Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu kelainan pada kepala ketika tidak adanya tulang tengkorak sudah dapat
ditemukan pada jaman neolitikum dan seiring dengan berjalan waktu dan pertumbuhan
penduduk yang pesat tidak membuat manusia semakin ingat akan keadaaan
kesehatannya dan banyak timbul kecelakaan dan penyakit. Defek tulang tengkorak
dapat terjadi karena cacat bawaan maupun cedera kepala. Cedera kepala maupun cacat
bawaan yang menyebabkan kelainan tulang tengkorak diperlukan tindakan cranioplasty
untuk memperbaiki struktur tulang tengkorak (Burgener & Kormano, 1997).

Menurut literature reseachgate.net yang diakses pada tanggal 20 Januari 2020


kasus dari kompleks dan besar tengkorak cacat pada anak-anak terdapat 4 kasus pada
penelitian yang dilakukan Edward pada tahun 1987, 1 kasus pada penelitian yang
dilakukan Gruber pada tahun 1988, 1 kasus pada penelitian yang dilakukan Miyake
pada tahun 2000, 2 kasus pada penelitian yang dilakukan oleh Menezes pada tahun
2001, 4 kasus pada penelitian yang dilakukan oleh Durhan pada tahun 2003, 24 kasus
pada penelitian yang dilakukan Hibah pada tahun 2004

Salah satu tindakan medis untuk penatalaksaanpasien Skull defect adalah


Cranioplasty. Cranioplasty adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk
memperbaiki atau membentuk kembali penyimpangan/ketidakseimbangan dalam
tengkorak. Untuk memperbaiki kecacatan/celah dalam tengkorak dapat digunakan
cangkok tulang dari tempat lain dari dalam tubuh pasien (Autograft), atau dengan bahan
sintetis (Acrylic).

Dalam hal ini, ilmu keperawatan juga berperan yaitu kaitannya dengan asuhan
keperawatan perioperative pada pasien dengan Skull defect dengan tindakan
pembedahan Cranioplasty Autograft, maka dari itu penyusun tertariku ntuk menyusun
makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. J dengan Skull Defect dengan
Tindakan Cranioplasty Autograft”.
1
B. Rumusan Masalah
Laporan kasus ini disusun untuk menjelaskan Asuhan Keperawatan Pada Tn. J
dengan Skull Defect dengan Tindakan Cranioplasty Autograft”.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah mengerti dan memahami “Asuhan
Keperawatan Pada Tn. J dengan Skull Defect dengan Tindakan Cranioplasty Autograft

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan laporan kasus ini adalah:

a) Bagi penulis sendiri, hasil karya tulis dapat digunakan sebagai pengalaman yang
nyata tentang “Asuhan Keperawatan Pada Tn. J dengan Skull Defect dengan
Tindakan Cranioplasty Autograft”

b) Bagi klien dan keluarga, dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan dan mampu
memahami “Asuhan Keperawatan Pada Tn. J dengan Skull Defect dengan Tindakan
Cranioplasty Autograft”

c) Bagi Institusi Pendidikan Kesehatan, sebagai referensi dan tambahan informasi


dalam peningkatan dan mutu pendidikan di massa depan.

d) Bagi Rumah Sakit, hasil laporan kasus diharapkan menjadi informasi dalam saran
dan evaluasi untuk peningkatan mutu pelayanan yang lebih kepada pasien rumah
sakit yang akan datang.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Skull defect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium yang disebabkan
oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga
bisa berasal dari dalam tulang (Burgener & Kormano, 1997).

B. Anatomi

1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur
tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang
muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.
Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan
struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior
didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis,
oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

Gambar 1. Anatomi tengkorak


3
2. Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu
darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3
lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada
sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan
permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma
epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
4
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak
dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

Gambar 2. Anatomi meningen

5
3. Otak
Menurut Price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:

a. Cerebrum

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu
pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu
pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang
terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya
tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang
menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang
lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang
inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping
lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.

2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
6
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis
juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan
posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan
serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah
kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita
dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-
hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan
bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan
lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan
agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.

7
Gambar 3. Anatomi lobus otak

b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang 8sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi
dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan
posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan 8sophag oblongata. Otak tengah
midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan sereblum antara otak
tengah dan 8sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan
juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik.
Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-
pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi
jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
4. Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus
yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

8
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan
otot iris.

d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)


Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya
terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput 9sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-
otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit
daerah temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput sopha rongga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
9
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf
ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
4. Kulit kepala
Lapian Kulit Kepala jika diurut dari luar ke dalam biasa disingkat dengan
SCALP, yang merupakan singkatan dari :
a. Skin atau kulit;
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung;
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tulang tengkorak;
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, Merupakan tempat yang biasa
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal) pada trauma/benturan kepala;
e. Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan berhubungan langsung
dengan permukaan luar tulang tengkorak.

10
f.

Gambar 4. Anatomi kulit kepala

C. Etiologi

PenyebabterjadinyaSkull defect adalah:


1. Fraktur kranium
2. Tumor
3. Penipisan tulang
4. Kelainan kongenital (enchephalocele)
5. Pengikisan massa ekstra kranial atau intrakranial
6. Post op trepanasi (Burgener&Kormano, 1997)
7. Trauma parah pada tengkorak dan tulangwajah
8. Reseksi tumor tengkorak
9. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)
D. Manisfestasi Klinis

Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:

11
1) Bentuk kepala asimetris
2) Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3) Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau
fontanela

E. Patofisiologi

Menurut dr. Kevin Adrian. Gejala dari impaksi gigi, meliputi:

1. Gigi hanya muncul sedikit di permukaan gusi.


2. Nyeri pada rahang.
3. Sakit kepala berkepanjangan.
4. Gusi bengkak dan kemerahan di sekitar gigi terpendam.
5. Kesulitan membuka mulut.
6. Kelenjar leher membengkak.
7. Sakit gigi saat menggigit, terutama di bagian yang mengalami impaksi gigi.

F. Pemeriksaan Diagnostik

1) Foto polos kepala


Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus
(tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi),
Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai
indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto
tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka
dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
2) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.

12
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
7) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

3) MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

4) Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

5) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

6) BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7) PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8) CSF, Lumbal Punksi


Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

9) Analisis Gas Darah


Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial

10) Kadar Elektrolit


Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
13
G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan adanya Skull defect yaitu dengan melakukan operasi


kraniotomi yang kemudian dilakukan Cranioplasty. Cranioplasty adalah memperbaiki
kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastik atau metal plate.
Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial dengan menggunakan plat logam atau
plastik. Setelah dilakukan operasi Cranioplasty perawatan selanjutnya adalah dengan
pemberian antibiotik selama 3 hingga 5 hari, dan memonitor drain untuk membantu
pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan atau darah berkurang 2
hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutny aadalah tidak melakukan dan tidak
memberikan tekanan pada area yang telah dioperas iselama 3 sampai 4 minggu. Proses
pembentukan dan penyambungan tulang akan terjadi selama 6 hingga satu tahun
(Ramamurthi, et al, 2007).

Berbagai jenis bahan digunakan sepanjang sejarah kranioplasti. Dengan


teknologi biomedis baru yang terus berkembang, bahan-bahan baru sekarang tersedia
untuk digunakan oleh para ahli bedah.

Bahan kranioplasti yang ideal harus memiliki fitur berikut:

1. Harus sesuaidengan cacat kranial dan mencapai penutupan total


2. Radiolusen
3. Resistensi terhadap infeksi
4. Tidak melebar dengan panas
Tujuan dari Cranioplasty bukan hanya masalah kosmetik; juga, perbaikan cacat
kranial memberikan bantuan untuk kelemahan psikologis dan meningkatkan kinerja
sosial. Selain itu, kejadian epilepsi terbukti menurun setelah kranioplasti. Di sisi lain,
kontra indikasi untuk Cranioplasty adalah adanya hidrosefalus, infeksi, dan
pembengkakan otak. Pada anak di bawah 4 tahun, jika ada dura mater utuh, tempurung

14
kepala dapat mencapai penutupan sendiri. Menunggu untuk melakukan kranioplasti
adalah penting untuk mencegah perkembangan infeksi autograft atau allograft yang
didevitalisasi. Secara umum diterima untuk menunggu 3 hingga 6 bulan
sebelumoperasi rekonstruksi. Jika ada area yang terinfeksi, masa tunggu ini bisa
selamasatu tahun.
a. Cranioplasty Autograft
1) Cranium
Macewen (1885) dan Burrell (1888) menggunakan tulang calvarial yang tersisa
setelah trepanation. Pada tahun 1890, Muller mengembangkan teknik "sliding flaps"
pada tabula eksternal, yang diterapkan pada periode akhir pasca operasi. Contoh
pertama transplantasi tulang adalah teknik Söhr, di mana ia hanya menggunakan tabula
eksternal cranium tanpa periosteum. Meskipun penggunaan tabula eksternal merupakan
cara kranioplasti yang cukup banyak, penggunaan tabula internal agak baru.
Cranioplasty tengkorak split-ketebalan adalah biokompatibel, yang mudah dipanen dan
dengan risiko infeksi dan reaksi lebih sedikit. Karena alasan ini, ini dianggap sebagai
pilihan yang baik untuk kasus dengan risiko infeksi yang tinggi. Pada pasien anak-anak
yang pertumbuhan tengkoraknya terus berlanjut, cangkok tengkorak split-ketebalan
menunjukkan integrasi dan bekerjasama dengan pembentukan kembali tengkorak,
berbeda dengan bahan nonbiologis yang diperbaiki yang mengakibatkan pertumbuhan
tengkorak terbatas dan kelainan bentuk pada usia dewasa.
2) Tibia
Rekonstruksi tengkorak pertama dalam aspek estetika dilakukan dengan
meletakkan potongan tibia antara periosteum dan dura mater. Seri pasien pertama milik
Exhausen, yang merawat 27 pasien dengan metode ini. Baru-baru ini, penggunaan tibia
jarang, karena panen sulit dan traumatis bagi pasien. Juga, kontur kranial tidak dapat
diperoleh dengan mudah dengan tibia graft.
3) Rib
Metodeinidipopulerkan pada awalabad ke-20. Namun,
banyakahlibedahtidaksukamenggunakantulangrusuk, karenakomplikasiteknik intra dan
pascaoperasi, sepertikelainanbentuk dada dan masalahpernapasan.
4) Scapula
15
Meskipun skapula adalah pilihan yang baik sebagai cangkok tulang autologous,
skapula tidak lagi digunakan. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dan tingkat komplikasi
yang tinggi dari memanen cangkok ini.

5) Fascia
Dengan jaringan lunak seperti otot temporal atau fasia, hanya sebagian kecil dari
kerusakan tulang yang bisa ditutup. Di sisi lain, kegunaannya dalam dura plasty
tidak dapat dibenci. Perbaikan dural dengan cangkok dural dan flap vaskularisasi
lebih disukai oleh banyak ahli bedah saraf karena kemampuan penyembuhan dan
penutupan defek yang efektif. Cangkok otot dan omental dianggap sebagai cangkok
vascularized yang kaya, dan aplikasi untuk rekonstruksi operasi dasar tengkorak dan
revaskularisasi otak telah dilaporkan. Flap lokal bertangkai termasuk flap
perikranial dan galeal tidak cukup tebal untuk mencegah erosi dan tidak dapat
digunakan pada pasien yang telah menjalani beberapa kraniotomi sebelumnya
seperti pada kasus rumit. Fasia non-pedicled memberikan perlindungan yang lebih
sedikit terhadap infeksi dan tidak cocok setelah kraniotomi berulang yang berisiko
meningitis tinggi. Banyak faktor yang menentukan keberhasilan duraplasti, seperti
tekanan intrakranial normal atau rendah, viabilitas graft dan dura, dan usia pasien
yang muda. Peningkatan tekanan intrakranial dapat dicegah dengan
divergensicairanserebrospinal (CSF) dengan kateter lumbal yang dipasang pasca
operasi, yang merupakan praktik umum dalam bedah saraf. Selain itu, penting untuk
menyediakan jaringan yang layak untuk duraplasti, yang akan menghasilkan
penyembuhan cangkok dan / atau flap yang sehat dengan penutupan cacat dan
pencegahan kebocoran CSF secara konsekuen. Ini mungkin kadang-kadang sulit
dalam situasi tertentu, seperti operasi berulang di satu lokasi, radioterapi kranial
sebelumnya, kemoterapi, dan penyakit sistemik yang dapat mengganggu
penyembuhan luka normal, seperti anemia, penyakit jantung rendah,
hipoproteinemia dan hipoalbuminemia, hipovitaminosis, merokok, dan diabetes.
Dalam situasi ini, disarankan untuk menggunakan jaringan yang paling layak yang
tersedia untuk melakukan duraplasti yang dapat mengatasi masalah ini. Flap lebih
16
baik daripada cangkok dalam perbaikan cacat karena aliran darah paten mereka dari
pedikel dan penyembuhan yang dihasilkan sehat. Cangkok terbaik yang dikenal
cocok untuk duraplasti adalah fasia autologus dan cangkok otot. Dibandingkan
dengan cangkok sintetis, cangkoka utologous lebih layak dan dengan sediki treaksi
jaringan.
6) Sternum
Sternum adalah cangkok kanselus kortikal campuran. Cangkok ini tidak banyak
digunakan karena kelemahannya, seperti kurangnya volume yang cukup untuk
menutupi cacat kranial dan pemanenan yang sulit dan rumit. Selain itu, lebih berpori di
alam, lebih cepat direvaskularisasi, dan karenanya lebih cepat diserap.
7) Ilium
Ilium adalah cangkok tulang autologous yang disukai karena kesamaan dengan
kontur kranium. Namun, karena komplikasi, seperti perdarahan, perforasiusus, dan
kerusakan saraf, penggunaan ilium untuk kranioplasti menjadi tidak populer. Selain itu,
cangkok iliaka kanselus kortikal campuran lebih berpori di alam, lebih cepat
direvaskularisasi, dan karenanya lebih cepat diserap.
8) Perlindungan Autograft
Banyak teknik yang disarankan untuk perlindungan autografts ketika tidak tepat
untuk mengganti flap tulang setelah kraniotomi. Pertimbangan utama dari teknik-teknik
ini adalah untuk menggunakan jaringan tulang pasien sendiri untuk mencapai penutupan
tulang dan untuk menjaga agar tulang tetap "hidup" dalam masa tunggu. Westerman
mengusulkan untuk menggunakan bahan kraniotomi setelah direbus dalam air. Tetapi
setelah tingkat infeksi yang tinggi, metode ini ditinggalkan. Metode lain adalah
autoclaving untuk mencegah infeksi. Namun, terlihat bahwa tulang tidak dapat
mempertahankan viabilitasnya setelah diautoklaf pada kebanyakan kasus. Metode
terbaru untuk melindungi autografts adalah membekukan tulang. Beku kering di -70oC
adalah cara yang diterima untuk menjaga flap tulang steril dan siap digunakan. Teknik
ini menjaga arsitektur matriks tulang tetap utuh dan siap digunakan. Tetapi teknik ini
tidak mencegah tulang dari “sekarat.” Menyimpan flap kraniotomi dalam jaringan
lemak perut pertama kali dijelaskan oleh Kreider pada tahun 1920. Metode ini tidak
sepopuler yang pertama kali dijelaskan, karena kebutuhan untuk operasi kedua muncul,
17
jaringan parut di perut terjadi, dan kapasitas osteogenik tulang tidak pernah seperti yang
diharapkan.

