Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN FARMAKOLOGI

SKENARIO 1
BLOK 4.1

Tutor: dr. R. Vivi Meidianawaty, M.Med.Ed.

Disusun oleh
Kelompok 2.3 A :
1. Alya Desiana Putri 118170013
2. Bella Shafira 118170033
3. Elinda Ameliana 114170019
4. Hilman Fauzi 118170081
5. Masdar Farid Mas’udi 118170103
6. M. Adira Elang 118170115
7. Nurindah 118170133
8. Selia Salsabilla 118170169
9. Wulan Naela Gina 118170193

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Farmakologi
Skenario 1
Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai
Syarat mengikuti Ujian Akhir Blok
Di Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati
Cirebon

Telah disetujui dan di presentasikan


Pada Tanggal: Mei 2020

Cirebon, Mei 2020


Dosen Pembimbing,

(___ dr. R. Vivi Meidianawaty, M.Med.Ed.______)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami semua,dan penulis tidak lupa mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak terutama rekan-rekan mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati yang telah mendukung di dalam
penyusunan laporan ini, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini guna
memenuhi tugas praktikum farmakologi.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw yang
telah membimbing manusia menuju alam kedamaian, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-
Hadits, keluarga beliau, sahabat-sahabat serta orang yang istiqamah mengikuti jalan
mereka dengan ahsan.
Kami menyadari dalam penyelesaian laporan ini masih terdapat banyak
kesalahan, oleh karenanya kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan dari berbagai pihak, untuk memperbaiki segala kekurangannya.

Cirebon, Mei 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................................... i


Lembar Pengesahan ............................................................................................................ ii
Kata Pengantar ................................................................................................................... iii
Daftar Isi .............................................................................................................................. iv

Kasus .................................................................................................................................... 1
Dasar Teori........................................................................................................................... 3
Penatalaksanaan kasus........................................................................................................ 15
Pembahasan ......................................................................................................................... 18
Resep .................................................................................................................................... 26
Daftar pustaka ..................................................................................................................... 27

iv
A. KASUS

Data base Pasien :


◦ Nama: Ny. S
◦ No RM: 001.664
◦ TTL: 15 Maret 1947
◦ Jenis kelamin: perempuan
◦ MRS: IGD/ 15 Februari 2020 23.30
◦ Keluhan: nyeri ulu hati sejak 1 hari SMRS, Mual (+), BAB/BAK (baik), sesak
nafas (-), demam (-), pusing saat berjalan (+)
◦ RPD: HT(+), DM(-), Jantung (+), stroke (-)
◦ Dx: obs. Epigastric pain, Susp. CAD

Data Klinik

15/2 16/2 17/2 18/2 19/2

KU CM CM
TD 149/101 150/100 170/100 160/90 160/90
HR 100x 84x 88x 84x 84x
RR 20s 20x 20x 20x 21x

Data Laboratorium

Normal 16/2 17/2 18/2


Normal 16/2 17/2 18/2
Hb p12-16 12,6g/dl
Kolesterol <200 199
Hct p35-45 37,6%
Trigliserid P35-135 127
Leukosit 3.200-10.000 10.940
HDL 30-70 62,4
Trombosi 170-380.000 297.000
LDL <130 111
t
CK/NAC 5-35 80U/L
Ureum 15-40 33
Troponin <0,6 negatif
kreatinin 0,6-1,3 0,8
CKMB <10 15U/L
as.urat p2,3-6,6 7,6
LDH 80-240 278U/L
GDS <200 217
GDP 80-125 153
SGOT 5-35 18U/
GD2PP 110-180 204
SGPT 5-35 15U/L

1
B. DASAR TEORI
1. Penyakit Jantung Koroner
a. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan
proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable
angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa
elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI),
dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi
segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI).
b. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak atheroma
pembuluh darah coroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah thrombus yang kaya trombosit.
Trombus ini akan menyumbat liang pembuuh darah coroner, baik secara
total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh coroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat
gangguan aliran darah coroner. Berkurangnya aliran darah coroner

