Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN

Disusun Oleh:
DIAH AYU PERMATASARI
(G2A015074)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWTAN DAN KESEHTAN
UNIVERSITAS MUHMMADIYH SEMARANG
2018
ASUHAN KEPERAWATAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN

A. Konsep Dasar Kebutuhan Rasa Nyaman

1. Definisi
Kenyamanan/ rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan
yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah
terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi
masalah dan nyeri. Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang
mencakup empat aspek yaitu:
a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
b. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan
sosial.
c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri
sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
d. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya.

Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah


memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan.
Secara umum dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini
disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi
yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan
timbulnya gejala dan tanda pada pasien.
2. Gangguan Rasa Nyaman akibat Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial. Nyeri adalah suatu sensori subyektif dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-
kejadian dimana terjadi kerusakan IASP Nyeri adalah segala sesuatu
yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja
seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri
b. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas
yang bervariasi ( ringan sampai berat) dan berlangsung singkat ( kurang
dari enam bulan dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah
keadaan pulih pada area yang rusak. Nyeri kronis adalah nyeri konstan
atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri
yang disebabkan oleh adanya kausa keganasan seperti kanker yang tidak
terkontrol atau non keganasan. Nyeri kronik berlangsung lama (lebih
dari enam bulan ) dan akan berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan
atau penyakit tampak sembuh. Karakteristik nyeri kronis adalah area
nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas nyeri sukar untuk
diturunkan, rasa nyeri biasanya meningkat, sifat nyeri kurang jelas, dan
kemungkinan kecil untuk sembuh atau hilang. Nyeri kronis non maligna
biasanya dikaitkan dengan nyeri akibat kerusakan jaringan yang non
progresif atau telah mengalami penyembuhan.
c. Fisiologi Nyeri
Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi,
persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls
melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis
dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di
dalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri
dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus
nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke
korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan
memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang
dimiliki serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri.
1) Resepsi
Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi dan zat-
zat kimia menyebabkan pelepasan substansi, seperti histamin,
bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor di
nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang
membahayakan) untuk memulai transmisi neural, yang dikaitkan
dengan nyeri. Beberapa reseptor hanya berespon pada satu jenis
nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap
temperatur dan tekanan. Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri
mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas stimulus minimum yang
dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian
terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam
bentuk dan ukuran tubuh, maka distribusi reseptor nyeri disetiap
bagian tubuh bervariasi.
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar
disepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf
perifer mengkonduksi stimulus nyeri: Serabut A-Delta yang
bermielinasi dengan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi
dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A mengirim
sensasi tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi sumber
nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menghantarkan
impuls yang terlokalisasi buruk, viseral, dan terus menerus.
Ketika serabut C dan A-delta mentransmisikan impuls dari
serabut saraf perifer, maka akan melepaskan mediator biokimia
yang mengaktifkan dan membuat peka respons nyeri. Misalnya,
kalium, prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami
kerusakan. Transmisi stimulus nyeri berlanjut sampai transmisi
tersebut berakhir dibagian kornu dorsalis medula spinalis. Di dalam
kornu dorsalis, neurotransmiter, seperti substansi P dilepaskan,
sehingga menyebabkan suatu transmisi spinalis dari saraf perifer ke
saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls nyeri
ditransmisikan lebih jauh ke dalam sisitem saraf pusat.
2) Neuroregulator
Neuroregulator memegang peranan yang penting dalam suatu
pengalaman nyeri. Sustansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor.
Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yakni
neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti
substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinap diantara
dua serabut saraf (eksitator dan inhibitor). Neuromodulator
memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau
memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung
menstransfer tanda saraf melalui sebuah sinap. Endorfin merupakan
salah satu contoh neuromodulator.
d. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Kontrol)
Teori Gate Kontrol dari Melzack dan Wall (1965), mengusulkan
bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme
pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat
ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada
medula spinalis, talamus, dan sistem limbik. Suatu keseimbangan
aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak
mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan
substansi P untuk menstransmisikan impuls melalui mekanisme
petahanan. Neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A
dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien akan
mempersepsikan nyeri.
Saat impuls diantarkan keotak, terdapat pusat korteks yang lebih
tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden
melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan
substansi P.