b. Cranioplasty Acrylic
1) Methyl-methacrylate
Akrilik memiliki beberapa keunggulan di atas zat logam; mudah dibentuk,
bobotnya lebih ringan, memancarkan lebih sedikit panas, dan radiolusen. Akrilik dalam
bentuk metil-metakrilat (polimetilmetakrilat) pertama kali digunakan dalam model-
model hewan, dan kemudian pada manusia pada tahun-tahun pertama Perang Dunia II.
Eksperimen hewan mengungkapkan bahwa akrilik melekat pada dura mater tanpa reaksi
terhadap lapisan dasar lainnya. Methyl-methacrylate digunakan secara luas setelah
artikel Spence pada tahun 1954. Seiring berjalannya waktu, bertujuan untuk mencegah
kerusakan yang tidak diinginkan dari bahan ini, ia mencoba untuk memberikan
dukungan struktural dengan jerat baja atau titanium. Sebelum penggunaan metil-
metakrilat, kulit kepala yang melekat pada dura dihilangkan dengan lembut dan
bersihkan batas tulang. Metil-metakrilat kemudian disiapkan dalam bentuk yang tepat
dengan kelengkungan. Setelah pemasangan, metil-metakrilat harus dicuci dengan air
dingin untuk mencegah kerusakan panas pada jaringan otak yang berdekatan. Setelah
langkah ini, metil-metakrilat ditempatkan dalam cangkir yang diisi dengan serum
fisiologis untuk menyelesaikan pendinginan dan pengerasan. Bahan tersebut dipasang
pada tulang dengan miniplates. Ketika dicoba menggunakan metil-metakrilat dengan
titanium mesh, titanium mesh harus diperbaiki dengan miniplates terlebih dahulu,
kemudian dituangkan dalam bentuk cair. Sekali lagi, pendinginan yang tepat dicapai
dengan air. Methyl-methacrylate adalah bahan kranioplasti yang paling banyak
digunakan.
2) Hydroxyapatite
Hidroksiapatit terdiri dari bentuk kalsium fosfat heksagonal. Bahan ini sudah
ada di jaringan tulang; dengan demikian, diyakini bahwa hidroksiapati tmeningkatkan
18
perbaikan tulang. Keuntungan hidroksiapatit adalah reaksi jaringan yang minimal,
perbaikan tulang yang meningkat, dan osteointegrasi yang baik. Di sisi lain, kerugian
yang paling menonjol adalah bahwa bahan ini tidak terlalu tahan terhadap tekanan
mekanik dan dapat dengan mudah pecah. Baru-baru ini, struktur berpori memberi bahan
ini lebih bersifat osteointegrasi dan penggunaannya dengan titanium mesh membuat
hidroksiapatit lebih tahan lama. Disarankan agar pasien dengan hidroksiapatit kranio
plasti harus menjauhi trauma sampai perbaikan tulang total.
3) Polyethylene and silicon
Silikon diusulkan sebagai bahan kranioplasti pada tahun 1968, tetapi bentuknya
yang lembut membatasi penggunaannya. Polietilen adalah bahan yang digunakan dalam
isolasi kabel listrik di pesawat. Pada pertengahan abad ke-20, itu mulai digunakan
sebagai bahan cranioplasty. Terutama bentuknya yang mudah dibentuk dengan panas
membuat bahan ini populer. Lembaran polietilen berpori memiliki biokompatibilitas
yang sangat baik, tercermin dari kelangkaan reaksi alergi yang diketahui dan oleh
respon jaringan yang menguntungkan terhadap permukaannya. Karakteristik pori-
terbuka memungkinkan vaskularisasi awal polietilena berpori, diikuti oleh pertumbuhan
jaringan lunak dan deposisi kolagen. Fitur-fitur ini menawarkan keunggulan keunggulan
melawan infeksi. Konsisten dengan sebagian besar implanalloplastik lainnya, jika
infeksi terjadi, pengobatan mungkin dilakukan dengan antibiotik sistemik daripada
dengan pengangkatan implan.

Gambar: Silicon Cranioplasty Kit

19
4) Cortoss

20
Cortoss TM (Orthovita ®, Malvern, USA) adalah pengisi kekosongan tulang
sintetis baru yang berisi bis-glikidil-metil-metakrilat, bisphenol (polietilenaglikol dieter
dimetilakrilat), monomer trietilenglikol dimetilakrilat, dan keramik bioaktif. Ini
disediakan dalam kartrid lumen ganda dengan tips yang dirancang khusus untuk
pencampuran. Setelah komposit diekspresikan melalui tips ini, polimerisasi dimulai dan
bahan siap digunakan. Monomer tidak mudah menguap dan CortossTM berpolimerisasi
dalam jaringan tiga dimensi, yang meminimalkan kemungkinan bocor. Setelah
pencampuran, bahan tersebut memiliki konsistensi pasta gigi, dan tetap seperti itu
sampai terpolimerisasi dalam hitungan detik atau menit. Selama polimerisasi,
mencampurkan CortossTM dengan darah memperpanjang waktu pengerasan, yang
mengarah pada aplikasi yang mudah. Karakteristik ini memberikan umpan balik
sentuhan yang konsisten dan memungkinkan injeksi yang merata. CortossTM telah
menunjukkan bahwa hal itu menyebabkan reaksi ekso termik lebih sedikit dan
polimerisasi maksimum pada 40° C, paling dekat dengan kondisi biologis (37° C).
Modulus elastisitas CortossTM dekat dengan tulang. Komposit ini bioaktif, dan antar
muka semen-tulang terus diperkuat dari waktu ke waktu dengan aposisi tulang terjadi
pada antar muka tanpa interposisi berserat. Tulang periosteal dan endosteal terlihat di

situs yang diperbaiki CortossTM. Tulang bar uterlihat di daerah tempat darah
pembuluh telah tumbuh berbatasan langsung dengan CortossTM tetapi tidak ada invasi
vaskular yang terlihat. CortossTM menyebabkan tingkat peradangan yang lebih rendah.
CortossTM telah terbukti menunjukkan nilai yang lebih tinggi untuk kekuatan tekan,
modulus tekuk, dan kekuatan geser.

21
Gambar: One of our cases with skull defect reconstructed with CortossTM. (a) Intraoperative view of CortossTM use,
(b) postoperative head 3D CT-scan demonstrating the defect reconstructed with CortossTM (arrows)

22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama : Tn. J
Umur : 42 tahun
No.Register : 2788XX2
Alamat : Kampung Baru - Kalisat
Diagnose Medis : Skull Defect
Tanggal MRS : 19 Januari 2020
Tanggal pengkajian : 20 Januari 2020
Ruang : Pre operasi
b. Pre Operasi

1. Keluhan utama : Pasien mengeluh takut akan dilakukan operasi

2. Riwayat penyakit : Tidak ada

3. Riwayat operasi : Tidak ada

4. Riwayat alergi : Tidak ada

5. Jenis operasi : Bersih

6. Tanda-tanda vital : TD: 115/68 mmHg, Nadi : 84 x/menit, RR: 15 x/

menit, suhu: 36,5oC

Riwayat psikososial

a. Status emosional : Tenang

b. Tingkat kecemasan : Cemas

c. Skala kecemasan

□ 0 = Tidak Cemas

□ 1 = Mengungkapkan kerisauan
23
□ = Tingkat perhatian tinggi

□ = Kerisauan tidak berfokus

□ = Respon simpati-adrenal

□ = panik

Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum
Keadaan umum pasien cukup
2) Kesadaran
GCS 456
3) Pemeriksaan head to toe
(1) Kepala dan rambut
Teraba lunak pada kepala bagian parietal kiri dan terdapat bekas luka insisi
mulai bagian perbatasan frontal dan parietal serta terlihat tonjolan tulang
pada daerah parietal
(2) Wajah
Wajah simetris, tidak ada lesi pada wajah, tampak tegang, dan gelisah
(3) Mata
Tidak odem, pupil isokor, reflek cahaya positif, menghindari kontak mata
dengan tim operasi
(4) Hidung
Simetris, dan tidak ada perdarahan pada hidung
(5) Telinga
Tidak ada gangguan pendengaran pada pasien
(6) Mulut dan bibir
Mulut kering, tidak sianosis dan tidak ada reflek muntah
(7) Leher
Tidak ada jejas dan tidak ada pergeseran trakea.

24
Analisa Data
No Data Masalah Etiologi
1. DS: Pasien mengeluh takut akan Ansietas kurang
dilakukan operasi pengetahuan
tentang
DO: Wajah tegang, menghindari kontak
pembedahan yang
mata dengan tim operasi, TD: 115/68
akan dilaksanakan
mmHg, Nadi : 84 x/menit
dan hasil akhir

Diagnosa Keperawatan : - ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan


tentang pembedahan yang akan dilaksanakan dan hasil akhir

Rencana Keperawatan

 Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembedahan yang


akan dilaksanakan dan hasil akhir
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
NOC : Pengurangancemas NIC : Ansiety Control
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam 1. Bantu pasien mengekspresikan perasaan

tingkat kecemasan pasien marah, kehilangan, dan takut.

berkurang atau hilang. 2. Kaji tanda ansietas verbal dan

Kriteria hasil : nonvervbal.

 Pasien menyatakan kecemasan 3. Jelaskan tentang prosedur pembedahan


berkurang sesuai jenis operasi.
4. Beri dukungan prabedah.
 Pasien mampu mengenali
5. Beri lingkungan yang tenang dan
perasaan ansietasnya
suasana penuh istirahat.
 Pasien dapat mengidentifikasi
6. Tingkatkan kontrol sensasi pasien.
penyebab atau faktor yang
7. Orientasikan pasien terhadap prosedur
25
memengaruhi ansietasnya rutin dan aktivitas yang diharapkan.
 Pasien kooperatif terhadap 8. Beri kesempatan pada pasien untuk
tindakan mengungkapkan ansietasnya.
 Wajah pasien tampak rilek

Implementasi keperawatan
Implementas
NIC : Ansiety Control
1. membantu pasien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
2. Mengkaji tanda ansietas verbal dan nonvervbal.
3. Menjelaskan tentang prosedur pembedahan sesuai jenis operasi.
4. Memberi dukungan prabedah.
5. Memberi lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
6. Meningkatkan kontrol sensasi pasien.
7. Mengorientasikan pasien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
8. Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan ansietasnya.

Evaluasi

Pasien kooperatif dalam tindakan perioperatif dan menunjukkan berkurangnya


tingkat ansietas seperti wajah tidak tegang lagi, adanya kontak mata yang baik
terhadap tim operasi

c. Intra Operasi
Pengkajian

a. Pembedahan dimulai jam : 13.45 wib

b. Anggota tim terdiri dari : Operator, asisten 1, perawat instrument 1 dan


perawat instrument 2, perawat sirkuler, dokter anastesi, asisten anastesi.

c. Tindakan operasi : Cranioplasty autograft

d. Antibiotik profilaksis : Sudah diberikan 1 jam sebelum insisi.

e. Catatan anestesi : Pasien ASA 3


26
f. Antisipasi kehilangan darah: Ada

g. Peralatan instrument : Steril sesuai indicator dan tidak ada masalah


pada peralatan dan jumlah kasa yang disiapkan 60 lembar

h. Kasa yang terpakai : 50 lembar

i. Foto-foto pasien : Sudah ditampilkan

j. Jenis anestesi : General Anastesi

k. Posisi operasi : Supine

l. Alat-alat penunjang : Mesin Conecting, ESU,


mesin monitoring, lampu operasi dan bor.

m. Suhu ruangan : 20,5o C

n. Kelembapan udara : 64%

o. Tindakan aseptic tim operasi : Baik

p. Tanda-tanda vital : TD: 125/78 mmHg, N: 78 x/ menit

q. Macam operasi : Bersih

r. Urgensi operasi : Elektif

Analisa data
No Data Masalah Etiologi
1. DS: - Resiko Area pembedahan
DO: infeksi
1. Dilakukan tindakan operasi
Cranioplasty autograft
2. Klasifikasi luka : Bersih
3. Kelembapan udara : 64%

2. DS: - Resiko Paparan


DO: suhu ruangan 20,5o C hipotermi lingkungan dingin
3. DS : - Resiko Tindakan
DO : Pasien dilakukan general cedera pembedahan
anastesi

27
Diagnosa keperawatan:

1. Resiko infeksi yang berhubungan dengan area pembedahan


2. Resiko hipotermi berhubungan dengan paparan lingkungan yang dingin
3. Resiko cedera berhubungan dengan tindakan pembedahan

Rencana keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan
No
Keperawatan Hasil
1. Resiko infeksi yang NOC :Infection NIC :Infection Control
berhubungan dengan Control 1. Kaji suhu badan
area pembedahan Setelah dilakukan pasien dan tanda
pembedahan tindakan keperawatan, vital
diharapkan tidak 2. Pertahankan teknik
terjadi infeksi pada aseptif, kebersihan
klien dengan kriteria tangan atau
hasil: melakukan cuci
1. Klien tidak tangan bedah
menunjukan 3. Batasi pengunjung
adanya tanda-tanda bila perlu
infeksi 4. Mengkaji warna,
2. Tidak ada turgor, kelenturan
gangguan serta suhu kulit,
gastrointestinal membran mukosa
3. Respirasi dalam terhadap kemerahan
batas normal (16- dan panas
24 x/menit) 5. Monitor tanda dan
4. Suhu dalam batas gejala infeksi
o
normal (36,5 C - sistemik dan lokal.
o
37,5 C) Evaluasi keadaan
pasien terhadap
tempat-tempat
munculnya infeksi
dilakukannya
tindakan operasi
6. Kolaborasi
pemberian antibiotik
sesuai ketentuan
2 Resiko hipotermi bd NOC : NIC : Temperatur

28
paparan lingkungan Thermoregulation regulation
dingin Setelah dilakukan 1. Monitor tanda-tanda
tindakan keperawatan, vital terutama pada
diharapkan tidak suhu
terjadi hipotermi pada 2. Monitor warna kulit
klien dengan kriteria 3. Tingkatkan intake
hasil: cairan
1. Temperatur suhu 4. Selimuti pasien untuk
dalam batas normal mencegah hilangnya
(36,5oC-37,5oC) panas tubuh
3 Resiko cedera bd NIC: Risk Kontrol NIC : Enverionment
tindakan Safety management
pembedahan Setelah dilakukan 1. Sediakan lingkungan
tindakan keperawatan yang aman untuk
selama 1x 24 jam klien
diharapkan klient tidak 2. Identifikasi kebutuhan
mengalami cedera keamanan klien,
dengan kriteria hasil : sesuai kondisi fisik
1. Klien bebas dari 3. Hindarkan lingkungan
cedera yang berbahaya
memberikan
potitioning yang tepat
4. Sediakan tempat tidur
yang nyaman dan
aman
5. Kontrol lingkungan
kamar operasi
Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan

NIC :Infection Control


1. Mengkaji suhu badan pasien dan tanda vital
2. Mempertahankan teknik aseptif, kebersihan tangan dengan melakukan cuci
tangan bedah
3. Membatasi pengunjung bila perlu
4. Mengkaji warna, turgor, kelenturan serta suhu kulit, membran mukosa
terhadap kemerahan dan panas
5. Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal. Evaluasi keadaan
pasien terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat dilakukannya

29
tindakan operasi
6. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai ketentuan
NIC : Temperatur regulation
5. Memonitor tanda-tanda vital terutama pada suhu
6. Memonitor warna kulit
7. Meningkatkan intake cairan
8. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya panas tubuh
NIC : Enverionment management
6. Menyediakan lingkungan yang aman untuk klien
7. Mengidentifikasi kebutuhan keamanan klien, sesuai kondisi fisik
8. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya memberikan potitioning yang
tepat
9. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan aman
10. Mengontrol lingkungan kamar operasi
Evaluasi Keperawatan

1. Selama operasi berlangsung tidak ada tanda-tanda terjadinya infeksi dan tim
operasi memperhatikan tehnik aseptic untuk mencegah terjadinya infeksi di
kemudian hari
2. Tanda-tanda vital pasien menunjukkan kestabilan selama operasi dan tidak
ada tanda-tanda terjadinya hipotermi
3. Tidak ada tanda-tanda terjadinya cedera, dan tim operasi juga sangat menjaga
keamanan pasien. Seperti: sebelum pemakaian esu dicek apakah terjadi
konsleting ataupun kerusakan pada alat esu, tim operasi juga memperhatikan
keaman potitioning selama operasi berlangsung, dan penghitungan alat serta
kasa yang terpakai.

d. Post Operasi

a. Pasien pindah ke : Recovery room yang didamping oleh perawat


anastesi pada jam 14.15 WIB

b. Keluhan saat di RR : Pasien masih belum sadar dari pengaruh general


anastesi

c. Keadaan umum : Sedang dan masih terpasang trakeoustube

d. Kesadaran : Somnolen
30
e. TTV : Suhu 36,1 0C , Nadi 80 x/mnt, TD 125/78 mmHg,
RR 15x/menit

