalalah sebuah keniscayaan seperti
yang di kumandangkan Iqbal dengan teori dinamisnya.20

Seperti telah kita singgung diatas tentang relativitas sebuah hukum, sebagaimana tersurat dalam
kaidah usul fiqh yang mengatakan “alhukmu yadullu ma’ illatih”. Dapat kita katakana bahwa
realitas sekarang menunjukan adanya gejala isu gender yang berkebang dimasyarakat. Tentu perlu
dikaji agar apa yang disangkakan orang-orang tentang islam tidak lagi berbau negative.
Nampaknya itu yang dikehendaki Murata dengan isu gendernya. Yaitu menjawab apa yang
disangkakan Barat tentang islam khusus dalam kasus gender ini.

Sebagai sandaran landasan kita berfikir kita bisa ajukan sebuah pertanyaan, apakah benar islam
menjadkan superioritas laki-laki sebagai alasan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan?.
Itulah yang yang kita dengar dari beberapa kalangan orientalis terkait isu gender.

Nampaknya harus kita awali dengan melihat kembali kepada sumber rujukan umat islam yang
selalu dijadikan legitimasi atas setiap tindakan. Apakah benar Al-Qur’an melegitimasi hal tersebut
ataukah tidak. Perlu juga kita melihat kepada turas klasik tentang relasi antara laki-laki dan
perempuan yang lebih sering terkesan memng seperti terjadi diskriminasi yang dilegitimasi oleh
teks suci.21

Misalnya ayat dari surah an-Nisa dipandang oleh kalangan feminis sebagai sebuah momok.
Mereka mengatakan seolah ayat tersebut selalu dijadikan landasan bagi sebagian orang untuk
melegitimasi tindakannya. Hal ini baru sebagian kecil yang mereka angkat tentang konteks gender.
Berangkat dari banyaknya kasus tersebut bolehlah kita melihat kembali dan bersikap kritis
terhadap teks peninggalah abad pertengahan. Jangan sampai kita berfikir seperti yang selama ini
diyakini oleh sebagian kalangan yang beranggapan sangat mensakrralkan turas masalalu tiu. Dan
mengubahnya seperti berdosa dan suul adab.22

20
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ( Yogyakarta : jalasutra cet kedua, 2008), hal,172.
21
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1, hal 45.
22
Husein Muhammad, Islam Tradisional Yang Terus Bergerak, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1, hal 81.
Memang tidak bisa kita pungkiri banyak sekali kesan yang mengarah kepada diskriminasi terhadap
perempuan dari berbagai sumber klasik khususnya dalam relasi antara laki-laki dan perempuan
dalam rumah tangga mislanya.

Perhatikan misalnya sebuah hadis tentang hubungan suami dan istri. “perhatikanlah istrimu sebaik-
baiknya, sebab mereka adalah tahananmu kamu tidak memiliki dari mereka kecuali itu”. (HR.
Tirmidzi).

Syekh Nawawi Banten mengatakan bahwa kata ‘awanin pada hadis tersebut berupa bentuk plural
dari kata Aniyah. Seorang istri dikatakan sebagai Aniyah karena ia dipenjara, seperti tawanan
(tahanan) bagi suaminya.23 Dari penjelasan ini tampak bahwa, sebagai tahanan, seorang istri harus
tunduk kepada suaminya.

Dalam khazanah klasik misalnya kita temukan bahwa ketika seorang istri yang menolak diajak
berhubungan badan oleh istrinya maka akan dilaknat oleh malaikat hingga waktu fajar.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana jika hal tersebut kita balik, ketika seorang istri
meminta haknya untuk kebutuhan biologis tetapi suami tidak mampu memberikannya apakah
laknat tersebut berlaku terhadap suami? Bukankah kemudian hak biologis ini adalah dorongan
alami manusia normal? Lalu bagaimana konsep keadilan dalam hal ini jika kita kaitkan dengan
relasi seksual?

