Anda di halaman 1dari 6

Kecemasan dan Realitas (diri) Kita, Suatu Pengantar Analisis Psikoanalisa

Oleh Sabiq Carebesth*

Suatu kali, Freud berujar “life is not easy”, “hidup ini tidak mudah”. Ego—“keakuan”—berdiri di tengah-
tengah kekuatan-kekuatan dahsyat: realitas; masyarakat, sebagaimana yang direpresentasikan oleh super
ego; biologi sebagaimana yang direpresentasikan oleh id. Ketika terjadi konflik di antara kekuatan-
kekuatan ini untuk menguasa ego, maka sangat bisa dipahami kalau ego merasa terjepit dan terancam,
serta merasa seolah-olah akan lenyap digilas kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan
terancam ini disebut kecemasan (anxiety). Perasaan ini berfungsi sebagai tanda bagi ego bahwa ketika
dia bertahan sambil tetap mempertimbangkan kelangsungan hidup organisme, dia sebenarnya sedang
dalam bahaya.

Kecemasan merupakan variabel penting dari hampir semua teori kepribadian. Pada umumnya
kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan,
atau takut dari kenyataan. Kecemasan berfungsi sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi, suatu
ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan. Dalam hal ini ego harus mengurangi konflik
antara kemauan Id dan Superego.

Apabila kecemasan timbul, maka akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau tindakan supaya
tegangan dapat direduksikan atau dihilangkan. Untuk menghadapi kecemasan yang berlebihan, sistem
ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan tekanan itu,
disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap
kecemasan. Kecemasan Neurotik (kesemasan, red) paling lazim menjadi fokus pembahasan psikoanalisa,
secara lebih mendalam Menurut Freud, (dalam Suryabrata, 2002:139), adalah kecemasan kalau insting-
insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum.
Kecemasan neurotis ini merupakan suatu gangguan keseimbangan fungsi mental oleh sebab-sebab
khusus dari dinamika gangguan kehidupan emosi dan perasaan. Gangguan perasaan semacam ini
umumnya diderita oleh penderita neurotis dan tidak berkaitan dengan orang lain. Dengan kata lain,
kecemasan neurotis bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan
terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika insting tersebut dipuaskan (Hall dan Lindzey 1993:81).

Kecemasan neurotis ini dengan kuat muncul karena khawatir tidak mampu mengatasi atau menekan
keinginan-keinginan primitifnya, ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu tindakan yang bisa mendatangkan hukuman.

Ancaman akan kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan status sosial, benar-benar sulit mendapatkan
toleransi dari penderita neurotis, terutama bagi orang yang sangat ambisius, dinamis dan energik yang
secara berlanjut didominasi target materi yang harus diraih. Biasanya orang ini sejak beberapa waktu
sebelumnya telah diliputi rasa tak aman karena menempatkan ambisi berlebihan yang justru
membuatnya oleng dalam menghadapi kegagalan yang dihadapinya. Dalam kondisi kecemasan yang
menekan itulah ego memunculkan apa yang disebut mekanisme pertahanan. Beberapa diantara
mekanisme pertahanan ini dalam tradisi Freudian bisa disebutkan di sini di antaranya adalah: Penolakan,
represi, asketisme, isolasi, penggantian, penghapusan, melawan diri sendiri, introjeksi, identifikasi
dengan menyerang, regresi, sublimasi, dan rasionalisasi.

Kesadaran dan Ketidaksadaran: Sebuah Pendekatan Historis tentang Kepribadian dan Neurosis dalam
Komunitas Patologis

Apakah teori psikoanalisa Sigmund Freud mencukupi untuk membaca dan menemukan hipotesa analisa
tentang struktur kepribadian tokoh dalam sebuah novel, misalnya? Tulisan ini sekali lagi hanya
merupakan pengantar.