Analisa Keperawatan
No. Data Masalah Etiologi
1. DS:- Ketidakefektifan disfungsi
DO:pasien tidak sadar efek bersihan jalan neuromuskular
anastesi dan masih terpasang napas
2. trakeostube.
DS : - Resiko jatuh medikasi :
DO: Pasien masih dalam pengaruh
pengaruh general anastesi dan general
Pemindahan ke RR masih di anastesi
dampingi perawat anastesi
Diagnosa keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan disfungsi


neuromuscular

2. Resiko jatuh berhubungan dengan medikasi : pengaruh general anastesi

Rencana keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan
No
Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektif NOC :Status NIC :Manajemen Jalan Napas
an bersihan Pernapasan: Tindakan:
jalan napas b/d Kepatenan jalan napa 1. Observasi suara napas
disfungsi Setelah dilakukan tambahan
neuromuskular tindakan 2. Observasi status pernapasan
keperawatan pasien dan oksigenasi
menunjukkan bersihan 3. Ganti kassa di mulut pasien
jalan napas yang dan bersihkan saliva yang
efektif dengan kriteria ada
hasil: 4. Posisikan pasien untuk
1. Tidak ada suara memaksimalkan ventilasi
napas tambahan 5. Usahakan sebelum
2. Tidak ada akumulasi memindakan pasien ke RR
saliva berlebihan pastikan pasien sudah
3. Pasien mampu mampu bernapas spontan

31
bernapas spontan atau terpasang trakeostube

2 Resiko jatuh NOC: Safety NIC : Management


bd medikasi : behavior: lingkungan : keamanan
pengaruh pencegahan jatuh: 1. Identifikasi kebutuhan
general dengan indikator: keamanan pasien
anastesi 1. Mengoreksi 2. Identifikasi lingkungan yang
penggunaan membahayakan keamanan
peralatan 3. Pindahkan bahaya dari
2. Menerapkan lingkungan pasien
precaution saat 4. Modifikasi lingkungan untuk
melakukan meminimalkan bahaya dan
pengobaatan yang resiko
meningkatkan 5. Sediakan peralatan protektif
resiko jatuh 6. Bantu pasien yang belum
adekuat melakukan
mobilisasi
7. Berikan edukasi kepada
anggota keluarga tentang
faktor resiko yang
meningkatkan potensi jatuh
dan bagaimana cara
mengurangi resiko tersebut

Implementasi keperawatan
Rencana Tindakan

NIC :Manajemen Jalan Napas


Tindakan:
1. Mengobservasi suara napas tambahan
2. Mengobservasi status pernapasan dan oksigenasi
3. Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
4. Mengusahakan sebelum memindakan pasien ke RR pastikan pasien sudah
mampu bernapas spontan atau terpasang trakeostube
NIC : Management lingkungan : keamanan
1. Mengidentifikasi kebutuhan keamanan pasien
2. Mengidentifikasi lingkungan yang membahayakan keamanan
3. Memindahkan bahaya dari lingkungan pasien
4. Memodifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
5. Menyediakan peralatan protektif

32
Evaluasi Keperawatan
1. Pasien masih belum bisa bernafas spontan dan masih terpasang trakeostube
selama perjalanan ke ruang recovery room
2. Pasien yang dipindahkan ke ruang recovery room tidak mengalami cedera
ataupun jatuh dan selama perjalanan ke ruang recovery room didampingi oleh
perawat anastesi dan bed pasien terdapat pagar pengaman.

33
BAB IV
TINJAUAN KASUS

1. Pengertian Cranioplasty
Kranioplasty adalah tindakan intervensi bedah yang bertujuan untuk
memperbaiki cacat tengkorak.
2. Prosedur tindakan:
Persiapan ruangan

a. Menata ruangan dangan mengatur penempatan mesin suction, mesin


couter, meja instrumen, meja mayo sesuai kebutuhan dan luas kamar
operasi
b. Memberi alas perlak dan linen pada meja mayo

c. Memberi alas underpad pada bagian kepala pasien

d. Menempatkan tempat sampah yang sesuai agar mudah penggunaannya

Persiapan Pasien
a. Perawat kamar operasi memeriksa kesesuaian identitas pasien dengan
menanyakan nama sekaligus mengecek gelang identitas pasien
b. Perawat kamar operasi memeriksa kelengkapan status pasien termasuk di
dalamnya persetujuan informed consent
c. Perawat mengganti baju pasien
d. Perawat melakukan pengecekan set marking
e. Pasien dipastikan dalam keadaan bersih, yaitu mandi sebelum
dilaksanakan pembedahan
f. Perhiasan pasien dilepas semua baik cincin atau jam tangan dan gigi palsu
bila ada
g. Pasien diposisikan supinasi setelah dipindahkan ke meja operasi
h. Melakukan skin preparation
Timbang Terima
a. Situation : Pasien elektif
b. Background

34
Diagnose pra operatif : Skull Defect
Rencana operasi : Cranioplasty Autograft
RPD : tidak ada
Alergi : tidak ada
Darah : tidak ada
Marking : iya
Informed consent : ada
Foto : ada
Pemeriksaan Lab : tidak ada
Alat bantu : tidak ada
Vital sign : TD: 115/68 mmHg, Nadi : 84 x/menit, RR:
15 x/ menit, suhu: 36,5oC
Kesadaran : Compos mentis GCS 4-5-6
ASA : 3
1. Sign in
Sign in dilakukan di ruang pre operasi oleh perawat dengan mengisi
daftar tilik pembedahan
2. Transfer
Pasien ditransfer dari ruang pre operasi ke ruang operasi oleh perawat
dipindahkan dari brankard ke meja operasi
3. Positioning
Pasien diposisikan supinasi
4. Anastesi
Pasien dilakukan general anastesi
5. Aseptik
Perawat membersihkan area operasi dengan menggunakan povidone
iodine 10% dan dilanjutkan dengan drapping sesuai dengan protocol
ghoti
6. Time out
Perawat sirkuler membacakan time out
7. Instrumentasi Tehnik dan Operating Tehnik Intraoperatif
b. Team operasi : Operator, asisten, instrument, dan sirkuler