e. Respon Terhadap Nyeri


1) Respon fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang
otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai
bagian dari respon stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga
sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-
fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada
cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon
fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus secara tipikal
akan melibatkan organ-organ viseral, sistem saraf parasimpatis
menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri sangat
membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri berat
yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu
mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal.
Dengan demikian klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu
memperlihatkan tanda-tanda fisik.
2) Respon Perilaku
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang
khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri dapat
ditunjukkan oleh pasien sebagai respon perilaku terhadap nyeri.
Respon tersebut seperti mengkerutkan dahi, gelisah, memalingkan
wajah ketika diajak bicara.
f. Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak kecil mempunyai
kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat
yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan
secara verbal dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.
Sedangkan pasien yang berusia lanjut, memiliki resiko tinggi
mengalami situasi yang membuat mereka merasakan nyeri akibat
adanya komplikasi penyakit dan degeneratif.
2) Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak
boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak
berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri.
3) Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah
sesuatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih
perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya menentukan
perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian hal ini dapat
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga
terjadilah persepsi nyeri.
4) Makna nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan
tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
5) Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun.
6) Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas
tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah
penatalaksanaan nyeri yang serius.
7) Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi
nyeri.
8) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun
tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri
dengan lebih mudah di masa datang.
9) Gaya koping
Individu yang memiiiki lokus kendali internal mempersepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan
mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya,
individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempersepsikan
faktor lain di dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai
individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu
peristiwa.
10) Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap
mereka terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan
nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun
nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan.

g. Efek Yang Ditimbulkan Oleh Nyeri


1) Tanda dan gejala fisik
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya
untuk tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat
penting untuk mengkaji tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik
termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri
akut, denyut jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan
meningkat.
2) Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan
gerakan tubuh yang khas dan berespon secara vokal serta mengalami
kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali meringis,
mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi, mengalami
ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi bagian tubuh
sampai dengan menghinndari percakapan, menghindari kontak sosial
dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
3) Pengaruh Pada Aktivitas Sehari – hari
Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu
berpartisipasi dalam aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan
dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat menganggu
aktivitas sosial dan hubungan seksual.
h. Penanganan Nyeri
1) Farmakologi
a) Analgesik Narkotik
Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium seperti
morfin dan kodein. Narkotik dapat memberikan efek penurunan
nyeri dan kegembiraan karena obat ini mengadakan ikatan
dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan nyeri endogen
pada susunan saraf pusat (Tamsuri, 2007). Namun, penggunaan
obat ini menimbulkan efek menekan pusat pernafasan di medulla
batang otak sehingga perlu pengkajian secara teratur terhadap
perubahan dalam status pernafasan jika menggunakan analgesik
jenis ini
b) Analgesik Non Narkotik
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti
inflamasi dan anti piretik. Obat golongan ini menyebabkan
penurunan nyeri dengan menghambat produksi prostalglandin
dari jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi. Efek
samping yang paling umum terjadi adalah gangguan pencernaan
seperti adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster.
2) Non Farmakologi
a) Relaksasi progresif
Merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan stres.
Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi
rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik, dan emosi pada nyeri
b) Stimulasi Kutaneus Plasebo
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam
bentuk yang dikenal oleh klien sebagai obat seperti kapsul,
cairan injeksi, dan sebagainya. Placebo umumnya terdiri dari
larutan gula, larutan salin normal, atau air biasa (Tamsuri, 2007).
c) Teknik Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan
cara mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal yang lain
sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami

i. Pengukuran Nyeri
1) Skala Deskriptif
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri
yang tidak tertahankan”.
2) Skala penilaian numerik
Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala ini sangat efektif untuk digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
3) Skala Analog Visual
Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang
mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberikan
kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri.
Untuk mengukur skala nyeri pada pasien pra operasi apendisitis,
peneliti menggunakan skala nyeri numerik. Karena skala nyeri
numerik paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi progresif. Selain itu
selisih antara penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah
diketahui dibanding skala yang lain.

B. Pengkajian Rasa Nyaman


Data perawatan yang dikaji dan mesti didapatkan pada pasien mencakup:
Data yang didapatkan mencerminkan respons pasien terhadap nyeri yang
meliputi respon fisiologis, respon perilaku, dan respon psikologis.
1. Respons Fisiologis
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk
tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk
mengkaji tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi
keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan
darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat.
2. Respons Perilaku
Pasien seringkali meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah,
imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi
bagian tubuh sampai dengan menghinndari percakapan, menghindari kontak
sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
3. Respons Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri
yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-
beda antara lain: Bahaya atau merusak, Komplikasi seperti infeksi, Penyakit
yang berulang, Penyakit baru, Penyakit yang fatal, Peningkatan
ketidakmampuan, dan Kehilangan mobilitas. Riwayat nyeri untuk
mendapatkan data dari klien.
Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap
pengalaman subjektif. (Doenges Morhouse Geissler) Karakteristik Nyeri
(PQRST)

