Anda di halaman 1dari 10

1.

Nyeri kepala karena trauma


Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak.
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Karakteristik Penderita Trauma Kepala
Jenis kelamin pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih
banyak mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua
perbandingan hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua
disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma
kepala adalah 3,4:1. Menurut Brain Injury Association of America, laki-laki
cenderung mengalami trauma kepala 1,5 kali lebih banyak daripada perempuan.
Umur Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan
karena pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan
kehidupan sosial yang tidak bertanggungjawab.
Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami
risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun.
Jenis Trauma Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana
terjadi trauma . Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu
secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmenfragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada
kepala setelah luka., mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu
pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan
otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka
telah menembus sampai kepada dura mater. Kemungkinan kecederaan atau trauma
adalah seperti berikut:
a) Fraktur Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed
fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai
berikut:
(1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
(2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘splintering’.
(3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
(4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak,
Selain retak terdapat juga hematoma subdural.
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak
atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis
kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada
kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang
mengalami trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga
hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata).
Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior,
media dan posterior. Fraktur maksilofasial adalah retak atau kelainan pada
tulang maksilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang
mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus
maxilari.
b) Luka memar (kontusio) Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah
kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak.
Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital.
Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang
mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup
besar dapat mengubah tingkat kesadaran.
c) Laserasi (luka robek atau koyak) Luka laserasi adalah luka robek tetapi
disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang
disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan
teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan
jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang
dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat
menimbulkan jaringan parut.
d) Abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka
ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung
saraf yang rusak.
e) Avulsi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan
kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.
f) Perdarahan Intrakrania
(1) Perdarahan Epidura
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater.
Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran
yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan
mungkin terjadi hemiparese kontralateral
(2) Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan
gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang
membaik setelah beberapa hari.
(3) Perdarahan Subdural Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura
mater dan araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas
3 bagian y aitu:
(a) Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak
besar dan cedera batang otak.
(b) Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari
setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak
berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
(c) Perdarahan subdural kronis
Biasanya terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di
sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik.
Patofisiologi

Gambar Patofisiologi Nyeri akibat trauma kepala.


Manifestasi klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak
meliputi :
a. Gangguan kesadaran
b. Konfusi
c. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
d. Tiba-tiba defisit neurologik
e. Perubahan TTV
f. Gangguan penglihatan
g. Disfungsi sensorik
h. lemah otak
Tanda dan Gejala
1) Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma
langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa
hipoventilasi alveolar, dangkal.
2) Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
3) Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan
peningkatan TIK
4) Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai
hilang sama sekali
5) Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral
menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan
bahasa.
Penatalaksanaan
a. Air dan Breathing
a) Perhatian adanya apnoe
b) Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita
mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan
dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
c) Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang
telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka
tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan
pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab
hipotensi dicari.
c. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat
dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak
menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal
kembali segera tekanan darahnya normal
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya
pupil.
d. Terapi diuretik
a) Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20
menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam.
Monitor osmolaritas tidak melebihi 310 mOSm
b) Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada
edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis
40 mg/hari/iv
e. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan
dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

2. Sakit kepala meningitis

Pengertian Meningitis

Meningitis adalah kondisi di mana terjadi peradangan atau inflamasi pada


selaput otak (meningen). Umumnya, penyebab utama meningitis adalah virus,
jamur, bakteri, serta penyebab lain, seperti reaksi imunologi, penyakit sistematik,
lupus, dan juga keganasan.

Penyebab dan Faktor Risiko Meningitis

Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Untuk meningitis
purulenta sendiri paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus,
dan Haemophilus influenzae sedangkan penyebab utama meningitis serosa adalah
Mycobacterium tuberculosis dan virus. Bakteri Pneumococcus adalah salah satu
penyebab meningitis terparah.
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan penyakit ini adalah lingkungan
dengan kebersihan yang buruk dan padat serta terjadi kontak atau hidup serumah
dengan pengidap infeksi saluran pernapasan. Risiko penularan meningitis
Meningococcus meningkat pada lingkungan yang padat, seperti asrama atau
perkemahan.

Gejala Meningitis

Meningitis umumnya menunjukan beragam gejala, seperti sakit kepala, kaku


kuduk, hingga demam. Sementara itu, gejala yang timbul pada bagian neurologis
umumnya menunjukan gejala kejang, gangguan sensorik, dan juga gangguan
perilaku pada pengidap. Saat mengidap meningitis, pengidap juga bisa mengalami
penurunan kesadaran sebagai salah satu gejala yang muncul. Edema otak juga bisa
terjadi pada pengidap meningitis, jika hal tersebut dibiarkan bisa menyebabkan
herniasi otak.

Diagnosis Meningitis

Gold standard untuk diagnosis meningitis adalah pemeriksaan sampel cairan


serebrospinal melalui lumbal pungsi (LP), sebelum diberikan terapi. Sebelum
prosedur LP bisa dilakukan, pemeriksaan MRI, dan CT scan harus dilakukan
terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada massa
yang menekan pada otak.

Pengobatan Meningitis

Pengobatan diberikan sesuai dengan penyebab dan etiologi. Meningitis viral


umumnya self-limiting. Maka diberikan terapi sintomatik, seperti analgetik,
antipiretik, hidrasi, dan istirahat. Jika disebabkan oleh HSV dapat diberikan
asiklovir (10 mg/kg) selama 14 hari. Terapi kortikosteroid juga direkomendasikan
untuk mengurangi inflamasi.
Pencegahan Meningitis

Salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah memberikan


imunisasi meningitis pada bayi agar kekebalan tubuh dapat terbentuk. Vaksin yang
dapat diberikan, seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal
conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV),
Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2
bulan.

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan mengurangi kontak langsung dengan


pengidap dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di
lingkungan, seperti barak, sekolah, tenda, dan kapal. Selain itu, penerapan gaya
hidup sehat harus dilakukan seperti rajin cuci tangan. Cuci tangan dapat
menghambat penyebaran virus, jamur, dan juga bakteri yang menyebabkan
meningitis. Tidak berbagi makanan dan minuman kepada orang lain juga seharusnya
dilakukan. Selain dari berbagi makanan atau minuman, pemakaian barang yang
bersifat personal, misalnya bertukar sisir, alat makan, contohnya sendok, sikat gigi,
juga seharusnya tidak dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai