Anda di halaman 1dari 2

Bidasan Bahasa Kabinet Berlogika

Suprianto Annaf Redaktur Bahasa Media Indonesia

DALAM hitungan hari, kabinet paruh kedua Jokowi akan terbentuk lagi. Selain mencari kader
menteri yang hebat, Presiden harus memberi nama lembaga dan kementerian dengan tepat.
Berlogika dan bermanfaat. Nama kementerian yang tersemat pun hendaknya menjadi doa dan
harapan rakyat.

Kekhawatiran dan harapan di atas bukanlah tanpa alasan. Sudah bertahun nama kementerian di
negeri ini tersemat dalam logika tak beraturan. Dalam nama kementerian itu, sesi positif-negatif
terabaikan. Padahal, sekali lagi, nama kementerian haruslah membumikan harapan dan
kerelevanan: mengandung doa dan impian.

Nama kementerian itu kita bahas berurutan. Pertama, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi. Dalam deret nama itu, tertera kata pendayagunaan. Sepintas
tidak ada kesan salah. Akan tetapi, berusahalah untuk menelaah. Kesan tak berdaya akan jelas
terasa. Implikatur kata pendayagunaan menyimpan masalah. Ya, masalah bahwa aparatur negara
kita bukan kandidat tangguh. Namun, mereka rapuh sehingga harus dikuatkan secara utuh.
Karena alasan itu pula, aparatur negara harus diberdayakan. Dibina dengan banyak cara harus
ditempuh.

Pertanyaannya, bukankah aparatur negara itu para sarjana yang bertalenta? Mereka sudah terpilih
menjadi menteri melalui cara yang terpuji. Mereka diseleksi agar menjadi mandiri, baik secara
mental maupun akal budi. Lalu mengapa kementerian mereka tetap ada kata pendayagunaan
yang melabeli? Jangan-jangan ini ketakutan dan kekhawatiran bahwa mereka akan terlibat
praktik korupsi. Kalau soal ini, bukankah korupsi tetap saja terjadi? Hem!

Begitu pula kementerian urutan kedua, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Lagi-lagi nama ini mengandung kemiskinan harapan dan arti. Implikatur
yang muncul gampang ditafsirkan: perempuan dan anak Indonesia dikesankan tidak berdaya
sehingga perlu ada kementeriannya. Ini berarti, selagi kementerian ini ada, selama itu pula
perempuan kita tak berdaya.
Pertanyaannya, benarkah mereka tidak berdaya? Untuk anak-anak tentu kita bersepakat bahwa
mereka harus kuat. Hebat dan bermartabat. Sebaliknya, untuk perempuan, saya rasa mereka tidak
demikian. Di negeri ini mereka dihormati dalam undang-undang seperti kedudukan kaum lelaki:
sama rendah dan sama tinggi. Mereka tidak dilebihkan dan tidak dikurangi. Kalau nyatanya
banyak perempuan bertanggung jawab tidak seberat lelaki, tentulah yang disebut kodrati. Bukan
gender yang dieksploitasi.

Urutan ketiga, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kata desa
tertinggal mengharuskan kita berempati. Di negeri ini, nyatanya ada daerah yang merana. Tak
saja yang jauh di sana, tetapi juga yang dekat dengan kota. Sarana di desa-desa itu tidak banyak
mendapat sentuhan negara, tetapi dibangun seadanya dengan swadaya. Ya, tentu tidak terkelolah
dengan sempurna.

Kesan desa tertinggal tetaplah objek yang terabaikan. Rasa keadilan ditampilkan dalam polesan
kebijakan. Rakyat di desa dininabobokan dalam semu pembangunan. Nama dalam kementerian
itu bukanlah impian, melainkan itu benar kenyataan: desa tertinggal.

Mereka tertinggal dalam pembangunan. Lewat nama itu seakan desa dikuatkan. Nama lembaga
didekatkan dengan inti permasalahan. Namun sayang, logika membangun yang dimaksudkan
malah terbalik dan memiliki arti yang berlawan.

Sebagai usulan, nama-nama kementerian sebaiknya diubah sehingga berlogika. Kementerian


pemberdayaan perempuan diubah dengan kementerian peranan perempuan, sedangkan
kementerian desa tertinggal dipadankan menjadi kementerian kemajuan. Nama baru yang
melabeli menjadi mimpi yang diyakini agar negeri ini tegak berdiri, utuh, dan kukuh.

Anda mungkin juga menyukai