Anda di halaman 1dari 9

Amerika vs China: Era Baru Persaingan Kekuatan Besar Tanpa Batas

Persaingan Amerika vs China, perang dagang yang sengit telah berlangsung selama setahun, dan
masalah keamanan nasional dari minggu ke minggu menjadi masalah ekonomi. Meskipun Presiden AS
Donald Trump terus-menerus memuji Presiden China Xi Jinping―ia mengatakan mereka “akan selalu
menjadi teman”―gagasan China sebagai raksasa yang berbahaya, lebih berbahaya daripada Uni Soviet,
telah semakin meluas dalam pemerintahan AS. Sementara China juga telah memulai propagandanya
sendiri dengan mulai menayangkan film-film Perang Korea kuno yang menggambarkan agresi Amerika di
televisi pemerintah.

Ketika Presiden Trump bertemu Presiden China Xi Jinping minggu ini untuk membahas masalah
perdagangan, mereka akan saling berhadapan di negara yang pernah menjadi saingan komersial utama
Amerika Serikat, yang dipandang sebagai ancaman terhadap dominasi Amerika.

Tapi persaingan antara Amerika Serikat dan Jepang, yang menjadi tuan rumah yang KTT G20 minggu ini
untuk pertama kalinya, telah menjadi saingan bisnis yang normal setelah gelombang kecemasan Amerika
pada tahun 1980-an. Jepang mengalami stagnasi selama satu dekade, dan pada tahun 2010, China
mengambil alih sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia.

Namun, tidak ada tanda bahwa persaingan Amerika dan China akan mencapai keseimbangan yang sama.
Karena, Jepang adalah negara demokrasi yang memiliki aliansi militer dengan Amerika Serikat,
sementara China adalah negara otoriter yang kemungkinan besar berusaha menggusur dominasi militer
Amerika di Pasifik Barat.

Dalam persaingan China dengan Amerika Serikat, perang dagang yang sengit telah berlangsung selama
setahun, dan masalah keamanan nasional dari minggu ke minggu menjadi masalah ekonomi. Beberapa
pejabat senior Amerika telah mendesak untuk “melerai” kedua negara ini.

Elemen-elemen utama dalam hubungan―ekonomi dan komersial―telah menjadi terhambat, dan hanya
sedikit yang menyetujui kontur hubungan di masa depan atau besarnya konflik.

Bagi para pejabat Amerika, taruhannya sekarang tampak jauh lebih tinggi daripada dalam perlombaan
dengan Jepang. Sebagian besar ekonom memperkirakan China akan menyusul Amerika Serikat sebagai
ekonomi terbesar dalam 10 hingga 15 tahun. Dan beberapa pejabat senior di Washington sekarang
memandang China sebagai saingan ideologis, di mana Partai Komunis bertujuan tidak hanya untuk
menaklukkan warga tetapi juga untuk menyebarkan alat kontrol otoriter secara global―khususnya
pengawasan, komunikasi dan teknologi kecerdasan buatan―dan membangun pijakan militer di seluruh
samudera dan daratan.

Meskipun Trump terus-menerus memuji Xi―ia mengatakan mereka “akan selalu menjadi
teman”―gagasan China sebagai raksasa yang berbahaya, lebih berbahaya daripada Uni Soviet, telah
semakin meluas dalam pemerintahan AS. Itu diartikulasikan oleh Menteri Luar Negeri Mike Pompeo
selama kunjungan ke Belanda, bagian dari perjalanan selama seminggu di Eropa bulan ini di mana ia
berbicara tentang China di setiap perhentian.
“China juga memiliki terobosan di benua ini yang menuntut perhatian kita,” katanya dalam konferensi
pers di Den Haag. “China ingin menjadi kekuatan ekonomi dan militer yang dominan di dunia,
menyebarkan visi otoriternya bagi masyarakat dan praktik korupnya di seluruh dunia.”