2
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).
Syndrome coroner akut dibagi menjadi:
- Infark miokard dengan elevasi segmen ST
- Infark miokard dengan non elevasi segmen ST
- Angina pectoris tidak stabil
c. Faktor Resiko
Penilaian risiko harus dimulai dengan penilaian terhadap
kecenderungan penyakit jantung koroner (PJK). Lima faktor terpenting
yang dimulai dari riwayat klinis yang berhubungan dengan kecenderungan
adanya PJK, diurutkan berdasarkan kepentingannya adalah, Adanya gejala
angina, riwayat PJK sebelumnya, jenis kelamin, usia, diabetes

d. Algoritma

3
Gambar 2 Algoritma dan Tatalaksana SKA

2. Hiperuresemia
a. Definisi
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam
urat serum di atas normal. Pada sebagian besar penelitian epidemiologi,
disebut sebagai hiperurisemia jika kadar asam urat serum orang dewasa
lebih dari 7,0 mg/dl dan lebih dari 6,0 mg/dl pada perempuan.
Hiperurisemia yang lama dapat merusak sendi, jaringan lunak dan ginjal.
Hiperurisemia bisa juga tidak menampakkan gejala klinis/ asimptomatis.
Dua pertiga dari hiperurisemia tidak menampakkan gejala klinis.
Hiperurisemia terjadi akibat peningkatan produksi asam urat karena diet
tinggi purin atau penurunan ekskresi karena pemecahaan asam nukleat
yang berlebihan atau sering merupakan kombinasi keduanya

4
b. Patofisiologi
Hiperurisemia di sebabkan oleh dua faktor utama yaitu meningkatnya
produksi asam urat dalam tubuh, hal ini di sebabkan karena sintesis atau
pembentukan asam urat yang berlebihan. Produksi asam urat yang
berlebihan dapat di sebabkan karena leukimia atau kanker darah yang
mendapat terapi sitostatika. Faktor yang kedua adalah pengeluaran asam
urat melalui ginjal kurang (gout renal), gout renal primer di sebabkan
karena ekskresi asam urat di tubuli distal ginjal yang sehat, dan gout renal
sekunder di sebabkan ginjal yang rusak, misalnya pada glomerulonefritis
kronis, kerusakan ginjal kronis (chronic renal failure). Serangan atritis gout
akut ditandai dengan nyeri hebat, nyeri sentuh/tekan, onset tiba-tiba,
disertai bengkak dengan atau tanpa eritema yang mencapai puncak dalam 6
– 12 jam pada satu sendi (monostritis akut). Manifestasi klinis gout yang
tipikal,, yaitu podagra berulang diserat hiperurisemia. Penegakan diagnosis
gout akut, gout interkritikal, gout kronis dapat ditegakkan dengan kriteria
ACR/EULAR 2015. Kadar asam urat serum merupakan faktor risiko
penting gout, namum nilai kadarnya dalam serum tidak dapat memastikan
maupun mengekskludi adanya gout oleh karena banyak orang mengalami
hiperurisemia namun tidak menderita gout, disamping itu serangan gout
akut sangat mungkin terjadi saat kadar serum akan normal.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi hiperurisemia
- Nutrisi
Purin adalah salah satu senyawa basa organik yang menyusun asam
nukleat atau asam inti dari sel dan termasuk dalam kelompok asam
amino, unsur pembentuk protein. Makanan dengan kadar purin tinggi
(150 – 180 mg/100 gram) antara lain jeroan, daging baik daging sapi,
babi, kambing atau makanan dari hasil laut (sea food),
kacangkacangan, bayam, jamur, kembang kol, sarden, kerang,
minuman beralkohol.
- Obat-obatan
Obat-obatan diuretika (furosemid dan hidroklorotiazida), obat kanker,
vitamin B12 dapat meningkatkan absorbsi asam urat di ginjal
sebaliknya dapat menurunkan ekskresi asam urat urin.
- Obestitas
Kelebihan berat badan (IMT ≥ 25kg/m²) dapat meningkatkan kadar
asam urat dan juga memberikan beban menahan yang berat pada
penopang sendi tubuh. Sebaiknya berpuasa dengan memilih makanan
rendah kalori tanpa mengurangi konsumsi daging (tetap memakan
daging berlemak) juga dapat menaikkan kadar asam urat. Diet makanan

5
rendah kalori dapat menyebabka kelaparan sehingga
menyebabkanhiperurisemia.
- Usia
Meskipun kejadian hiperurisemia bisa terjadi pada semua tingkat
usianamun kejadian ini meningkat pada laki – laki dewasa berusia ≥ 30
tahun dan wanita setelah menopause atau berusia ≥ 50 tahun, karena
pada usia ini wanita mengalami gangguan produksi hormon estrogen.
d. Algorithma terapi hiperurisemia

Gambar.1 Algoritma Rekomendasi Pengelolaan Hiperurisemia pada


pasien Gout2

3. Diabetes Mellitus
a. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-keduanya. Diabetes Melitus adalah penyakit yang
ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan
secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin.Gejala yang
dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria,
polifagia, penurunan berat badan, kesemutan. Diabetes Melitus Tipe 2

6
yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan
glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl

b. Patofisiologi
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut:
1. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver
Pada penderitaDM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam selotot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide

7
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM
tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-αberfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan
basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor
glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

8
c. Faktor Resiko
- Berat badan lebih dan obese (IMT > 25 kg /m2)
- Riwayat penyakit DM keluarga
- Mengakami hipertensi (td >140/90 mmHg atau sedang dalam terapi
hipertensi)
- Riwayat melahirkan bayi PBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis
DM Gastrointestinal Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic
ovary syndrome).
- Riwayat GDPT (glukosa darah puasa terganggu)/ TGT (toleransi
glukosa terganggu).
- Aktivitas jasmani yang kurang.
d. Algoritma

Gambar 5 Algoritma Diabetes Mellitus Tipe II4

4. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas
di Indonesia. seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan yang berulang. Berikut klasifikasi hipertensi berdasarkan A

9
Statement by the American Society of Hypertension and the International
Society of Hypertension 2013.

b. Patofisiologi
- Peran volume intravascular
Volume intravascular merupakan determinan utama untuk
kestabilan tekanan darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan
TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan
NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam
keluar Bersama urin ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya
mengekskresi NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal, maka
ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravascular meningkat.
Pada gilirannya cardiac output (CO) akan meningkat. Akibatnya terjadi
ekspansi volume intra vascular, sehingga tekanan darah akan
meningkat. Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga meningkat, lalu
secara berangsur CO akan menurun menjadi normal lagi akibat
autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun,
sebaliknya bila TPR vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat.

Gambar 1.1 Peranan Volume Intravascular.

- Peran kendali saraf autonom

10
Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah system
saraf simpatis, yang menstimulasi saraf visceral (termasuk ginjal)
melalui neurotransmitter: katekolamin, epinefrin, maupun dopamine.
Sedang saraf parasimpatis ialah yang menghambat stimulasi saraf
simpatis. Regulasi saraf simpatis dan parasimpatis berlangsung
independen tidak dpengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi
secara automatis mengikuti siklus sirkadian.
Ada beberapa reseptor adenergik yang berada di jantung, otak,
ginjal, serta dinding vascular pembuluh darah ialah reseptor  α1, α2,
β1, β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata jika
dihambat dengan β blocker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan
memicu terjasinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida.
Karena pengaruh pengaruh lingkungan misalnya genetik, stress
kejiwaan, rokok, dan sebagainya akan terjadi aktivasi system saraf
simpatis berupa kenaikan katekolamin, norepinefrin dan sebagainya.
Selanjutnya neurotransmitter ini akan meningkatkan denyut jantung
(HR) lalu diikuti degan kenaikan CO, sehingga tekanan darah akan
meningkat dan akhirnya dan mengalami agregasi platelet. Peningkatan
neurotransmitter NE ini akan berefek negetif terhadap jantung, sebab
reseptor α1, β1, β2 yang akan memicu terjadinya kerusakan miokard,
hipertrofi dan aritmia dengan akibat progresivitas dari hipertensi
aterosklerosis.Karena pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor
α1 maka bila NE meningkat akan memicu vasokonstriksi sehingga
hipertensi sterosklerosis juga semakin progressive. Pada ginjal NE juga
berefek negatif, sebab di ginjal ada reseptor α1, β1 yang akan memicu
terjadinya retensi natrium, mengaktivasi system RAA, memicu
vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis
juga makin progresif.. Selajutnya jika NE kadarnya tidak pernah
normal, maka sindroma hipertensi aterosklerosis juga akan berlanjut
makin progresif menuju kerusakan organ target.