35
c. Set Ruangan

No Jenis/Ukuran Jumlah
1 Duk Klem 5
2 Desinfeksi Klem 1
3 Pinset Chirurgis Kecil 2
4 Pinset Anatomis Kecil 2
5 Pinset ChirurgisBesar 1
6 Gunting Metzenbeum 1
7 Gunting benang 1
8 Hand vaad mess no.3/4 1/1
9 Koker besar 1
10 Knabel tang 1
11 Gale haak 2
12 Langen beck 1
13 Raspatorium 1
14 Adson 1
15 Kanul Suction 1
16 Kom 2
17 NaldFouder 2
18 Crani Clip 6
19 Vicryl 2-0 2
20 Vicryl Rapid 2-0 2
21 Side 3-0 1
22 ESU Bipolar 1
23 Kertas 1
24 Mini Plate 1
25 Mini Screw 4 dan 3 mm 6/2

36
BAHAN HABIS PAKAI
NO JENIS/UKURAN JUMLAH
1 Scalpel Blader No 10/20 1/1
2 Alkohol 10% 20 cc
3 Povidone Iodine 10 % 20 cc
4 Kassa 20
5 Benang Atraumatik Silk 3-0 1
6 Benang AtraumatikVicryl 2-0 / Vicryl quick 2-0 2/2
7 Underpad 2
8 Pehacain 2
9 Aquabidest 2
10 HS Ortho 7,5/8 2/2
11 HS Gammex 6,5 1
12 Bactigres 1
13 Opsite 48x55 1
14 Connecting Suction 1
15 ESU bipolar 1
16 Kassa 60
17 Spuit 10cc 2
18 Needle no 23 G 1
19
20

c. Prosedur Tindakan Operasi


Langkah-langkah perjalanan operasi Fraktur radius ulna dengan tindakan
pembedahan odontektomi:

a) Persiapan

1. Sign in

1) Pasien datang, cek kelengkapan status. Kemudian tulis di buku register


pasien dan lengkapi SSC (Surgical Safty Ceklist)
37
2) Beri posisi pasien supinasi.

3) perawat instrumen melakukan surgical scrub, gowning dan gloving,


kemudian membantu tim bedah yang lain untuk gowning dan gloving.

4) Asisten melakukan antisepsis daerah operasi dengan povidon iodin 1%


dan deppers memakai sponge holding forceps, kemudian berikan doek
kecil untuk di taruh di bawah daerah yang akan di operasi.

5) Perawat instrumen dan asisten melakukan drapping area operasi lapis


demi lapis sampai sebatas area operasi dan fiksasi dengan towel forceps
(backhaus).

6) Perawat instrumen menyiapkan surgipen dan connecting suctions.

2. Time out

1) Operator dan asisten menentukan daerah yang di insisi

2) perawat instrument memberikan operator spuit 3 cc berisi lokal anastesi


(pehacain) untuk dilakukan lokal anastesi.

3) Berikan mess no.15 pada operator untuk menginsisi area operasi hingga
jaringan tulang. Lalu berikan rasparatorium untuk membebaskan jaringan
yang menempel kemudian jika operator mengalami kesulitan maka
berikan baien untuk membebaskan jaringan.

4) Kemudian berikan Electric Boor untuk membebaskan gigi dari tulang


kemudian berikan spuit 30 cc untuk melakukan irigasi untuk
membersihkan darah dan serbuk tulang serta untuk membersihkan bor.

5) Kemudian gunakan hemostatic forcep pean untuk menarik gigi kemudian


bersihkan daerah gigi yang telah dicabut.

6) Kemudian cek kembali apakah masih ada gigi yang tersisa. Jika
dipastikan sudah bersih maka lakukan dab daerah gigi yang telah
diangkat.

38
3. Sign out
1) Jahit luka incise dengan memberikan needle holder yang telah terpasang
benang 3-0 jarum round. Jika terdapat jaringan berlebih saat hendak
dijahit berikan gunting metsemboum untuk membuang jaringan berlebih.

2) Bersihkan daerah operasi dan pasang dab untuk menghentikan


perdarahan.

3) Perawat instrumen menginventars alat – alat dan bahan habis pakai pada
depo farmasi, kemudian mencuci dan menata kembali alat – alat pada
instrumen set (yang akan disteril) serta merapikan kembali ruangan.

BAB V
KESIMPULAN

1. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, baik secara teoritis maupun secara
tinjauan kasus didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Diagnosa keperawatan
yang berhubungan pada pasien ada tiga diagnosa keperawatan, yaitu kurang
pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilaksanakan dan hasil akhir, resiko
hipotermi berhubungan dengan tindakan perioperatif, Resiko infeksi berhubungan
dengan area pembedahan dan nyeri b.d Insisi pembedahan.

39
Intervensi dan implementasi yang diberikan kepada pasien disesuaikan
dengan kondisi pasien saat pre, intra dan post operasi. Adapun evaluasi yang
dilakukan selama pemberian asuhan keperawatan sudah sesuai dengan intervensi
yang disusun oleh penulis.

2. Saran

1) Pasien

Diharapkan pasien dapat mengetahui cara menjaga luka operasi dan selalu
memperhatikan petunjuk dokter/perawat serta dukungan keluarga sangat
penting dalam proses penyembuhan pada pasien dengan diagnosa impaksi
48.

2) Perawat

Perawat maupun tim medis lainya harus terampil dalam melakukan asuhan
keperawatan perioperative dan harus memperhatikan konsep aspetik untuk
mencegah terjadinya resiko infeksi pada pasien.

40
41

Anda mungkin juga menyukai