Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIV AIDS DI IRNA


1 RUANGAN NO. 25 RSUD dr. SYAIFUL ANWAR MALANG

Oleh
Novian Dwi Roessanti, S.Kep
NIM 192311101112

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan berikut disusun oleh:


Nama : Novian Dwi Roessanti, S.Kep
NIM : 192311101112
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan HIV AIDS di IRNA 1
Ruang No. 25 RSUD dr. Syaiful Anwar Malang

telah diperiksan dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari, Tanggal :
Tempat : IRNA 1 Ruang No. 25

Malang, Januari 2020

Mahasiswa Profesi Angkatan 24


FKep Universitas Jember

(.......................................................)

TIM PEMBIMBING
Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik/Kepala Ruang
Keperawatan Medikal RSUD dr. Saiful Anwar Malang
FKep Universitas Jember

(.......................................................) (.......................................................)
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Anatomi Fisiologi Sistem Imunitas

Sistem imun merupakan kumpulan mekanisme dalam tubuh mahkluk hidup


yang berfungsi untuk melindungi dari infeksi dengan cara mengindentifikasi dan
membunuh substasi patogen seperti virus sampai parasit dan cacing serta
membedakannya dari sel dan jaringan normal. Sebagai suatu organ kompleks
yang disusun oleh sel-sel spesifik, sistem imun juga merupakan suatu sistem
sirkulasi yang terpisah dari pembuluh darah yang semuanya bekerja sama untuk
menghilangkan infeksi dari tubuh. Organ sistem imun terletak di seluruh tubuh,
yang disebut organ limfoid. Sel imun dan molekul asing memasuki kelenjar limfe
melalui pembuluh darah atau pembuluh limfe. Semua sel imun keluar dari sistem
limfatik dan akhirnya kembali ke aliran darah. Begitu berada dalam aliran darah,
sel sistem imun, yaitu limfosit dibawa ke jaringan di seluruh tubuh, bekerja
sebagai suatu pusat penjagaan terhadap antigen asing. Sistem imun juga dapat
menimbulkan masalah seperti alergi, diabetes melitus, artritis reumatoid,
penolakan jaringan transplantasi, AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome), dan tumor ganas limfoma. Pada AIDS, kelainan fungsi imun terjadi
karena sel yang bekerja dalam sistem imun kurang baik dalam jumlah maupun
fungsinya, seperti sel makrofag dan sel T, karena kerja virus (Sudiono, 2014). Sel-
sel yang berperan dalam respon Imun :
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berpoliferasi untuk merespon antigen
tertentu. Sel B merupakan nama busa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang
ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada manusia yaitu sumsum
tulang, jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B matur bermigrasi ke organ-organ
limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan,
dan amandel. Sel B matur membawa molekul immunoglobulin permukaan yang
terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan
bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi
untuk menghancurkan antigen tertentu
2. Sel memori B adalah sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap
merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya
dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar
b. Sel T
Sel T juga menunjukkan spesifitas antigen dan akan berpoliferasi jika ada
antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan
berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel
yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif
secara imulogis yang disebut limfokin. Sub tipe limfosit T berfungsi untuk
membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan
mengatur respons imun. Respons sel T adalah Sel T seperti sel B berasal dari sel
batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin
atau segera setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus,
tempatnya berpoliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk
mengenali diri. Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi
menuju organ limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk
melawan sel yang mengandung organisme intraselular. Sel T efektor :
1. Sel T sitotoksik (Sel T pembunuh)
Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing
pada permukaannya
2. Sel T pembantu
Tidak berperan langsung dalam pembunuh sel. Setelah aktivasi oleh
makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi
normal, untuk pengenalan benda asing sel T pembantu melepas
interleukin-2 yang memproduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel
T lain untuk merespons antigen dan sel T pembantu dapat memproduksi
zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi (hipersensivitas).
3. Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan T
4. Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau
mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang
mengandung determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen
antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T
tertentu.

2. Definisi HIV AIDS


Penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus yang bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndroms) adalah Sekumpulan gejala yang
timbul akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV
(Kemenkes RI, 2018). Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang
termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan
imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu
mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di
dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa
inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan
gejala AIDS. Human immunodeficiency virus terdapat dalam cairan tubuh ODHA
dan seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut. Meskipun
virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin tetapi cairan
tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadar virus HIV sangat
rendah (Kemenkes RI, 2012). Sistem kekebalan tubuh manusia yang
diserang adalah limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4, Virus ini
mempunyai afinitas terhadap molekul yang ada di permukaan CD4. Limfosit
CD4+ adalah sebagai koordiator dari fungsi imunologis manusia sehingga
kehilangan fungsi tersebut dapat menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif.

3. Epidemiologi
Pada tahun 2013, jumlah infeksi baru HIV mencapai 2,1 juta dan jumlah
kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan
190.000 anak berusia <15 (Ibrahim dkk 2017). Jumlah kumulatif infeksi
HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan sampai dengan Maret 2016 sebanyak
198.219 HIV dan 78.292 AIDS. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada
kelompok umur 25-49 tahun (69.7%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun
(16.6%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7.2%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI,
2014). Di Jawa Timur sampai bulan Maret 2016 penderita HIV tercatat 26,052
dan penderita AIDS sejumlah 14,499. Cara penularan kasus AIDS yang tertinggi
adalah heteroseksual. Kebanyakan jenis kelamin kasus AIDS didominasi laki-laki
dan umur paling dominan kelompok seksual aktif, yaitu usia 25-29 tahun (Dinkes
Provinsi Jawa Timur, 2015).

4. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus
(HIV) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh
darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Kemenkes RI, 2019). HIV
dapat menular melalui:
a. Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan vagina dari
orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum terinfeksi (yaitu
hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui vagina atau dubur; juga
melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih kecil).
b. Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
c. Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
d. Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan jika
menyusui sendiri.
Menurut WHO (2017), populasi kunci penderita HIV/AIDS adalah sebagai
berikut :

a. WPS, yaitu perempuan yang berusia 15 tahun ke atas yang menerima uang atau
barang untuk ditukar dengan seks penetratif dalam jangka waktu 12 bulan
terakhir.
b. LSL, yaitu orang yang secara biologis adalah laki-laki berusia 15 tahun ke atas
yang berhubungan seks dengan laki-laki lain dalam jangka waktu 12 bulan
terakhir.
c. Penasun, yaitu laki-laki atau perempuan berusia 15 tahun ke atas yang
menyuntikkan zat obatobatan yang masuk dalam golongan narkotika dalam
jangka waktu 12 bulan terakhir.
d. Waria, yaitu orang yang secara biologis laki-laki berusia 15 tahun ke atas yang
mengidentifikasi gendernya sebagai perempuan.