11
Gambar 1.2 Peran Kendali Saraf Autonom.
- Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Bila tekana darah menurun hal ini akan memicu refleks
baroreseptor. Berikutnya secara fisiologi system RAA akan dipicu
mengikuti kaskade, yang mana pada akhirnya renin akan disekresi,lalu
angiotensin I, angiotensin II dan seterusnya sampai tekana darah
meningkat Kembali. Begitulah secara fisiologi autoregulasi tekanan
darah terjadi melalui aktifasi system RAA.
Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentikan
angiotensinogen yang dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan
dirubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh macula
densa apparat juxta glomerulus ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah
menjasi angiotensin II oleh enzim ACE. Akhirnya angiotensin II ini
akan bekerja pada reseptor reseptor yang terkait dengan tugas proses
fisiologinya ialah direseptor AT1, AT2, AT3, AT4.
Faktor yang tidak dikelola akan memicu system RAA. Tekanan
darah makin meningkat, hipertensi sterosklerosis makin progresif.
Ternyata yang berperan utama untuk progresifitas adalah angiotensin
II.

Gambar 1.3 Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron.

- Peran Dinding Vascular Pembuluh Darah


Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit
yang berlanjut terus menerus sepanjang umur. Paradigma yang baru
tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel lalu berlanjut
menjadi disfungsi vaskuar, lalu berakhir dengan TOD.

12
Hipertensi ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu gejala
sebuah sindroma penyakit yang disebut sebagai “the atherosclerotic
Syndrome” sebab pada hipertensi sering disertai gejala gejala lain
berupa resistensi insulin, obesitas, mikroalbuminuria, disfungsi endotel,
dislipidemia, hipertrovi ventrikel kiri, gangguan simpatis dan
parasimpatis. Aterosklerosis ini akan beakhir menjadi kejadian kardio
vascular. Progresifitas aterosklerosis dimulai dengan faktor resiko yang
tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin berubah,

hipertensi makin meningkat serta vascular biologi berubah, dinding


pembuluh darah menebal dan akan mengalami kerusakan berupa lesi
vascular dan remodelling dan akan mengakibatkan inflamasi,
vasokonstriksi, thrombosis, dan ruptur plak/ erosi plak.

Gambar 1.4 Peran Dinding Vascular Pembuluh Darah.

13
c. Algoritma

Gambar: Algoritma Penanganan Hipertensi menurut JNC 8.

14
15
C. PENATALAKSANAAN KASUS

S O A P
- Nyeri ulu hati  Farmakologi
- Mual

- Pusing saat berjalan TD Hipertensi grade 2  Non-Farmakologi


- RPD hipertensi (+) -149/101 - Penurunan BB
-150/100 - Adopsi pola makan DASH
-170/100 - Restriksi garam harian
-160/90 - Aktivitas fisik intensitas sedang
-160/90 - Pembatasan konsumsi alcohol
- Berhenti merokok
 Farmakologi
- CCB: Amlodipin 1x5mg/hari tab pc.
- ACE-i: Captropil 2x12,5mg/hari tab ac.
Asam urat 7,6 mg/dL Hiperuresemia  Non-Farmakologi

15
- Menghindari makanan berlemak
- Diet rendah lemah
- Modifikasi gaya hidup

16
GDS 217 mg/dL Diabetes melitus tipe 2  Non-Farmakologi
GDP 153 mg/dL - Pola hidup sehat
GD2PP 204 mg/dL  Farmakologi
- Metformin
Troponin (-) Suspek Penyakit Jantung Koroner  Farmakologi
LDH 278 U/L
CKMB 15 U/L

