Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibriadenomatosa majemuk dalam prostate, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian
periuretral sebagai proliperasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar
normal yang tersisa (Sylvia A. Porice, 2010).
Pembesaran prostat jinak merupakan suatu penyakit yang dialami oleh kaum pria.
Pada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun, kelenjar prostatnya mengalami
pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine
dengan menutup orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai prostat jinak (Smeltzer,
2010).
Penyebab pembesaran kelenjar prostat belum diketahui secara pasti, tetapi ada
yang mempengaruhi terjadinya pembesaran prostat yaitu faktor resiko umur dan
hormon androgen. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron dan estrogen karena produksi estrogen menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan mikroskopik
pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini
berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50
tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun 80%. Sekitar 50% dari
angka tersebut menyebabkan gejala dan tanda klinis (Sjamsuhidajat, 2010).
Pada penyakit pembesaran prostat, gejala-gejala yang dialaminya adalah gejala
iritatif dan obstruktif yang dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS).
Pada gejala iritatif seperti sering miksi, terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak(urgensi), dan nyeri pada saat
miksi (disuria). Sedangkan pada gejala obstruktif meliputi pancaran melemah, miksi
terputus-putus (intermittency), dan miksi harus menunggu lama (Purnomo, 2013).
Penanganan pada penyakit pembesaran prostat dilakukan dengan rencana pengobatan
bergantung pada penyebab, keparahan obstruktif, dan kondisi pasien. Hal ini pada
kondisi pasien yang mengalami kegawatdaruratan di rumah sakit karena tidak bisa
berkemih, maka dilakukan tindakan keperawatan dengan kateterisasi dan bila
memungkinkan dilakukan pembedahan yaitu dengan prostatektomi (Smeltzer, 2005).
Jumlah penderita BPH pada tahun 2010 di dunia diperkirakan sekitar 30 juta jiwa,
jumlah ini menunjukkan hanya pada kaum pria karena kaum wanita tidak mempunyai
kelenjar prostat, oleh sebab itu BPH hanya terjadi pada kaum pria saja (Emidicine,
2010 dalam ML Hamawi, 2010). Dari jumlah insiden penyakit BPH didunia
dikategorikan menurut usia. Pada usia 40 tahun kemungkinan seseorang menderita
penyakit BPH adalah 40%, dalam rentang usia 60 tahun hingga 70 tahun presentasenya
meningkat menjadi 50% dan usia diatas 70 tahun presentasenya bisa mencapai 90%.
Di Indonesia pada tahun 2005 penyakit pembesaran prostat menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, jika dilihat secara umum diperkirakan 3 hampir
50% pria di Indonesia yang berusia diatas 50 tahun mengalami penyakit pembesaran
prostat (A.K. Abbas, 2012 dalam ML Hamawi, 2010).
Dalam penelitiannya faktor-faktor resiko yang tidak dapat diubah terjadinya BPH
adalah faktor usia dan riwayat keluarga, sedangkan faktor resiko yang dapat diubah
dalam kehidupan sehari-hari seperti aktivitas seksual, pola makan tinggi lemak,
obesitas, kurang olahraga, kurangnya konsumsi makanan tinggi serat dan kebiasaan
merokok. Dari data di Jawa Tengah khususnya di Semarang survai yang dilakukan
adalah berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (PA) dan (USG) mencapai 104
pasien yang didiagnosa penyakit pembesaran prostat jinak (Amelia, 2008). Dari survey
yang saya lakukan pada tanggal 23 Juni 2014, kejadian BPH di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga selama tahun 2014 dari bulan Januari – Juni sebanyak 57
pasien BPH (Rekam Medik RSGT, 2014). Diketahui bahwa sering munculnya keluhan
nyeri, pengeluaran urine tidak lancar dan pembesaran prostat menunjukkan tanda
