Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

SINDROM KORONER AKUT

Disusun Oleh:
NABILA SARI ANNISA
NPM: 110 2014 183

Pembimbing:
dr. Rinaldi, Sp.PD KKV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
PERIODE 19 NOVEMBER 2018-26 JANUARI 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak menular yang


menyebabkan sebanyak >17 juta kematian di dunia setiap tahun (30% dari semua
kematian), 80% dari yang terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah
dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 23,6 juta pada
tahun 2030 (Wong,2014).
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama dari seluruh penyakit tidak
menular dan bertanggung jawab atas 17,5 juta kematian atau 46% dari seluruh
kematian penyakit tidak menular. Dari data tersebut diperkirakan 7,4 juta kematian
adalah serangan jantung akibat penyakit jantung koroner (PJK) dan 6,7 juta adalah
stroke (Mendis, 2014).
Penyakit kardiovaskular terdiri dari PJK, gagal jantung, aritmia ventrikular dan
kematian jantung mendadak, penyakit jantung rematik, aneurisma arteri abdominal,
penyakit arteri perifer, dan penyakit jantung bawaan. Dari antara semua penyakit
kardiovaskular, PJK merupakan manifestasi dominan. WHO memperkirakan PJK
adalah penyebab utama dari kematian di dunia (Wong, 2014).
Sindrom koroner akut (SKA) seperti angina pektoris tidak stabil (UAP,
Unstable angina pectoris), infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI, non ST segment elevation myocardial infarction), infark miokard
dengan elevasi segmen ST (STEMI, ST segment elevation myocardial infarction)
merupakan bagian dari PJK. Pada SKA, suplai darah ke jantung tiba-tiba berkurang
bahkan terhenti akibat penumpukan kolesterol dan formasi dari gumpalan darah di
dalam arteri jantung. Menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke jantung
sehingga memicu angina pektoris serta infark miokard, dimana terjadi kerusakan
pada jantung (Akbar dkk, 2015).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan
prevalensi penderita PJK sebesar 0,5% dari seluruh pasien penyakit tidak menular.
Daerah tertinggi berdasarkan terdiagnosis dokter adalah Sulawesi Tengah (0,8%)

1
diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing (0,7%) (Miharja dkk,
2013).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan
iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial
infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris
= UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat
beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami nekrosis.
Gejala klinis iskemia miokard terjadi akibat kurangnya aliran darah ke
miokardium berupa nyeri dada, nyeri punggung, rasa berat di dada, rasa terbakar,
terhimpit, tertekan di daerah dada, bahkan dapat seperti mual atau nyeri ulu hati,
perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan
biomarker jantung (Kumar & Cannon, 2009).
Penyakit Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) ditemukan oklusi total
arteri koroner sehingga menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi
seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi
segmen ST (Alwi, 2014). Pada Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi
oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh miokardium,
sehingga pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST
(Trisnohadi, 2014).

2.2.Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab
utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati urutan ke
tiga. Di negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang Sindrom
koroner akut (SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang bermakna
(O'Gara, et al., 2012). Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung
koroner di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar

3
0,5%, sementara berdasarkan diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5%
atau sekitar 2.650.340 orang (Santoso, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado terhadap kasus SKA periode 1 Januari 2014 sampai 31 Desember 2014,
tercatat sebanyak 271 kasus SKA sedangkan data rekam medik yang dapat
dijangkau sebanyak 126 kasus, dimana 129 data tidak ditemukan dan 16 data
merupakan data tidak lengkap. Dari 126 kasus, terdapat 72 kasus (57,1%) UAP,
35 kasus (27,8%) NSTEMI, dan 19 kasus (15,1%) STEMI. UAP merupakan
kasus dengan prevalensi tertinggi dan STEMI merupakan kasus dengan
prevalensi terendah (Gambar 1) (Jim dkk,2016).

STEMI
15.1%

UAP
NSTEMI
57,1%
27.8%

Gambar 1. Distribusi kasus berdasarkan klasifikasi diagnosis dalam bentuk


diagram

2.3.Etiologi
Penyebab dari Sindrom Koroner Akut adalah:
- Aliran darah koroner
- Faktor metabolik
Akumulasi metabolik lokal mempengaruhi tonus vaskuler,
mempengaruhi suplai oksigen dan dapat merubah kebutuhan oksigen.
Selama terjadi hipoksia maka metabolisme aerob dan defosforilasi oksidatif
di mitokondria terhambat sementara fosfat energi tinggi termasuk ATP tak
dapat diregenerasi sehingga mengakibatkan adenosin difosfat (ADP) dan
adenosin monofosfat (AMP) terkumpul dan terdegradasi sebagian menjadi
adenosine yang merupakan vasodilator poten dan sangat mempengaruhi
tonus vaskular.
- Faktor Endotel

4
- Faktor persyarafan
- Kebutuhanoksigen miokard

2.4.Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokargdiografi (EKG) dan pemeriksaan biomarker jantung,
sindrom koroner akut dibagi menjadi:
- Infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI)
- Infark miokard akut tanpa ST elevasi (NSTEMI)
- Angina pektoris tidak stabil (UAP)

2.4.1. Infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI)


STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala
iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa ST
elevasi yang persisten diikuti dengan pelepasan biomarker nekrosis
miokard.
Infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI) umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus
pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Adanya thrombus
arteri koroner yang terjadi secara cepat akan membentuk STEMI, dan
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid (Alwi, 2014).

2.4.2. Infark miokard akut tanpa ST elevasi (NSTEMI)/ Angina pektoris


tidak stabil
Angina pektoris tidak stabil didefinisikan sebagai angina pektoris
(atau ekuivalen rasa tidak nyaman di dada tipe iskemik) dengan satu
diantara tampilan klinis: (1) terjadi saat istirahat (atau aktivitas
minimal) dan biasanya berlangsung 20 menit; (2) nyeri hebat dan
biasanya nyerinya jelas; atau (3) biasanya lambat laun bertambah berat
(misalnya nyeri yang membangunkan pasien dari tidur atau semakin
parah, terus menerus atau lebih sering dari sebelumnya).

5
Lima proses patofisiologis yang berperan terhadap perkembangan
UAP/NSTEMI:
- Ruptur plak atau erosi plak dengan thrombus non oklusif
- Obstruksi dinamis akibat spasme (kaku) arteri perikardium,
resistensi pembuluh darah koroner, vasokonstriktor lokal seperti
tromboksan A2, yang dilepaskan dari trombosit, disfungsi dari
endotel koroner, stimulus adrenergik
- Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang disebabkan oleh
pembentukan aterosklerotik yang agresif atau restenosis pasca-
intervensi koroner perkutan
- Inflamasi
- Angina pectoris tidak stabis sekunder

2.5.Patofisiologi
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik
dari plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi
platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal.
Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik,
menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri koronaria. Pembentukan
trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan serotonin dan
tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan iskemik miokardium yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner.
Aterosklerosis adalah bentuk penebalan dan pengerasan dari dinding
pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak
sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis
bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang
dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat
menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari
tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri
koroner.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi
dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer.

6
Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan
oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui
stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive
protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi
dan penyakit periodontal.
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan
proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi
masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag.
Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam
jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan
lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah sebagian orang
termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal oksigen
toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan
imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih progresif. Kemudian terjadi
proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa
di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam
sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol
ke lumen pembuluh darah dan menyumbat aliran darah yang lebih distal,
terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau
claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan
gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat
aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan
cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis
dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas
dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang menjadi ruptur merupakan plak
kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah plak yang
intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh
fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau ruptur) terjadi karena
shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple,
sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi.
Ketika rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi

7
kaskade pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat.
Thrombus tersebut dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi
iskemia dan infark.

2.5.1. Unstable angina pectoris


Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan
oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya suplai
oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh darah
yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak pasien
unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak terjadi
dibandingkan peningkatan oksigen demand. Tetapi pada beberapa kasus,
keduanya dapat terjadi secara bersamaan.
Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal.
Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai
penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil
mempunyai penyempitan kurang dari 70 %.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul
pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang
dihasilkan makrofage dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous
cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup
pembuluh darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan
bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang
berat akan terjadi angina tak stabil.
Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu

8
disebabkan karena integrasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan
trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell)
yang ada dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor
jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan
dalam memulai trombosis yang intermitten, pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina
Prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali
terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.
Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi
dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya
perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.

2.5.2. Infark miokard


Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi
nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas
plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti
yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI
trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang
lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis
dan kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan

9
distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang
berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka
infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan
disfungsi jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis, MI transmural
harus diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan
harus mendapat terapi yang segera.
Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit
sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik
setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non
fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian
menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai
oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10
detik penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan
lebih dingin.
Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari
kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada
metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi
sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang
rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah.
Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan
lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi
konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung. Kekurangan oksigen juga
disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium berespon
terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi.
Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin
sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia
dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan
cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam
lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut.

10
Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap
membran sel. NE meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan
terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas
sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia.
Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam
patogenesis MI, dengan cara yaitu:
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga
meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan
kontraktilitas jantung.
2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot
polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang
peningkatan kadar katekolamin dan memperparah vasospasme koroner.
Kematian selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas
hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis
jaringan. Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa
enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang
intersisisal. Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah
limfe ke pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.
Perubahan fungsional dan struktural
Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan struktural jantung.
Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.

Waktu Perubahan Jaringan Tahapan Proses


setelah Pemulihan
MI
6-12 jam Tidak ada perubahan Belum dimulai
makroskopis; sianosis
subseluler dengan penurunan
temperatur

11
18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; Respon inflamasi;
slight pallor pelepasan enzim
intraseluler
2-4 hari Tampak nekrosis; kuning- Enzim proteolitik
coklat di tengah dan hiperemis dipindahkan oleh debris;
di sekitar tepi katekolamin, lipolisis,
dan glikogenolisis
meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard
keluar dari anaerobic
state
4-10 hari Area soft, dengan degenerasi Debris telah dibersihkan;
lemak di tengah, daerah collagen matrix laid
perdarahan pada area infark down
10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue Penyembuhan berlanjut
dengan awal revaskularisasi namun area sangat lunak,
mudah dipengaruhi
stress
6 minggu Jaringan parut biasanya telah Jaringan parut kuat yang
komplit tidak elastis
menggantikan
miokardium yg nekrosis
Tabel 1. Perubahan fungsional dan struktural
Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam
beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG.
Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat
berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi
normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami
perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam:

12
1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang
berlangsung selama beberapa jam – beberapa hari setelah perfusi kembali
normal.
2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten
dan telah mengalami adaptasi metabolik.
3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin
II, aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan
hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang
jauh dari lokasi infark.
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari
aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI.
Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi
infark. Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas jantung
dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari
ventrikel kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5).
Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node,
(7). Disritmia yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai MI.
Fase Perbaikan
Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri
dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak,
proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan
substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung
optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan
degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger.
Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel
yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas.
Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang meningkatkan pergerakan
glukosa dan menurunkan kadar gula darah.
Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan
rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa
sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan
terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan

13
parut yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium
yang sehat.

2.6. Faktor Risiko


Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Jenis Kelamin
Prevalensi kasus SKA berdasarkan jenis kelamin didapatkan laki-laki
sebanyak 90 kasus (71,4%) dan perempuan sebanyak 36 kasus (28,6%) dari
total jumlah kasus (Gambar 2).

80% 71,4%
60%
28,6% 40%
20%
0%
Laki-Laki Perempuan
Gambar 2. Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin dalam bentuk
diagram

Distribusi jenis kelamin berdasarkan klasifikasi diagnosis didapatkan


prevalensi kasus UAP pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 44
kasus (61,1%) dan perempuan sebanyak 28 kasus (38,9%) dari total jumlah
pasien terdiagnosis UAP. Prevalensi kasus NSTEMI pada pasien dengan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 30 kasus (85,7%) dan perempuan sebanyak 5 kasus
(14,3%) dari total jumlah pasien terdiagnosis NSTEMI. Prevalensi kasus
STEMI pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 16 kasus (84,2%)
dan perempuan sebanyak 3 kasus (15,8%) dari total jumlah pasien terdiagnosis
STEMI (Gambar 3).

14
100%
90% 85,7% 84,2%
80%
70% 61,1%
60%
50%
38,9%
40%
30%
20% 14,3% 15,8%
10%
0%

UAP NSTEMI STEMI


LAKI-LAKI PEREMPUAN
Gambar 3. Distribusi jenis kelamin berdasarkan klasifikasi diagnosis dalam
bentuk diagram
Umur
Dari 126 data kasus SKA, tidak didapatkan pasien SKA berumur ≤30 tahun
(0%). Sedangkan prevalensi kasus SKA pada kelompok umur 31-40 tahun
sebanyak 2 kasus (1,6%), 41-50 tahun sebanyak 15 kasus (11,9%), 51-60 tahun
sebanyak 42 kasus (33,3%), 61-70 tahun sebanyak 48 kasus (38,1%), 71-80
tahun sebanyak 16 kasus (12,7%) dan pada umur >80 tahun sebanyak 3 kasus
(2,4%). Prevalensi tertinggi adalah pada kelompok umur 61-70 tahun, diikuti
dengan kelompok umur 5160 tahun (Gambar 4). Didapatkan pasien dengan
umur terendah ialah 38 tahun dan umur tertinggi ialah 92 tahun.
40% 38,1%
35% 33,3%
30%
25%
20%
15% 11,9% 12,7%
10%
5% 1,6% 2,4%
0%
0%

≤30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 >80 tahun tahun tahun tahun tahun
tahun tahun
Gambar 4. Distribusi kasus berdasarkan umur dalam bentuk diagram

15
Distribusi umur berdasarkan klasisfikasi diagnosis, didapatkan prevalensi
kasus UAP pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 1 kasus (1,4%), 41-50
tahun sebanyak 6 kasus (8,3%), 51-60 tahun sebanyak 25 kasus (34,7%), 61-
70 tahun sebanyak 31 kasus (43,1%), 71-80 tahun sebanyak 7 kasus (9,7%),
dan >80 tahun sebanyak 2 kasus (2,8%) dari total jumlah pasien terdiagnosis
UAP (Gambar 5).

>80 31-40
71- 80 tahun tahun 41- 50
tahun 2,8% 1,4% tahun
9,7% 8,3%

51-60
61- 70 tahun
tahun 34,7
43,1 %
%

Gambar 5. Distribusi kasus UAP berdasarkan umur dalam bentuk diagram


Prevalensi kasus NSTEMI pada kelompok umur 31-40 tahun
sebanyak 1 kasus (2,9%), 41-50 tahun 8 kasus (22,9%), 51-60 tahun 11 kasus
(31,4%), 61-70 tahun 8 kasus (22,9%), 71-80 tahun 6 kasus (17,1%), dan >80
tahun 1 kasus (2,9%) dari total jumlah pasien terdiagnosis NSTEMI (Gambar
6).

>80 31-40
tahun tahun
2.9% 2.9%
71-80 41-50
tahun tahun
17,1% 22,9%
61-70
tahun 51-60
22,9% tahun
31,4%

Gambar 6. Distribusi kasus NSTEMI berdasarkan umur dalam bentuk


diagram

16
Prevalensi kasus STEMI pada kelompok umur 41-50 tahun sebanyak 1
kasus (5,3%), 51-60 tahun sebanyak 6 kasus (31,6%), 61-70 tahun sebanyak
9 kasus (47,4%), 71-80 tahun sebanyak 3 kasus (15,8%), tidak ditemukan
pasien STEMI pada kelompok umur 31-40 tahun dan >80 tahun dari total
jumlah pasien terdiagnosis STEMI (Gambar 7).
41-50
tahun
5,3%
71-80
tahun
15,8 51-60
% tahun
31,6
61-70 %
tahun
47,4
%

Gambar 7. Distribusi kasus STEMI berdasarkan umur dalam bentuk diagram


Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung
terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan
hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang
dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada
dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan
reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas)
berasal dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan
trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang
penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena
lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama
lipoprotein, yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi
kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan
trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.

17
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko
penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL
yang rendah ternyata bersifat aterogenik.
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung
bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan
kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah
jantung dengan hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi
dan payah jantung. Jantung jadi semakin terancam dengan adanya
aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat
sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan
iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh
darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi
akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di
hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan
meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.7
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7
Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak
pada pembuluh darah.
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan,
termasuk ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung
dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan

18
kebutuhan oksigen di jantung meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan
dan suplai oksigen mengakibatkan gangguan pada jantung.
3. Kerja fisik / olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan
dan miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai
oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau
berlangsung lama bisa terjadi infark.

2.7. Diagnosis
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi
sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa
perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi
yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim
biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina pectoris
tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.
2.7.1. Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang
dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan
disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-
laki terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun,
memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset,
lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi
terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri
dada atipik dan gejala tidak khas, penderita diabetes mungkin tidak
menunjukkan gejala khas karena gangguan saraf otonom.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan,
diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang
sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada,
tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang,
bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak
hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa

19
- Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
- New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari,
aktifitas ringan/ istirahat
- Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering,
nyeri atau dicetuskan aktivitas lebih ringan.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak
napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada
pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.
Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi
risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang
ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan
gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat
disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal,
dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.
Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil
secara lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung,
menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu
menegakkan adanya iskemi miokardium.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European
Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila
troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu.
Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna
untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan
kembali normal dalam 48 jam.

20
2.7.2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
(NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium
dengan ciri khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa
penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada
NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki
gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih
baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas
seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu
atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien
lebih dari 65 tahun.
Elektrokardiogram (ECG)
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal
penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial
Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak
0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik
depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan
tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB.
Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah
3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4 minggu.

2.7.3. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi
ST (STEMI)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri
dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST  2mm, minimal pada
dua sadapan prekordial yang berdampingan atau  1mm pada dua sadapan
ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,

21
memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak
perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA,
prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari
jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung
perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-
faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok,
stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah.
Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus
mampu mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri
dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
 Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
 Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
 Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
 Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.

22
Gambar 8: Pola nyeri dada pada iskemia miokard

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak
selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada
diabetes melitus dan usia lanjut.

Gambar 9: Diagnosis banding nyeri dada

23
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung
kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang
bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction
rub. Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI .
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam
10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval
5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan
unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien
dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa
infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi
segmen ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI. Pada sebagian pasien
tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark

24
non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark
miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran
patologis EKG dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga
terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau
nontransmural.

Gambar 10: STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan
Cardiac Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung (infark miokard)

25
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut
meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
 Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
 Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
 Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

2.8. Komplikasi
2.8.1. Komplikasi STEMI
a. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk,
ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses
ini disebut remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera
setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari
ekspansi infark. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark,
mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran
dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dengan prognosis yang buruk.
b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
karena STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.

26
Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung
S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.
c. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.
d. Infark ventrikel kanan
Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan
sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan
infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis
menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda
Kussmaul’s, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada
sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam
pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk
mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk
meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.
e. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset
gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia
miokard.
f. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada
hampir semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif
dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan
fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi.
Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada
pasien STEMI, konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan
magnesium 2 mmol/liter.
g. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat
terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.

27
Komplikasi mekanik
- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventikel.2
- Penatalaksaan : operasi.2
Prognosis STEMI
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien
pasca IMA2:
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan / atau ronkhi basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Tabel 2: Klasifikasi Killip pada IMA

28
2.9. Penatalaksanaan

Gambar 11: Algoritma tatalaksana dan evaluasi SKA PERKI 2018


Tindakan Umum dan Langkah Awal
Terapi awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA. Atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat sebelum ada
hasil pemeriksaan EKG dan/ biomarker jantung. Terapi yang dimaksud adalah
MONA (Morfin, Oksigen, Nitart, Aspirin) yang tidak harus diberikan semua
bersamaan.

29
2.9.1. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) / Infark Miokard Tanpa
ST Elevasi
Terapi Medikamentosa
a. Anti Iskemia
Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700
pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark
sebesar 13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada
kontraindikasi seperti asam bronkiale, gangguan konduksi atrio-ventrikular, dan
disfungsi akut ventrikel kiri.
Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis Dosis untuk
parsial angina
Atenolol β1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol β1 - 10 mg/hari
Carvedilol α dan β + 2 x 6,25 mg/ hari
+, titrasi samapai
maksimum 2 x 25
mg/ hari
Metoprolol β1 - 50-200 mg/ hari
Propanolol Non selektif - 2 x 20-80 mg/ hari

Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan
vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral.
Nitrat Dosis
Isosorbit dinitrat (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/ hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbit 5 mononitrat Oral 2x20 mg/hari

30
Oral (lepas lambat) 120-240 mg/hari
Tablet sublingual 0,3-0,6 mg-1,5 mg
Intravena 5-200 mcg/menit

c. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin
seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil.
Kedua golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik
negatif juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi
normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan
keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung
normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan
beta-bloker.
Penyekat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipin Long acting 30-90 mg/hari
Amlodipin 5-10 mg/hari

b. Anti platelet
Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian
jantung dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160mg per hari dan dosis selanjutnya
80-325 mg per hari.
Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi
platelet. Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian

31
kardiovaskular dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA
menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai
9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.

c. Anti Koagilan
Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-
beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat
trombin dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya
trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.
Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.
Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada
faktor Xa. LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan enoksaparin.

d. Statin
Statin Dosis
Atorvastatin 20-40 mg/hari
Rosuvastatin 10-20 mg/hari

Stratifikasi Risiko
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah:
- pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah
tidak ada serangan
- sebelumnya tidak memakai obat anti angina
- ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.
- Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya
usia lebih muda.
Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah:

32
- Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu
istirahat
- Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus
- Tidak ada perubahan ST segmen
- Enzim jantung tidak meningkat.
Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah:
- Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya
mendapat terapi yang intensif
- Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau ”rales” pada
pemeriksaan fisik
- Terdapat perubahan segmen ST yang baru
- Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu
pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil
dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya
pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.

2.9.2. Infark Miokard Dengan Elevasi ST


Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam
tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun
demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-
masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi
intervensi).
2.9.3.1. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
 Mengurangi / menghilangkan nyeri dada
 Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
 Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit

33
 Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
2.9.3.2. Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jm pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan
dapat diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlansungdapat diberikan NTG
intravena (iv). NTG juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema
paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
c. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada
Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
 Morfin
Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-
4mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg.
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-
325mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162mg.

34
 Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval
PR<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg
tiap 6 jam selama 48jam, dan dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.
 Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan
dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif bila
dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang teroklusi
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang
lebih baik.
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam
30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri
koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:
- Streptokinase (SK)
- tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)
- Reteplase (Retavase)
2.9.3.3. Terapi Farmakologis
a. Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran
penting dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan
dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder

35
adalah menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan
antiplatelet standar pada STEMI.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractinated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen
aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu
trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark.
b. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi
segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki
kebutuhan suplai serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang khusus.
c. ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE
harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara
global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.

36
DAFTAR PUSTAKA

Akbar MR, Garina LA. Hubungan indeks masa tubuh dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri pada pasien sindroma koroner akut [Disertasi]. Bandung: Universitas
Islam Bandung; 2015.

Alwi, I., 2014. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST . In: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi keenam . Jakarta: Internapublishing, hal:1457.

Jim, E & Joseph, V., 2016. Prevalensi sindrom coroner akut di RSUP Prof. Dr. R.
D Kandou manado periode 1 januari-31 desember 2014. Jurnal e-clinic, vol.4,
No.1, Juni 2016

Kumar, A. & Cannon, C. P., 2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and
Management, Part I. Mayo Clin Proc, 84(10) : 917-38.

Mendis S. Global target 1: A 25% relative reduction in overall mortality from


cardiovascular diseases, cancer, diabetes or chronic respiratory
diseases. In: Armstrong T, editor. Global Status Report on Non
Communicable Disease. Switzerland: WHO, 2014; p. 9-20

Mihardja LK, Delima, Soetiarto F, Suhardi, Kristanto AY. Penyakit tidak


menular. In: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, penyunting. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementeri-an Republik Indonesia, 2013; p. 83-99.

O'Gara, P. T., Kushner, F. G. & Ascheim, D. D., 2012. Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. American Heart
Association,10: 1-88

PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, edisi ke-4 2018

Santoso, B., 2013. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Tengah 2013. Jakarta:
Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.

Trisnohadi, H., 2014. Angina Pektoris Tak Stabil/ Infark Miokard Akut Tanpa
Elevasi ST . In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi keenam Jakarta:
Internapublishing, hal:1449

Wong WD. Epidemiological studies of CHD and the evolution of


preventive cardiology. Nature. 2014;11:276-89.

37

Anda mungkin juga menyukai