17
D. PEMBAHASAN
1. Obat SKA

2. Terapi hiperurisemia
Hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan modifikasi gaya
hodup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umjm pengelolaan
hiperurisemia dan gout. Penggunaan terapi penurunan asam urt pada
hiperurisemia tanpa gejala klinis masih kontroversial. The European League
Againt Rheumatism (EULAR), America Collengue of Rheumatology (ACR)
dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan penggunaan
terapi untuk penurunan asamurat engan pertimbangan keamanan dan
efektivitas terapi tersebut. Sedangkan asosiasi jepang menganjurkan pemberian
obat penurun asam urat pada pasien hiperurisemia asimtomatik dengan kadar
urat serum >9 atau kadar asam urat serum >8 dengan faktor risiko
kardiovaskular (gangguan ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit
jantung iskemik).
Pasien mengalami hiperurisemia tanpa gejala. Rekomendasi pengelolaan
hiperurisemia tanpa gejala klinis berupa pilihan tatalaksana untuk
memodifikasi gaya hidup. Pada buku pedoman IRA tidak menganjurkan
pemberian obat penurun asam urat secara rutin dengan pertimbangan risiko
dan efektivitas obat penurun asam urat tersebut.
Prinsip terapi gout adalah manghilangkan periode akut yang di
karakteristikan pasada respon inflamasi dari endapan Kristal urat . hal ini bisa
di netralkan dengan NSAIDs yaitu kolkisin atau glucocorticoidi s. namun bila
terdapat kontraindikasi dari pemakaian kolkisin dan NSAIDs maka dapat
menggunakan kortokosteroid.
Rekomendasi obat untuk serangan gout akut yang jinsetnya <12 jm adalah
dengan pemberian kolkisin dengan dosis awal 1 mg diikuti 1 jam kemudia 0.5
mg. bisa juga menggunakan NSAIDs, Kortikosteroid oral ada /atau bila
dibutuhkan aspirasi sendi diikuti ijeksi kortikosteroid. Namun kolkisin tidak
boleh diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat dan juga
tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat terapi penghambat P-
glikoprotein dan/atau CYP3A4 seperti siklosporin atau klaritromisin.
Rekomendasi pengelolaan gout pada pasien gangguan fungsi ginjal. Pasien
dengan gangguan fungsi ginjal berat dan mengalami serangan gout akut dapat
diberikan kortikosteroid oral dan injeksi intraartikuler. Bila nyeri masih belum
teratasi dapat ditambahkan analgesia golongan opioid.

18
Perubahan gaya hidup adalah attalaksana optimal untuk penyakit gout baik
yang membtuhkan tatalaksana farmakologi maupun non farmakologi.
Tatalaksana nonfarmakologi meliputi edukasi pasien, perubahan gaya hidup
dan tatalaksana terhadap penyait komorbid antara lain hipertensi, dyslipidemia,
dan diabetes mellitus.
- Diet
Pasien yang modifikasi pola makan untuk memiliki berat badan ideal.
asien overwight haHindari makanan yang mengandung tinggi purin
tinggi seperti hati, ampela, ginjal, jeroan, dan ekstrak ragi. Demikian
pula minuman yang tinggi purin seperti alcohol dan bentuk bird an
fortified wines.
Pengaturan diet disarankan untuk menjaga berat badan yang ideal. Diet
yang ketatt dan tinggi protein sebiknya dihindari. Pasien harus
terhidrasi dengan baik dengan meminum air >2liter per hari.
- Latihan fisik
Latihan fisik sedang harus dimaksukan dalam upaya penanganan pasien
gout, namun latihan yang berebihan dan berisiko trauma sendi wajib
dihindari.
Rekomendasi diet untuk pasien gout

19
Jenis-jenis obat penurun kadar serum

3. Metformin (untuk DM tipe 2)


Mekanisme kerja metformin
Metformin obat antihiperglikemid golongan biguanid di gunakan DM tipe
2, Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer tanpa
menyebabkan hipoglikemia. Metformin adalah antihiperglikemia oral
golongan biguanid mekanisme utamanya adalah meurunkan kadar glukosa
guna menurunkan penurunan glukoneogenesis hati. Fosforilasi protein CREB
menghasilkan penurunan ekspresi gen untuk glukoneogenesis dan menurunkan
lemak bebashasil glukoneogenesis substrat, dilain hal ini metformin
meniingkatkan insulin-mediated glukosa uptake di jaringan perifer. Metformin
di absorbsikan di saluran cerna. Dosis Metformin diturunkan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 3060 ml/menit/1,73 m2). Metformin