gejala BPH yang sering dikeluhkan oleh pasien. Masalah yang harus dikhawatirkan
pada pasien BPH yaitu komplikasi dari penyakit tersebut. Gangguan-gangguan sistem
lain seperti saluran kemih yang terinfeksi karena kuman patogen berkembang dalam
kandung kemih disebabkan kembalinya urine dari kandung kemih ke ginjal, hal
tersebut terjadi karena pembengkakan prostat atau BPH.
Ketidakmampuan melakukan pencegahan terjadinya pembesaran prostat,
ketidakmampuan mengenal tanda gejala BPH mengakibatkan keparahan yang
mungkin terjadi. Tindakan pencegahan kekambuhan serta peningkatan rasa nyaman
harus dilakukan sesuai tingkat keparahan dari penyakit. Tetapi pada umumnya BPH
perlu dilakukan pembedahan untuk pengambilan kelenjar prostat yang mengalami
hiperplasia, oleh karena itu memerlukan asuhan keperawatan yang tepat,
berkesinambungan dan bersifat holistik.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan rumusan masalah “Bagaimana
Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Pasien dengan BPH di Instalasi Bedah Sentral
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?”
1.2 Tujuan Penulisan
Didapatkan kemampuan menyusun laporan pendahuluan dan asuhan
keperawatan tentang BPH.
1.3.1 Tujuan Khusus
Mampu menerapkan proses keperawatan dengan masalah :
1.2.1.1 Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan BPH
1.2.1.2 Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan BPH
1.2.1.3 Merumuskan intervensi/perencanaan keperawatan pada pasien dengan
BPH
1.2.1.4 Melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan BPH.
1.2.1.5 Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan cholelithiasis.
1.2.1.6 Membuat dokumentasi keperawatan pada pasien dengan BPH
1.3 Manfaat
Manfaat dalam penulisan ini terbagi menjadi teoritis dan praktis yaitu sebagai
berikut:
1.3.1 Teoritis
Adanya asuhan keperawatan ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan dapat menjadi bahan masukan dan informasi serta sebagai bahan
pembelajaran dan untuk memperkuat teori serta meningkatkan mutu profesi
keperawatan dalam melaksanakan asuhan keperawatan dengan Benigna Prostat
hiperplasia
1.3.2 Praktis
1.3.2.1 Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Manfaat penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan teknologi
dilaksanakan sebagai kosntribusi dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan serta dapat diaplikasikan dalam asuhan keperawatan.
1.3.2.2 Bagi Mahasiswa
Manfaat asuhan keperawatan ini diharapkan mahasiswa dapat
mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan tentang
keperawatan yang didapat selama pendidikan dengan kenyataan yang
ada di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat biasanya
diiringi dengan bertambahnya usia pada seorang pria, membesarnya prostat
menyebabkan fungsi leher buli dan uretra pars prostatika menjadi terganggu,
menimbulkan obstruksi saluran keluar buli. ( Iskandar, 2013)
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang
menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan
menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin.( Aulawi, 2014)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan benigna prostat hiperplasia adalah
pembesaran pada kelenjar prostat yang sebagian besar dialami laki-laki lanjut usia
ditandai dengan gejala sering kencing dan retensi urin.
2.2 Etiologi
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa pembesaran prostat terjadi akibat
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan, tetapi sampai saat
ini belum di ketahui pasti penyebab terjadinya BPH.
Selain faktor peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan ada
beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat, yaitu
:
1. Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stoma kelenjar prostat

yang disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor andorogen. (

Muttaqin, 2014)

2. Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen dimana

terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga

mengakibatkan pembesaran pada prostat. ( Muttaqin, 2014)

3. Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth factor atau

fibroblast growth factor dan penurunan transforming factor beta menyebabkan

hiperplasia stroma dan epitel. ( Muttaqin, 2014)

4. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma dan

epitel dari kelenjar prostat. ( Muttaqin, 2014)

5. Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi

berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan

proliferasi sel sel prostat.

2.3 Manifestasi klinis

Tanda gejala yang muncul pada pasien penderita Benigna Prostat Hiperplasia

adalah :

1. Kesulitan mengawali aliran urine karena tekanan pada uretra dan leher

kandung kemih. (Aulawi, 2014)

2. Frekuensi perkemihan, sering kencing arean tekanan pada kandung kemih.

(Aulawi, 2014)
3. Urgensi perkemihan, perlu segera kekamar mandi karena tekanan pada

kandung kemih. (Aulawi, 2014)

4. Nocturia adalah sering bangun malam hari untuk kencing karena tekanan pada

kandung kemih. (Aulawi, 2014)

5. Turunya kekuatan aliran air kemih. (Aulawi, 2014)

6. Aliran urine keluar yang tidak lancar. (Aulawi, 2014)

7. Hematuria adalah kondisi dimana urine keluar bercampur darah. (Aulawi,

2014)

2.4 Pafisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring dengan pertambahan usia
pada proses penuaan menimbulkan perubahan keseimbangan antara hormon
testosteron dan estrogen keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran prostat, jika
terjadi pembesaran prostat maka dapat meluas ke kandung kemih, sehingga akan
mempersempit saluran uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran urine.
Penempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada intravesikal.
Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot detrusor dan kandung
kemih akan berkontraksi lebih kuat saat memompa urine, penegangan yang terjadi
secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli buli berupa :
pembesaran pada otot detrusor, trabekulasi terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel
kandung kemih. Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik
urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal.(Muttaqin, 2014)
Salah satu upaya pengobatan pada penderita benigna prostat hiperplasi adalah
pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut bagian bawah,
kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat yang mengalami pembesaran,
untuk mencegah pembentukan pembekuan darah dialirkan cairan via selang melalui
kandung kemih, selang biasanya dibiarkan dalam kandung kemih sekitar 5 hari setelah
operasi dan kemudian dikeluarkan jika tidak ada pendarahan.
2.5 woc

Idiopatik, penuaan

Perubahan kseimbangan estrogen & testosteron

Produksi testosteron metrogen menurun dan estrogen meningkat

Simulasi sel stroma yg


BPH Berpoliferasi
dipengaruhi infeksi

Stimulasi sel stroma oleh pengaruh GH

Pre operasi Post operasi

Pembesaran prostat Kurangnya informasi pasca bedah prostalektomi

Penyempitan uretra pars prostat Trauma


Kurangnya Kurangnya bekas insisi
pengetahuan perawatan
Urine terhambat Nyeri
BAK perdarahan
Bakteri mudah
Tekanan intravesika masuk

Resiko tinggi
retensi VU Retensi urine Destensi VU
Resiko tinggi kekurangan
infeksi cairan
Otot2 destrusor menebal Nyeri Akut

Terbentuknya gelisah Terjadi


sakula/trabekula obstruksi

Kondisi tubuh PK Anemia


Kemampuan fungsi VU tdk baik Retensi urine

Intoleran
Cemas
aktivitas
Sensitivitas VU

Gangguan pola
Upaya berkemih eliminasi urine
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sjamsuhidajat (2010), pemeriksaan penunjang dari BPH yang dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Pemerikasaan radiologi, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat

diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, missalnya batu saluran kemih,

hidronefrosis atau divertikulum kandung kemih. Kalau foto dibuat setelah

miksi dapat dilihat sisa urine. Pembesaran prostat dapat didliihat sebagai lesi

defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung,

pembesaran prostat dapat di perkirakan apabila dasar buli buli pada gambaran

sistogram tampak terangkat atau ujumg distal ureter membelok ke atas

berbentuk seperti mata kail, apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi

ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat

dilakukan sistogram retrograt.

2. Ultrasonografi

Dapat dilakukan trnasabdominal atau transrekta l( transectal ultrasonografy,

TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan

ultrasonografi dapat pula menetukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan

keadaan patologi lain seperti divertilikum, tumor, dan batu. Dengan

ultrasonografy transrektal, dapat diukur berapa besar prostat untuk menentukan

jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan

ultrasonografi suprapubik.

3. Pemeriksaan sistografi

Dilakukan apabila pada anamnese ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan

urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran

kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas

bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika.

Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat
dengan mengukur panjang uretra pars prostaika dan melihat penonjolan prostat

ke dalam uretra.

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan

kualitas hidup, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi

volume residu urine setelah miksi dan mecegah progretifitas penyakit.

