Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Hidup (Quality of Life)

2.1.1 Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas Hidup Kualitas hidup menurut World Health Organozation Quality


of Life (WHOQOL) Group (dalam Rapley, 2003), didefinisikan sebagai persepsi
individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem
nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar
yang ditetapkan dan perhatian seseorang.

Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif dari individu terhadap kondisi


fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari yang
dialaminya (Urifah, 2012).Sedangkan menurut Chipper (dalam Ware, 1992)
mengemukakan kualitas hidup sebagai kemampuan fungsional akibat penyakit
dan pengobatan yang diberikan menurut pandangan atau perasaan pasien.

Donald (dalam Urifah, 2012) menyatakan kualitas hidup merupakn suatu


terminology yang menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi
seseorang serta kemsmpusnnys untuk melaksanakan tugas sehari-hari.

WHO (dalam Kurniawan, 2008) menggambarkan kualitas hidup sebagai


sebuah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks
budaya dan system nilai dimana mereka tinggal dan hidup dalam hubungannya
dengan tujuan hidup, harapan, standart dan fokus hidup mereka. Konsep ini
meliputi beberapa dimensi yang luas yaitu: kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
hubungan sosial dan lingkungan.

Menurut Cohan & Lazarus (dalam Handini, 2011) kualitas hidup adalah
tingkatan yang menggambarkan keunggulan seseorang individu yang dapat dinilai
dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut biasanya dilihat dari tujuan
hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi,
intelektual dan kondisi materi. Sedangkan Ghozali juga mengungangkap faktor-

8
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup diantaranya adalah mengenali diri
sendiri, adaptasi, merasakan perhatian orang lain, perasaan kasih dan sayang,
bersikap optimis, mengembangkan sikap empati.

Defenisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (health-related


quality of life) dikemukakan oleh Testa dan Nackley (Rapley, 2003), bahwa
kualitas hidup berarti suatu rentang anatara kedaan objektif dan persepsi subjektif
dari mereka.Testa dan Nackley menggambarkan kualitas hidup merupakan
seperangkat bagian-bagian yang berhubungan dengan fisik, fungsional,
psikologis, dan kesehatan sosial dari individu.Ketika digunakan dalam konteks
ini, hal tersebut sering kali mengarah pada kualitas hidup yang mengarah pada
kesehatan. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mencakup lima
dimensi yaitu kesempatan, persepsi kesehatan, status fungsional, penyakit, dan
kematian.

Sedangkan menurut Hermann (Silitonga, 2007) kualitas hidup yang


berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari pasien
terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa
senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada,
adanya kepuasaan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta
kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.

Kualitas hidup menurut definisi WHO adalah persepsi individu tentang


keberadaannya di kehidupan dalam konteks budaya dan system nilai tempat ia
tinggal. Jadi dalam skala yang luas meliputi berbagai sisi kehidupan seseorang
baik dari segi fisik, psikologis, kepercayaan pribadi, dan hubungan sosial untuk
berinteraksi dengan lingkungannya. Definisi ini merefleksikan pandangan bahwa
kualitas hidup merupakan evaluasi subjektif, yang tertanam dalam konteks
cultural, sosial dan lingkungan. Kualitas hidup tidak dapat disederhanakan dan
disamakan dengan status kesehatan, gaya hidup, kenyamanan hidup, status mental
dan rasa aman (Snoek, dalam Indahria, 2013).

9
Menurut Karangora (2012) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi
seseorang dalam konteks budaya dan norma yang sesuai dengan tempat hidup
seseorang tersebut serta berkaitan dengan tujuan, harapan, standard an kepedulian
selama hidupnya. Kualitas hidup individu yang satu dengan yang lainnya akan
berbeda, hal itu tergantung pada definisi atau interpretasi masing-masing individu
tentang kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup akan sangat rendah apabila
aspek-aspek dari kualitas hidup itu sendiri masih kurang dipenuhi.

Dari beberapa uraian tentang kualitas hidup diatas maka dapat ditegaskan
bahwa yang dimaksud dengan kualitas hidup dalam kontek penelitian ini adalah
persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupannya baik dilihat dari
konteks budaya maupun system nilai dimana mereka tinggal dan hidup yang ada
hubungannya dengan tujuan hidup, harapan, standart dan fokus hidup mereka
yang mencakup beberapa aspek sekaligus, diantaranya aspek kondisi fisik,
psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Raebun dan Rootman (Angriyani, 2008) mengemukakan bahwa terdapat


delapan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu:

1. kontrol, berkaitan dengan control terhadap perilaku yang dilakukan oleh


seseorang, seperti pembahasan terhadap kegiatan untuk menjaga kondisi
tubuh.
2. Kesempatan yang potensial, berkaitan dengan seberapa besar seseorang
dapat melihat peluang yang dimilikinya.
3. Keterampilan, berkaian dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
keterampilan lain yang mengakibatkan ia dapat mengembangkan dirinya,
seperti mengikuti suatu kegiatan atau kursus tertentu.
4. Sistem dukungan, termasuk didalamnya dukungan yang berasal dari
lingkungan keluarga, masyarakat maupun sarana-sarana fisik seperti tempat
tinggal atau rumah yang layak dan fasilitas-fasilitas yang memadai sehinga
dapat menunjang kehidupan.