20
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti: GFR<30mL/menit/1,73
m2, adanya ganguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,PPOK,gagal
jantung [NYHA FC III-IV]).Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
a. Indikasi
Dosis rendah 500 mg perharidi tingkatkan secara bertahapsetelah 2-3
minggu dengan penambahan 500 mg perminggu sampai kontrol gula darah
tercapaia atau tidak melebihi dosis maksimum 2.550 mg per hari atau
dengan pemberian metformin 500 mg berupa sedian lepas
b. Kontraindikasi
Tidak boleh di berikan pada pasien ganguan hepar, sepsis dan gagal ginjal
karena menimbulkan faktor resiko asidosis laktat.
c. Dosis obat
Metformin 500 mg No. XX PO S 2 dd 1 pc
d. Efek samping
Dispepepsia, diare dan peningktaan asam laktat karena pada pasien
ganguan fungsi ginjal berat metformin akan berakumulasi di mitokondria
dan menghambat fosforilasi oksidatif sehingga timbulah peningktaan asam
laktat. Asidosis laktat terjadi pada pasien sepsis dan tanda kerusakan organ.
e. Hubungan obat dengan data klinik pasien
Berikut adalah interaksi obat metformin dengan obat-obat lain jika
digunakan secara bersamaan :
Dalam studi yang dilakukan di China, dipaparkan efikasi terapi kombinasi
antara glibenklamidmetformin terhadap pasien DM tipe 2 dengan
mengukur kadar gula darah puasa (GDP) dan HbA1C dan dibandingkan
dengan monoterapi glibenklamid dan metformin sendiri.
Pada pemberian terapi kombinasi metformin dan sulfonilurea didapatkan
penurunan kadar glukosa darah yang jauh lebih banyak ketimbang dengan
monoterapi, sedangkan terjadi penurunan nilai HbA1c yang cukup
signifikan dengan pemberian terapi kombinasi ini. Pemberian terapi
kombinasi lebih efektif dalam mengontrol hiperglikemia dibandingkan
dengan monoterapi pada pasien dengan glukosa darah tidak terkontrol.
Terapi kombinasi dengan dosis 2.5 mg/500 mg menghasilkan penurunan
lebih besar HbA1c dibandingkan monoterapi (-1.77%, p<0.001 dan
-1.34%, p=0.002) dan terapi kombinasi dengan dosisi 5 mg/500 mg
menghasilkan penurunan HbA1C secara signifikan (-1.73%, p<0.001 dan
-1.30%, p= 0.005)

21
Terapi kombinasi metformin-sulfonilurea memang memiliki efikasi
baik dalam pengontrolan kadar glukosa darah puasa, namun dalam
pemberian obat jangka panjang tanpa memerhatikan asupan makanan
pasien, pemberian terapi kombinasi ini pun dapat menyebabkan keadaan
hipoglikemia dan keluhan terkait saluran pencernaan. Pemberian
sulfonilurea saja dapat menyebabkan keadaan hipoglikemia pada pasien,
hal ini disebabkan mekanisme kerja obat yang meningkatkan sekresi
insulin itu sendiri sehingga pasien dapat jatuh dalam keadaan hipoglikemia.
Sedangkan pemberian metformin dalam dosis besar dapat menimbulkan
efek samping berupa gangguan gastrointestinal.
Berikut adalah interaksi obat metformin dengan makanan jika
digunakan secara bersamaan :
Metformin diabsorbsi di saluran cerna. Absorbsi metformin tidak
optimal bila dikonsumsi saat makan. Metformin dieksresikan dalam urin
dan ASI tanpa diubah dan tanpa adanya produk metabolit.
f. Hubungan obat denagan umur paien
Pada usia yang terdapat penurunan fungsi organ ginjal karena karakteristik
farmakokinetika dari metformin adalahsebesar 90% di ekresikan dalam
bentuk tidak berubah melalui urin. Faktor cara minum obat di sertai makan
dan minum dengan dosis yang rendah dan titrasi lambat tidak melebihi
dosis maksimum harian (> 2.550 g/hari) dapat meminimalkan frekuensi
efek samping metformin.
g. Aturan pakai dan dosis
Obat metformin di sarankan untuk di wali dengan dosis rendah yaitu 500-
850 mg untuk menghindari atau meminimalkan keluhan efek samping
ganguan pada gastrointestinal, di sarankan untuk di minum sesudah makan
untuk mengurangi kejadian efek samping metformin.
h. Lama penggunaan metformin
Sampai HbA1C normal dalam tiga bulan. (Normal: jumlah HbA1c di
bawah 5,7%.)
i. ADME
 Absorbsi
Bioavailabilitas absolut dari metformin hidroklorida tablet 500 mg,
diberikan pada kondisi pasien berpuasa, adalah sekitar 50% ‒ 60%.
Makanan menurunkan kecepatan absorpsi metformin.Waktu puncak
plasma sediaan regular adalah 2-3 jam, sedangkan sediaan extended
release adalah 4-8 jam.Konsentrasi plasma secara stabil dapat dicapai
dalam waktu 24‒48 jam, umumnya <1 µg/mL. Pada uji klinis, pemberian
metformin hidroklorida tablet, bahkan pada dosis maksimum sekalipun,

