Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN HASIL DISKUSI

BLOK NEUROLOGI
Skenario 1

Tutor : dr. Ardi Suwarno, Sp. Rad.

Kelompok 2
Ketua : Anindya Ryan Pramudya 1413010043
Sekretaris : Anggita Ramadhanti R. P. 1413010001
Anggota:
Ferdian Rifqy Nur Fachrudien 1413010011
Fatimah Qonitah Diyanah 1413010029
Nadya Ratu Aziza Fuady 1413010031
Rahma Nabila 1413010034
Ade Guvinda Perdana 1413010035
Padang Tri Handoyo 1413010037
Desi Dwi Nurchasanah 1413010041
Tsara Arbiaty Kramawiredja 1413010046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2016
DAFTAR ISI
BAB I KLARIFIKASI ISTILAH ................................................................................. 3
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH ........................................................................... 4
BAB III ANALISIS MASALAH.................................................................................. 5
BAB IV SKEMA ........................................................................................................ 17
BAB V LEARNING OBJECTIVE ............................................................................. 18
BAB VI PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE ............................................... 19
Kesimpulan ................................................................................................................. 56
Saran ............................................................................................................................ 56
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 57

2
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH

A. Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau tidak mengenakan pada seluruh daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke daerah belakang kepala
(daerah occipital dan sebagian daerah tengkuk) (Sjahrir, 2008).

B. Diplopia
Diplopia adalah persepsi bayangan ganda saat melihat suatu benda. Bisa
terjadi monokuler maupun binokuler. Diplopia monokuler ada jika salah satu
mata dibuka sedangkan diplopia binokuler hilang jika salah satu mata ditutup
(Wessels, 2011).

C. Hemiparesis
Hemiparesis adalah kelemahan pada satu sisi tubuh (Ginsberg, 2007).

3
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimanakah anatomi darii organ terkait?


2. Apa ajakah yang dapat menyebabkan nyeri kepala?
3. Mengapa nyeri kepala yang pasien rasakan tereltak di daerah frontal,
temporal, dan orbita?
4. Apakah hubungan durasi nyeri dengan keluhan?
5. Mengapa nyeri kepala disertai dengan mual dan muntah?

4
BAB III
ANALISIS MASALAH

A. Anatomi Organ Terkait

Keterangan: Gambar 1. Cerebrum

Menurut Guyton 2007, cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian


yang disebut lobus, sedangkan Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus
dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Berikut adalah
lobus lobus yang terdapat pada cerebrum:
1. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari
Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat
alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian
masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol
perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
2. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
3. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.

5
4. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata
Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher
bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh (Guyton, 2007).

Keterangan: Gambar 2. Circulus of Willisi

Selain itu cerebrum dan cerebellum sebagai system saraf pusat diperdarahi
oleh circulus of willisi. Circulus arteriosus willisi (circulus arteriosus cerebri)
adalah sistem anastomotic arteri yang berada di dasar otak yang mengelilingi
batang kelenjar hipofisis dan menyediakan komunikasi penting antara suplai
darah dari otak depan dan otak belakang yaitu antara karotid internal dan
vertebrobasilar. Circulus arteriosus willisi terbentuk ketika arteri karotis
interna masuk rongga tengkorak bilateral dan membagi ke dalam arteri
serebri anterior dan arteri serebral tengah. Arteri serebri anterior kemudian

6
disatukan oleh arteri anterior berkomunikasi. Komunikasi ini membentuk
setengah bagian depan dari circulus arteriosus willisi. Posterior, arteri basilar,
yang dibentuk oleh arteri vertebralis kiri dan kanan, cabang ke kiri dan kanan
arteri serebral posterior membentuk sirkulasi posterior. Para arteri serebral
posterior menyelesaikan circulus arteriosus willisi dengan bergabung dalam
sistem karotid internal anterior melalui berkomunikasi arteri komunikan
posterior (Guyton 2007).

B. Penyebab Nyeri Kepala


Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala. Berdasar
kausanya digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri
kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas kelainan anatomi atau
kelainan struktur sejenisnya (non organik).Nyeri kepala sekunder adalah nyeri
kepala yang jelas ada kelainan anatomi atau kelainan struktur dan sejenisnya
(Organik) dan bersifat kronis progresif (Ginberg, 2008).
Etiologi nyeri kepala meliputi (Harsono, 2005):
a. Mekanik
Penyebab paling umum, menyebabkanterhambatnya aliran darah ke
jaringan
b. Thermal
Perubahan suhu yang drastis dan besar dapat pula menyebabkan
vasokontriksi / vasodilatasi dari pembuluh darah sekitar otak
c. Kimia
Bradikinin, serotonin, histamin, enzim proteolitik  bekerja
meningkatkan sensitivitas free nerve ending.
d. Psikologi
Nyeri dapat dibagi menjadi 2 (Harsono, 2005):
1) Fast Pain
a. Nyeri akut dirasakan dalam waktu 0,1 sekon setelah stimulus
diberikan.
b. Penyebab : Stimulus mekanik dan termal

7
c. Signal : Ditransmisikan dari saraf perifer ke korda spinalis dengan
kecepatan 6 ± 30 m/s
d. Neurotransmiter : Glutamat
2) Slow Pain
a. Penyebab : Stimulus kimia, mekanik, dan termal
b. Signal : Ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis
melalui serat C dengan kecepatan 0,5 ± 2 m/s
c. Neurotransmiter : Substasi P
Contoh nyeri kepala primer:

Keterangan: Gambar 3: jenis nyeri kepala primer

1. Kepala tegang Otot (tension type headache)


Sakit kepala tegang otot adalah jenis yang paling banyak dijumpai,
dan mungkin sering kita alami. Sakit kepalanya ada di kedua belah sisi
kepala, rasanya menekan, kadang terasa berat dengan nyeri tumpul
yang konstan. Bisa berada di sebelah depan, samping, atau bagian
belakang kepala, tapi umumnya bilateral (kedua belah
sisi). Sakit kepala jenis ini disebabkan karena adanya otot-otot sekitar
kepala yang berkontraksi atau menegang. Biasanya disebabkan karena
posisi tubuh yang tidak banyak bergerak, atau berada dalam satu posisi

8
tertentu terlalu lama, atau terlalu banyak membaca, bekerja di depan
komputer, terlalu banyak berpikir, dll. (Davis, 2004).
2. Migrain
Sering dikenal sebagai sakit kepala sebelah. Sakit kepalanya
memang umumnya terjadi di sebelah sisi kepala saja. Jika tension-
type headache melibatkan otot kepala, migrain melibatkan pembuluh
darah sekitar kepala dalam patofisiologinya, makanya rasanya
berdenyut-denyut. Pada awalnya pembuluh darah berkontraksi
(vasokonstriksi), tapi kemudian diikuti dengan pelebaran pembuluh
darah (vasodilatasi). Ada tahapan-tahapan pada kejadian migrain.
Secara umum terjadi seperti berikut ini menurut Davis, 2004:
1. Fase Prodrome
Suatu rangkaian “peringatan” sebelum terjadi serangan, yang
meliputi perubahan mood, perubahan perasaan /sensasi (bau atau
rasa), atau lelah dan ketegangan otot
2. Nyeri kepala
Umumnya satu sisi, berdenyut-denyut, disertai mual, dan pada
beberapa orang mungkin bisa sampai muntah, menjadi sensitif
terhadap cahaya dan suara. Sakitkepala ini terjadi selama sekitar 4
– 72 jam.
3. Postdrome
Tanda-tanda setelah migrain berakhir, seperti tidak bisa makan,
tidak konsentrasi, kelelahan.
Serangan migrain dapat dipicu oleh berbagai hal, antara lain adalah: panas
dan cahaya berlebihan, bau-bauan menyengat, makanan tertentu,
terlalu lelah, stress pikiran, faktor hormonal, dll. Pemicunya bervariasi
antar individu. Beberapa orang akan mengalami migrain menjelang haid,
misalnya, orang lain akan kena migrain jika kelelahan, dll. Migrain
sebenarnya akan reda dalam sendirinya, tetapi kadang penderita tidak cukup
kuat mentoleransi sakit kepalanya, apalagi jika harus tetap beraktivitas, maka
diperlukan pengobatan. (Davis, 2004)

9
Patofisiologi nyeri kepala dapat digambarkan sebagai berikut (Harsono,
2007):

rangsangan diterima
memotong thalamus
oleh nosiseptor
capsula interna ke korteks cerebri
meningal dan sentral
pars pascacentralis
trigeminal

cornu dorsal medula naik kebatang otak di


turun kembali
spinalis capsula interna

sistem limbik /
memotong garis naik ke jalur sensorik
hipotalamus
tengah disubstansia nyeri ditraktus
(mengendalikan
gelatinus spinothalamicus
persepsi nyeri)

Terdapat beberapa faktor pemicu yang dapat menyebabkan sakit kepala,


diantaranya adalah (Mardjono, 1997):
- Perubahan hormon estrogen:
Pada wanita, saat jumlah hormon estrogen tidak stabil contohnya
pada saat dan sebelum haid, selama kehamilan, penggunaan alat
kontrasepsi/ sedang menjalani terapi hormon.
- Stimulasi indra tubuh:
Cahaya yang terlalu terang, suara yang terlalu keras dan bau
tertentu yang menyengat.
- Perubahan cuaca:
Pada cuaca yang ekstrim atau cuaca yang tidak menentu serta
tekanan perubahan udara
- Jadwal tidur yang tak terbiasa
Jadwal tidur yang terlalu sebentar / lama
- Kelelahan
Berolahraga / beraktivitas yang terlalu berat dari biasanya.
- Makanan dan minuman
Alkohol, kafein, coklat, makanan yang banyak mengandung MSG

10
C. Nyeri Kepala di Daerah Frontal, Temporal, dan Orbita
Nyeri (sakit) merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap saat
bila ada jaringan manapun yang mengalami kerusakan, dan melalui nyeri
inilah, seorang individu akan bereaksi dengan cara menjauhi stimulus nyeri
tersebut (Harsono, 2005).
Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri oleh
stimulus nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik, termal, dan
kimia. Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang umum karena
dapat mengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia jaringan),
meningkatkan metabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke
reseptor nyeri sensitif mekanik (Davis, 2004).
Termal, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh suhu yang tinggi tidak
berkorelasi dengan jumlah kerusakan yang telah terjadi melainkan berkorelasi
dengan kecepatan kerusakan jaringan yang timbul. Hal ini juga berlaku untuk
penyebab nyeri lainnya yang bukan termal seperti infeksi, iskemia jaringan,
memar jaringan, dll. Pada suhu 45 C, jaringan ± jaringan dalam tubuh akan
mengalami kerusakan yang didapati pada sebagian besar populasi (Davis,
2004).
Kimia, ada beberapa zat kimia yang dapat merangsang nyeri seperti
bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim
proteolitik. Dua zat lainnya yang diidentifikasi adalah prostaglandin dan
substansi P yang bekerja dengan meningkatkan sensitivitas dari free nerve
endings. Prostaglandin dan substansi P tidaklangsung merangsang nyeri
tersebut (Harsono, 2005).
Reseptor nyeri banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga pada
jaringan internal tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi,
falx, dan tentorium. Kebanyakan jaringan internal lainnya hanya diinervasi
oleh free nerve endings yang letaknya berjauhan sehingga nyeri pada organ
internal umumnya timbul akibat penjumlahan perangsangan berbagai nerve
endings dan dirasakan sebagaisl ow ± chronic- aching type pain (Guyton,
2007).