10
5. Kejadian dalam hidup, hal ini terkait dengan tugas perkembangan dan stress
yang diakibatkan oleh tugas tersebut. Kejadian dalam hidup sangat
berhubungan erat dengan tugas perkembangan yang harus dijalani, dan
terkadang kemampuan seseorang untuk menjalani tugas tersebut
mengakibatkan tekanan tersendiri.
6. Sumber daya, terkait dengan kemampuan dan kondisi fisik seseorang.
Sumber daya pada dasarnya adalah apa yang dimiliki oleh seseorang sebagai
individu.
7. Perubahan lingkungan, berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada
lingkungan sekitar seperti rusaknya tempat tinggal akibat bencana.
8. Perubahan politik, berkaitan dengan masalah Negara seperti krisi moneter
sehingga menyebabkan orang kehilangan pekerjaan/mata pencaharian.

Selain itu, kualitas hidup seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya, mengenali diri sendiri, adaptasi, merasakan pasienan orang lain,
perasaan kasih dan sayang, bersikap optimis, mengembangkan sikap empati.

2.1.3 Aspek-Aspek Kualitas Hidup

Menurut WHO (2008) terdapat empat aspek mengenai kualitas hidup, diantaranya
sebagai berikut:

1. Kesehatan fisik, diantaranya Aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada zat


obat dan alat bantu medis, energi dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan
ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja.
2. Kesejahteraan psikologi, diantaranya image tubuh dan penampilan, perasaan
negative, perasaan positif, harga diri, spiritualitas/agama/keyakinan pribadi,
berpikir , belajar , memori dan konsentrasi.
3. Hubungan sosial, diantaranya hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas
seksual.
4. Hubungan dengan lingkungan, diantaranya sumber keuangan, kebebasan,
keamanan fisik dan keamanan Kesehatan dan perawatan sosial : aksesibilitas
dan kualitas, lingkungan rumah, Peluang untuk memperoleh informasi dan

11
keterampilan baru, partisipasi dalam dan peluang untuk kegiatan rekreasi /
olahraga, lingkungan fisik ( polusi / suara / lalu lintas / iklim ), mengangkut.

Menurut WHOQOL-BREF (dalam rapley, 2003) terdapat empat aspek


mengenai kualitas hidup, diantaranya sebagai berikut: (Nimas, 2012)

1. Kesehatan fisik, mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-


obatan, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan,
tidur/istirahat, kapasitas kerja
2. Kesejahteraan psikologis, mencakup bodily image appearance, perasaan
negative, perasaan positif, self-esteem, spiritual/agama/keyakinan pribadi,
berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.
3. Hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial, aktivitas
seksual
4. Hubungan dengan lingkungan mencakup ssumber finansial, kebebasan,
keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial termasuk
aksesbilitas dan kualitas, lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan
berbagai informasi baru maupun keterampilan, partisispasi dan mendapat
kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di
waktu luang, lingkungan fisik termasuk polusi/kebisingan/lalu lintas/iklim
serta transportasi.

2.2 Lansia

2.2.1 Pengertian Lansia

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami


suatu proses perubahan secara bertahapn dalam jangka waktu tertentu. Menurut
WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun


b. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun
c. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old): usia diatas 90 tahun

12
Departemen Kesehatan RI memberikan batasan lansia sebagai berikut:

1. Virilitas (prasenium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakkan


kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
2. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut
dini (usia 60-64 tahun).
3. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif : usai
diatas 65 tahun (Fatmah, 2010).

Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam, yaitu lansia kronologis (kalender)


dan lansia biologis. Lansia biologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan
lansia biologis berpatokan pada keadaan jaringan tubuh. Individu yang berusia
muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia jika dilihat dari keadaan
jaringan tubuhnya (Fatmah, 2010). Lanjut usia merupakan proses alamiah dan
berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisologis, dan biokimia
pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan
kemapuan badan secara keseluruhan.