22
kadar plasma maksimum tidak melebihi 5 mcg/mL Pada dosis reguler, efek
maksimum metformin dapat terjadi dalam dua minggu
 Distribusi
Ikatan metformin dengan protein plasma adalah minimal, dan dapat
diabaikan. Volume distribusi: 650 L, pada obat kerja reguler. Metformin
dapat terdistribusi masuk ke dalam eritrosit.
 Metabolisme
Metformin tidak melalui efek lintas pertama di hepar.
 Eksresi
Renal clearance berkisar 3,5 kali lebih besar daripada creatinine
clearance. Pada penggunaan tablet metformin kerja reguler, renal
clearance sekitar 450‒540 mL/menit.Ekskresi metformin 90% terjadi di
urin, dalam bentuk tidak berubah. Sekitar 90% dari dosis obat yang
diabsorpsi, diekskresikan ke urin dalam waktu 24 jam pertama, setelah
konsumsi metformin per oral. Waktu paruh plasma sekitar 6,2 jam. Waktu
paruh dalam darah adalah sekitar 17,6 jam. Hal ini berkenaan dengan
massa eritrosit yang dapat menjadi kompartemen dalam pendistribusian
obat ini.

4. Amlodipin (hipertensi)
Mekanisme kerja
Antagonis kalsium menghambat influx kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbilkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Golongan
dihidropiridin bersifat vaskuloselektif yakni berefek langsung pada nodus AV
dan SA minimal, menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi
jantung yang berarti, dan relatif aman dalam kombinasi dengan beta blocker.
a. Indikasi Obat
Antagonis kalsium kerja pendek sangat bermanfaat untuk mengatasi
hipertensi darurat. Sedangkan amlodipin dan sediaan lepas lambat lainnya
terjadi secara pelan pelan sehingga dapat mencegah penurunan tekanan
darah yang mendadak dan aman untuk pasien dengan penyakit jantung
coroner.
b. Kontra indikasi
Pemakaian antagonis kalsium nifedipine kerja cepat menyebabkan resiko
infark miokard sehingga tidak dianjurkan untuk pasien hipertensi dengan
penyakit jantung coroner.

23
c. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan data laboratorium
Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolic terhadap
lipid, gula darah maupun asam urat sehingga bagus untuk digunakan oleh
pasien dengan peningkatan kadar asam urat dan peningkatan GDP dan
GDS.
d. Aturan pemkaian obat dan dosis obat
Amlodipin tersedia dalam tab 5 dan 10mg. Dosis yang digunakan biasanya
1x 2,5-10mg/hari.
e. Efek samping obat
Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri meningeal dan
di daerah muka, dan hyperplasia gusi.
f. Hubungan umur pasien dengan obat
Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar
renin yang rendah seperti pada usia lanjut.
g. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien
Absorbsi amlodipine dan sediaan lepas lambat antagonis kalsium tekanan
darah turun secara pelan pelan sehingga tidak akan mencetuskan iskemia
miokard pada penyakit jantung coroner.
h. Interaksi obat
Amlodipine baik jika dikombinasi dengan ACEi dan B blocker karena
memiliki sifat vaskuloselektif.
i. Lama penggunaan obat
Sampai target TD tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, menurut
JNC 8 <150/90 untuk usia lebih dari 60 tahun.
j. ADME
Absorbsi amlodipine terjadi secara pelan sehingga mencegah penurunan
tekanan darah secara mendadak. Distribusi: bioavailabilitas oral yang
relative tinggi dibanding antagonis kalsium lain. Metabolisme: di hati.
Eksresi: antagonis kalsium hanya sedikit yang dieksresi dalam bentuk utuh
lewat ginjal.