11
Nyeri dapat dibagi atas dua yaitu fast pain dan slow pain. Fast pain, nyeri
akut, merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu 0,1 s setelah stimulus
diberikan. Nyeri ini disebabkan oleh adanya stimulus mekanik dan termal.
Signal nyeri ini ditransmisikan dari saraf perifer menuju korda spinalis
melalui serat A-delta. Neurotransmitter yang mungkin digunakan adalah
glutamat yang juga merupakan neurotransmitter eksitatorik yang banyak
digunakan pada CNS. Glutamat umumnya hanya memiliki durasi kerja
selama beberapa milliseconds (Harsono, 2005).
Slow pain, nyeri kronik, merupakan nyeri yang dirasakan dalam wkatu
lebih dari 1 detik setelah stimulus diberikan. Signal nyeri ini ditransmisikan
dari saraf perifer menuju korda spinalis melalui serat C. Neurotramitter yang
mungkin digunakan adalah substansi P (Guyton, 2007).
Apabila rangsangan nyeri yang disebabkan oleh adanya tekanan, traksi,
displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-
nosiseptor mengenai struktur peka nyeri di kepala. Terutama jika struktur
tersebut yang terletak pada atau pun diatas tentorium serebelli dirangsang,
maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar pada daerah didepan batas garis
vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati puncak
kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini
ditransmisi oleh saraf trigeminus. Sedangkan rangsangan terhadap struktur
yang peka terhadap nyeri dibawah tentorium (pada fossa kranii posterior)
radiks servikalis bagian atas dengan cabang-cabang saraf perifernya akan
menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang garis tersebut, yaitu daerah
oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini ditransmisi
oleh saraf kranialIX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3. Akan tetapi
kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N. oksipitalis
mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi ipsilateral
(George, 2006).
Sedangkan alasan mengapa nyeri tersebut kemudian dapat menyebar ke
daerah orbita adalah karena nyeri kepala dipengaruhi oleh nukleus
trigeminoservikalis yang merupakan nosiseptif yang penting untuk kepala,
tenggorokan dan leher bagian atas. Semua aferen nosiseptif dari saraf

12
trigeminus, fasial, glosofaringeus, vagus, dan saraf dari C1 ± 3 beramifikasi
pada grey matter area ini. Nukleus trigeminoservikalis terdiri dari tiga bagian
yaitu pars oralis yang berhubungan dengan transmisi sensasi taktil
diskriminatif dari regio orofasial, pars interpolaris yang berhubungan dengan
transmisi sensasi taktil diskriminatif seperti sakit gigi, pars kaudalis yang
berhubungan dengan transmisi nosiseptif dan suhu (Davis, 2004).
Terdapat over lapping dari proses ramifikasi pada nukleus ini seperti
aferen dari C2 selain beramifikasi ke C2, juga beramifikasi ke C1 dan C3.
Selain itu, aferen C3 juga akan beramifikasi ke C1 dan C2. Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya nyeri alih dari pada kepala dan leher bagian
atas (Harsono, 2005).
Nyeri alih biasanya terdapat pada oksipital dan regio fronto orbital dari
kepala dan yang jarang adalah daerah yang dipersarafi oleh nervus
maksiliaris dan mandibularis. Ini disebabkan oleh aferen saraf tersebut tidak
atau hanya sedikit yang meluas ke arah kaudal. Lain halnya dengan saraf
oftalmikus dari trigeminus karena aferen saraf ini meluas ke pars kaudal
(George, 2006).

D. Hubungan Durasi Nyeri dengan Keluhan


Menurut Harsono, 2005 hubungan antara durasi dan periode nyeri dengan
jalannya penyakit dapat dinilai dengan mengambil contoh lesi hemisfer
serebri dengan gejala kelemahan tubuh kontralateral:
- Onset yang cepat dan kejadian ikutan yang statis member kesan suatu
kejadian vascular
(stroke), yaitu perdarahan atau infark.
- Suatu kejadian dengan progresi lambat lebih mengarah ke lesi berupa
massa, yaitu
tumor.
- Kejadian yang berulang dengan pola remisi umumnya mengarah pada
proses inflamasi
atau demielinisasi kronik, contohnya: sklerosis multiple.
(Silbernagl, 2007).

13
E. Nyeri Kepala Disertai Mual dan Muntah
Dikarenakan ketika kita sedang mengalami sakit kepala, akan terjadi
kenaikan kadar norepinefrin dalam plasma darah yang memicu aggregasi
platelet kedalam pembuluh darah otak, kemudian akan dilepaskan pula
beberapa mediator, salah satunya adalah serotonin dan dopamine,
peningkatan kadar serotonin dan dopamin ini akan merangsang pula pusat
muntah di batang otak dikarenakan tempat produksinya / pemicunya dalam
tempat yang sama dan berdekatan. Sehingga ketika serotonin dan mediator
lain meningkat, maka akan memicu rangsang muntah dan mual. (Price, 2010)

Selain sakit kepala, keluhan yang dirasakan pasien adalah mual dan mutah.
Mual didefinisikan sebagai sensasi subjektif tidak nyaman untuk muntah.
Muntah adalah suatu refleks paksa untuk mengeluarkan isi lambung melalui
esophagus dan keluar dari mulut.Koordinator utama adalah pusat muntah,
kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf -saraf ini
menerima input dari menurut Davis, 2004:
- Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
- Sistem vestibular (yang berhubungan dg mabuk darat dan mual karena
penyakit telinga tengah)
- Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

14
- Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan
dengan cedera fisik)
- Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Davis, 2004 mengatakan bahwa sensor utama stimulus somatik berlokasi
di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf
aferen vagus.
a. Mekanoreseptor: berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh
kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama
operasi.
b. Kemoreseptor: berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif
terhadap stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,
memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus
tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang
kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum,
ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral
dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus
tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan
dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif
terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak
dapat langsung merangsang CTZ Kortikal atas dan sistem limbik dapat
menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan,
aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus
solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan
simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris,
saluran cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui
pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga
tengah.Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1
(NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai
konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor
muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat

15
muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan
di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan
saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah
(Harsono, 2005).

16
BAB IV
SKEMA

Dono usia 35 tahun

Anamnesis : Sakit kepala, nyeri kepala pada bagian frontal dan temporal, menjalar
ke orbita dan berlangsung sekitar 5-10 menit, berdenyut, gejala sudah dirasakan 3
bulan yang lalu, 1 bulan kambuh 2-3x, ada mual dan muntah, saat sakit keapala
didahului hemiparesis dan diplopia.

Penyebab nyeri nya dari intracranial dan ekstrakranial

Lokasi pada bagian frontal, temporal dan menjalar ke orbita


Disebabkan neuoromuscular

Mual dan muntah disebabkan pelepasan substansi P dan CGRP, sehingga terjadi
inflamasi steril neurogenik pada kompleks trigeminovaskular

Hemiparesis dan diplopia disebabkan vasokontriksi motorik yang menyebabkan


kinerja saraf menurun

Diferensial diagnosis

Penegakan diagnosis

Diagnosis kerja dan tatalaksana

17
BAB V
LEARNING OBJECTIVE

1. Mahasiswa mampu menjelaskan migrain.


2. Mahasiswa mampu menjelaskan tension type headache.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan cluster headache.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan transient ischemic attack.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan diplopia.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan hemiparesis.

18
BAB VI
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

A. Migrain
a. Definisi
Menurut International Headache Society (IHS) migren adalah nyeri
kepala vaskular berulang dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72
jam. Nyeri biasanya sesisi (unilateral), sifatnya berdenyut, intensitas
nyerinya sedang sampai berat, diperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai
dengan mual dan atau muntah, fotofobia, dan fonofobia. (Harsono, 2005)

b. Epidemiologi
Migren dapat terjadi pada semua usia, tetapi biasanya muncul antara
usia 10-40 tahun dan angka kejadiannya menurun setelahusia 50 tahun.
Migren tanpa aura umumnya lebih sering dibandingkan migren disertai
aura dengan persentase sebanyak 90%. (Mardjono, 2004)

c. Etiologi
Menurut Harsono (2005), sampai saat ini belum diketahui dengan pasti
faktor penyebab migren, diduga sebagai gangguan neurobiologis,
perubahan sensitivitas sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminal
vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer. Diketahui
ada beberapa faktor resiko timbulnya serangan migren yaitu:
- Perubahan hormonal
Beberapa wanita yang menderita migren merasakan frekuensi
seranganakan meningkat saat menstruasi. Bahkan ada diantaranya
yang hanyamerasakan serangan migren saat menstruasi. Istilah
‘menstrual migraine’sering digunakan untuk menyebut migren
yang terjadi pada wanita saatdua hari sebelum menstruasi dan
sehari setelahnya. Ini terjadi disebabkanpenurunan kadar estrogen.

19
- Kafein
Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti
minumanringan, teh, cokelat, dan kopi. Kafein dalam jumlah yang
sedikit akanmeningkatkan kewaspadaan dan tenaga, namun bila
diminum dalam dosisyang tinggi akan menyebabkan gangguan
tidur, lekas marah, cemas dansakit kepala.
- Puasa dan terlambat makan
Puasa dapat mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat
puasa terjadipelepasan hormone yang berhubungan dengan stres
dan penurunan kadargula darah.
- Ketegangan jiwa
(stres) baik emosional maupun fisik atau setelah istirahatdari
ketegangan.
- Cahaya kilat atau berkelip
Cahaya yang terlalu terang dan intensitas perangsangan visual
yang terlalu tinggi akan menyebabkan sakit kepala pada manusia
normal. Mekanismeini juga berlaku untuk penderita migren yang
memiliki kepekaan cahayayang lebih tinggi daripada manusia
normal.
- Makanan
Penyedap makanan atau MSG dilaporkan dapat menyebabkan
sakitkepala, kemerahan pada wajah, berkeringat dan berdebar-
debar jikadikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut
kosong. Fenomenaini disebut ‘Chinese Restaurant
Syndrome’.Aspartam atau pemanis buatanpada minuman diet dan
makanan ringan, dapat menjadi pencetus migrenbila dimakan
dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.
- Banyak tidur atau kurang tidur
Gangguan mekanisme tidur seperti tidur terlalu lama, kurang
tidur, seringterjaga tengah malam, sangat erat hubungannya dengan
migren dan sakitkepala tegang, sehingga perbaikan dari mekanisme
tidur ini akanmembantu mengurangi frekuensi timbulnya migren.

20
- Faktor herediter
- Faktor kepribadian
- Faktor cuaca
Polusi udara, temperatur, suhu ruang yang tidak stabil
dipercayamempunyai pengaruh secara signifikan terhadap insidensi
terjadinyamigren.

d. Klasifikasi
Menurut The International Headache Society (1988), klasifikasi
migren adalah sebagai berikut:
1. Migren tanpa aura
2. Migren dengan aura
a. Migren dengan aura yang khas
b. Migren dengan aura yang diperpanjang
c. Migren dengan lumpuh separuh badan (familial hemiflegic
migraine)
d. Migren dengan basilaris
e. Migren aura tanpa nyeri kepala
f. Migren dengan awitan aura akut
3. Migren oftalmoplegik
4. Migren retinal
5. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
6. Migren dengan komplikasi
a. Status migren (serangan migren dengan sakit kepala lebih dari
72 jam)
- Tanpa kelebihan penggunaan obat
- Kelebihan penggunaan obat untuk migren
b. Infark migren
7. Gangguan seperti migren yang tidak terklasifikasikan
Dahulu dikenal adanya classic migraine dan common migraine.
Classic migraine didahului atau disertai dengan fenomena defisit
neurologik fokal, misalnya gangguan penglihatan, sensorik, atau
21
wicara. Sedangkan common migraine tidak didahului atau disertai
dengan fenomena defisit neurologic fokal. Oleh Ad Hoc Committee
of the International Headache Society (1987) diajukan perubahan
nama atau sebutan untukkeduanya menjadi migren dengan aura
untuk classic migraine dan migren tanpa aura untuk common
migraine. (Davis, 2004)

e. Patofisiologi
Berbagai macam teori dalam patofisiologi migrain dijabarkan oleh
Harsono, 2005 yaitu:
- Teori vaskularisasi
PD intracranial mengalami konstriksi (perifer)

Akibat aktifasi saraf nosiseptif setempat

PD ekstrakranial mengalami vasodilatasi

Sehingga teraba denyut jantung

Vasodilatasi ini yang akan menstimulasi rasa

sakit kepala

- Teori neuromuskular dan neurokimia


N. Trigeminus menghasilkan CGRP

CGRP adalah peptide yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten

Mengakbitkan vasodilatasi PD multiple

Menimbulkan nyeri kepal

Pada saat tidak serangan

22

Terjadi hipereksitabilitas neuron pada kortekas cerebral terutama occipital

Mengakibatkan neuron rentan terhaadap serangan

Jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi

Alodinia (hipersensitif nyeri)

Mekanisme migren berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang tidak stabil

Dengan cacat segmental pada jalur nyeri

Pemasukan afferen secara berlebihan


Dorongan pada kortibular yang berlebihan

Menimbulkan nyeri berdenyut

- Teori cortical spreading depression (CSD)


Pelepasan kalium atau asam amino eksitatorik seperi glutamat dari jaringan neural

Terjadi depolarisasi dan pelepasan neuorotransmiter lagi

Eksitasi neuron terjadi disubstansia nigra yang menyebar dg kecepatan 2-6
mm/menit

Diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola yang sama

Membentuk irama vasodilatasi yg diikuti vasokontriksi

23
CSD dg aura CSD tanpa aura

Menstimulasi n. trigeminalis Merangsang N. trigeminalis

Nukleus kaudatus Nukleus kaudalis



Menstimulasi PD kranial untuk dilatasi

CGRP & substansi P akan dikeluarkan

Esktravasi plasma dan menyebabkan vasodilatasi

Terjadi inflamasi steril neurogenik pada komplek trigeminalis

f. Menifestasi klinis
Manifestasi klinis pada penyakit ini dapat dibedakan dalam beberapa
hal, seperti yang ditulis oleh Davis, 2004 dalam bukunya maka penderita
migrain akan mengeluhkan hal sebagai berikut:
- Dengan AURA
- Nyeri kepala berdenyut
- Unilateral
- Durasi serangan selama 10-30 menit
- Periode AURA
- Depresi
- Mudah tersinggung
- Gelisah
- Mual atau hilangnya nafsu makan
- Fotofobia dan fenofobia
- Kesemutan/kelemahan pada lengan dan tungkainya
a) Fase prodromal
Kepala terasa ringan, rasa tidak nyaman, memburuk jika makan
makanan tertentu, mengunyah terlalu kuat, sulit bicara

24
b) Fase Aura
Berlangsung <30 menit, fotofobia, kesemutan, perasaan gatal
pada wajah dan tangan, sedikit lemah pada ekstremitas, pusing

c) Fase sakit kepala


Kepala berdenyut berat, fotofobia, mual, dan muntah dengan
durasi beberapa jam dalam 1 hari bahkan lebih.

d) Fase pemulihan
Kontraksi otot leher dan kulit kepala sakit otot dan ketegangan
lokal, kelelahan (Sidarta, 2004).

g. Kriteria diagnosis
Kriteria Diagnosis Migren Tanpa Aura menurut Davis, 2004:
- Sekurang-kurangnya 10 kali serangan termasuk B-D
- Serangan nyeri kepala berlangsung antara 4-72 jam (tidak diobati
ataupengobatan yang tidak adekuat) dan diantara serangan tidak
ada nyeri kepala.
- Nyeri kepala yang terjadi sekurang-kurangnya dua karakteristik
sebagaiberikut:
1. Lokasi unilateral
2. Sifatnya berdenyut
3. Intensitas sedang sampai berat
4. Diperberat dengan kegiatan fisik
- Selama serangan sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut
di bawahini:
1. Mual atau dengan muntah
2. Fotofobia atau dengan fonofobia
- Sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut dibawah ini:
1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan
adanyakelainan organik
2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya
kelainanorganik tetapi pemeriksaan neroimaging dan
pemeriksaan tambahanlainnya tidak menunjukkan kelaianan.
25
Kriteria Diagnosis Migren dengan Aura menurut Davis, 2004:
- Sekurang-kurangnya 2 serangan seperti tersebut
- Sekurang-kurangnya terdapat 3 dari karakteristik tersebut dibawah
ini:
1. Satu atau lebih gejala aura yang reversible yang
menunjukkandisfungsi hemisfer dan/atau batang otak
2. Sekurang-kurangnya satu gejala aura berkembang lebih dari 4
menit,atau 2 atau gejala aura terjadi bersama-sama
3. Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit;
bila lebihdari satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama.
Nyeri kepalamengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri
kurang dari 60menit, tetapi kadang kadang dapat terjadi
sebelum aura.
- Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini:
1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan
adanyakelainan organik
2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya
kelainanorganik, tetapi pemeriksaan neuroimaging dan
pemeriksaan tambahanlainnya tidak menunjukkan kelainan
(Harsono, 2005).
h. Komplikasi
a) Status Migrenosus
Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam,
mendapat pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang
4 jam (tidak termasuk tidur) (Headache Classification Comittee of
International Headache Society, 2013) (Harsono, 2005).

b) Infark Migrenosus
Dahulu disebut migren komplikata. Migren komplikata adalah
keadaan satu atau lebih gejala aura yang tidak sepenuhnya hilang
dalam waktu 7 hari dan atau didapatkan infark iskemik pada
konfirmasi pemeriksaan neuroimaging. Insidensi sangat rendah,
biasanya jenis migren ini terjadi setelah lama menderita migren
26
dengan aura. Patogenesis belum diketahui, tetapi faktor
hiperaglutinasi dan hiperviskositas mempunyai peranan penting
(Harsono, 2005).

i. Penatalaksanaan
a) Medikamentosa
Obat non spesifik Harsono, 2005:
- Prochloperazine
Dosis 25 mg oral. Dosis mak 3 dosis /24 jam
- Metoclopramide
Dosis 10 mg IV sebelum/bersamaan dg pemberian
analgetik, NSAID, atau ergotmine derivative.

Obat spesifik Harsono, 2005:


- Dihydroergotamine (DHE)
Dosis 1 mg IM subcutan 0,5-1 mg
- Sumatriptan
Dosis 6 mg SC, diulang 1jam, mak 12 mg/hari, sediaan oral
dosis 25-100 mg/2 jam, dosis mak 200 mg/hari

Obat-obatan yang sering diberikan Harsono, 2005:


a. Beta blocker
- Propanolol dosis 10-20mg 2-3x1
- Atenolol dosis 40-160 mg/hari
- Timolol dosis 20-40 mg/hari
- Metropolol dosis 100-200 mg/hari
b. Calcium channel blocker

- Verapamil dosis 320-480 mg/hari


- Nifedipin dosis 90-360mg/hari
c. Antidepresan
- Amitriptilin dosis 25-125mg
d. Antikonvulsan
- Asam valproate dosis 250mg 3-4x1 (Maria, 2007).