Strategi Keamanan Nasional yang dikeluarkan oleh Gedung Putih pada Desember 2017 telah
memperingatkan: Amerika Serikat memasuki kembali era persaingan kekuatan besar, di mana China dan
Rusia “ingin membentuk dunia yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingan AS.” Namun sejak
itu, Trump dan pejabat kabinet, yang terganggu oleh Iran dan masalah kebijakan luar negeri lainnya,
telah gagal menguraikan strategi yang koheren.

Itu telah membuat para pejabat pemerintahan kesulitan untuk melakukan pendekatan ke China yang
memiliki unsur-unsur persaingan, penahanan, dan keterlibatan konstruktif.

Penasihat-penasihat terdekat Trump pada masalah China tidak sepakat dalam beberapa strategi. Pejabat
kebijakan luar negeri utamanya, John R. Bolton dan Pompeo, telah mendorong kebijakan yang keras,
seperti halnya Peter Navarro, penasihat perdagangan dan penulis buku dokumenter sekaligus film
dokumenter, “Death by China“. Di kamp yang berlawanan dengan mereka ada para taipan―di antaranya
Menteri Keuangan Steven Mnuchin, Stephen A. Schwarzman dan Steve Wynn.

Birokrat tingkat menengah merumuskan gagasan mereka sendiri. Pandangan tentang konflik ideologis
yang berlarut-larut dikemukakan dalam istilah yang gamblang oleh Kiron Skinner, kepala perencanaan
kebijakan di Departemen Luar Negeri, dalam sebuah pembicaraan di Washington pada 29 April.

“Ini adalah pertarungan dengan peradaban yang sangat berbeda dan ideologi yang berbeda, dan
Amerika Serikat belum pernah melakukan itu sebelumnya,” katanya. “Uni Soviet dan kompetisi itu,
kurang lebih, adalah pertarungan dalam keluarga Barat.”

Kapal induk pertama China, Liaoning, melaut tahun lalu. China kemungkinan akan berusaha menggusur
dominasi militer Amerika di Pasifik barat. (Foto: Agence France-Presse/Getty Images)

Sekarang, katanya, “ini pertama kalinya kami akan memiliki pesaing kekuatan besar yang bukan
Kaukasia.”

Banyak analis telah mencoba untuk melihat apakah pernyataan itu mengarah ke arah kebijakan baru.
Beberapa pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa itu tidak akan terjadi.

Walaupun ada pujian bipartisan di pemerintahan untuk garis pemerintahan yang lebih keras―dengan
langkah-langkah mulai dari tarif hingga sanksi perusahaan teknologi China―kritikus mengatakan mereka
melihat ambiguitas strategis tanpa strategi.

“Komponen ekonomi dan keamanan serta teknologi dan bahkan ilmiah dari hubungan AS-China sekarang
sedang digabungkan,” kata Jessica Chen Weiss, seorang profesor pemerintahan di Universitas Cornell
yang mempelajari politik dan nasionalisme China. “Apa yang mengkhawatirkan bagi banyak orang adalah
ketidakmampuan untuk menguraikan tingkat risiko yang berbeda dan seberapa jauh dan seberapa cepat
upaya untuk melerai Amerika Serikat dan China akan berjalan.”

Gagasan peleraian didasarkan pada premis bahwa dua ekonomi yang saling terkait ini memiliki risiko
keamanan yang signifikan bagi Amerika Serikat. Keterkaitan dipercepat ketika China memasuki Organisasi
Perdagangan Dunia pada tahun 2001 dan dalam beberapa tahun terakhir tampaknya tidak dapat diubah.
Tetapi penasihat perdagangan garis keras Trump ingin kedua negara untuk melepaskan rantai pasokan
mereka, yang berarti beberapa bisnis Amerika keluar dari China, dan yang lain berhenti menjual
komponen ke perusahaan-perusahaan China.

Trump secara sempit berfokus pada pemotongan defisit perdagangan dengan China, yang menurut
banyak ekonom tidak berarti. Tetapi pengenaan tarif dan ketidakpastian umum di sekitar hubungan
ekonomi memaksa beberapa perusahaan Amerika untuk memikirkan kembali untuk menjaga operasi di
China. Dan menempatkan perusahaan-perusahaan China, terutama Huawei, raksasa teknologi
komunikasi, pada apa yang para pejabat sebut sebagai daftar entitas untuk memotong pasokan
komponen-komponen Amerika.