1. Watchfull waiting

Terapi ini ditujukan pada pasien dengan keluhan ringan yang tidak

mengganggu aktivitas sehari hari. Pasien tidak diberi terapi apapun tetapi

hanya dijelaskan mengenai keluhan yang dapat memperburuk keluhanya

misalnya , jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan, mengurangi

pengguanaan obat obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,

kurangi makan pedas dan asin, jangan menahan kencing terlalu lama.

2. Medikamentosa

Tujuan terapi medikametosa adalah berusaha untuk: mengurangi resistensi otot

polos postat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika

dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa ( adrenergic alfa blocker ),

mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara menurunkan

kadar hormone testosterone atau dihidrotestosteron ( DHT ) melalui

penghambat 5α reduktase.

a. Penghambat reseptor adrenergic-α seperti:

1) Fenoksibenzamin : mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan

mengurangi keluhan miksi.

2) Prazosin, terazosin, afluzosin dan doksazosin yang diberikan 2x sehari

yang dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine.


3) Tamsulosin : mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan

efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.

b Penghambat 5α-reduktase

Finasteride 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu

menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluuhan miksi dan

pancaran miksi.

c. Fitoterapi

Jenis fitoterapi : Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix

urtica, dll fungsi fitoterapi sendiri adalah anti esterogen, anti androgen, menurunkan

kadar sex hormone binding globulin ( SHBG ), inhibisi basic fibroblast growth factor

( BFGF ) , efek anti inflamasi, menurunkan outflow resistancedan memperkecil

volume prostat.

3. Pembedahan

Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang, mengalami tidak

menunjukkkan perbaikan setelah terapi medikametosa, mengalami retensi urine,

mengalami infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal, timbulnya baru

saluran kemih atau penyakit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah.

Pembedahan yang dapat dilakukan antara lain:

a. Operasi prostatektomi terbuka

Dilakukan pada daerah suprapubik transvesika atau retropubik

infravesikal. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (

>100 gram ). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah

inkontinensia urine (3 %), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan

kontraktur leher buli-buli (3-5%). Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%

dengan angka mortalitas sebanyak 2%.

b. TURP ( Transurethral Resection of the Prostate )


Dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan ( pembilas ) agar

daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang

digunakan berupa laturan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran

listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai yaitu H2O ( aquades ). Kerugian

aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi

sistemik melalui vena yang terbuka saat reseksi. Kelebihan aquades dapat

menyebabkan hiponatremia relative atau gejala intoksikasi air atau sindroma TURP.

Sindrom ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan

darah meningkat, dan bradikardi. Jika tidak segera diatasi pasien akan mengalami

edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas

sindroma TURP sebesar 0,99 %. Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP

tindakan reseksi tidak boleh dilakukan lebih dari 1 jam dan untuk mengurangi

penyerapan air ke sirkulasi sistemik dapat dipasang sistostomi suprapubik dahulu

sebelum reseksi.

c. Elektrovaporisasi Prostat

Cara ini adalah sama dengan TURP, namun cara ini memakai teknik roller ball

yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat

vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak

terlalu besar (<50 gram), tidak banyak menimbulkan perdarahan saat operasi dan masa

mondok di rumah sakit lebih singkat namun membutuhkan waktu operasi yang lebih

lama.

d. TUIP (Transuretheral incision of the prostate) dan BNI ( Bledder Neck Incision

Dilakukan pada hyperplasia prostat yang tidak terlalu besar, tanpa ada

pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya lebih muda. Sebelum

melakukan tindakan ini harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostate


dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal

dan pengukuran kadar PSA.

e. Laser Prostatektomi

Bila dibandingkan dengan tindakan operasi , pemakaian laser ternyata

lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dilakukan secara poliklinis,

penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.

4. Tindakan Invasif Minimal

a. Termoterapi

Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada

frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan didalam

uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44ᵒC menyebabkan destruksi jaringan pada

zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan

secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan. Energy panas yang bersamaan dengan

gelombang mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar

dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat melunakan

jaringan prostat yang membuntu uretra. Mordibitasnya relative rendah, dapat

dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien yang kondisinya kurang baik

jika mengalami pembedahan. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya

kecil.

b. TUNA (Transurethral needle ablation of the prostate)

Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas

sampai mencapai 100ᵒC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini

terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam

uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum

yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih

mengeluh hematuria.
c. Pemasangan Stent (prostacath)

Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi

karena pemebsaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan

disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra

prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer

dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak

mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara

endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy,

nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium

sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau

regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin

menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat

terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya

setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala

iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak didaerah penis.

d. HIFU (High intensity focused ultrasound)

Energy panas yang ditimbulkan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat

berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai

frekuensi 0,5-10 Mhz. energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan

difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis

menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Q maksimal rata-rata

meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara

tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun. Meskipun sudah

banyak modalitas yang telah diketemukan untuk mengobati pembesaran prostat,

sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah TUR prostat.

(B Purnomo Basuki, 2008)

2.8 Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien BPH adalah :

1.Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih.

2.Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis.

3.Gross hematuria dan urienary tract infection.

( Nursalam, 2010)

2.9 Manajemen Asuhan Keperawatan

Fokus pengkajian pada pasien dengan BPH adalah :

1. Kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan, frekuensi urinaria setiap hari,

berkemih padamalam hari, sering berkemih, perasaan tidak dapat

mengkosongkan vasika urinaria, dan menurunya pancaran urine.

2. Lakukan pemeriksaan rektal ( palpasi ukuran, bentuk dan konsistensi) dan

pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi distensi kandung kemih serta

derajat pembesaran abdomen.

3. Lakukan pemeriksaan erodinamik yang sederhana, uroflowmetri, dan

pengukuran residual prostat, jika di indikasikan. ( Nursalam, 2010)

2.10 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia yang muncul antara lain

1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera (biologis, zat kimia, fisik,

psikologis) ( Nanda, 2012).

2. Hambatan mobilitas ditempat tidur berhubungan dengan keterbatasan

lingkungan, peralatan terapi. (Nanda, 2012).

3. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan efek pembedahan pada sfingter

kandung kemih sekunder akibat: pascaprostatektomi (Carpenito, 2013).

4. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya masukan mikroorganisme,

prosedur invasive, trauma (Nanda, 2012).

5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume

cairan aktif (Nanda, 2012).


6. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran. (Carpenito, 2013)

2.11 Intervensi Keperawatan

Fokus intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah klien dengan Benigna

Prostat Hiperplasia adalah :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agens stress cedera (biologis, zat kimia, fisik,

psikologis) (Nanda, 2012).

Tujuan : dapat mengontrol nyeri, nyeri dapat berkurang/hilang.

Kriteria Hasil : ekspresi wajah tampak tenang/rileks, skala nyeri 0-3.

Intervensi :

a. Lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas atau keparahan nyeri

Rasional: meberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan

/ keefektifan intervensi.

b. Berikan informasi tentang nyeri, penyebab nyeri, seberapa lama akan

berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

Rasional: memberikan infomasi pengetahuan tentang penyakit yang dialam.

c. Observasi tanda-tanda vital

Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien.

d. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologik misal teknik nafas dalam bila

nyeri timbul

Rasional: meingkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat

meningkatkan kemampuan koping..

e. Pemberian Analgesik memberikan penurunan spasme dan nyeri


Rasional: diberikan untuk menghilangka nyeri berat, memberikan relaksasi:

mental dan fisik.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya masuknya mikroorganisme, prosedur

invasive, trauma (Nanda, 2012).

Tujuan : Terbebasnya dari tanda atau gejala infeksi

Kriteria Hasil : Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, Klien

bebas dari tanda dan gejala infeksi.

Intervensi :

a. Observasi dan laporkan tanda gejala infeksi (kemerahan, panas, nyeri,

bengkak, pus)

Rasional: mengetahui peningkatan terjadinya resiko terjadinya infeksi pada

luka

b. Kaji warna kulit kelembaban, tekstur, dan turgor kulit

Rasional: mengetahui perubahan keadaan sekitar luka

c. Lakukan teknik steril dalam perawatan kebersihan luka

Rasional: pencegahan pemasukan bakteri, kuman dan infeksi

d. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

Rasional : memberi informasi terhadap keluarga mengenai tanda infeksi

e. Kolaborasi pemberian antibiotik dalam pencegahan infeksi

Rasional: diberikan untuk pencegahan resiko infeksi

3. Hambatan mobilitas ditempat tidur berhubungan dengan ketrbatasan lingkungan

(ukuran tempat tidur, tipe tempat tidur, peralatan terapi, restrain) (Nanda, 2012).

Tujuan : Mampu mengubah posisi sendiri ditempat tidur

Kriteria Hasil : dapat melakukan aktivitas secara mandiri (terlentang-duduk, miring

kanan-kiri)

Intervensi :

a. Kaji tingkat ketergantungan klien


Rasional: mengetahui seberapa tingkat kemampuan gerak klien

b. Observasi hambatan mengatur posisi ditempat tidur

Rasional: mengetahui terjadinya permasalahan dalam berubah posisi ditempat

tidur

c. Mengajarkan latihan ROM seperti miring kanan-kiri secara bertahap

Rasional: memberikan latihan bergerak dalam mengatur posisi

d. Anjurkan untuk tirah baring pada klien

Rasional: memberikan kenyamanan dan keamanan klien

e. Berikan latihan gerak aktif dan pasif supaya tidak kaku pada persendi.

Rasional: mencegah pengkakuan poda otot, dan dapat meningkatkan

kemampuan koping

4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan

aktif (Nanda, 2012).

Tujuan : keseimbangan cairan, dehidrasi yang adekuat dapat terpenuhi

Kriteria Hasil: memperhatikan urin output, vital saign dalam batas normal, tidak ada

tanda dehidrasi (membran mukosa lembab, turgor kulit baik)

Intervensi :

a. Monitor tanda dehidrasi

Rasional: mengetahui seberapa banyak pemasukan cairan

b. Pertahankan catatan intek dan output yang adekuat

Rasional: membantu dalam pemasukan dan pengeluaran cairan

c. Monitor vital sign

Rasional: mengetahui keadaan umum klien

d. Dorong masukan peroral

Rasional: menentukan/ memilih tindakan terjadinya dehidrasi

e. Kolaborasi pemberian cairan/makanan

Rasional: berguna dalam pencegahan dehidrasi berat pada klien


5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan efek pembedahan pada sfingter

kandung kemih sekunder akibat: pascaprostatektomi (Carpenito, 2010).

Tujuan : induvidu menjadi kontinen

Kriteria Hasil: Menunjukkan kontinensia urin, eliminasi urin tidak terganggu > 150 cc

Intervensi :

a. Pertahankan pola eliminasi urin yang optimal

Rasional: meminimalkan retensi urine yang belebih pada kandung kemih

b. Kaji faktor yang meningkatkan insiden

Rasional: menentukan faktor terjadinya peningkatan retensi urine

c. Instruksikan klien untuk berespon segera mungkin terhadap kebutuhan

berkemih

Rasional: membantu dalam berkemih sesuai aturan

d. Pantau eliminasi urin, meliputi frekuensi, konsistensi, volume, warna, bau

Rasional: berguna untuk menevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

e. Intruksikan keluarga memperhatikan haluaran urin dan mencatat bila perlu

Rasional: membantu untuk mengetahui peningkatan haluaran urin

6. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran

Tujuan : individu menyatakan cedera lebih sedikit dan rasa takut cedera berkurang,

cedera tidak terjadi.

Kriteria hasil : mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi resiko cedera,

mengungkapkan maksud untuk melakukan tindakan pencegahan tertentu,

meningkatkan aktivitas harian bila memungkinkan.

Intervensi :

a. Awasi individu secara ketat selama beberapa malam untuk menjaga keamanan

Rasional : memantau aktivitas klien

b. Ajarkan penggunaan kruk, tongkat dan wolker

Rasional : membantu dalam aktivitas


c. Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar terpasang

Rasional : mencegah jatuh saat mobilisasi yang tidak disadari

d. Ciptakan lingkungan yang aman : lantai kering

Rasional : mencegah agar tidak terpeleset

e. Letakkan pispot dekat tempat tidur atau pispot kursi di depan klien

Rasional : mengurangi kelelahan dengan menghemat tenaga klien untuk

kekamar mandi.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Mahasiswa : Selmi Aprinati


Ruang Praktek : OK/IBS
Tanggal Praktek : 13 Januari 2020
Tanggal & Jam Pengkajian : 13 Januari 2020/09 :00 WIB

I PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. W
Umur : 75 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMP
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Alamat : Jl. Sisingamangaraja
Tgl MRS : Senin, 13 Januari 2020
Diagnosa Medis : BPH
B. RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN
1. Keluhan Utama :
Klien mengatakan merasa cemas dan takut karena tidak pernah operasi
sebelumnya.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien masuk IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada tanggal
11 januari 2020, diantar oleh keluarga karena keluhan rasa nyeri Saat
BAK, dengan skala nyeri 5-6 (sedang) dari rentang 0-10, nyeri yang
dirasakan hilang timbul. Dan dari IGD klien langsung dipindahkan
langsung ke ruang edelweis.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit sebelumnya dan
klien mengatakan tidak pernah punya riwayat operasi
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit keluarga seperti
asma penyakit Diabetes Mellitus dan Hipertensi.
GENOGRAM KELUARGA :

Keterangan:

= Meninggal

= Laki-laki

= Perempuan

= Tinggal serumah

= Hubungan Keluarga

= Pasien

C. PEMERIKASAAN FISIK
1. Keadaan Umum :
Pre Operatif :
Klien tampak cemas, klien tampak gelisah, klien terpasang infus di tangan bagian
kiri dengan cairan RL 20 tpm, kesadaran compos mentis, TTV : TD : 130/80
mmHg, Nadi : 80 x/mnt, Suhu : 37 Celsius, RR : 19 x/mnt.
Intra Operatif :
Setelah itu dilakukan draping/proses pemasangan duk steril, kemudian pasien
dilakukan desinfeksi kulit oleh tim bedah, kemudian pasien mulai di berikan
anestesi jenis SAB, setelah semua selesai dan anetesi sudah bekerja pasien
diposisikan supine dan diposisikan sekitar 30 derajat menghadap ke dokter
operator, pasien terlihat terpasang , Intubasi (-), OPA (-), NGT terbuka (+), dan DC
(+). Setelah semua siap mulai dilakukan oleh dokter operator.
Post Operatif :
Proses pembedahan telah selesai, kemudian terpasang Slang Cateter dan hypapix,
passion dibersihkan dan dirapikan,kemudian pasien dipindahkan ke Ruang
Pemulihan (RR).
2. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 37.0C  Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR : 80x/mt
c. Pernapasan/RR : 19x/tm
d. Tekanan Darah/BP : 130/80 mm Hg

D. DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATURIUM, PENUNJANG


LAINNYA)
Pemeriksaan laboratorium : tanggal 11 Januari 2020
Parameter Hasil Satuan Nilai normal
Glukosa-sewaktu 88 mg/dL <200

Pemeriksaan Radiologis
1. USG
Palangka
Raya,………………………………
Mahasiswa

…………………………………….
ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH


DATA OBYEKTIF PENYEBAB
Pre Operatif : BPH Ansietas

Ds :
- Klien mengatakan Kurang Informasi
mrasa cemas dengan

kondisinya saat ini
Kurang Pengetahuan
(penyakitnya)

- Klien mengatakan
Cemas
merasa takut saat
mau operasi
Do :
- Klien tampak cemas
- Klien tampak gelisah
- TD : 130/80 mmHg
N : 80x/menit
R : 19x/menit
S : 37 ◦C
RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. W