27
b) Non medikamentosa
- Istirahat
- Hindari faktor pencetus
- Olahraga
(Goadsby, 2002).

B. Tension Type Headache


a. Definisi
Tension type headache disebut juga nyeri kepala tegang, nyeri kepala
kontraksi otot, nyeri kepala psikomiogenik, nyeri stres, nyeri kepala
esensial, nyeri kepala idiopatik, nyeri kepala psikogenik. (Harsono,
2005).

b. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ini menurut Harsono, 2005:
a) Tension Type Headache Episodik
Tension Type Headache Episodik diklasifikasikan menjadi 2
yaitu
1) Tension Type Headache Episodik yang infrequent
Deskripsi:
Nyeri kepala episodik yang infrequent berlangsung
beberapa menit sampai beberapa hari, nyeri bilateral, rasa
menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai
sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktifitas fisik rutin,
tidak didapatkan mual, tetapi bisa terdapat fotofobia atau
fonofobia (Sjahrir, 2005).
Kriteria Diagnosis:
1) Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata-
rata < 1 hari/bulan (< 12 hari/tahun).
2) Nyeri Kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
3) Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas yaitu :
- Lokasi bilateral
- Menekan atau mengikat (tidak berdenyut)

28
- Intensitasnya ringan sampai sedang
- Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan
atau naik tangga.
4) Tidak didapatkan :
- Keluhan mual atau muntah (bisa anoreksia)
- Lebih dari satu keluhan : fotofobia atau fonofobia.
Tension Type Headache Episodik yang infrequent
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
1) Tension Type Headache Episodik yang infrequent
yang berhubungan dengan nyeri tekan perikranial. Hal
ini ditandai dengan meningkatnya nyeri tekan
perikranial pada palpasi manual.
2) Tension Type Headache Episodik yang infrequent
yang tidak berhubungan dengan nyeri tekan
perikranial (Sjahrir, 2005).
2) Tension Type Headache Episodik yang infrequent
Deskripsi :
Nyeri kepala episodik yang frequent berlangsung
beberapa menit sampai beberapa hari, nyeri bilateral, rasa
menekan atau mengikat (tidak berdenyut), intensitas ringan
sampai sedang, nyeri tidak bertambah pada aktifitas fisik
rutin, tidak didapatkan mual / muntah, tetapi mungkin
terdapat fotofobia atau fonofobia (Sjahrir, 2005).
Kriteria diagnosis menurut Sjahrir, 2005:
1) Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1-15
hari/bulan selama paling tidak 3 bulan.
2) Nyeri Kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7
hari.
3) Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas yaitu:
- Lokasi bilateral
- Menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
- Intensitasnya ringan sampai sedang

29
- Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti
berjalan atau naik tangga.
4) Tidak didapatkan:
- Keluhan mual atau muntah (bisa anoreksia)
- Lebih dari satu keluhan (fotofobia atau
fonofobia).
Tension Type Headache Episodik yang frequent
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1) Tension Type Headache Episodik yang frequent yang
berhubungan dengan nyeri tekan perikranial. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya nyeri tekan perikranial
pada palpasi manual.
2) Tension Type Headache Episodik yang frequent yang
tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranial.
b) Tension Type Headache Kronik (CTTH)
Deskripsi :
Nyeri kepala yang berasal dari Tension Type Headache
Episodik (ETTH) dengan serangan tiap hari atau serangan episodik
nyeri kepala lebih sering yang berlangsung beberapa menit sampai
beberapa hari, nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau
mengikat (tidak berdenyut) dengan intensitas ringan sampai
sedang, dan nyeri tidak bertambah pada aktifitas fisik rutin,
kemungkinan terdapat mual fotofobia atau fonofobia ringan
(Sjahrir, 2005).
Kriteria diagnostik menurut Sjahrir, 2005:
1) Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/bulan, berlangsung > 6 bulan.
2) Nyeri Kepala berlangsung beberapa jam atau terus menerus.
3) Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas yaitu :
- Lokasi bilateral
- Menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
- Intensitasnya ringan sampai sedang

30
- Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau
naik tangga.
4) Tidak didapatkan:
- Keluhan mual sedang atau berat, maupun muntah
- Lebih dari satu keluhan : fotofobia, fonofobia, mual yang
ringan.
Tension Type Headache Kronik (CTTH) diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu:
1) Tension Type Headache Kronik yang berhubungan dengan
nyeri tekan perikranial. Hal ini ditandai dengan
meningkatnya nyeri tekan perikranial pada palpasi manual.
2) Tension Type Headache Kronik yang tidak berhubungan
dengan nyeri tekan perikranial
c. Penatalaksanaan
a) Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis dibagi menjadi 2 yaitu Sjahrir, 2005:
1) Terapi abortif
Terapi ini digunakan untuk menghentikan atau mengurangi
intensitas serangan. Terapi abortif tersebut antara lain : aspirin
1000 mg/hari, acetaminophen 1000 mg/hari, NSAID
(Naproxen 660-750 mg/hari, ketoprofen 25-50 mg/hari,
tolfenamic 200-400 mg/hari, ibu profen 800 mg/hari,
diclofenac 50-100 mg/hari).
2) Terapi preventif
Terapi preventif tersebut antara lain: Amitriptilin (dosis 10-
50 mg sebelum tidur) dan nortriptilin (dosis 25-75 mg sebelum
tidur) yang merupakan antidepresan golongan trisiklik yang
paling sering dipakai. selain itu juga, selective serotonin uptake
inhibitor (SSRI) juga sering digunakan seperti fluoksetin,
paroksetin, sertralin (Dewanto, 2009).

31
b) Terapi Non-Farmakologis
Disamping mengkonsumsi obat, terapi non farmakologis yang
dapat dilakukan untuk meringankan nyeri tension type headache
antara lain Sjahrir, 2005:
1) Kompres hangat atau dingin pada dahi
2) Mandi air hangat
3) Tidur dan istirahat.
(Sjahrir, 2005).
d. Pencegahan
Cara untuk mencegah terjadinya tension type headache adalah dengan
menghindari faktor pencetus seperti menghindari kafein dan nikotin,
situasi yang menyebabkan stres, kecemasan, kelelahan, rasa lapar, rasa
marah, dan posisi tubuh yang tidak baik. Perubahan gaya hidup yang
diperlukan untuk menghindari tension type headache kronis dapat
dilakukan dengan beristirahat dan berolahraga secara teratur, berekreasi,
atau merubah situasi kerja (Sjahrir, 2005).

C. Cluster Headache
a. Definisi
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala
vaskular yang juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina
neuralgia, nyeri kepala histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia,
neuralgia migrenosa, atau migren merah (red migraine) karena pada waktu
serangan akan tampak merah pada sisi wajah yang mengalami nyeri
(Ginsberg, 2008).

b. Epidemiologi
Cluster headache adalah penyakit yang langka. Dibandingkan dengan
migren, cluster headache 100 kali lebih lebih jarang ditemui. Di Perancis
prevalensinya tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan sekitar 1/10.000
penduduk, berdasarkan penelitian yang dilakukan di negara lainnya.
Serangan pertama muncul antara usia 10 sampai 30 tahun pada 2/3 total
seluruh pasien. Namun kisaran usia 1 sampai 73 tahun pernah dilaporkan.

32
Cluster headache sering didapatkan terutama pada dewasa muda, laki-laki,
dengan rasio jenis kelamin laki-laki dan wanita 4:1. Serangan terjadi pada
waktu-waktu tertentu, biasanya dini hari menjelang pagi, yang akan
membangunkan penderita dari tidurnya karena nyeri (Harsono, 2005).

c. Etiologi
Etiologi cluster headache adalah sebagai berikut: (Mansjoer, 2000)
-
Penekanan pada nervus trigeminal (nervus V) akibat dilatasi
pembuluh darah sekitar.
-
Pembengkakan dinding arteri carotis interna.
-
Pelepasan histamin.
-
Letupan paroxysmal parasimpatis.
-
Abnormalitas hipotalamus.
-
Penurunan kadar oksigen.
-
Pengaruh genetik
Diduga faktor pencetus cluster headache antara lain:
-
Glyceryl trinitrate.
-
Alkohol.
-
Terpapar hidrokarbon.
-
Panas.
-
Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur.
-
Stres.
Positron emision tomografi (PET) scanning dan Magnetic resonance
imaging (MRI) membantu untuk memperjelas penyebab cluster headache
yang masih kurang dipahami (Mansjoer, 2000).

d. Patofisiologi
Patofisiologi cluster headachemasih belum diketahui dengan jelas, akan
tetapi teori yang masih banyak dianut sampai saat ini antara lain:
(Mansjoer, 2000)
- Cluster headache timbul karena vasodilatasi pada salah satu
cabang arteri karotis eksterna yang diperantarai oleh histamine
intrinsic (Teori Horton).

33
- Serangan cluster headache merupakan suatu gangguan kondisi
fisiologis otak dan struktur yang berkaitan dengannya, yang
ditandai oleh disfungsi hipotalamus yang menyebabkan kelainan
kronobiologis dan fungsi otonom. Hal ini menimbulkan defisiensi
autoregulasi dari vasomotor dan gangguan respon kemoreseptor
pada korpus karotikus terhadap kadar oksigen yang turun. Pada
kondisi ini, serangan dapat dipicu oleh kadar oksigen yang terus
menurun. Batang otak yang terlibat adalah setinggi pons dan
medulla oblongata serta nervus V, VII, IX, dan X. Perubahan
pembuluh darah diperantarai oleh beberapa macam neuropeptida
(substansi P, dll) terutama pada sinus kavernosus (teori Lee
Kudrow)

e. Menifestasi klinis
Nyeri kepala yang dirasakan sesisi biasanya hebat seperti ditusuk-tusuk
pada separuh kepala, yaitu di sekitar, di belakang atau di dalam bola mata,
pipi, lubang hidung, langit-langit, gusi dan menjalar ke frontal, temporal
sampai ke oksiput. Nyeri kepala ini disertai gejala yang khas yaitu mata
sesisi menjadi merah dan berair, konjugtiva bengkak dan merah, hidung
tersumbat, sisi kepala menjadi merah-panas dan nyeri tekan. Serangan
biasanya mengenai satu sisi kepala, tapi kadang-kadang berganti-ganti
kanan dan kiri atau bilateral. Nyeri kepala bersifat tajam, menjemukan dan
menusuk serta diikuti mual atau muntah. Nyeri kepala sering terjadi pada
larut malam atau pagi dini hari sehingga membangunkan pasien dari
tidurnya.
Serangan berlangsung sekitar 15 menit sampai 5 jam (rata – rata 2 jam)
yang terjadi beberapa kali selama 2-6 minggu. Sedangkan sebagai faktor
pencetus adalah makanan atau minuman yang mengandung alkohol.
Serangan kemudian menghilang selama beberapa bulan sampai 1-2 tahun
untuk kemudian timbul lagi secara cluster (berkelompok) (Harsono, 2005).

34
Gambar ciri khas cluster headache

Gambar gejala klinis cluster headche

f. Penegakan Diagnosis
a) Anamnesa
1. Usia timbulnya, syndrome yang benign seperti migraine, tension-
type headache dan cluster headache biasanya mulai sebelum usia
pertengahan. aneurisma, tumor otak lebih banyak pada usia sekitar
35 tahun.
2. Lamanya & frekwensi nyeri kepala. Lamanya keluhan nyeri kepala
pada pasien dapat mengarahkan kepada kelainan neurologi yang
progressive atau suatu keganasan. Nyeri kepala hebat yang akut
disertai dengan kehilangan kesadaran atau tanda-tanda gangguan
neurological fokal mengarah kepada subaraknoid hemoragia atau
meningitis. Nyeri kepala yang kronis misalnya pada migraine atau
tension type headache.

35
3. Sisi mana yang sakit. Tension type headache sering difuse dan
bilateral. Migraine dapat bilateral tapi lebih sering unilateral.
Cluster headache selalu unilateral
4. Kwalitas nyeri kepala. Kwalitas nyeri kepal sangat subyektif
tergantung pada keadaan psikologi pasien.
5. Saat timbulnya nyeri kepala. Cluster headache sering nyeri timbul
pada saat pasien tidur sehingga sering membangunkan pasien.
Tumor otak dalam ventrikel juga dapat menyebabkan nyeri
kepalapada saat tidur.
6. Fenomena lain yang menyertainya seperti photofobia, phonofobia,
gangguan penglihatan, dizziness, kelemahan otot, febris.
7. Hal hal lain yang memperburuk nyeri kepala misalnya batuk
(Harsono, 2005)
b) Pemeriksaan fisik.
1. Keadaan umum pasien & mentalnya.
2. Tanda tanda rangsangan meningeal
3. Adakah kelainan saraf cranial
4. Adakah kelainan pada kekuatan otot, refleks dan koordinasinya
(Harsono, 2005)
c) Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium darah ,LED
2. Lumbal punksi
3. Elektroensefalografi
4. CT Scan kepala , MRI kepala
(Harsono, 2005)

g. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan cluster headache. Tujuan dari
pengobatan adalah menurunkan keparahan nyeri dan memperpendek
jangka waktu serangan.
Obat-obat yang digunakan untuk cluster headache dapat dibagi menjadi
obat-obat simtomatik dan profilaktik. Obat-obat simtomatik bertujuan
untuk menghentikan atau mengurangi rasa nyeri setelah terjadi serangan
36
cluster headache, sedangkan obat-obat profilaktik digunakan untuk
mengurangi frekuensi dan intensitas eksaserbasi sakit kepala.
a) Pengobatan simtomatik termasuk :
1. Oksigen : Menghirup oksigen 100 % melalui sungkup wajah
dengan kapasitas 7 liter/menit.Efek dari penggunaannya relatif
aman, tidak mahal, dan efeknya dapat dirasakan setelah sekitar
15 menit . Kekurangannya oksigen mungkin hanya menunda
daripada menghentikan serangan dan rasa sakit tersebut akan
kembali.
2. Sumatriptan:Obat injeksi sumatriptan yang biasa digunakan
untuk mengobati migraine, juga efektif digunakan pada
cluster headache. Dengan dosis 6 mg
3. Ergotamin : Alkaloid ergot ini menyebabkan vasokontriksi pada
otot-otot polos di pembuluh darah otak. Tersedia dalam bentuk
injeksi dan inhaler, penggunaan intra vena bekerja lebih cepat
daripada inhaler dosis harus dibatasi untuk mencegah terjadinya
efek samping terutama mual, serta hati-hati pada penderita
dengan riwayat hipertensi.
4. Obat-obat anestesi lokal : Anestesi lokal menstabilkan membran
saraf sehingga sel saraf menjadi kurang permeabel terhadap ion-
ion. Hal ini mencegah pembentukan dan penghantaran impuls
saraf, sehingga menyebabkan efek anestesi lokal. Lidokain intra
nasal dapat digunakan secara efektif pada serangan cluster
headache. Namun harus berhati-hati jika digunakan pada pasien-
pasien dengan hipoksia, depresi pernafasan, atau bradikardi.
(Ginsberg, 2008)
b) Obat-obat profilaksis
1. Anti konvulsan: Mekanisme kerja obat-obat ini untuk mencegah
cluster headache masih belum jelas, mungkin bekerja dengan
mengatur sensitisasi di pusat nyeri.
2. Kortikosteroid: Prednison dosis tinggi diberikan selam beberapa
hari selanjutnya diturunkan perlahan. Mekanisme kerja

37
kortikosteroid pada cluster headache masih belum diketahui
(Ginsberg, 2008)
c) Pembedahan
Pembedahan di rekomendasikan pada orang-orang dengan cluster
headache kronik yang tidak merespon dengan baik dengan
pengobatan atau pada orang-orang yang memiliki kontraindikasi
pada obat-obatan yang digunakan. Seseorang yang akan mengalami
pembedahan hanyalah yang mengalami serangan pada satu sisi
kepal saja karena operasi ini hanya bisa dilakukan satu kali. Orang-
orang yang mengalami serangan berpindah-pindah dari satu sisi ke
sisi yang lain mempunyai resiko kegagalan operasi.Ada beberapa
tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengobati cluster
headache (Ginsberg, 2008).
Prosedur yang dilakukan adalah merusak jalur saraf yang
bertanggungjawab terhadap nyeri:
1. Blok saraf invasif ataupun prosedur bedah saraf non-invasif
(contohnya radio frekuensi pericutaneus, gangliorhizolisis
trigeminal, rhizotomi) telah terbukti berhasil mengobati
cluster headache. Namun demikian terjadi efek samping
berupa diastesia pada wajah, kehilangan sensoris pada kornea
dan anestesia dolorosa.
2. Pembedahan dengan menggunakan sinar gamma sekarang
lebih sering digunakan karena kurang invasif.
3. Metode baru dan menjanjikan adalah penanaman elektroda
perangsang dengan menggunakan penunjuk jalan stereostatik
di bagian inferior hipotalamus. Penelitian menunjukkan
bahwa perangsangan hipotalamus pada pasien dengan cluster
headache yang parah memberikan kesembuhan yang komplit
dan tidak ada efek samping yang signifikan.

38
h. Prognosis
1. 80 % pasien dengan cluster headache berulang cenderung untuk
mengalami serangan berulang.
2. Umumnya cluster headache adalah masalah seumur hidup.
3. Onset lanjut dari gangguan ini teruama pada pria dengan riwayat
cluster headache tipe episodik mempunyai prognosa lebih buruk
(Ginsberg, 2008)

D. Transient Ischemic Attack (TIA)


a. Definisi
Transient ischemic attack (TIA) atau serangan iskemik transien adalah
gangguan sementara dalam fungsi otak akibat penyumbatan aliran darah
ke otak yang sementara (Johnston, 2015).

b. Etiologi
1. Trombosis
Aterosklerosis (tersering); Vaskulitis: arteritis temporalis,
poliarteritis nodosa; Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau
traumatik); Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit
sel sabit).
2. Embolisme
- Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium,
penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung, katup prostetik,
kardiomiopati iskemik;
- Sumber tromboemboli aterosklerotik di arteri: bifurkasio karotis
komunis, arteri vertebralis distal; Keadaan hiperkoagulasi:
kontrasepsi oral, karsinoma.
3. Vasokonstriksi
4. Vasospasme serebrum setelah PSA (Perdarahan Subarakhnoid).
Terdapat empat subtipe dasar pada stroke iskemik berdasarkan
penyebab: lakunar, thrombosis pembuluh besar dengan aliran pelan,
embolik dan kriptogenik (Dewanto dkk, 2009).

39
c. Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat
menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
a) Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan
insufisiensi aliran darah
b) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau
perdarahan aterom
c) Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai
emboli
d) Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi
aneurisma yang kemudian dapat robek.
Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan
otak di bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga bertindak
sebagai iritan yang menyebabkan terjadinya vasospasme lokal di segmen
di mana embolus berada. Gejala kliniknya bergantung pada pembuluh
darah yang tersumbat. Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus
atau embolus, maka area sistem saraf pusat (SSP) yang diperdarahi akan
mengalami infark jika tidak ada perdarahan kolateral yang adekuat. Di
sekitar zona nekrotik sentral, terdapat ‘penumbra iskemik’ yang tetap
viabel untuk suatu waktu, artinya fungsinya dapat pulih jika aliran darah
baik kembali. Iskemia SSP dapat disertai oleh pembengkakan karena dua
alasan: Edema sitotoksik yaitu akumulasi air pada sel-sel glia dan neuron
yang rusak ; Edema vasogenik yaitu akumulasi cairan ektraselular akibat
perombakan sawar darah-otak. Edema otak dapat menyebabkan
perburukan klinis yang berat beberapa hari setelah stroke mayor, akibat
peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi struktur-struktur di
sekitarnya (Smith et al, 2001).

40
d. Gejala Klinis
1. Salah satu sisi mulut dan wajah penderita terlihat turun.
2. Lengan atau kaki yang mengalami kelumpuhan atau menjadi lemah
sehingga tidak bisa diangkat yang kemudian diikuti kelumpuhan pada
satu sisi tubuh.
3. Cara bicara yang kacau dan tidak jelas.
4. Kesulitan memahami kata-kata orang lain.
5. Kehilangan keseimbangan atau koordinasi tubuh.
6. Pusing
7. Linglung.
8. Kesulitan menelan.
9. Pandangan yang kabur atau kebutaan.
10. Daerah arteri yang terkena akan menentukan gejala yang terjadi:
- Karotis (paling sering):
- Hemiparesis,
- Hilangnya sensasi hemisensorik,
- Disfasia,
- Kebutaan monokular (amaurosis fugax) yang disebabkan oleh
iskemia retina.
- Vertebrobasilar:
- Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternatif,
- Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut),
- Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia-setidaknya dua dari
tigagejala ini terjadisecarabersamaan (Johnston, 2015).

e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan neurologi: seperti kemampuan koordinasi serta respons
tubuh.
2. Tes darah: Tes ini memungkinkan dokter untuk memeriksa faktor
risiko di balik TIA, misalnya kadar kolesterol dan gula dalam darah.
3. USG karotis: Jenis USG ini digunakan untuk memeriksa ada atau
tidaknya penyempitan atau penyumbatan pada arteri karotis di bagian
leher.
41
4. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG): Tes ini dapat mendeteksi
ritme jantung abnormal yang menjadi salah satu faktor risiko TIA.
5. MRI dan CT scan untuk otak: Langkah ini ditempuh jika letak TIA
pada otak tidak diketahui (Johnston, 2015).

f. Penatalaksanaan
1. Anti platelet : Aspirin, clopidogrel, dan dipyridamole
2. Anti koagulan : warfarin, dabigatran, dan heparin
3. Antihipertensi : beta-blockers
4. Statin : simvastatin, rosuvastatin, dan atorvastatin
(Ginsberg, 2008).
g. Pencegahan
Pentingnya identifikasi TIA untuk pencegahan stroke, dengan cara
memodifikasi faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, alkohol, merokok,
obesiti, sindrom metabolik, aktivitas fisik, kolesterol, diet dan obat-obatan.
Mengobati penyakit jantung yang telah ada (aritmia, penyakit katup
jantung, penyakit jantung koroner, dan gagal jantung). Memperbaiki
kontrol diabetes, mengurangi asupan alkohol berlebihan sangat dianjurkan,
walaupun efek dari masing-masing kegiatan tersebut dalam menurunkan
risiko stroke masih belum jelas. Konsumsi alkohol ringan sampai sedang
menurunkan risiko penyakit jantung koroner, dan mungkin memilik efek
protektif ringan pada risiko stroke (Ginsberg, L, 2008).

h. Prognosis
TIA tidakmenyebabkankerusakanpermanenpadaotak.Lebihdari 10%
orang TIA akan mengalami stroke dalam waktu 3 bulan. Biasanya terjadi
selama 48 jam setelah TIA (Ginsberg, 2008)

E. Diplopia
a. Definisi
Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda,
dan ops yang berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan
berupa melihat dua gambaran dari satu objek (Ilyas, 2008).

42
b. Pembagian Diplopia
Diplopia Monokuler
Diplopia monokuler adalah penglihatan ganda yang timbul pada mata
yang sakit saat mata yang lain ditutup. Diplopia monokuler merupakan
keluhan yang dapat diberikan oleh penderita dan sebaiknya diperhatikan
adalah adanya kelainan refraksi. Bila terjadi gangguan pembiasan sinar
pada mata, maka berkas sinar tidak homogen sampai di makula yang akan
menyebabkan keluhan ini.
Aberasi optik dapat terjadi pada kornea yang ireguler akibat
mengkerutnya jaringan kornea atau permukaan kornea yang tidak
teratur.Hal ini juga terjadi pada pemakaian lensa kontak lama atau tekanan
kalazion.Diplopia monokuler sering dikeluhkan oleh penderita katarak
dini.Hal ini juga akibat berkas sinar tidak difokuskan dalam satu per satu.
Kadang-kadang iridektomi sektoral juga memberikan keluhan diplopia.
Kelainan di luar bola mata yang dapat menyebabkan diplopia
monokuler adalah bila melihat melalui tepi kaca mata, koreksi
astigmatisme tinggi yang tidak sempurna, sedang kelainan optik di dalam
mata yang memberikan keluhan diplopia monokuler adalah miopia tinggi,
astimatireguler, dislokasi lensa, udara atau benda transparan dalam mata,
spasme ireguler dari badan silier dan megalokornea, makulopatia, ablasi
retina, iridodialis, ireguler tear film, dan katarak (Ilyas, 2008).

Diplopia Binokuler
Diplopia binokuler adalah penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan
kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Pada esotropia
atau satu mata bergulir ke dalam maka bayangan di retina terletak sebelah
nasal makula dan benda seakan-akan terletak sebelah lateral mata tersebut
sehingga pada esotropia atau strabismus konvergen didapatkan diplopia
tidak bersilang (uncrossed) atau homonimus. Sedang pada eksotropia atau
strabismus divergen sebaliknya diplopia bersilang (crossed) atau
heteronimus.

43
Penyebab diplopia binokuler dapat terjadi karena miastenia gravis,
parese atau paralisis otot penggerak mata ekstraokuler.Saraf kranial III
yang mengenai satu otot kemungkinan adalah lesi nuklear (Ilyas, 2008).

c. Mekanisme Diplopia
Dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler dan aberasi
okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina).Kunci paling penting
untuk mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan
termasuk diplopia monokuler atau diplopia binokuler. Misalignment
okuler pada pasien dengan penglihatan binokuler yang normal akan
menimbulkan diplopia binokuler. Misalignment okuler menyebabkan
terganggunya kapasitas fusional sistem binokuler.Koordinasi
neuromuskuler yang normal tidak dapat menjaga korespondensi visual
objek pada retina kedua mata. Dengan kata lain, sebuah objek yang sedang
dilihat tidak jatuh pada fovea kedua retina, maka objek akan tampak pada
dua tempat spasial berbeda dan diplopia pun terjadi.
Pada hampir semua keadaan, diplopia monokuler disebabkan oleh
aberasi lokal pada kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu
retina.Diplopia monokuler tidak pernah disebabkan oleh misalignment
okuler.
Mekanisme diplopia yang ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi
korteks visual primer atau sekunder. Disfungsi ini akan menimbulkan
diplopia monokuler bilateral dan harus dipertimbangkan saat tidak
ditemukan aberasi okuler pada pasien.
Terakhir, diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut
diplopia fungsional/ fisiologis.Pasien dengan diplopia fungsional juga
sering mengeluhkan berbagai gejala somatik atau neurologis (Pelak, 2004).

44
d. Etiologi
a. Diplopia Monokuler
Penyebab Oftalmik
Penyebab oftalmik paling umum untuk diplopia monokuler adalah
kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan defek kornea yang lain.
Deskripsi tertentu mengenai diplopia dapat membantu pemeriksa
menentukan penyebabnya.Pasien dengan defek kornea sering
mengalami penglihatan ganda sebagai sebuah “bayangan” atau
gambaran kedua yang mengelilingi objek. Mereka juga akan mengeluh
penglihatannya berkabut atau kabur. Kelainan kornea yang umum
termasuk astigmatisme, jaringan parut kornea, dan defek kornea yang
diinduksi pembedahan laser mata (LASIK).Pembentukan katarak
menyebabkan kehilangan tajam penglihatan dan silau, namun kadang-
kadang pasien melaporkan diplopia sebagai gambaran “hantu” yang
lebih ringan dan kurang jelas.Defek retina yang melibatkan makula
menyebabkan distorsi objek yang tampak tertekuk atau
melengkung.Beberapa defek makula (misal membran neovaskuler
subretinal) biasanya monokuler namun dapat pula
binokuler.Oftalmoskopi memungkinkan pengenalan penyakit makular
dengan mudah dan harus dilakukan saat penyakit retina dicurigai
(Ilyas, 2008).

Penyebab Neurologis
Manifestasi yang jarang terjadi pada penyakit yang melibatkan
korteks visual primer maupun sekunder adalah persepsi gambaran
visual multipel yang merupakan fenomena monokuler bilateral karena
ada pada saat penutupan mata kanan ataupun kiri.Polipia serebral
(melihat 3 atau lebih gambaran) dan diplopia serebral adalah penyakit
kortikal yang jarang.Palinopsia (gangguan kortikal), dengan keluhan
gambaran objek multipel yang segera hilang bila menoleh dari objek
atau setelah objek dikeluarkan dari lapangan penglihatan.Pasien sering
menggunakan istilah strobe effect atau “setelah gambar” untuk
mendeskripsikan palinopsia.Lesi diskret pada korteks oksipitoparietal
45
atau oksipitotemporal, kejang, obat, dan migrain dapat menyebabkan
diplopia serebral, polipia serebral, atau palinopsia. Defek lapangan
pandang homonimus (defisit pada sisi yang sama untuk kedua mata)
sering dihubungkan dengan ilusi visual kortikal ini. Meskipun pasien
tidak selalu sadar akan kehilangan lapangan pandang (Pelak, 2004).

Penyebab nonpatologis
Pasien yang diplopianya fungsional umumnya memiliki keluhan
samar tentang penglihatan mereka. Pasien tidak boleh dilabel
“fungsional” sampai pemeriksaan oftalmik dan neurologik yang
lengkap mengindikasikan tidak adanya penyebab patologis. Kontrol
ulang mungkin diperlukan untuk meyakinkan bahwa etiologi dengan
fase relaps dan remiten bukanlah sumber dari diplopia (Ilyas, 2008).

b. Diplopia Binokuler
Dari mata hingga ke otak, terdapat 7 mekanisme berikut dan lokasi
yang terkait yang harus diingat saat mengumpulkan informasi
mengenai diplopia binokuler:
1. Displacement orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor,
infeksi, oftalmopati terkait-tiroid.
2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau
tumor, penjepitan otot ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau
hematom karena pembedahan mata.
3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati
mitokondrial, distrofi muskuler.
4. Kelainan neuromuscular junction: miastenia gravis, botulism.
5. Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik,
tumor atau massa, malformasi vaskuler, aneurisme, trauma,
meningitis, sklerosis mutipel
6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke,
hemoragik, tumor atau massa, trauma, malformasi vaskuler.
7. Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara
nukleus saraf kranial III, IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor

46
atau massa, trauma, sklerosis multipel, hidrosefalus, sifilis,
ensefalopati Wernicke, penyakit neurodegeneratif (Ilyas, 2008).
e. Pemeriksaan
Pemeriksaan Bola Mata, Orbita, dan Kelopak Mata
Eksoftalmometer digunakan untuk mendeteksi dan mengukur proptosis
atau enoftalmus, dan pembacaan yang lebih besar dari 21 mm untuk salah
satu mata atau perbedaan lebih dari 2 mm antara tiap mata
mengindikasikan proptosis atau enoftalmus.Beberapa orang (misal wanita
Afrika-Amerika) memiliki orbita yang dangkal dan pembacaan antara 23-
25 mm adalah normal.Jika eksoftalmometer tidak tersedia, pemeriksa
dapat melihat mata dari satu sisi atau dari atas untuk mengevaluasi
asimetri.
Fungsi palpebra dan posisinya juga harus diperiksa.Posisi palpebra atas
harus sedikit berada di bawah puncak iris.Jika kelopak atas berada di atas
iris dan sklera tampak, didiagnosis sebagai retraksi palpebra, dan jika
palpebra ketinggalan di belakang mata dengan gaze ke bawah disebut lid
lag.Kedua tanda ini sangat umum pada pasien dengan oftalmopati terkait-
tiroid.Penyakit pada otak tengah dorsal dapat menyebabkan retraksi
palpebra tapi tidak lid lag. Ptosis timbul bila jarak antara reflex cahaya
kornea di tengah pupil (terlihat saat pasien fiksasi pada cahaya yang
diarahkan padanya) dan palpebra atas kurang dari 4 mm. Penyebab
neurologis ptosis berasal dari disfungsi otot levator palpebra, yang
dikontrol oleh saraf kranial III, atau dari disfungsi otot Muller, yang
dikontrol oleh inervasi simpatis. Ptosis dari kelemahan otot Muller
disebabkan oleh sindrom Horner selalu minimal dan seringkali palpebra
bawah sedikit terangkat. Foto-foto lama membantu diferensiasi proses
akut vs kronik yang melibatkan bola mata, orbita, dan kelopak (Pelak,
2004).

Pemeriksaan Pergerakan Otot Ekstraokuler


Posisi gaze pokok diperiksa dengan menyuruh pasien mengikuti target
atau jari pemeriksa yang berada pada jarak 12 sampai 14 inci dari mata
pasien. Jika duksi atau versi terbatas, pemeriksa harus menentukan apakah
47
keterbatasan disebabkan oleh proses restriktif, kelemahan otot, disfungsi
neuromuscular junction, palsi saraf kranial, atau proses supranuklear. Tes
duksi paksa berguna untuk mendeteksi keterbatasan mekanik untuk pasien
dengan keterbatasan otot ekstraokuler yang substansial.Setelah pemberian
anestesi topical kornea dan konjungtiva, ujung kapas digunakan untuk
mencoba menggerakkan atau memaksa mata kearah di mana ada
keterbatasan.Jika tidak ada tahanan maka berarti tidak ada restriksi
mekanik.
Pemeriksaan secara garis besar mungkin tidak sensitif untuk
mengetahui penyebab diplopia binokuler, khususnya bila berhubungan
dengan palsi saraf III atau IV parsial.Maddox rod- sebuah lensa merah
dengan ridge- atau sebuah lensa merah tanpa ridge dapat dipakai untuk
menentukan keberadaan dan derajat misalignment okuler. Lensa merah
dipegang di depan mata kanan, sedangkan pasien melihat cahaya putih
pinpoint dari transluminator oftalmoskop atau dari sumber cahaya lain
yang dipegang oleh pemeriksa. Lokasi dari bar merah dilihat oleh pasien
menggunakan Maddox rod, atau cahaya merah dilihat oleh pasien
menggunakan lensa merah tanpa ridge, dalam hubungan dengan cahaya
putih mengindikasikan bagaimana mata misalignment.Torsi okuler dapat
diukur menggunakan double Maddox rod (Ilyas, 2008).

Pemeriksaan Neuromuscular Junction


Pemeriksaan untuk tanda otot ekstraokuler fatigable dan kelemahan
palpebra fatigable dengan pemulihan kekuatan didapat dengan teknik-
teknik seperti sustained gaze atau penutupan mata repetitif. Kelelahan otot
ekstraokuler sulit untuk diamati namun usaha untuk mempertahankan
posisi eksentrik gaze oleh pasien yang mengalami kelainan neuromuscular
junction akan menunjukkan peningkatan strabismus, bahkan pada pasien
tanpa bukti awal misalignment okuler. Tes duksi dan versi berulang otot
ekstraokuler tanpa istirahat atau pemulihan setelah mempertahankan gaze
akan meningkatkan oftalmoplegia. Kelemahan pada otot levator palpebra
menyebabkan ptosis. Ptosis yang dicirikan pemulihan setelah istirahat
dikenal sebagai Cogan’s lid twitch yang diamati dengan menyuruh pasien
48
mempertahankan fiksasi pada gaze ke bawah selama 10-20 detiik. Pasien
kemudian refiksasi dengan saccade (gerakan mata yang cepat) pada sebuah
target pada gaze primer (lurus ke depan). Jika saat kembali ke gaze primer
palpebra yang ptosis terangkat dan jatuh dengan cepat, Cogan’s lid twitch
positif. Trias ptosis fatigable, kelemahan otot ekstraokuler fatigable, dan
kelemahan otot orbicularis oculi merupakan dugaan kuat miastenia (Ilyas,
2008).

Pemeriksaan Saraf Kranial III, IV, dan VI


Pemeriksaan batas pergerakan otot ekstraokuler serta penentuan derajat
misaligment horizontal atau vertikal pada berbagai posisi gaze, dan dengan
kepala miring ke kanan atau ke kiri, dapat membantu menentukan
keterlibatan saraf kranial untuk defisit yang terjadi. Misalignment okuler
paling nyata pada arah gaze dari otot yang mengalami kelemahan (Ilyas,
2008).
Saraf kranial III menginervasi otot rectus superior, inferior, dan medial;
otot obliks inferior; otot sfingter pupil; dan levator palpebra superior. Lesi
pada saraf III memiliki gejala: supraduksi terbatas, infraduksi, dan
adduksi; midriasis dan paralisis pupil total atau parsial; dan ptosis total
atau parsial dari mata yang terkena. Ketika mata yang normal fiksasi pada
target yang jauh pada gaze primer, mata yang sakit biasanya akan ke
bawah dan keluar karena kerja otot rektus obliks superior dan rectus lateral
yang diinervasi saraf IV dan VI yang tidak dapat dilawan. Paralisis total
otot ekstraokuler dan palpebra tanpa keterlibatan pupil paling karena
iskemia saraf III. Pada kasus palsi saraf III, Maddox rod atau tes kaca
merah diperlukan untuk memverifikasi diagnosis. Maddox rod
memperlihatkan hiperdeviasi pada mata yang sakit pada gaze ke bawah
dan hiperdeviasi mata yang sehat pada gaze ke atas dikenal sebagai
hiperdeviasi alternatif. Ada juga eksodeviasi yang memburuk saat mata
yang sakit diadduksi.
Saraf kranial IV menginervasi otot obliks superior yang infraduksi dan
intorsi mata. Saat mata yang normal fiksasi pada target yang jauh pada
gaze primer, misaligment tidak tampak, untuk itu karena keterbatasan pada
49
gaze ke bawah sulit diamati secara langsung, palsi saraf IV kurang dikenal.
Jika tanpa keterbatasan dengan infraduksi dan adduksi jelas bagi
pemeriksa, pasien dapat disuruh melihat garis lurus pada kertas yang
ditempatkan dekat dan di bawah mata ke kanan dan ke kiri.Jika
penglihatan ganda ada, pasien menggambar gambar kedua yang
salah.Gambar yang salah harus berada di bawah garis dan miring pada
kasus-kasus palsi saraf IV yang membuat tanda panah yang menunjuk ke
sisi yang palsi.Oleh karena fungsi intorsi otot obliks superior, pemisahan
gambar ganda meningkat saat kepala dimiringkan ke arah sisi yang palsi
saraf IV dan defisit membaik jika kepala dimiringkan ke sisi yang
berlawanan dengan palsi saraf IV.Singkatnya palsi saraf IV memburuk
bila kepala dimiringkan.
Saraf kranial VI menginervasi otot rectus lateral yang mengabduksi
mata. Saat mata yang normal difiksasi pada target yang jauh pada gaze
primer, mata yang sakit akan deviasi ke dalam (esotropia) (Ilyas, 2008).

Pemeriksaan batang otak


Supaya dapat mengetahui fungsi batang otak, saraf III, IV, dan VI juga
saraf kranial lain- harus dites. Tes kekuatan dan sensasi fasial, sensasi
kornea, kekuatan maseter, pendengaran, elevasi palatum dan uvula,
kekuatan sternokleidomastoid dan trapezius, refleks muntah, dan posisi
dan kekuatan lidah akan melengkapi pemeriksaan saraf kranial (Ilyas,
2008).

Pemeriksaan jalur supranuklear


Kemampuan untuk mengatasi keterbatasan motilitas okuler adalah
pemeriksaan yang penting pada defisit motilitas supranuklear.Pada kasus
dengan lesi supranuklear, nuklei yang mengontrol saraf III, IV dan VI
masih intak dan fasikulus masih berfungsi normal.Oleh karena itu,
stimulasi nuklei dengan gerakan kepala menimbulkan duksi okuler
penuh.Untuk melakukan manuver okulosefalik, pasien harus fiksasi pada
objek yang jaraknya 14-16 inci, seperti jempol pasien atau hidung
pemeriksa.Kemudian, saat pasien sedang fiksasi, kepala di putar ke kanan

50
dan kiri dan atas dan bawah.Gerakan kepala ini mengatasi keterbatasan
duksi atau versi karena kelainan disfungsi jalur supranuklear (Ilyas, 2008).