5. Klasifikasi
Tanda dan Gejala berdasarkan Stadium
Stadium Stadium klinis 2: Stadium klinis 3: Stadium 4 : Sakit berat
klinis 1: Sakit ringan Sakit sedang (AIDS)
Asimtomatik
Tidak ada  Prurigo: Lesi  Berat badan • HIV wasting
gejala atau kulit yang gatal turun > 10% syndrome: Sangat kurus
hanya: pada lengan dan  Kandidiasis disertai demam kronik
Limfadenopat tungkai mulut: dan/ atau diare kronik
i generalisata  Herpes zoster: Bercak putih  Kandidiasis
persisten: Papul disertai yang menutupi esofagus: Nyeri
Kelenjar nyeri pada satu daerah hebat saat menelan
multipel sisi tubuh, wajah didalam mulut  Lebih dari 1
berukuran atau ekstremita  Oral hairy bulan: Ulserasi Herpes
kecil tanpa  ISPA berulang: leukoplakia: simpleks: Luka lebar dan
rasa nyeri Infeksi garis vertikal nyeri kronik di genitalia
tenggorokan putih di dan/ atau anus
berulang, samping lidah,  Sarkoma
sinusitis atau tidak nyeri, Kaposit: Lesi berwarna
infeksi telinga tidak hilang gelap (ungu) dikulit dan/
 Ulkus pada jika dikerok atau mulut, mata, paru,
mulut berulang  Lebih dari 1 usus dan sering disertai
bulan: edema
Diare: kadng-  Kanker serviks
kadng invasif*:
intermitten  Retinitis CMV
Deman tanpa  Pneumonia
sebab yang pneumosistis:
jelas: Pneumonia berat disertai
Kadang – sesak napas dan batuk
kadang kering
intermitten  TB Ekstraparu:
 Infeksi bakteri Contoh : pada tulang atau
berat meningitis
 TB paru  Meningitis
 HB< 8 g, kriptokokus: Meningitis
leukosit < 500, dengan atau tanpa kaku
trombosit < kuduk
50.000  Abses otak
 Gingivitis Toksoplasmosis*
 Ensefalopati HIV
: (Gangguan neurologis
yang tidak disebabkan
oleh faktor lain,
seringkali membaik
dengan pengobatan
ARV)

6. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen
dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya.
Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat
menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan
sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 banyak dan
akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Ersha and Ahmad, 2018).
Limfosit T CD4 (atau disingkat CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat
kerusakan sistem kekebalan tubuh karena pecah/rusaknya limfosit T pada infeksi
HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml, bila jumlahnya menurun
drastis, berarti kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan
berkembangnya infeksi oportunistik (Kemenkes RI, 2014).

7. Manifestasi Klinis
Berdasarkan Kemenkes RI (2015) tanda dan gejala dari HIV adalah sebagai
berikut :
a. Fase I: masa jendela (window period) yaitu ketika tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV.
Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga
bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada
orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa
demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit,
nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya
yang akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like
syndrome” ini terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus
terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.
b. Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun
gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat
menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung
selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung
selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe,
folikulitis yang hilangtimbul walaupun diobati.
c. Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi
jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di
paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan
penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.

8. Pemeriksaan penunjang
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji penapisan
infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody yang dibentuk oleh
tubuh terhadap virus HIV. Dalam hal ini antigen mulamula diikat benda padat
kemudian ditambah antibody yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan lagi
antigen yang bertanda enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya
ditambahkan substrat kromogenik yang bila bereaksi dengan enzim dapat
menimbulkan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi seuai dengan
jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antibody yang dicari.2
ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi, yaitu > 99,5%. Metode ELISA dibagi 2
jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini
dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai
prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi
kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibody spesifik pada fase
padat. Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung antigen
direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat.
Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel enzim dan
ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya diproduksi mulai
minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah tubuh terpapar virus
HIV,sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan ELISA dilakukan setelah
setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai terpapar ( beresiko) untuk
tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum
suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah
vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi yang
terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang bebas dan
yang terikat yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobody dalam kadar
yang terbatas ditentukan dengan menggunakan antigen yang diberi label radio
isotop. Pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung antigen yang berlabel
dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi label radio isotop sehingga
terjadi kompetisi antara antigen yang akan ditentukan kadarnya dan antigen yang
diberi label dalam proses pengikatan antibody spesifik tersebut sampai terjadi
keseimbangan. Sisa antigen yang diberi label dan tidak terikat dengan antibody
dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konyugate,
sehingga terjadi pembentukan kompleks imun dengan conjugate.
c. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif
ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Cara
kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide
gel yang diberi arus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang
berbeda- beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini
diinkubasikan dengan serum penderita. Antibody HIV dideteksi dengan
memberikan antlbody anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang
menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan
suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif.
Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat
mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibody terhadap protein core HIV (gag)
misalnya p24 dan protein precursor (P25) timbul pada stadium awal kemudian
menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibody terhadap envelope
(env) penghasil gen (GP160) dan precursor-nya (GP120) dan protein
transmembran (GP4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa
saja. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengandung antibody HIV
yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam
band protein dari HIV antigen cetakannya.
d. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-sel,
dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT
PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi yang menghasilkan
turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida dari organism target,
yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah yang sangat rendah dengan
spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu
setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang
canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak
memberikan hasil yang pasti.

9. Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Setelah positif terinfeksi HIV kemudian dilakukan layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian virologi yang
menentukan syarat pemberian terapi antiretroviral (ARV), menilai status supresi
imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan
menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Direktotat Jenderal PP & PL, 2014).
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kontrimoksasol (1x960
mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dilakuakn
untuk mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan menyingkirkan
kemungkinan efek samping tumpang tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV
(Direktotat Jenderal PP & PL, 2012).
b. Non farmakologis
1) Pengobatan Suportif
Penilaian gizi sangat diperlukan guna mencegah kekurangan nutrisi yang
dapat memperburuk keadaan penderita. Apabila nafsu makan penderita
menurun dapat dipertimbangkan pemakaian obat Anabolik Steroid. Proses
penyedian makanan perlu diperhatikan agar tidak terjadi penularan yang
fatal tanpa kita sadari misalnya pemakaian alat-alat memasak, pisau untuk
memotong daging tidak boleh digunakan untuk mengupas buah, hal ini di
maksudkan untuk mencegah terjadinya penularan Toksoplasma dan
mencegah penularan jamur.

2) Pencegahan dan pengobatan infeksi Oportunistik.


Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada penderita
infeksi HIV dan AIDS.
a) Tuberkulosis: sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali.
Dosis INH 300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk
masa satu tahun.
b) Toksoplasmosis: sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak
terutama daging yang kurang matang. Obat : TMP-SMX 1 dosis/hari.
c) CMV: virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan menimbulkan kebutaan.
Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang dapat
menyebabkan luka pada usus. Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram tiga
kali sehari.
d) Jamur: jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
jamur Kandida. Obat : Nistatin 500.000 u per hari Flukonazol 100 mg
per hari.
3) Aspek Psikologis, meliputi :
a) Perawatan personal dan dihargai
b) Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya
c) Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
d) Tindak lanjut medis
e) Mengurangi penghalang untuk pengobatan
f) Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
4) Aspek Sosial : seorang penderita HIV AIDS membutuhkan bentuk
dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3
hal :
a) Emotional support, meliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan
b) Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
c) Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang
dalam mengatasi suatu masalah.
5) Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas
hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber
dukungan sosial yang paling penting. Empat jenis dimensi dukungan social:
a) Dukungan Emosional: mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan
b) Dukungan Penghargaan: terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan
positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu
dengan orang lain
c) Dukungan Instrumental: mencakup bantuan langsung misalnya orang
memberi pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang
membutuhkan untuk pengobatannya
d) Dukungan Informatif: mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana
B. Clinical Pathway
Seks bebas, transfusi Invasi ke saluran Merusak mukosa
Mual Nafsu makan menurun
Sel imun menurun darah, jarum suntik gastrointestinal gastrointestinal
dengan hasil
pemeriksaan CD4
<200 HIV masuk dan
Nutrisi tidak adekuat
menginfeksi tubuh Diare Peristaltik usus
meningkat

Pengeluaran cairan Defisiensi Ketidakseimbangan nutrisi:


Terinfeksi Merusak sel yang rentan berlebih volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh
Tuberculosis AIDS
(sel kulit)

Sel kulit rusak, ada Gatal dan bersisikdigaruk Kekurangan energi kebutuhan sehari-hari
Inflamasi Muncul komplikasi lesi, herpes
Lk = 66,5 + (13,75 x kg BB) + (5 x cm TB) – (6,8 x usia)
Gangguan rasa
Perubahan status Khawatir terhadap Turgor kulit jelek Pr = 55,1+ (9,56 x kg BB) + (1,9 x cm TB) – 4,7 x usia)
Peningkatan sekret
kesehatan penyakit
nyaman
di saluran nafas
Keterbatasan Keletihan
gerak
Kerusakan Integritas Kulit
Hospitalisasi
Ketidakefetifan Ansietas
bersihan jalan
nafas Intoleransi Aktivitas
Pengobatan yang lama dan Stres jangka panjang,
tidak kunjung sembuh kehilangan kepercayaan
Keputusasaan