China ingin menjadi kekuatan ekonomi dan militer yang dominan di dunia, menyebarkan visi otoriternya
bagi masyarakat dan praktik korupnya di seluruh dunia,” kata Menteri Luar Negeri Mike Pompeo saat
konferensi pers di Den Haag bulan ini. (Foto: Reuters/Piroschka Van De Wouw)

“Setelah periode globalisasi yang panjang dan menekan efisiensi ekonomi, keamanan nasional maju ke
garis depan,” kata Daniel M. Kliman, direktur Program Keamanan Asia-Pasifik di Pusat Keamanan
Amerika Baru.

Itu tidak luput dari perhatian di China. Musim semi ini, dengan memanasnya perang dagang, televisi
yang dikelola pemerintah China mulai menayangkan film-film Perang Korea kuno yang menggambarkan
agresi Amerika. Beberapa surat kabar memuat editorial tentang perang.

Dampak dari perjuangan semakin melebar. Petugas keamanan China telah menangkap dua pria Kanada
dengan tuduhan memata-matai pembalasan nyata atas penangkapan Meng Wanzhou, seorang eksekutif
puncak Huawei, atas permintaan ekstradisi oleh Amerika Serikat. FBI telah membatalkan visa para
peneliti China yang dicurigai memiliki hubungan intelijen.

Beberapa pengamat mengatakan mereka takut akan Red Scare yang baru.

“Alih-alih mengumumkan ancaman ke ‘seluruh masyarakat’ dari ‘peradaban yang bermusuhan,’ para
pejabat AS akan lebih bijak untuk menekankan nilai yang dibawa para imigran dari China dan negara-
negara lain, sambil membangun kebijakan untuk melindungi dari pencurian kekayaan intelektual,” kata
Weiss.

Kasus Huawei berada di ujung tanduk di pemerintahan AS atas dominasi ekonomi China dan ancaman
keamanan. Pemerintahan Trump telah mendorong negara-negara untuk melarang Huawei
mengembangkan jaringan komunikasi 5G, dengan alasan hal itu menimbulkan risiko keamanan nasional.
Huawei telah membantah tuduhan itu.

Layar yang memperlihatkan gambar Xi di Kashgar, di Xinjiang. Pelanggaran hak asasi manusia yang luar
biasa di wilayah ini adalah salah satu alasan utama banyak pejabat Amerika menyerah pada gagasan
perubahan masa depan menuju liberalisme di dalam Partai Komunis. (Foto: Agence France-Presse/Getty
Images/Greg Baker)

Tetapi keengganan sekutu dekat sekalipun untuk menerapkan larangan, kecuali Australia, menunjukkan
bagaimana negara-negara tidak mau membahayakan hubungan ekonomi mereka dengan China. Itu
termasuk Jepang, di mana pemerintah belum mengeluarkan larangan dan berusaha untuk memperkuat
hubungan dengan China dengan cara lain―di G20 di Osaka, Perdana Menteri Shinzo Abe berencana akan
menjamu makan malam untuk Xi.

Pemerintahan Trump juga telah mendorong negara-negara untuk menolak proyek-proyek infrastruktur
Sabuk dan Jalan China dan apa yang para pejabat Amerika sebut “diplomasi utang,” dengan hasil
beragam.

Beberapa perusahaan Amerika berusaha untuk melewati batas yang ditetapkan oleh pemerintahan
Trump dalam urusan mereka dengan China. Perusahaan semikonduktor, misalnya, telah menemukan
dasar hukum untuk menghindari larangan Departemen Perdagangan menjual komponen ke Huawei.

Tetapi pemerintah itu sendiri kadang-kadang melakukan pukulan terhadap China atas nama hubungan
ekonomi―suatu tanda bahwa fondasi tradisional hubungan itu masih berdiri sampai taraf tertentu.

Sejak tahun lalu, pemerintah telah memperdebatkan sanksi terhadap pejabat China atas peran mereka
dalam menginternir satu juta atau lebih Muslim di wilayah Xinjiang. Meskipun Pompeo dan pejabat
lainnya telah mendorong sanksi, Departemen Keuangan, yang dipimpin oleh Mnuchin, telah menentang
mereka karena takut mengganggu perundingan perdagangan. Jadi pemerintah tidak mengambil
tindakan.

Pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa di Xinjiang adalah salah satu alasan utama banyak pejabat
Amerika mengabaikan gagasan perubahan masa depan menuju liberalisme di dalam Partai Komunis.

Para pejabat China telah mengambil tindakan dari pemerintahan Trump untuk berargumen bahwa
Amerika Serikat sedang mencoba untuk menghentikan kebangkitan China. Pada hari Selasa (25/6),
People’s Daily, surat kabar resmi Partai Komunis, memuat komentar yang mendesak warga untuk
memperjuangkan martabat bangsa.

“Orang-orang China sangat memahami bahwa penindasan dan penahanan pemerintah Amerika
terhadap China adalah tantangan eksternal yang harus ditanggung China dalam pengembangan dan
pertumbuhannya,” kata surat kabar itu, “dan itu adalah rintangan yang harus kita atasi dalam
kebangkitan besar-besaran bangsa China.”
Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja perdagangan nasional bakal semakin berada dalam tekanan, apalagi
setelah Negara Paman Sam memberlakukan tarif baru atas impor barang China sebesar 25 persen.

Perang dagang Amerika Serikat-China diangkat menjadi tipok headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi
Sabtu (11/5/2019)

Kendati tidak terkait langsung, perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kian memanas itu
tetap bisa berdampak serius bagi perdagangan nasional, jika tidak segera disikapi.
Di sisi lain, hubungan antara kedua negara yang semakin meruncing tersebut juga bisa berdampak positif
bagi negara lain, termasuk RI, jika mampu menangkap peluang.

Pada Jumat (10/5) pukul 12.01 malam waktu Washington atau pukul 11.01 pagi WIB, Pemerintah AS
memberlakukan tarif baru sebesar 25% dari semula 10% terhadap barang-barang asal Cina senilai
US$200 miliar.

Tarif baru itu berlaku untuk lebih dari 5.700 kategori produk China, mulai dari sayur-sayuran olahan
hingga lampu Natal.

Keputusan Presiden AS Donald Trump itu diambil di tengah berlangsungnya pembicaraan lanjutan antara
kedua negara di Washington, AS pada 9 & 10 Mei 2019.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai semakin memanasnya hubungan AS-China juga akan
berisiko pada perekonomian kedua negara itu. Pada ujungnya, kondisi tersebut dapat menyeret negara
lain yang menjadi mitra dagang kedua negara itu.

“Ya, tentu saja bisa berpengaruh ke kita, kalau ditanya ada pengaruhnya atau tidak. Akan tetapi, kita
belum bisa hitung. Kita juga belum tahu lagi sikap Trump selanjutnya, yang dikenal suka berganti-ganti,”
ujar Darmin, Jumat (10/5).

Pelemahan ekonomi China, sambungnya, juga akan berimbas kepada penurunan ekspor RI, seiring
dengan menurunnya permintaan dari negara itu.

“Biasanya langkah AS itu juga akan dibalas oleh China. Jadi, walaupun kita tidak ikutan perang dagang,
tapi pasti bakal terkena imbasnya. Neraca dagang kita pasti menurun,” ujarnya.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menilai meskipun tidak terlibat langsung dalam perang
dagang antarkedua negara itu, posisi Indonesia memang tidak menguntungkan.
“Porsi ekspor nonmigas Indonesia ke AS dan China sebesar 25% sehingga efek trade war cukup signifikan
bakal memengaruhi permintaan pasar ekspor kita.”

Menurutnya, produk-produk, seperti elektronik, bahan baku otomotif hingga komoditas perkebunan,
paling terdampak dari turunnya permintaan ekspor.

Di sisi lain, AS dan China akan mengalihkan kelebihan produksi ke pasar lain. “Pada 2018 misalnya, impor
besi baja kuartal I naik signifikan sebesar 30,3% atau senilai US$1,6 miliar. Strategi dumping baja China
juga perlu dicermati seiring dengan banjirnya pengalihan impor ke Indonesia.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W. Kamdani.
“Tentunya ini secara signifikan mendorong perlambatan pertumbuhan ekspor Indonesia, penurunan nilai
tukar rupiah terhadap mata uang dolar, dan pendalaman defisit neraca perdagangan Indonesia.”

Seberapa besar dampaknya ke Indonesia juga bergantung dari kondisi perekonomian China, apakah
terjadi perlambatan ekonomi dan penurunan aktivitas industri.

Menurut Shinta, sebagian besar barang yang dikenakan ekstra tarif oleh AS kepada China tidak
diproduksi di Indonesia, sehingga peluang pasar yang tercipta karena perang dagang ini tak bisa
dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke AS. “Inilah mengapa kinerja ekspor Indonesia
pada kuartal III dan kuartal IV tahun lalu justru turun, padahal semestinya naik.”

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam laporannya menyatakan bahwa
perang dagang ini akan menguntungkan Uni Eropa, Jepang, dan Australia. Pasalnya, produk yang
dikenakan kenaikan tarif oleh AS untuk barang dari China adalah barang industri dan produk manufaktur,
seperti panel surya, iPhone, dan lain sebagainya. Tentunya ini berbeda dengan produk ekspor Indonesia
ke AS yang sebagian besar berupa aluminium, kakao, dan kopi.

Dia menambahkan kebijakan AS ini justru berdampak pada impor karena mata uang Indonesia
cenderung melemah terhadap mata uang dolar AS.
Namun, kondisi ini bisa diminimalkan dengan menggunakan mata uang lain di luar dolar AS dalam
transaksi perdagangan. “Jadi, kebijakan local currency dengan China harus dipercepat, supaya transaksi
berjalan Indonesia tak terlalu tertekan.”

Sekjen Gabungan Importir Seluruh Indonesia (Ginsi) Erwin Taufan mendesak pemerintah segera
mengambil peluang. “Indonesia harus bisa lobi ke Amerika, produk-produk yang biasanya di ekspor oleh
China dapat diisi oleh Indonesia.”

SUBSTITUSI PRODUK

Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian
Perdagangan Kasan Muhri mengatakan berdasarkan dari pengalaman sebelumnya, tindakan AS yang
kembali menaikan tarif impor terhadap produk China akan berdampak pada perdagangan nasional
mengingat kedua negara itu merupakan mitra utama RI.

Namun demikian, masih tetap ada potensi bagi Indonesia untuk mengisi atau mensubstitusi produk asal
China yang terhambat tarif tinggi di AS.

“Untuk perkiraan dan analisis detail, saya belum bisa kasih respons karena harus cek dulu list produk
yang dikenakan kenaikan tarif itu,” ujarnya.

Pemerintah, lanjutnya, juga akan mengintensifkan instrumen pengamanan perdagangan, seperti


antidumping dan safeguard untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan impor ataupun unfair trade.

Pengumuman kenaikan tarif oleh AS itu, kendati sempat membuat bingung pasar, tidak berdampak pada
pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan pekan ini.

Kemarin, IHSG mendarat di zona hijau di level 6.209 atau menguat 0,17%, mengakhiri pelemahan selama
2 hari berturut-turut sebelumnya. Membaiknya kinerja indeks pada akhir perdagangan Jumat itu
beriringan dengan rebound beberapa indeks di kawasan Asia.
Thendra Crisnanda, Head of Research Institusi MNC Sekuritas, menilai pasar keuangan telah mulai
terbiasa dengan keputusan “yang tak terduga” dari Presiden AS Donald Trump.

Analis Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama menilai, penekan utama IHSG adalah sentimen
eksternal. “Membaiknya current account deficit kuartal I/2019 juga turut memberikan katalis positif bagi
IHSG.” (Puput Ady Sukarno/Yanita Petriella/Finna U. Ulfah/Hadijah Alaydrus)

Anda mungkin juga menyukai