Ruang Rawat : OK/ IBS

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional


Pre Operatif : Setelah di lakukan tindakan 1. Identifikasi kondisi umum klien 1. Mengtahui keadaan umum klien
keperawtan selama 1x1 jam (mis,kesadaran,jenis operasi,jenis anastesi)
Ansietas berhubungan dengan di harapkan kecemasan klien 2. Monitor tekanan darah,nadi,pernafasan,dan suhu 2. Mengetahui tanda-tanda vital klien
kurangnya pengetahuan di berkurang dengan kriteria tubuh 3. Mengurangi rasa cemas klien
tandai dengan klien tampak hasil : 3. Jelaskan tentang prosedur,waktu dan lamanya memberikan informasi terkait
cemas dan gelisah operasi tindakan yang di lakukan
1. Klien tampak tenang 4. Latih teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri 4. Memandirikan klien supaya tahu
2. Klien mengatakan rasa pasca operasi salah satu cara untuk mengurangi
takutnya berkurang nyeri secara mandiri.
3. Klien menyatakan siap
untuk di operasi
RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. W

Ruang Rawat : OK/IBS

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional


Intra Operatif : Setelah di lakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab perdarahan 1. Untuk mengetahui penyebab
keperawatan selama 1x1 jam di 2. Monitor perdarahan pada daerah pembedahan perdarahan
Risiko Perdarahan harapkan tidak terjadi 3. Monitor tanda-tanda vital 2. Mengetahui jumlah perdarahan
berhubungan dengan tindakan perdarahan klien berkurang 4. Pastikan keamanan elektrikal dan alat-alat yang di 3. Mengetahui keadaan umum klien
operasi di tandai dengan klien dengan kriteria hasil : gunakan selama prosedur operasi,misalnya alat selama proses pembedahan
mengalami pembedahan pada succion. 4. Untuk mengetahui apakah alat
perut. 1. Tidak terjadi perdarahan berfungsi atau tidak
berlebih saat tindakan
pembedahan.
2. Ttv di batas normal
3. TD : 130/90 mmHg
N : 95x/menit
Rr : 20x/menit
S : 36,5 ◦C
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Pre Operatif
Tanda tangan
Hari/Tanggal dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama
Perawat
Selasa , 13 Januari 2020
1. Mengidentifikasi kondisi umum klien (mis,kesadaran S : klien mengatakan masih khawatir dan takut
jenis operasi, jenis anastesi) O:
Jam 11:00 WIB 2. Memonitor tekanan darah, Nadi, Pernafasan dan suhu 1. Klien tampak tegang
Dx Kep : tubuh 2. Tingkat kesadaran composmentis
3. Menjelaskan tentan prosedur waktu dan lamanya operasi 3. Jenis operasi Laparaskopi Chlosistektomy
Ansietas berhubungan 4. Melatih teknik mengurangi nyeri Pasca Operasi 4. TD : 110/70 mmHg
dengan kurangnya N : 83x/menit
pengetahuan di tandai R : 16x/menit
dengan klien tampak S : 36,6 ◦C
cemas dab gelisah A : masalah ansietas pada Tn. W belum teratasi
P : Hentikan intervensi ( proses pembedahan di laksanakan )
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Intra Operatif
Tanda tangan
Hari/Tanggal
Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Jam
Nama Perawat
Selasa , 13 Januari 2020 1. Mengidentifikasi penyebab perdarahan S:-
2. Monitor perdarahan pada daerah pembedahan
Jam 11:00 WIB 3. Monitor tanda-tanda vital O:
Dx Kep : 4. Memastikan keamanan elektrikal dan alat-alat yang di 1. Proses pembedahan sedang di lakukan
gunakan selama prosedur operasi,misalnya alat succion 2. Perdarahan ± 20 ml tanpa cairan (dalam suction)
Risiko perdarahan 3. Terpasang infus RL 20 tpm
berhubungan dengan 4. TD : 110/70 mmHg
tindakan operasi di N : 83x/menit
tandai dengan klien R : 16x/menit
mengalami S : 36,5 ◦C
pemebedahan pada A : masalah risiko perdarahan teratasi
perut P : lanjutkan intervensi 1,2,3 dan 4 di ruangan

Anda mungkin juga menyukai