Menyerang sistem Anemia, leukopeni,


Hemolisis, defisiensi besi Ketidakefektifan Perfusi
hematologi trombositopeni Jaringan Perifer
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien memiliki riwayat melakukan hubungan seksual dengan pasangan
yang positif mengidap HIV/AIDS, pasangan seksual multiple, aktivitas
seksual yang tidak terlindung, seks anal, homoseksual, penggunaan kondom
yang tidak konsisten, menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan
kerentanan terhadap virus pada wanita yang terpajan karena peningkatan
kekeringan/friabilitasvagina), pemakai obat-obatan IV dengan jarum suntik
yang bergantian, riwayat menjalani transfusi darah berulang, dan mengidap
penyakit defesiensi imun.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas
biasanya, sulit tidur, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa
bersalah, kehilangan kontrol diri, depresi, nyeri panggul, rasa terbakar saat
miksi, diare intermitten, terus-menerus yang disertai/tanpa kram abdominal,
tidak nafsu makan, mual/muntah, rasa sakit/tidak nyaman pada bagian oral,
nyeri retrosternal saat menelan, pusing, sakit kepala, tidak mampu
mengingat sesuatu, konsentrasi menurun, tidak merasakan perubahan
posisi/getaran, kekuatan otot menurun, ketajaman penglihatan menurun,
kesemutan pada ekstremitas, nyeri, sakit, dan rasa terbakar pada kaki, nyeri
dada pleuritis, nafas pendek, sering batuk berulang, sering demam berulang,
berkeringat malam, takut mengungkapkan pada orang lain dan takut ditolak
lingkungan, merasa kesepian/isolasi, menurunnya libido dan terlalu sakit
untuk melakukan hubunganseksual.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat HIV/AIDS pada keluarga, kehamilan keluarga dengan HIV/AIDS,
keluarga pengguna obat- obatan terlarang.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan istirahat: massa otot menurun, terjadi respon fisiologis
terhadap aktivitas seperti perubahan pada tekanan darah, frekuensi denyut
jantung, dan pernafasan.
2) Sirkulasi: takikardi, perubahan tekanan darah postural, penurunan volume
nadi perifer, pucat/sianosis, kapillary refill time meningkat.
3) Integritasego: perilaku menarik diri, mengingkari, depresi, ekspresi takut,
perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis, kontak mata kurang,
gagal menepati janji atau banyak janji.
4) Eliminasi: diare intermitten, terus menerus dengan/tanpa nyeri tekan
abdomen, lesi/abses rektal/perianal, feses encer dan/tanpa disertai mukus
atau darah, diare pekat, perubahan jumlah, warna, dan karakteristikurine.
5) Makanan/cairan: adanya bising usus hiperaktif; penurunan berat badan:
parawakan kurus, menurunnya lemak subkutan/massa otot; turgor kulit
buruk; lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna;
kurangnya kebersihan gigi, adanya gigi yang tanggal; edema.
6) Hygiene: penampilan tidak rapi, kekurangan dalam aktivitas perawatan diri.
7) Neurosensori: perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental
sampai dimensia, lupa, konsentrasi buruk, kesadaran menurun, apatis,
retardasi psikomotor/respon melambat.Ide paranoid, ansietas berkembang
bebas, harapan yang tidak realistis. Timbul refleks tidak normal,
menurunnya kekuatan otot, gaya berjalanataksia.Tremor pada motorik
kasar/halus, menurunnya motorik fokalis, hemiparase, kejang Hemoragi
retina dan eksudat (renitis CMV).
8) Nyeri/kenyamanan: pembengkakan sendi, nyeri tekan, penurunan rentang
gerak, perubahan gaya berjalan/pincang, gerak otot melindungi yang sakit.
9) Pernapasan: takipnea, distress pernafasan, perubahan bunyi nafas/bunyi
nafas adventisius, batuk (mulai sedang sampai parah)
produktif/nonproduktif, sputum kuning (pada pneumonia yang
menghasilkan sputum).
10) Keamanan: perubahan integritas kulit: terpotong, ruam, mis. Ekzema,
eksantem, psoriasis, perubahan warna, ukuran/warna mola, mudah terjadi
memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
11) Rektum luka, luka-luka perianal atau abses: timbulnya nodul-nodul,
pelebaran kelenjar limfe pada dua/lebih area tubuh (leher, ketiak, paha)
Penurunan kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya berjalan.
12) Seksualitas: herpes, kutil atau rabas pada kulit genitalia
13) Interaksisosial: perubahan pada interaksi keluarga/orang terdekat, aktivitas
yang tak terorganisasi, perobahan penyusunan tujuan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Nyeri akut
c. Kekurangan volume cairan
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
e. Gangguan rasa nyaman
f. Risiko infeksi

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Ketidakefek Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas
tifan keperawatan selama ... x 24 jam (3140)
bersihan pasien menunjukkan hasil: 1. Posisikan pasien
jalan nafas semi fowler untuk
Kepatenan jalan napas memaksimal
N Indikator Skala ventilasi
o 2. Ajarkan pasien
Awal Akhir untuk batuk efektif
1 Frekuensi 3. Lakukan fisioterapi
Pernapasa dada
n 4. Kolaborasi
pemberian
2 Kemampu bronkodilator
an
mengelur
akan
sekret
3 Suara
nafas
tambahan
4 Batuk
2 Nyeri akut Kontrol nyeri (1605) Manajemen Nyeri
Skala 1. Lakukan pengkajian
Indikator Awa Akhir nyeri secara
l komprehensif
Menggunaka termasuk lokasi,
n tindakan 1 5 karakteristik, durasi,
pencegahan frekuensi, kualitas
Menggunaka dan faktor presipitasi
n tindakan 2. Observasi reaksi
pengurangan 1 5 nonverbal dari
nyeri tanpa ketidaknyamanan
analgesik 3. Gunakan teknik
Menggunaka komunikasi
n analgesik terapeutik untuk
yang 1 5 mengetahui
direkomendas pengalaman nyeri
ikan pasien
Melaporkan 4. Evaluasi pengalaman
gejala yang nyeri masa lampau
1 5 5. Evaluasi bersama
tidak
terkontrol pasien dan tim
Mengenali kesehatan lain
apa yang tentang
1 5 ketidakefektifan
terkait dengan
gejala nyeri kontrol nyeri masa
Melaporkan lampau
nyeri yang 1 5 6. Kurangi faktor
terkontrol presipitasi nyeri
Melaporkan 7. Ajarkan tentang
perubahan teknik non
1 5 farmakologi
terhadap
gejala nyeri 8. Kolaborasikan
pemberian analgetik
Tingkat nyeri (2102)
Skala
Indikator
Awal Akhir
Nyeri yang
1 5
dilaporkan
Mengerang
dan 1 5
menangis
Ekspresi
1 5
wajah nyeri
Tidak bias
1 5
beristirahat
Agitasi 1 5
iritabilitas 1 5
Ketegangan
1 5
otot
Kehilangan
1 5
nafsu makan
Mual 1 5
Intoleransi
1 5
makanan
2 Kekurangan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Elektrolit
volume keperawatan selama ... x 24 jam (2000)
cairan pasien menunjukkan hasil: 1. Monitor nilai serum
elektrolit yang
Keseimbangan Cairan abnormal
N Indikator Skala 2. Monitor
o manifestasi
Awal Akhir ketidakseimbangan
1 Bola mata elektrolit
cekung 3. Pertahankan
dan pemberian cairan
lembek IV berisi elektrolit
dengan laju yang
2 Kehausan lambat
4. Berikan diet sesuai
3 Kram otot dengan kondisi
pasien (kaya
potasium, rendah
4 Pusing
sodium, dan
makanan rendah
karbohidrat)
5. Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
jenis, penyebab,
dan pengobatan
apabila terdapat
ketidakseimbangan
elektrolit, yang
sesuai
3 Ketidaksei Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi
mbangan keperawatan selama ... x 24 jam (1100)
nutrisi pasien menunjukkan hasil: 1. Tentukan status
kurang dari gizi pasien dan
kebutuhan Status nutrisi kemampuan pasien
N Indikator Skala memenuhi
o kebutuhan gizi
Awal Akhir 2. Tentukan jumlah
kalori dan jenis
1 Asupan nutrisi yang
makanan dibutuhkan untuk
memenuhi
2 Asupan persyaratan gizi
cairan 3. Beri obat-obatan
sebelum makan jika
3 Energi
diperlukan
4. Anjurkan keluarga
4 Rasio untuk membawa
berat makanan favorit
badan/tin pasien
ggi badan 5. Monitor kalori dan
asupan makanan
4 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
rasa keperawatan selama ... x 24 jam (1400)
nyaman pasien menunjukkan hasil: 1. Observasi
ketidaknyamanan
Status kenyamanan: fisik pasien secara
N Indikator Skala nonverbal,
o khususnya
Awal Akhir komunikasi yang
1 Nyeri tidak efektif
2. Eksplorasi pasien
faktor-faktor yang
dapat memperberat
2 Gatal-
dan meringankan
gatal
nyeri
3 Relaksasi 3. Ajarkan prinsip-
otot prinsip manajemen
4 Tingkat nyeri
energi 4. Sediakan informasi
tentang nyeri,
seperti penyebab
nyeri, berapa lama
nyeri akan berakhir
dan tindakan yang
dapat dilakukan
untuk mengatasi
ketidaknyamanan
5. Ajarkan
manajemen nyeri
non-farmakologi
5 Risiko Setelah dilakukan tindakan Kontrol Infeksi (6540)
infeksi keperawatan selama ... x 24 jam 1. Bersihkan
pasien menunjukkan hasil: lingkungan dengan
baik setelah
Kontrol Infeksi digunkan untuk
N Indikator Skala setiap pasien
o 2. Ganti peralatan
Awal Akhir perawatan per
1 Tekanan pasien sesuai
darah protocol institusi
sistolik 3. Anjurkan
pengunjung untuk
2 Tekanan
mencuci tangan
drah
pada saat
diastolic
memasuki dan
3 Suhu meninggalkan px
tubuh 4. Batasi jumlah
4 Kesadara pengunjung
n 5. Pastikan teknik
perawatan luka
yang tepat

D. Discharge Planning
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk discharge planning bagi klien dengan
cidera kepala antara lain :
1. Rutin untuk konseling
2. Rutin untuk konsumsi obat ARV
3. Segera menghubungi layanan kesehatan jika terdapat efek atau kondisi
yang tidak diinginkan
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur Tahun 2012. Surabaya
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.
Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis KO Infeksi TB-HIV. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Ersha, R. F. and Ahmad, A. 2018. Immunodeficiency Syndrome dengan Sarkoma
Kaposi, 7(3), pp. 131–134.
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. [serial online]
https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodati
n/InfoDatin-HIV-AIDS-2018.pdf
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis
dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan.
Kemenkes RI. 2015. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV Dan
Sifilis Dari Ibu Ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan.
Kemenkes RI. 2018. Stop HIV.
http://www.kemkes.go.id/development/site/depkes/pdf.php?id=117042500
008.
Kemenkes RI. 2019. Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular
Seksual (PIMS) Triwulan 1 Tahun 2019.
Sudiono, J. 2014. Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: EGC.
WHO. 2017. Kajian epidemiologi hiv indonesia 2016

Anda mungkin juga menyukai