P (Provokative) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri

Q (Quality):seperti apa: tajam, tumpul, atau tersayat

R (Region) : daerah perjalanan nyeri

S (Severity/Skala Nyeri) : keparahan/intensitas nyeri

T (Time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri

Hal-hal yang perlu dikaji :


1. Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik minta klien untuk
menunjukkan area nyerinya, bisa dengan bantuan gambar. Klien bisa
menandai bagian tubuh yang mengalami nyeri.
2. Intensitas Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya
untuk menetukan intensitas nyeri pasien.
3. Kualitas Nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-tusuk.
Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk
menggambarkan nyerinya. Sebab informasi berpengaruh besar pada
diagnosis dan etiologi nyeri.
4. Pola
Pola nyeri meliputi waktu kaitan, durasi, dan kekambuhan atau interval
nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama
nyeri berlangsung, apakah nyeriberulang, dan kapan nyeri terakhir muncul.
5. Faktor Presipitasi
Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri sebagai contoh,
aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor
lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stressor fisik
dan emosional juga dapat memicu munculnya
nyeri.
6. Kualitas Nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-tusuk.
Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk
menggambarkan nyerinya. Sebab informasi berpengaruh besar pada
diagnosis dan etiologi nyeri.
7. Gejala Yang Menyertai
Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare. Gejala tersebut dapat
disebabkan awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
8. Pengaruh Pada Aktivitas Sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien
akan membantu perawat memahami perspektif klien tentang nyeri. Beberapa
aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, napsu makan,
konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal, hubungan pernikahan,
aktivitas dirumah, aktivitas diwaktu senggang serta status emosional.
9. Sumber Koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi
nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya
atau pengaruh agama atau budaya.
10. Respon Afektif
11. Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada situasi,
derajat, dan durasi nyeri, interpretasi tentang nyeri, dan banyak faktor
lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah,
depresi, atau perasaan gagal pada klien.
C. Rumusan Masalah Keperawatan
Berdasarkan analisa data yang diperoleh, maka dapat diketahui masalah
kesehatan dan masalah keperawatan yang dihadapi oleh klien yang selanjutnya
dapat dilakukan intervensi. Namun masalah yang telah dirumuskan tidak
mungkin dapat diatasi sekaligus. Olehkarna itu perawat harus membuat prioritas
masalah (Bambang, 2009). Dimana kriteria penentuan prioritas masalah
keperawatan ini ditentukan berdasarkan hirarki kebutuhan dasar manusia
menurut Abraham H. Maslow.
Contoh masalh keperawtan yang dapat diambil:
1. Nyeri akut/kronis
2. Kecemasan
3. Ketakutan
4. Kelemahan
5. Perubahan Penampilan Peran.
6. Perubahan Pola Sexualitas.
7. Kerusakan Mobilitas Fisik.
8. Intoleran aktivitas.
9. Gangguan Pola Tidur,
10. Kurang Perawatan Diri (total atau sebagian).
11. Perubahan Pemeliharaan Kesehatan.

D. Perencanaan
Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain :
1. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman individu.
2. Meningkatkan kemampuan individu untuk dapat melakukan aktifitas fisik
yang diperlukan untuk penyembuhan (misal; batuk dan nafas dalam,
ambulasi).
3. Mencegah timbulnya gangguan tidur
4. Secara umum rencana tindakan yang dapat diberikan adalah delegatif
farmakologi sesuai program dokter, dan non farmakologi. Tindakan non
farmakologi yang secara mandiri bisa dilakukan oleh perawat adalah
Distraksi, Relaksasi, Stimulasi Kutaneus.
a. Distraksi: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri
ringan sampai sedang.
Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi
audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang
mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur). Distraksi
mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada
nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin
merupakan mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif
efektif lainnya
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi
tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri.
b. Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri pasca operasi
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan
bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap
inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi ( hembuskan, dua, tiga ). Pada
saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila
menghitung dengan keras bersama pasien pada awalnya. Napas yang
lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi. Periode
relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan
ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan
nyeri.
c. Stimulasi kutaneus
Terori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bertujuan menstimulasi serabut-serabut yamg menstransmisikan sensasi
tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri.
Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologis, termasuk
menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah
berdasarkan mekanisme ini.
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik
menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat
mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat
membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
Daftar Pustaka

Hidayat, AAA., Musifatul Uliyah. 2010. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar
Manusia. Jakarta: EGC.
Potter, Perry. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, Proses, dan
Praktik, Edisi 4. Jakarta: EGC.
Tarwoto, Wartonah. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai