Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FARMASI ANALISA II

PRAKTIKUM IV
ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL DAN KAFEIN DALAM
TABLET MENGGUNAKAN METODE HPLC
(HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGHRAPHY)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK VIII
DOSEN PENGAMPU : Iswandi, S. Si. M. Farm., Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIkesBHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
SEMESTER V
2020
PRAKTIKUM IV
ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL DAN KAFEIN DALAM
TABLET MENGGUNAKAN METODE HPLC
(HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGHRAPHY)

I. TUJUAN
- Mahasiswa dapat menganalisis dan mengetahui cara analisis kadar
campuran Kafein dan Paracetamol menggunakan metode HPLC (High
Performance Liquid Chromatoghrapy)

II. DASAR TEORI


2.1 Pengertian Tablet
Dalam Farmakope Indonesia (1995) menyebutkan definisi dari
tablet adalah suatu sediaan padat mengandung bahan obat dengan
atau tanpa bahan pengisi. Tablet adalah sediaan obat padat takaran
tunggal yang dicetak dari serbuk kering, kristal, atau granulat, yang
umumnya dengan penambahan bahan pembantu yang pembuatannya
menggunakan mesin yang sesuai dengan tekanan yang tinggi. Tablet
merupakan bentuk sediaan yang banyak digunakan saat ini.
Keuntungan dari bentuk tablet antara lain adalah relatif murah dan
relatif mudah digunakan pada masyarakat (Voigt, 1984).

Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat,


kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya
tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya.
Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat secara oral, dan
kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat
pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet lain
yang penggunaannya dengan cara sublingual, bukal, atau melalui
vaginal, tidak boleh mengandung bahan tambahan seperti pada tablet
yang digunakan secara oral (Ansel, 1985).
2.2 Paracetamol
Parasetamol yang memiliki nama lain asetaminofen atau
4’hidroksiasetanilida memiliki bobot molekul sebesar 151,16
(Anonim, 1995).

Rumus bangun parasetamol dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur Parasetamol (Anonim, 1995)

Nama Kimia : 4- Hidroksiasetanilida


Rumus Molekul : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16
Pemerian : Serbuk, putih, tidak berbau, rasa sedikit
pahit.
Kelarutan :Larut dalam air mendidih dan dalam
natrium hidroksida 1 N, mudah larut
dalametanol. (Depkes RI, 1995).

Parasetamol mempunyai titik lebur antara 169°C dan


172°C. Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 20
bagian air panas, 7 bagian etanol, dan 50 bagian kloroform.
Parasetamol tidak larut dalam eter (Clarke, 1969).

Parasetamol memiliki serapan maksimum pada daerah


ultraviolet. Parasetamol memiliki serapan maksimum pada panjang
gelombang 250 nm (A1cm = 900) dalam etanol dan pada panjang
gelombang 255 nm (A1cm = 710) dalam larutan NaOH 0,1 N
(Auterhoff, 1981). Dalam metanol, parasetamol memiliki serapan
maksimum pada panjang gelombang 249 nm (A1cm = 900)
(Clarke, 1969). atau serapan jenis adalah serapan dari larutan 1%
zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm (Anonim, 1995).

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek


antipiretik yang telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik
ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol juga digunakan
sebagai analgesik. Namun penggunaan parasetamol untuk
meredakan demam (antipiretik) tidak seluaspenggunaannya
sebagai analgesik. Efek analgesik dari parasetamol yaitu
meredakan rasa nyeri ringan hingga sedang (Wilmana, 1995).
Dosis oral untuk nyeri dan demam 2-3 kali sehari 0,5-1 g,
maksimum 4g/hari (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.3 Kafein
Kafein atau 1,3,7-trimetil xantin berbentuk anhidrat dengan
bobot molekul 194,19 atau hidrat dengan mengandung 1 molekul
air dengan bobot molekul 212,21 (Anonim, 1995).
Rumus bangun kafein dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kafein (Anonim, 1995)

Nama Kimia : 1,3,7-Trimetil xantin


Rumus Molekul : C8H10N4O2
Berat Molekul : 194,19
Pemerian : Serbuk putih atau bentuk jarum
Mengkilat putih,biasanya
menggumpal, tidakberbau, rasa
pahit.

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, dalam


etanol, mudah larut dalam
kloroform, sukarlarut dalam eter.
(Depkes RI, 1995).

Kafein memiliki titik lebur antara 235°C dan 237°C. Satu


bagian kafein larut dalam 60 bagian air, 2 bagian air panas, 130
bagian etanol, dan 7 bagian kloroform. Kafein larut dalam eter dan
lebih larut dalam larutan asam (Clarke, 1969).

Kafein dalam etanol memiliki serapan maksimum pada


panjang gelombang 273 nm(A1cm = 519) dan dalam larutan
NaOH 0,1N memiliki serapan maksimum pada panjang
gelombang 272 nm (A1cm = 470) (Clarke, 1969).

Kafein merupakan golongan xantin yang menyebabkan


relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, merangsang
sistem saraf pusat (SSP), otot jantung, dan meningkatkan diuresis
(Wilmana, 1995).

2.4 Penegertian KCKT / HPLC


1. Definisi dan instrumentasi
Kromatografi adalah prosedur pemisahan senyawa campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedaan
koefisien distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang
saling bersinggungan dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase
gerak (mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas, dan fase diam
(stationary phase) yang berupa zat cair atau zat padat (Noegrohati,
1994). Kromatografi pertama kali ditemukan oleh TSWETT pada 1903.
TSWETT telah menggunakan kromatografi untuk pemisahan senyawa
yang berwarna sehingga metode tersebut dinamai kromatografi (kroma
yang berarti berwarna). Namun pembatasan untuk senyawa berwarna
tidak berlangsung lama dan hampir kebanyakan pemisahan secara
kromatografi saat ini digunakan pada senyawa yang tidak berwarna
(Sastrohamidjojo, 2002).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu
metode kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan secara cepat
dengan bantuan tekanan, dan hasilnya dideteksi dengan instrument
(Willard, Merritt, Dean, dan Settle, 1988).
Pada mulanya teknik kromatografi ini disebut dengan High
Pressure Liquid Chromatography karena pada instrument ini terdapat
sistem pompa tekanan tinggi yang mampu mengalirkan fase gerak pada
tekanan tinggi sampai 300 atmosfer dan tekanan pada bagian atas kolom
kurang dari 70 atmosfer (Anonim, 1995).
Pada akhir tahun 1970, perkembangan instrument ini dapat
menghasilkan pemisahan yang baik atau menghasilkan penampilan peak
yang baik sehingga sistem ini lebih dikenal dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (Kromidas, 2000).
KCKT merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan
dalam analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi, dan determinasi
dalam campuran yang kompleks (Skoog, Holler, dan Nieman, 1998).
Peralatan KCKT dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Peralatan KCKT (Kazakevich dan Nair,1996)

Ada tiga variabel utama pada sistem KCKT yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Fase gerak
Kemampuan KCKT untuk memisahkan banyak senyawa terutama
tergantung pada keanekaragaman fase gerak. Fase gerak pada KCKT
sangat berpengaruh pada tambatan dan pemisahan senyawa (Munson,
1984).
Fase gerak untuk analisis secara KCKT harus bersifat murni, tanpa
cemaran, tidak bereaksi dengan kemasan, dapat melarutkan cuplikan
(solut), viskositas rendah, memungkinkan memperoleh kembali cuplikan
dengan mudah (jika diperlukan), dan harganya wajar (Johnson dan
Stevenson, 1978).
Fase gerak KCKT harus bebas dari gas terlarut karena dapat
mempengaruhi respondetektor, sehingga menghasilkan sinyal palsu, dan
mempengaruhi kolom (Gritter, Bobbit, dan Schwarting, 1985).
Kepolaran pelarut merupakan ukuran kekuatan pelarut
untukmengelusi suatu senyawa. Kandungan utama fase gerak pada
kromatografifase terbalik adalah air. Kecenderungan air untuk
melarutkan sampel dapat diubah dengan menambahkan garam untuk
menimbulkan pengaruh penggaraman, asam, basa, dapar untuk
melarutkan atau mengendapkan asam atau basa, pereaksi pengompleks
untuk menimbulkan jenis pengaruh pelarutan yang khas untuk gugus
fungsi tertentu atau golongan senyawa tertentu, atau pelarut organik yang
dapat bercampur dengan air. Pemodifikasi organik yang banyak
digunakan adalah metanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran (Gritter et al.,
1985; Munson, 1984).

b. Fase diam

Kolom merupakan bagian yang sangat penting dalam


pemisahankomponen-komponen sampel. Keberhasilan pemisahan komponen
sampel bergantung pada keadaan kolom (Mulja dan Suharman, 1995).

Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan diameternya,


yaitu :

1) Kolom analitik, memiliki diameter pada bagian dalam 2-6 mm. Panjang
kolomnya bergantung pada jenis kemasan yaitu untuk kemasan
pelikelbiasanya 50-100 cm dan untuk kemasan mikropartikel berpori
biasanya 10-30 cm.
2) Kolom preparatif, dengan diameter 6 mm atau lebih dan panjang kolom
25-100 cm (Johnson dan Stevenson, 1978).

c. Detektor

Detektor yang baik hendaknya memiliki kepekaan tinggi,


rentangrespon liniernya lebar, tidak dipengaruhi perubahan suhu dan
aliran, memberikan hasil dengan keterulangan yang baik, dan tidak
banyak derau.Secara umum, detektor dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :

1. Bulk property detectors, merupakan detektor yang mengukur


perubahan sifat fisik fase gerak dan solut. Detektor tipe ini
cenderung relatif tidak sensitif dan menghendaki temperatur yang
terkendali. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor indeks bias.
2. Solute property detectors, merupakan detektor yang hanya mengukur
sifat fisik solut. Detektor tipe ini 1000 kali lebih sensitif dan mampu
mengukursolut sampai satuan nanogram atau lebih kecil lagi.
Contoh detektor jenis ini yaitu detektor fluoresensi, detektor
penyerapan (UV-Vis), dan detektor elektrokimia (Munson, 1984;
Willard et al., 1988).

2. Pembagian Jenis Kromatografi


Secara umum kromatografi dapat dibagi menjadi 5 jenis, yaitu :
a. Kromatografi cair-cair atau kromatografi partisi
Pada kromatografi partisi, fase diam dapat polar atau non polar.
Bila fase diam polar dan fase gerak nonpolar disebut kromatografi partisi
fase normal, sedangkan bila fase diam nonpolar dan fase gerak polar
dinamakan kromatografi partisi fase terbalik (Munson, 1984).
b. Kromatografi adsorpsi
Kromatografi ini menggunakan fase diam padat dan fase gerak
cair atau gas. Solut dapat diadsorpsi pada permukaan partikel padat
(Harris, 1999).
c. Kromatografi pertukaran ion
Anion atau kation diikatkan secara kovalen pada fase diam padat,
biasanya resin. Ion-ion solut muatan berlawanan menyerang fase diam
dengankekuatan elektrostatik. Fase geraknya cair (Harris, 1999).
d. Kromatografi eksklusi
Pada kromatografi ini tidak ada interaksi tarik menarik antara fase
diam dan solut. Fase gerak cair atau gas melalui gel berpori. Ukuran pori
cukup kecil untuk mengeluarkan molekul solut yang besar. Molekul solut
yang kecil akan masuk ke dalam pori gel, sedangkan molekul yang besar
akan mengalir tanpa memasuki pori gel (Harris, 1999).
e. Kromatografi afinitas
Digunakan untuk interaksi spesifik antara satu jenis molekul solut
dan sebuah molekul yang lain yang secara kovalen terikat pada fase diam.
Misalnya untuk pemisahan komponen protein (Harris, 1999).
3. Kromatografi partisi
Pada salah satu dari dua fase kromatografi partisi, yaitu fase gerak
dan fase diam harus lebih polar dibanding yang lain. Bila fase diam lebih
polar, disebut kromatografi partisi fase normal. Bila sebaliknya
dinamakan kromatografi partisi fase terbalik.
Prinsip kromatografi partisi didasarkan pada partisi solut di antara
dua fase yang tidak saling campur, karena adanya perbedaan koefisien
distribusi darimasing-masing senyawa. Jika solut ditambahkan ke dalam
sistem yang terdiri dari dua pelarut tidak saling campur dan keseluruhan
sistem dibiarkan setimbang, maka solut akan tersebar di antara kedua fase
menurut persamaan :
𝐶𝑠
𝐾=
𝐶𝑚

K adalah koefisien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase


diam, dan Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Johnson dan
Stevenson, 1978).

Kolom yang biasa digunakan pada kromatografi partisi fase


terbalik adalah kolom dengan kemasan fase terikat yang memiliki sifat
stabil karena fasediamnya terikat secara kimia pada penyangga, sehingga
tidak mudah terbawa olehfase gerak. Penyangga pada kemasan fase
terikat biasanya terbuat dari silika yang sudah diseragamkan, berpori, dan
umumnya partikel mempunyai diameter 3,5 atau 10 μm (Skoog et al.,
1998).

KCKT partisi fase terbalik biasanya mengandung bagian organik


yangterikat secara kimia dengan gugus silanol pada permukaan silika.
Bagian organiktersebut umumnya hidrokarbon rantai panjang, sehingga
fase gerak umumnyapolar. Gugus silanol permukaan dapat direaksikan
dengan berbagai cara untukmenempelkan berbagai jenis gugus organik.
Kemasan fase terikat dengan tipeikatan siloksan (Si-O-Si-O) dibuat
dengan mereaksikan organoklorosilan dengangugus silanol pada
permukaan silika gel yang terhidrolisis sebagai berikut :

Si OH + Cl Si(CH3)2R Si O Si(CH3)2R +H Cl

Gambar 6. Reaksi silanisasi

Reaksi tersebut digunakan untuk membuat isian kolom oktadesilsilan


(ODS) dari gugus silanol dan oktadesilklorosilan sebagai berikut :

Si OH + Cl Si (CH2)17CH3 Si O Si (CH2)17CH3 + HCl

+H Cl

Gambar 7. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan

Pada kromatografi partisis fase terbalik dengan kemasan fase


terikat, R pada siloksan biasanya berupa gugus C18 atau C8. Panjang
pendeknya rantai karbon mempengaruhi tertambatnya senyawa pada fase
diam (Skoog et al., 1998).

4. Pemisahan puncak dalam kromatografi


Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan
kolomdan kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja dari kolom dapat
dilihat darikemampuan kolom dalam memisahkan senyawa. Kolom yang
efisien mencegahpelebaran puncak atau menghasilkan puncak yang
sangat sempit. (Johnson danStevenson, 1978).
1. Faktor Retensi
Faktor retensi pada sistem kondisi KCKT didefiniskan sebagai
berikut:
𝐕r − 𝐕o
𝑘′ =
𝐕o

𝐭r − 𝐭o
=
𝐭o

VR : volume retensi analit


VO : volume fase gerak dalam sistem kromatografi
tR : waktu retensi analit
tO : waktu retensi analit yang tidak dipertahankan
K’ : faktor kapasitas
Jika faktor kapasitas dari suatu analit kurang dari satu, maka
elusinya berlangsung sangat cepat yang artinya analit tertahan
sedikit demi sedikit oleh kolom dan terelusi dekat puncak yang
tidak di retensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemisahan kurang
baik dan waktu retensi sulit diukur dengan cermat.
Faktor kapasitas yang memiliki nilai sekitar 20 sampai 30
menunjukkan bahwa waktu elusi sangat lama dan kurang berarti
untuk analisis. Jika faktor kapasitas antara 2 sampai 10
menunjukkan pemisahan yang baik.
2. Efesiensi (N)
Efesiensi merupakan penilaian kualitas pemisaan kromatografi
dari masing-masing puncak solut. Jumlah lempeng teoritis
digunakan sebagai ukuran efesiensi. Efesiensi kolom secara umum
berkaitan dengan waktu retensi, yakni lamanya waktu komponen
atau molekul yang akan di analisis dalam kolom. Didefinisikan
sebagai jumlah lempeng teoritik yang dihitung dengan persamaan :

𝑡𝑟 2
N = 16 ( )
𝑤
tr : waktu retensi analit
w : lebar puncak pada garis bawah (baseline)
Suatu ukuran alternatif yang tergantung pada panjang kolom
kromatografi adalah tinggi lempeng (H) atau biasa disebut HETP
(High Equivalent Theoritical Plate). Hubungan antara HETP dan
jumlah lempeng (N) serta panjang kolom, dengan persamaan :

L
N=
H

L : panjang kolom
H : tinggi lempeng teoritik yang efektif (HETP).
Kolom yang memberikan jumlah lempeng (N) yang besar dan
nilai HETP yang kecil akan mampu memisahkan komponen-
komponen dalam suatu campuran yang lebih baik yang berarti
bahwa efisiensi kolom adalah besar. Semakin besar harga N/L atau
makin kecil H, maka kolom yang dipakai untuk pemisahan semakin
efesien.
3. Resolusi
Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi
dua puncak yang saling berdekatan:

t2 − t1
R=2
w2 − w1

t2 : waktu retensi analit 2


t1 : waktu retensi analit 1
w2 : lebar puncak analit 2
w1 : lebar puncak analit 1
Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa yang
sangat berpengaruh terhadap pemisahan suatu komponen adalah
waktu retensi masing-masing solut dan lebar puncak masing-masing
komponen yang dipisahkan. Nilai Rs harus mendekati atau lebih
dari 1,5 karena akan memberikan pemisahan puncak yang baik
(baseline resolution).
4. Tailing factor
Profil konsentarsi solut yang bermigrasi akan simetris jika rasio
distribusi solut konstan selama dikisaran konsentrasi keseluruhan
puncak sebagaimana ditunjukkan oleh adsorpsi yang linear, yang
merupakan plot konsentrasi solut dalam fase diam terhadap
konsentrasi solut dalam fase gerak. Kurva isotern akan berubah
menjadi dua jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang
berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting). Tailing
maupun fronting tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan
pemisahan kurang baik dan data retensi kurang reprodusibel.
Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan
menghitung faktor asimetris yang disebut dengan tailing factor
yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak
5% (W0,05).
W0,05
T=
2f
𝑓 Kromatogram yang memberikan haga TF = 1 menunjukan bahwa
kromatogram tersebut simetris. Harga TF > 1 menunjukkan bahwa
kromatogram mengalami pengekoran(tailing). Semakin besar harga
TF, maka kolom yang dipakai semakin kurang efesien. Dengan
demikian harga TF dapat digunakan untuk melihat efesiensi kolom
kromatografi.

5. Analisis kualitatif dan kuantitatif


KCKT digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari
suatu sampel/cuplikan selain untuk memisahkan senyawa dalam sampel.
Hasil dari pemisahan adalah kromatogram. Dari kromatogram diperoleh
informasi mengenai waktu retensi suatu senyawa (Noegrohati, 1994).
Waktu retensi yang menunjukkan identitas suatu senyawa
merupakan selang waktu yang diperlukan senyawa mulai pada saat injeksi
sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor (Gritter
et al., 1985). Tiap senyawamemiliki waktu retensi yang spesifik pada
kondisi tertentu seperti kolom, suhu, laju, dan sebagainya sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu dasar uji kualitatif (Noegrahati, 1994).
Analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi
senyawa murni dengan waktu retensi senyawa yang dimaksud dalam
sampel (Gritter et al., 1985).
Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan perbandingan tinggi
atau luas puncak kromatogram senyawa sampel terhadap senyawa
standar. Bila variasi keadaan kolom tidak menyebabkan pelebaran
puncak, maka analisis berdasarkan tinggi puncak dapat memberikan
ketelitian tinggi. Analisis berdasarkan luas puncak tidak dipengaruhi oleh
pelebaran puncak. Oleh karena itu cara ini lebih disukai dalam
perhitungan kuantitatif (Noegrohati, 1994).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat

Nama Alat Ukuran Jumlah


Perangkat HPLC - 1 set
Labu Ukur 100 ml 1 buah
500 ml 1 buah
Corong - 1 buah
Botol Vial - 2 buah
Pipet Volume 2 ml 1 buah
Syringe membrane - 1 buah
selulosa nitrae
Gelas kimia 100 ml 2 buah
Kertas saring - 1 lembar
3.2 Bahan :

Nama Bahan Jumlah


Tabel 100 mg
(Kafein, Paracetamol)
Aquabidest Secukupnya

IV. CARA KERJA

Sampel tablet panadol extra

Ditimbang bobot tablet

Gerus ad halus tablet

Ditimbang 100mg

Dibuat pelarut metanol : air


(1:1)

Dilarutkan ad 100ml

Diencerkan ad 25ml

Dimasukan kedalam botol


autosamples

Disiapkan fase gerak

Dianalisis dengan HPLC


V. HASIL
Perlakuan Hasil Ket
- Diambil sampel Sampel panadol extra

- Ditimbang bobot tablet 650mg

- Digerus tablet sampai


halus

- Ditimbang tablet yang 100mg


sudah dihaluskan

- Dibuat pelarut 1:1


metanol : air
Larut
- Dilarutkan sampai 100ml

- Diencerkan sampai 25ml

- Dimasukan kedalam vial

- Disiapkan fase gerak

- Dianalisis dengan HPLC


 Perhitungan
Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi dua puncak
yang saling berdekatan:
Diketahui =
TR1 = 5,8 cm
TR2 = 6,3 cm
W1 = 0,7 cm
W2 = 5,8 cm

t2 − t1
R=2
w2 − w1

6,3 cm − 5,8 cm
R=2
5,8 cm − 0,7 cm

0,5 cm 1 cm
R=2 = = 0,8333
1,5 cm 1,2 cm

𝑅 >/= 1,5
VI. PEMBAHASAN
Kromatografi adalah prosedur pemisahan senyawa campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedaan
koefisien distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang saling
bersinggungan dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase gerak
(mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas, dan fase diam (stationary
phase) yang berupa zat cair atau zat padat (Noegrohati, 1994).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase geraknya
dialirkansecara cepat dengan bantuan tekanan, dan hasilnya dideteksi
denganinstrument. Metode HPLC digunakan untuk menentukan
konsentrasi dan pemisahan suatu senyawa dengan mudah,cepat, dan teliti,
dimana dalam sistem ini merupakan sistem kromatografi cair yang
jugamerupakan gabungan sistem antara High Speed Liquid
Chromatography, High Eficiency Liquid Chromatography, High
Pressuure Liquid Chromatography ( Soog dkk., 2004 )
Pada percobaan Analisis Campuran paracetamol dan kafein
dalam sediaan tablet dengan menggunakan metode High Performa Liquid
Chromatography (HPLC). Dengan tujuan untuk menentukan kadar
paracetamoldan kafein dalam sampel obat ( ) menggunakan instrumen
HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Pada metode
pemisahan cuplikan diantara dua fase. dengan menggunakan fasa gerak metanol
dan air dengan perbandingan 1 : 1 . Fasa gerak dalam HPLC ini selain berfungsi
sebagai pelarut, juga bersifat interaktif sehingga bisa berinteraksi dengan
komponen-komponen cuplikan. Fasa gerak dalam hal ini bertindak sebagai
pelarut sangat mempengaruhi waktu retensi, sehingga pelarut yang digunakan
harus benar-benar jernih dan murni. Oleh sebab itu, metanol dan air terlebih
dahulu disaring.
Prinsip dari metode ini pada umumnya sama dengan metode
kromatografi, yaitu didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi solut
yang dipengaruhi oleh perbedaan afinitas solut terhadap fase gerak dan
fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007). Metode HPLC ideal untuk
analisis beragam obat dalam sediaan dan cairan biologi, karena sederhana,
dan kepekaannya tinggi (Munson, 1984).
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.
Parasetamol juga digunakan sebagai analgesik. Namun penggunaan
parasetamol untuk meredakan demam (antipiretik) tidak
seluaspenggunaannya sebagai analgesik. Sedangkan kafein sendiri
merupakan golongan xantin yang menyebabkan relaksasi otot polos,
terutama otot polos bronkus, merangsang sistem saraf pusat (SSP), otot
jantung, dan meningkatkan diuresis(Wilmana, 1995). Parasetamol ataupun
asetosal dikombinasikan dengan kafein untuk memperkuat daya
analgesiknya (Anonim, 2000).
Langkah pertama yaitu pembuatan larutan paracetamoldalam
percobaan ini yaitu menimbang sampel ……yang sudah digerus hingga
halus sebanyak 100 mg. Kemudian larutkan menggunakan aquabidest.
Digunakan aquabidest karena dalam analisis menggunakan HPLC
diperlukan pelarut dengan kemurnian yang tinggi, sebab larutan sampel
yang akan dianalisis jumlahnya sangat sedikit apabila digunakan pelarut
dengan kemurnian kurang akan dapat mengganggu hasil pemisahan.
sebelum pengenceran sampel sampai 10 ml, dilakukan sonikasi terlebih
dahulu agar semua komponen dalamsampel larut dan homogen. Setelah
diencerkan sampai 10 ml secara kuantitatif, larutan sampel disaring
sebanyak dua kali. Penyaringan pertama dilakukan menggunakan
kertassaring kasar. Hal tersebut dilakukan karena dalam obat tidak hanya
mengandung paracetamol dan kafein, namun terdapat zat penyusun lain
yang belum larut seluruhnya yang masih berupa partikel-partikel padat
dalam larutan. Selanjutnya filtrate disaring kembali menggunakan
membran selulosa nitrat agar diperoleh larutan sampel murni tanpaada
partikel-partikel pengganggu/pengotor yang dapat mempengaruhi hasil
pemisahan.) apabila langsung dilakukan penyaringan menggunakan
membran selulosa nitrat,dikhawatirkan partikel-partikel yang tidak larut
dalam larutan sampel akan menyumbat pori-pori membran sehingga
penyaringan akan membutuhkan waktu yang lama.
Langkah berikutnya yaitu pembuatan larutan standar. Pembuatan
larutan standar dilakukan untuk menentukan kurva kalibrasi parasetamol.
Kurva kalibrasi dibuat sebagai pembanding. Variasi konsentrasi yang
digunakan untuk parasetamol secara berturut-turut adalah 80 : 20 : 70 : 30
: 60 : 40 dan 50 : 50 ppm. Sementara untuk standar kafein berturut turut
adalah 80 : 20 : 70 : 30 : 60 : 40 dan 50 : 50 ppm. Pembuatan larutan
standar tersebut dilakukan secara kuantitatif. Oleh karena itu,
penimbangan larutan baku parasetamol harus tepat, pemipetan larutan
induk harus tepat, pengenceran larutan baku menjadi larutan standar harus
pas sampai tanda batas. Pembuatan masing– masing konsentrasi dan
pelabelan harus dilakukan secara teliti untuk mencegah terjadinya
kekeliruan. Larutan standar diinjeksikan secara berurutan dari konsentrasi
terendah sampai konsentrasi tertinggi.
Selanjutnya atur panjang gelombang 273 nm, laju alir 1,5
mL/menit. Pada saat memasukan larutan standar maupun larutan sampel
tidak terlalu banyak cukup dengan 20 mikoliter, karena jika terlalu banyak
dapat menyebabkan band broadening (pelebaran peak) dan pada saat
memasukan cuplikan pada syringe tidak ada gelembung udara agar
menghasilkan pemisahan yang baik. Sebelum digunakan, syringe harus
dibilas dengan mengunakan metanol agar terbebas dari kotoran.
Pada saat proses memasukan cuplikan kedalam alat HPLC
dilakukan dengan menggunakan alat injeksi syiringe. Syringe disuntikan
melaui septum (seal karet),cuplikannya yang masuk kemudian dialirkan
oleh fasa gerak dengan bantuanpompa. Dalam kolom terjadi pemisahan
komponen komponen campuran. Karena perbedaan kekuatan interaksi
antara solutterhadap fase diam solut yang kuat interaksinya dengan fase
diam akan tertahan. Dalam hal ini paracetamol yang lebih polar
dibandingkan kafein tertahan lebih lama pada fase diam dalam kolom.
Sehingga setelah keluar kolom akan dideteksi oleh detector yang
kemudian direkam dalam bentuk kromatogram yang akan menghasilkan
puncak.
Waktu retensi merupakan waktu yang dibutuhkan oleh senyawa
untuk bergerak melalui kolom menuju detector. Pada analisis kualitatif
dilakukan dengan membandingkan waktu retensi sampel paracetamol dan
kafein dengan larutan standar untuk paracetamol adalah 2,24 menit
sedangkan waktu retensi sampel adalah 2,26 menit. Sementara waktu
retensi larutan standar untuk kafein adalah 2,86 menit dan 2,86 menit.
Sedangkan waktu retensi pada sampel adalah 2,89 menit. Waktu retensi
diukur berdasarkan waktu dimana sempel diinjeksikan sampai sampel
menunjukan ketinggian puncak maksimum grafik dari senyawa tersebut.
Hasil analisis yang didapatkan kadar paracetamol dan kafein
dalam sedian tablet adalah 80,65% dan 39,94%. Menurut farmakope
Indonesia edisi IV persyaratan kadar untuk tablet paracetamol adalah
mengandungparacetamol tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari
102,02%. Dapat disimpulkan bahwa tablet Panadol extra tidak memenuhi
persyaratan kadar yang telah ditetapkan oleh farmakope Indonesia IV.
Keuntungan HPLC suatu metode pemisahan yang menghasilkan
pemisahan yang sangat cepat, dapat memisahkan zat-zat yang tidak
mudah menguap ataupun yang tahan panas, banyak pilihan fase geraknya,
mudah untuk mendapatkan kembali cuplikan karena detecot pada HPLC
tidak merusak komponen zat yang dianalisis,dan dapat dirancang
menggunakan instrument lain untuk meningkatkan efisiensi pemisahan.
Sedangkan kekurangannya adalah larutan harus dicari fase diamnya
terlebih dahulu, hanya bias digunakan untuk asam organic,harus
mengetahui kombinasi yang optimum antara pelarut, analit, dan gradient
elusi, harganya mahal sehingga penggunaanya dalam lingkup penelitian
terbatas. Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi
dua puncak yang saling berdekatan hasil yang didapat adalah 0,8333.

VII. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Prinsip kerja dari instrument HPLC adalah pemisahan komponen analit
berdasarkan kepolarannya
2. Pada analisis campuran paracetamol dan kafein menggunakan fase gerak
methanol air dan fase diamnya berupa silika gel
3. Kadar paracetamol dan kafein dalam sediaaan tablet sebesar dan
4. Pada sampel tidak memenuhi persyaratan kadar yang ditetapkan oleh
farmakopi edisi
5. Pada kombinasi Parasetamol ataupun asetosaldengan kafein yaitu untuk
memperkuat efek analgesiknya
6. Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi dua
puncak yang saling berdekatan hasil yang didapat adalah 0,8333.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 4, 254, 649, 650, 753,999, 1009-

1010 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1998, Metode Analisa Obat 1997/1998, 41-46, Pusat Pemeriksaan Obat

dan Makanan, Yogyakarta.

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, 184, Departemen

Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan

Makanan, Jakarta.

Anonim, 2005, The United States Pharmacopeia, 28th ed.,20, 2459, 2711, United

States Parmacopial Convention Inc., Canada.

Ansel, H. C., 1985, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, diterjemahkan

oleh Farida Ibrahim, 244-245, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Clarke, E.G.C., 1969, Isolation and Identification of Drugs, 234, 465, 538, The

Pharmaceutical Press, London.

Friamata, R. D., 2006, Penetapan Kadar Kafein dalam Campuran Parasetamol,

Salisilamida dan Kafein secara Spektrofotometri Derivatif dengan

Aplikasi Metode Peak to Peak, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., and Schwarting, A.E., 1985, Introduction to

Chromatography, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Edisi II,

205-219, Penerbit ITB, Bandung.

Harris, D. C., 1999, Quantitative Chemical Analysis, 2nd ed., 643, 648, 661, 664,

W. H. Freeman and Company, New York.

Johnson, E.L., and Stevenson, R., 1978, Basic Liquid Chromatography,

diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 6-9, 17-25, 90-91, 99-103,

Penerbit ITB, Bandung.


Kazakevich, Y. and Nair,H.M., 1996, Basic Liquid Chromatography Textbook on

KCKT, http://KCKT.chem.shu.edu/NEW/KCKT_Book. Diakses

pada 10 Desember 2004.

Kromidas, S., 2000, Practical Problem Solving in HPLC, 1st ed., 2, Wiley-VCH,

Weinheim.

Mulja, M., dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 19-32, 164, Airlangga

University Press, Surabaya.

Munson, J.W., 1984, Pharmaceutical Analysis Modern Methods, diterjemahkan

oleh Harjana Parwa B, Bagian B, 14-16, Airlangga University Press,

Surabaya.

Noegrahati, S., 1994, Pengantar Kromatografi, dalam Noegrohati, S dan Narsito,

(Eds.), Risalah Prinsip dan Aplikasi Beberapa Teknik Analisis

Instrumental, 16-17, Laboratorium Analisis Kimia dan Fisika Pusat

UGM, Yogyakarta.

Pescok, R. L., Shields, L. D., and Caims, T., 1976, Modern Methods of Chemical

Analysis, 2nd ed., 51, John Wiley & Sons, Canada.

Sastrohamidjojo, H., 2002, Kromatografi, Cetakan ketiga, 1, Liberty, Yogyakarta.

Sevilla, G. C., 1993, Pengantar Metode Penelitian, diterjemahkan oleh Alimuddin

Tuwu, Edisi I, 163, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Skoog, D.A., Holler, F.J., and Nieman, T.A., 1998, Principles of Instrumental

Analysis, Fifth (5th) Ed., 329-351, Harcourt Bace College, Philadelphia.

Snyder, L.R., Kirkland, J.J., and Glajch, J.L., 1997, Practical HPLC Method

Development, Second (2nd) Ed., 208-209,252, Wiley & Sons, Inc., New

York.

Sugianto, A. F., 2007, Optimasi Penetapan Kadar Campuran Parasetamol,

Salisilamida, dan Kafein dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi (KCKT), Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, Edisi 5, 298-299, 350-
351, P.T. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Voigt, R., 1984, Lehrbuch der Pharmazeutischen Technologie, diterjemahkan

oleh Seondani Noerono, Edisi ke-5, 163-164, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Willard, H.H., Merritt, Jr., Dean, J.A., and Settle Jr, F.a., 1988, Instrumental

Methods of Analysis, Seventh (7th) Ed., 525-529, 592, Wadworth

Publishing Company, California.

Wilmana, P. F., 1995, Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid

dan Obat Pirai, dalam Ganiswara, E., (ed.), Farmakologi dan Terapi,

Edisi 4, 213-215,226-227, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta.


LAMPIRAN

Alat – alat yang digunakan Hasil pengenceran sampel

Larutan standar Proses penyaringan Syringe membrane


selulosa nitrae

Sampel dan larutan standar

Anda mungkin juga menyukai