F. Hemiparesis
Hemiparesis adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada satu
sisi.Pada hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih
ringan daripada hemiplegi.Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa
yaitu infark serebral atau perdarahan.Hemiparase yang terjadi memberikan
gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi
ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah, kerusakan jaringan oleh
trauma atau infeksi, ataupun penekanan langsung dan tidak langsung oleh
massa hematoma, abses, dan tumor. Hal tersebut selanjutnya akan
mengakibatkan adanya gangguan pada traktus kortikospinalis yang
bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas dan bawah.
Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor, infark, atau
cedera traumatic, menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontralateral.
Hemiparesis yang terlihat pada wajah dan tangan (kelemahan brakhiofasial)
lebih sering terjadi dibandingkan di daerah lain karena bagian tubuh tersebut
memiliki area representasi kortikal yang luas (Price, 2003).

G. Penegakkan Diagnosis pada Skenario


Nyeri kepala atau headache, dimana orang awam menyebutnya dengan
istilah sakit kepala, adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakan di seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala.
Dalam melakukan diagnosa nyeri kepala perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam melakuan anamnesis
perlu dilakukan secara teliti terkait dengan banyaknya bahasa daerah pasien
yang mengarahkan berbagai keluhan nyeri itu sendiri.
Anamnesis khusus dengan keluhan utama nyeri kepala meliputi:
1. Jenis nyeri.
- Apa yang di maksud pasien dengan nyeri kepala?
- Bagaimana rasa nyeri kepala tersebut?(Berat, denyut, tarik, ikat,
pindah-pindah, tegang, seperti ditusuk-tusuk)

51
2. Kapan nyeri (keadaan khusus yang menyebabkan nyeri)
- Bagaimana awal nyerinya?
- Apakah timbul mendadak atau bertahap?
- Apa yang memicunya?
Cluster headache (nyeri sewaktu tidur atau baru bangun tidur),
tension headache (lebih sering siang dan sorehari, rangsangan emosi),
migren (cahaya, cuaca, alkohol), neuralgia trigeminal (tercetus waktu
menelan, bicara, sikat gigi), penyakitsinus (ISPA, pergantianmusim,
alergi)
3. Awitan (onset)
- Sudah berapa lama nyeri berlangsung?
Kronis (tension headace, post trauma, neurosis, sinusitis)
Akut (perdarahan non trauma, meningitis, glaucoma, stroke)
4. Frekuensi (periodesitas)
- Apakah nyerinya berlangsung terus menerus atau hilang timbul?
Terus menerus (tension headache), episode (migren)
- Berapa lama nyeri kepala tersebut berlangsung?
Migren (dalam jam), tension headache (hari-bulan), neuralgia
trigeminal (menyengat, detik-menit)
5. Lokasi nyeri
- Di kepala bagian mana letak nyer itersebut?
Seluruh kepala, tengkuk (tension Headache) , sekitar mata
(Cluster), separuh kepala (migren), menetap pada satu lokasi
(tumor)
6. Kualitas dan intensitas
- Bagaimana kualitas dan intensitas dari sakit kepala yang anda
rasakan?
Migren (denyut hebat, susah bekerja), cluster headache (denyut
seperti bor), tension headache (seperti memakai topi baja berat)
- Apakah kualitas dan intensitasnya bertambah?
Progresif (tumor)

52
7. Gejala penyerta
- Apakah ada gejalalain yang menyertai nyeri kepalatersebut?
Migren (muntah, vertigo, diplopia), Cluster (ptosis ipsi lateral,
miosis, konjungtiva merah), tension headache (fotofobia), muntah, dan
defisit neurologi.
Riwayat penyakit dahulu
1. Apakah anda pernah menderita sakit kepala seperti ini sebelumnya?
2. Apakah anda memiliki riwayat hipertensi (darah tinggi)?
3. Jika menderita hipertensi, apakah anda meminum obat secara teratur?
Riwayat penyakit keluarga
1. Apakah ada anggota keluarga lain yang sering sakit kepala seperti
anda?
2. Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita stroke,
hipertensi?
Tanyakan pula tentang faktor presipitasi, pola tidur, faktor
emosional/stress, riwayat keluarga, r i w a y a t t r a u m a k e p a l a , riwayat
operasi, riwayat alergi, prahaid (pada wanita), riwayat pemakaian obat
(analgetik, narkotik, penenang, vasodilator, dll)
Keluhan yang sebaiknya diperhatikan lebih lanjut ialah yang bersifat:
- Nyeri kepala yang pertama atau terberat dirasakan selamaini, apalagi
bila bersifat akut dan disertai gangguan neurologik.
- Nyeri kepala subakut yang memberat secara progresif dalambeberapa
hari/minggu.
- Nyeri kepala yang disertai demam, mual dan muntah yangtidak
berkaitan dengan penyakit sistemik.
- Nyerikepala disertai gangguan neurologik fokal, papil-edema,
gangguan/perubahan kesadaran dan/atau kaku kuduk.

53
Tabel jenis-jenis nyeri kepala

Nyeri Sifat Lama


Lokasi Frekuensi Gejala Ikutan
Kepala Nyeri Nyeri

Migren Berdeny Unilateral 6-48 jam Sporadik Mual, muntah, malaise,


umum ut atau Beberapa kali fotobia
Bilateral sebulan
Migren Berdeny Unilateral 3-12 jam Sporadik Prodromal visual, mual,
klasik ut atau Beberapa kali muntah, malaise, fotobia
bilateral sebulan
Klaster Menjemu Unilateral, 15-20 Serangan Lakrimasi ipsilateral,
-kan, orbita menit berkelompok wajah merah, hidung
tajam dengan tersumbat
remisi lama

Tipe Tumpul, Difus, Terus Konstan Depresi, ansietas


tegang ditekan Bilateral menerus

Neuralgia Ditusuk- Dermaton Singkat, Beberapa kali Zona pemicu nyeri


trigeminus tusuk saraf V 15-60 sehari
detik

Atipikal Tumpul Unilateral Terus Konstan Depresi, kadang-kadang


atau menerus psikosis
Bilateral

Sinus Tumpul/ Di atas Bervarias Sporadik atau Rinore


tajam sinus i konstan

Lesi desak Bervarias Unilateral Bervarias Bervariasi, Papiledema, defisit


ruang i (awal), , semakin neurologik fokal,
Bilateral progresif sering gangguan mental atau
(lanjut) perilaku, kejang, dll

(Lumbatobing, 2012).
54
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Disamping pemeriksaan fisik secara umum, dilakukan pemeriksaan
neurologis yang meliputi: Nervus kranialis, pupil, lapangan pandang,
gerakan bola mata, funduskopi untuk evaluasi keadaan n. II, retina dan
pembuluh darah retina, kekuatan otot, tonus dan koordinasi,reflex
fisiologis dan patologis, sensorik terutama sensorik kortikal (stereognosis),
gait, bising orbita, palpasi arteri superfisialis temporalis.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk membantu
menegakkan diagnosis.Pemeriksaan penunjang diperlukan bila dicurigai
adanya kelainan struktural yang mempunyai gejala seperti migren.
a. EEG.
Gambaran abnormal yang sering dijumpai adalah perlambatan
aktifitas listrik, peningkatan gelombang teta dan delta di daerah
kepala belakang, pada sisi nyeri kepala kadang-kadang didapatkan
gelombang tajam yang tidak spesifik
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Igarashi, 1998 melakukan pemeriksaan MRI pada 91 penderita
migren dan 98 kontrol, didapatkan lesi kecil di substansia alba
pada 15 dari 51 penderita (29,4%), sedangkan pada kontrol 11 dari
98 orang (11,2%) dan ini mempunyai perbedaan bermakna.
c. PET (Positron Emission Tomography).
Sachs membangkitkan serangan migren pada 5 penderita dengan
injeksi reserpin subkutan, kemudian dilakukan pemeriksaan PET
1,5 jam setelah pemberian, terjadi penurunan yang bermakna pada
metabolisme glukosa pada penderita migren (Davis, 2004).
Jadi, dari seluruh pemeriksaan yang telah dilakukan, yakni berupa
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang hasilnya didapatkan pada skenario
maka didapatkan hasil bahwa penderita kemungkinan mengalami nyeri
kepala primer dengan aura. Hasil ini terutama didapatkan setelah
mengetahui keluhan-keluhan penyerta dari pasien dan juga terkait lokasi
dari keluhan pasien.
55
Kesimpulan
Keluhan yang dialami Tn. Dono pada scenario mengarah pada migraine
dengan aura, hal ini dikarenakan pasien merasakan nyeri kepala pada daerah
frontal, temporal, dan orbita yang disertai dengan adanya diplopia (double
vision) dan hemiparesis (kelemahan satu sisi tubuh). Kemuingkinan diagnosis
yang lain adalah tension type headache, cluster headache, dan transient
ischemic attack. Penegakkan diagnosis untuk nyeri kepala lebih ditekankan
pada anamnesis yang dilakukan dokter kepada penderita nyeri kepala. Selain
itu penegakkan diagnosis dapat dibantu dengan melakukan pemeriksaan fisik
umum dan neurologic. Jika masih belum bisa ditegakkan dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa EEG, MRI, dan PET untuk melihat apakah
ada kelainan pada kepala penderita nyeri kepala.

Saran
Saran yang dapat sampaikan dalam tutorial kali ini adalah mahasiswa
sudah melakukan diskusi dengan cukup bagus, tapi diharapkan agar lebih
aktif lagi dalam bertanya dan mengemukakan pendapat.

56
Daftar Pustaka
Davis, LE., King M.L.,Schulz JL. 2004. Disorder of pain and headache. In:
Fundametals of Neurologic Disease. Newyork: Demos Medical
Publishing.

George, K.O. 2006. Migraine Headache. National Institute of Health. Newyork:


Demos Medical Publishing.

Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8.Erlangga Medical Series.


Jakarta: Medical Series.

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC.

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ilyas S. 2008.Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Lumbantobing S.M. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental .


Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Pelak VS. 2004. Evaluation of diplopia: An anatomic and systemic approach.


Hospital Physician: March.

Price, Sylvia dan Lorraine M.Wilson. 2003. Huriawati,dkk. Patofisiologi Nyeri.


edisi6 . Jakarta: EGC.

Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta: EGC

Sjahrir, H., 2005. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.

57

Anda mungkin juga menyukai