5. Captopril (hipertensi)
Mekanisme kerja
ACEi menghambat perubahan Ang I menjadi Ang II sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosterone. Selain itu, degradasi
bradykinin juga dihambat sehingga kadar bradykinin dalam darah meningkat
dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-i. Vasodilatasi secara langsung
akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosterone akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium.

24
a. Dosis obat
Captropil tersedia dalam tab 12,5 dan 25mg. dosis yang digunakan
biasanya 2-3x25-100mg/hari.
b. Hubungan umur pasien dengan obat
ACEi efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang tinggi, normal, dan
yang rendah seperti pada usia lanjut.
c. Hubungan pengobatan dengan data klinik dan data laboratorium
ACEi menunjukan efek positive terhadap lipid darah dan mengurangi
resistensi insulin.
d. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien
ACEi efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat dan berfungsi
mengurangi resistensi insulin dan berefek positif pada lipid darah sehingga
baik untuk diabetes, dislipidemia, obesitas, dan penyakit jantung coroner
e. Interaksi obat
Kombinasi dengan diuretic memberikan efek sinergistik, sedangkan efek
hipokalemia diuretic dapat dicegah. Kombinasi dengan beta bloker
memberikan efek aditif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk
prazosin dan antagonis kalsium, memberi efek yang baik. Tetapi pemberian
Bersama penghambat adrenergik lain yang dapat menghambat adrenergic
alfa dan beta (misanya klonidin, metildopa, labetalol atau kombinasi alfa
dengan beta bloker) sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan
hipotensi berat dan berkepanjangan.
f. Efek terapetik atau indikasi obat
ACEi efektif pada hipertensi ringan, sedang, berat, diabetes, dislipidemia,
obesitas, penyakit jantung coroner.
g. Kontra indikasi
Pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral
pada ginjal tunggal ACE-I dapat memperburuk fungsi ginjal. Penurunan
tekanan filtrasi glomerulus pada keadaan stenosis arteri renalis dapat
menimbulkan kegagalan filtrasi.
h. Efek samping obat
Batuk kering sering terjadi dengan insidens 5-20% barkaitan dengan
peningkatan bradykinin, hipotensi dapat terjadi pada awal pemberian
ACEi, hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal
akibat stenosis arteri renalis.
i. Lama penggunaan obat
Sampai target TD tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, menurut
JNC 8 <150/90 untuk usia lebih dari 60 tahun.

25
j. ADME
Absorbsi: pemberian bersama makanan akan mengurangi efek absorbsi.
Distribusi: dalam pemberian oral dengan bioavailabilitasnya 70-75%.
Metabolisme: di hati. Eksresi: melalui ginjal.

E. RESEP

dr.X
SIP: ....................
Alamat: Cirebon

Mei 2020
R/ Amlodipin 5 mg tab No. XVI
∫ 1 dd tab 1 pc

R/ Captropil 12,5 mg tab No. XXVIII


∫ 2 dd tab 1 ac

R/ Metformin 500 mg No. XX PO


∫ 2 dd 1 pc

R/ nama obat ke 3 dst


∫ Aturan pakai dengan jelas

R/ nama obat ke 3 dst


∫ Aturan pakai dengan jelas

Pro : Ny. S
Umur : 73 Tahun
Alamat : Cirebon

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Dianati NA. Gout and Hyperurisemia. Volume 4. Nomor 3. Faculty of Medicine ;
University of Lampung. 2015
2. Perhimpunan Reumatologi Indoneisa. Pedoman diagnosis dan Pengelolaan Gout.
Jakarta. 2018
3. Setiati A, alwi I, Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Ed. VI.
Jakarta: InternaPublishing; 2017.
4. Gunawan S, Nafrialdi R, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Edisi 6. Jakarta:
Balai Penebit FK UI; 2016.
5. James P, Oparil S, Carter B. 2014 Evidence Based Guideline for the Management
of High Blood Pressure in Adults. Report From the Panel Members Appointed to
the Eight Joint National Committee (JNC 8). JAMA: 2014.

27

Anda mungkin juga menyukai