Freud sendiri membagi kepribadian kedalam tiga macam, id, ego, dan super ego. Id merepresentasikan
seluruh keinginan instingtual, dan karena sebagian besar keinginan tersebut tidak diizinkan sampai pada
tingkat kesadaran, maka keinginan-keinginan ini disebut sebagai keinginan”tidak sadar.” Ego, yang
merepresentasikan kepribadian manusia yang telah terorganisasi sejauh mampu mengamati realitas dan
melaksanakan fungsi apresiasi realistic, setidaknya menyangkut masalah kelangsungan hidup, bisa
dikatakan merepresentasikan “kesadaran.”

Super Ego, internalisasi perintah dan larangan dari masyarakat, bisa termasuk sadar dan tidak sadar,
sehingga tidak bisa diidentifikasikan dengan kesadaran atau ketidaksadaran. Dari sinilah Freud
mengatakan terapi psikoanalisanya adalah membuat alam bawah sadar dapat disadari. Sementara alam
sadar (conscious mind) adalah apa yang kita sadari pada saat-saat tertentu, penginderaan langsung,
fantasi, perasaan yang kita miliki, alam bawah sadar (unconscieus mind) adalah mencakup segala sesuatu
yang sangat sulit dibawa ke alam sadar termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah
sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke dalamnya karena kita tidak bisa
menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma. Freud sendiri
menyebut alam sadar sebagai bagian terkecil dari pikiran. Sementara bagian terbesar dari pikiran adalah
alam bawah sadar (unconscieus mind).

Konsep alam bawah sadar terlihat sangat rumit, dan memang pada bagian inlah yang paling sering
membuat Freud mendapat kritik. Namun dari temuan Freud ini pula pembicaran “tidak sadar individual”
dan “tidak sadar kolektif” bermula. Sementara Freud berkata bahwa tujuan terapinya adalah membuat
alam bawah sadar dapat disadari, namun demikian dia membuat alam bawah sadar menjadi tidak jelas.
Alam bawah sadar adalah kamar gelap tempat hasrat terkurung dan meronta-ronta; lubang tanpa dasar
tempat keinginan sumbang (incestuous) terkekang; gua bawah tanah tempat persembunyian
pengalaman-pengalaman mengerikan yang setiap saat menghantui kita.

Dengan demikian,“tidak sadar individu” yang dikatakan Freud mengacu pada isi elemen yang ditekan
atau ditahan oleh individu karena alasan-alasan kondisi yang dihadapi oleh individu yang bersangkutan
serta yang bersifat khusus bagi situasi kehidupan pribadi.

Keterbatasan Freud atau tepatnya anggapan Freud sendiri yang terlalu rumit dengan konsep alam bawah
sadar individual harus di akui menjadi keterbatasan sendiri bagi teori Freud, kenyataan bahwa sebagian
besar Freud membahas tentang tidak sadar Individu, dan hanya sedikit perhatian pada “tidak sadar
sosial”.

Ruang kosong teoritis itulah yang kemudian menjadikan tidak mencukupi menilik suatu psikopatologi
individual dan neurosis sosial tenpa berusaha mengaitkan pandangan Freud tetang “alam bawah sadar
individual” dengan “alam bawah sadar kolektif” penerus Freud sendiri yaiatu Carl Juang; dalam suatu
sisitem kesadaran sosial historis sebagaimana di bicarakan dalam teori Marxis struktur dalam
materialisme dialektika historisnya.

***

Sementara itu, terkait “keadaan tidak sadar,” baik dalam Freudian mau pun Marxian meyakini bahwa
sebagian besar dari apa yang dipikirkan manusia secara sadar ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang
bergerak tanpa diketahuinya, atau dengan kata lain tanpa sepengetahuannya; bahwa manusia
menjelaskan tindakan-tindakannya pada diri sendiri sebagai tindakan yang rasional atau tindakan moral,
dan rasionalisasi-rasionalisasi tersebut (kesadaran palsu, idiologi) memberikan kepuasan pada dirinya
secara subyektif.

Namun, karena didorong oleh kekuatan-kekuatan yang tidak diketahuinya, manusia berarti tidak bebas.
Dan bisa mendapatkan kebebasan (dan kesehatan) hanya apa bila dia menyadari tentang kekuatan-
kekuatan pendorong ini, atau realitas, sehingga selanjutnya dia bisa menjadi penguasa atas
kehidupannya (dalam batasan realitas) dan bukan menjadi budak dari kekuatan-kekuatan buta.

Perbedaan dasar antara Marx dan Freud terletak dalam konsep mereka tentang sifat dari kekuatan-
kekuatan yang menentukan manusia. Bagi Freud, kekuatan-kekuatan ini pada dasarnya merupakan
kekuatan fisiologis (libido) atau biologis (insting kematian dan kehidupan).

Bagi Marx, kekuatan-kekuatan ini merupakan kekuatan historis yang melewati sebuah evolusi dalam
proses perkembangan sosio-ekonomi manusia. Bagi Marx, kesadaran manusia ditentukan oleh
keberadaannya, keberadaanya ditentukan oleh kehidupannya, kehidupan ditentukan oleh bentuk
produksi dan struktur sosial, bentuk distribusi dan konsumsi yang dihasilkannya. [catatan kaki: Karl
Manheim adalah orang pertama yang mengatakan bahwa doktrin sosialis memiliki”senjata intelektual
baru” dengan kemampuan untuk “membuka topeng tidak sadar” (penentangnya). Dia juga melihat
bahwa “tidak sadar kolektif dan tindakan yang ditentukannya berperan untuk menutupi aspek-aspek
tertentu dari realistas sosial (Karl Manheim, Idiology and Utopia, a Harvest Book, Harcourt, Brace and Co.
New York, hal. 33 ff) ]
Marx mengakui dorongan seksual sebagai salah satu dorongan yang ada dalam segala situasi dan bisa
diubah oleh kondisi-kondisi sosial hanya sejauh menyangkut bentuk dan arahnya. Artinya bagi Marx,
keberadaan manusia dan kesadarannya ditentukan oleh struktur masyarakat di mana dia menjadi bagian
di dalamnya. Sementara bagi Freud, masyarakat hanya berpengaruh pada keberadaanya melalui represi,
[penejelasn tentang represi bisa dilihat dalam buku personality Theory, Dr. C. George Boeree, Prisma
Shopie, Yogyakarta, hal. 44] baik dalam tingkatan yang besar mau pun yang kecil, atas organ fisiologis
dan biologis yang dimilikinya.

Perbedaan selanjutnya terdapat pada: Freud meyakini bahwa manusia bisa mengatasi represi tanpa
adanya perubahan sosial. Di lain pihak, Marx adalah pemikir pertama yang secara umum menyatakan
tentang determinasi kesadaran oleh kekuatan-kekuatan sosial. Marx melihat bahwa realisasi atas
manusia yang universal dan sepenuhnya sadar hanya bisa terjadi bersamaan dengan perubahan sosial
yang mengarahkan pada tatanan ekonomi dan sosial manusia yang baru dan benar-benar manusiawi.

Hal mana dalam psikoanalisa lebih berdekatan dengan konsep Karl Jung, bahwa Jung lebih memberikan
penekanan pada karakter sosial dari neurosis dibandingkan dengan Freud. Dia mempercayai bahwa
“neurosis dalam sebagian besar kasus tidak hanya merupakan pertimbangan pribadi, namun lebih
merupakan fenomena sosial…” dia lebih jauh lagi mengatakan bahwa di bawah tidak sadar pribadi
terdapat sebuah lapisan yang lebih dalam, yaitu “tidak sadar kolektif,” yang “tidak bersifat individual
namun universal; berkebalikan dengan keadaan psikis pribadi, ia memiliki isi dan sifat perilaku yang
kurang lebih sama di semua tempat dan dalam diri semua individu.