Sangat banyak yang diangkat oleh kaum feminis terkait isu geder ini. Lalu bagaimana pendapat
insider terhadap isu gender Sachiko Murata. Hasan Hanafi seorang sarjana muslim yang sangat
kritis mengatakan perlunya sebuah metode tafsir yang solid untuk mengungkap maksud yang
diinginkan oleh teks. Kiranya perlu untuk melihat kembali metode tafsir yang kita miliki agar Al-
Qur’an menjadi benar-benar menjawab setiap persoalan yang dihadapi kondisi kita. Bukankah Al-
Qur’an memiliki cakupan yang universal,(rahmatan lil alamin).

Hanafi mengungkapkan ada tiga kelemahan yang terdapat dari metode tafsir yang kita miliki saat
ini. Pertama, adalah karena tafsir selalu merupakan teori tentang eksistensi Allah daripada sebagai
teori tentang eksistensi manusia. Artinya ini hanya merupakan tafsir dogmatis. Padahal tafsir yang
dibutuhkan saat ini adalah, setelah menegaskan adanya Allah, terciptanya semesta, pertanggung

23
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1, hal 261.
jawaban manusia dan keyakinan lainnya. Kita menegakkan teori tentang wujudnya manusia
individu dan sosial dan keterkaitannya dengan situasi dengan orang lain dan alam.

Kelemahan kedua adalah karena tafsir kita sekarang selalu terkait dengan kondisi lokal islam
tempat dulu islam lahir, khususnya dari segi sosial dan ekonomi. Artinya penafsiran kadangkala
menjadi sebuah pengokoh hirarki anatar kelas. Padahal tafsir harus hadir sebagai mewujudkan
keadilan dan mengupas monopoli dan dominasi.

Kelemahan keteiga adalah karena tafsir kontemporer tidak pernah memulai dengan mengeritik,
menyerukan perubahan dan perbaikan yang radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama.
Malah sering mengekor dan mengukuhkan kebaikan yang datang daari luar teks keagamaan.

D. Kaitan Dengan Penafsiran

Lalu kiatannya dengan penafsiran adalah menarik apa yang dikatakan Hanafi. Ia memberika
jawaban dengan cara menegasian sebab-sebab yang terjadi sekarang mengenai paradigma
penafsiran.

1. Tafsir masih tetap merupakan bagian dari ilmu tradisional seperti halnya ilmu Al-Qur’an
Hadis tanpa memiliki prioritas sebagai teori epistimologi yang belandaskan pad wahyu,
karena tafsir merupakan logika wahyu.
2. Tafsir tradisional berkutat di ranah komentar, perluasan, dan bagian yang tidak ada
urgensinya, yang tidak memperhatikan makna teks independent maupun kondisi
kontemporer umat.
3. Tafsirtafsir disiminasi oleh logika Bahasa untuk mendeduksi makna dari teksdengan
bantuan asbabun nuzul, tnpa menggunakan intuisi langsung teks untuk memahami makna
yang jelas secara langsung dengan merujuk pengalaman hidup kontemporer, berangkat dari
pribadi dan sosial yang merupakan sisi lain dari teks agama.
4. Kelemaha tafsir modern (pertama) lebih mengarah pada tafsir dogmatis disbanding dengan
dimensi manusia dan hubungannya dengan manusia dan alam. (kedua) tidak memecahkan
kondisi kontemporer. (ketiga) cenderung mengekor dan menguatkan, bukan penafsiran
yang memulai, mengkritik dan menciptakan.

Empat pokok tersebut yang menurut Hanafi menjadi landasa untuk merekonstruksi penafsiran
yang dibutuhkan dewasa ini. Senada dengan ungkapan Husein Muhammad dalam bukunya Islam
Tradisional Yang Terus Bergerak mengatakan perlunya pengkajian kembali pemikiran klasik
dalam rangka mengkontekstualisasikan maksud yang lebih relevan sesuai dengan kondisi zaman
dimana kita hidup.24

Hal ini juga ditekankan dalam pengantar tafsirnya Muhammad Quraish Shihab. “mufassir dituntut
untuk menjelaskan nilai-nilai itu sejalan dengan perkembangan masyarakatnya sehingga Al-
Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara hak dan batil, serta yang
lebih penting menjadi jalan keluar bagi setiap problema kehidupan yang dihadapi.25

Jelaslah bagi kita bahwa keagungan Al-Qur’an ini adalah bersifat universal (rahmatan lil alamain)
namun terkadang kita terjebak pada sebuah kondisi pemikiran, apalagi ketika pemikiran tersebut
dikatakan oleh seorang yang dianggap memilikiotoritas keagamaan, bahkan kadang kala itu
dianggap pula agama itu sendiri.26 Padahal kondisi dan waktu tertentu seyogyanya pasti
mempengaruhi terhadap hukum tertentu. Karena sifat hukum yang fleksibel dan dinamim sesuai
kondsinya. Yang perlu kita lakukan adalah terus berusaha mencari maksud dari tek suci dengan
kelapangan dan sikap yang terbuka bagi sebuah pembaruan.

Sekali-kali jangan kita terkungkung oleh sebuah teks kuna yang sekiranya tidak lagi relevan
digunakan pada masa kita. Saya mengutip sebuah jargon organisasi keagamaan terbesar di
Indonesia yang kami anggap sangat cocok dengan konteks ini dan mencerminkan sebuah
kemoderaan dan kemodern-an. “al muhafdzatu ala al-qadimi al shalih wa al-akhdu bil jadidil
aslah”. Terakhir sebagai sebuah pertanyaan sekaligus penutup adalah sebuah pertanyaan yang
sangat meresahkan. Apakah kita telah memposisikan Al-Quran yang selama ini kita baca dan kaji
sebagai pemecah maslah ataukah kita hanya menjadikannya sebagai legitimasi kepentingan
golongan tertentu?

Wallahu ‘alam.

PENUTUP
Sikap kritis yang dimiliki oleh orang orientalis, yang berkaitan dengan islam dan al-Quran, jelas
sangat diperlukan dalam dunia akademis. Ilmu keagamaan yang sangat berkembang dan akan

24
Husein Muhammad, Islam Tradisional Yang Terus Bergerak, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1,hal 81.
25
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati 2017), cet 1, jilid 1, hal xx.
26
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1, hal 52.
dipakai terus selama hidup. Maka dari itu sikap kritis dalam mempelajari ilmu keagamaan itu
sangat penting agar tidak salah dalam bertingkah dan bertindak menurut al-Quran dan hadis.
Kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas satu alasan, yaitu bahwa
mereka tidak beragama islam, tetapi didorong semangatnya untuk mencari kebenaran ilmiah.
Dengan kritikan yang seperti itu maka akan menghasilkan sesuatu yang baik. Kritik yang tidak
bersifat emosional, tetapi bersikap akademis.
Kajian yang dilakukan oleh orang orientalis mereka yang berusaha mencari kekurangan yang ada
pada al-quran, namun selagi mereka terus mencari kekurangannya dari padanya al-quran tidak
memiliki kekurangan sedikitpun didalamnya.

Daftar Pustaka
1. Shinta Sodikin, Wahyu Al-Qu’an Menurut William Montgomery Watt, Hlm. 36. Diakses: Rabu, 26 Februari
2020 17:50
2. Al Makin, Antara Barat dan Timur, (Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka 2015), cet,1
3. Al-Qur’an
4. http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1387
5. https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/al-banjari/article/viewFile/643/509
6. http://digilib.uin-suka.ac.id/2577/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
7. https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/289/223
8. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Membumkan Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1,
9. Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ( Yogyakarta : jalasutra cet kedua, 2008),
10. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1,
11. Husein Muhammad, Islam Tradisional Yang Terus Bergerak, (Yogyakarta: IRCiSoD 2019), cet 1
12. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati 2017), cet 1, jilid 1,

Anda mungkin juga menyukai