Dengan kata lain, ia adalah sama dalam semua manusia sehingga membentuk suatu elemen pengganti
psikis umum dari sebuah sifat super personal yang terdapat dalam diri kita semua.”

Hal itu bagi Jung adalah masalah utama dari karakter universal dari substansi psikis yang terdapat dalam
diri semua manusia. Perbedaan “tidak sadar kolektif” dari Jung dengan “tidak sadar sosial” yang
dipergunakan di sini adalah sebagai berikut: “tidak sadar kolektif secara langsung menunjuk pada konsisi
psikis universal, di mana sebagian besar di antaranya sama sekali tidak bisa mnejadi sadar. Konsep
tentang tidak sadar sosial di awalai dengan pandangan tentang karakter represif masyarakat dengan
mengacu pada bagian tertentu dari pengalaman manusia yang tidak diperbolehkan sampai pada tingkat
sadar oleh masyarakat tertentu; bagian kemanusian dari manusia inilah yang diasingkan oleh masyarakat
dari individu yang bersagkutan; “tidak sadar sosial” adalah bagian dari kondisi psikis universal yang di
tekan.
Resistensi Dan Represi Sebagai Mekanisme Bertahan Dari Kecemasan Neurotis

Penolakan untuk mengakui eksistensi dari sesuatu yang di tekan atau ditahan, oleh Freud disebut
sebagai “resistensi.” Kekuatan dari resistensi ini sama dengan kekuatan kecenderungan-kecenderungan
represif.

Secara alamai meskipun semua jenis pengalaman bisa ditekan, namun dari kerangka teoritis Freudian
bisa disimpulkan bahwa, dalam pandangannya, keinginan-keinginan yang paling banyak mendapat
tekanan adalah keinginan-keinginan yang tidak sejalan dengan norma-norma manusia beradab, seperti
keinginan seksual—dan mungkin juga revolusi.

Namun apa pun muatan khusus yang dari keinginan yang ditekan, dalam pandangan Freud, semuanya
selelau merepresentasikan sisi gelap manusia, sifat anti sosial; sifat primitif manusia yang belum
tersublimasi dan yang bertentangan dengan apa yang diyakini oleh manusia sebagai yang beradab.
Namun harus di catat bahwa dalam pandangan Freud, represi memiliki arti bahwa “kesadaran” akan
dorongan-dorongan tertentu ditekan, tapi bukan dorongan itu sendiri.

Dalam kasus ini, dorongan-dorongan masih tetap ada, namun represi atau penekanan atas kesadarannya
akan mengarahkan pada penekanan yang berkaitan dengan pelaksanaan dorongan tersebut. Dalam
banyak kasus, represi berarti suatu distorsi atas kesadaran manusia, dan tidak berarti pengahapusan atas
dorongan-dorongan yang terlarang dalam diri manusia. Atau dengan kata lain, hal ini berarti bahwa
kekuatan-kekuatan tidak sadar disembunyikan dan menentukan tindakan manusia secara tidak sadar.

Pertanyaanya kemudian, ‘mekanisme psikologis’ yang seperti apa yang memungkinkan dilakukannya
tindakan represi tersebut? Menurut Freud, mekanisme ini adalah ‘rasa takut’. Rasa takut inilah yang
kemduian mendorong kesadaran untuk menyalurkan keinginannya menuju arah lain.

Dalam kaitannya dengan kemungkinan menjadikan yang tidak sadar menjadi sadar, hal yang paling
penting adalah mengenali faktor-faktor yang menghambat proses ini. Factor tersebut di antaranya
adalah kekuatan mental, kurangnya orientasi yang tepat, perasaan tidak berdaya, tidak adanya
kemungkinan untuk mengubah kondisi-kondisi realistik, dan sebagainya. (*)
*Sabiq Carebesth, Penulis. Editor Galeri Buku Jakarta

Anda mungkin juga menyukai