2.2.2 Teori-Teori Tentang Menua

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan


jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan kerusakan yang
diderita (Darmojo,2010). Proses menua yang harus terjadi secara umum pada
seluruh spesies secra progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang
menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau
sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

Berdasarkan teori penuaan terjadi beberapa penurunan perubahan fisiologis


dan psikososial pada lansia. Beberapa teori penuaan yang diketahui dijelaskan
berikut ini:

1. Teori Berdasarkan Sistem Organ Teori berdasarkan sistem organ (organ


system based story) ini berdasarkan dugaan adanya hambatan dari organ
tertentu dalam tubuh yang akan menyebabkan terjadinya proses penuaan.

13
Organ tersebut adalah sistem endokrin dan sistem imun. Pada proses penuaan,
kelenjar timus mengecil yang menurunkan fungsi imun. Penurunan sistem
imun menimbulkan peningkatan insidensi penyakit infeksi pada lansia. Dapat
dikatakan bahwa peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan
insidensi penyakit (Fatmah, 2010). Lansia mengalami penanggalan gigi
akibat hilangnya tulang penyokong periostal dan periodontal, sehingga lansia
akan mengalami kesulitan mencerna makanan (Stanley, 2006).
2. Teori Kekebalan Tubuh Teori kekebalan tubuh (breakdown theory) ini
memandang proses penuaan terjadi akibat adanya penurunan sistem
kekebalan secara bertahap, sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan
diri terhadap luka, penyakit, sel mutan ataupun sel asing. Hal ini terjadi
karena hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar timus yang
mengontrol sistem kekbalan tubuh telah menghilang seiring dengan
bertambahnya usia (Fatmah, 2010).
3. Teori Fisiologik Sebagai contoh, teori adaptasi stress (stress adaptation
theory) menjelaskan proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres.
Stres dapat berasal dari dalam maupun dari luar, juga dapat bersifat fisik,
psikologik, maupun sosial (Fatmah, 2010).
4. Teori Psikososial Semakin lanjut usia seseorang, maka ia semakin lebih
memperhatiakn dirinya dan arti hidupnya, dan kurang memperhatikan
peristiwa atau isu-isu yang terjadi (Fatmah, 2010).
5. Teori Kontinuitas Gabungan antara teori pelepasan ikatan dan teori pelepasan
ikatan dan teori aktivitas. Perubahan diri lansia dipengaruhi oleh tipe
kepribadiannya. Seseorang yang sebelumnya sukses, pada usia lanjut akan
tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta tetap memlihara identitas dan
kekuatan egonya karena memiliki tipe kepribadian yang aktif dalam kegiatan
sosial (Fatmah, 2010)
6. Teori Sosiologik Teori perubahan sosial yang menerangkan menurunnya
sumber daya dan meningkatnya ketergantungan, mengakibatkan keadaan
sosial yang tidak merata dan menurunnya sistem penunjang sosial. Teori
pelepasan ikatan (disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia lanjut

14
terjadi penurunan partisipasi ke dalam masyarakat karena terjadi proses
pelepasan ikatan atau penarikan diri secara pelan-pelan dari kehidupan
sosialnya. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses pelepasan ikatan yang
memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggung jawab dari pekerjaan
dam tidak perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan
penghasilan. Teori ini banyak mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan
sosial (Fatmah, 2010)
7. Teori Aktifitas Berlawanan dengan teori pelepasan ikatan, teori aktivitas ini
menjelaskan bahwa lansia yang sukses adalah yang aktif dan ikut dalam
kegiatan sosial. Jika seseorang sebelumnya sangat aktif, maka pada usia
lanjut ia akan tetap memelihara keaktifannya seperti peran dalam keluarga
dan masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, karena ia
tetap merasa dirinya berarti dan puas di hari tuanya. Bila lansia kehilangan
peran dan tanggung jawab di masyarakat atau kelaurga, maka ia harus segera
terlibat dalam kegiatan lain seperti klub atau organisasi yang sesuai dengan
bidang atau minatnya. Teori ini menganggap bahwa pelepasan ikatan bukan
merupakan proses alamiah seperti pendapat Cumming & Hendry. Dalam
pandangan teori aktivitas, teori pelepasan adalah melekatnya sifat atau
pembawaan lansia dan tidak ke arah masa tua yang positif (Fatmah, 2010).
8. Teori Penuaan Ditinjau dari Sudut Biologis. Dulunya proses penuaan biologis
tubuh dikaitkan dengan organ tubuh. Akan tetapi, kini proses penuaan
biologis ini dihubungkan dengan perubahan dalam sel-sel tubuh disebabkan
oleh :
a. memiliki batas maksimum untuk membelah diri sebelum mati,
b. setiap spesies mempunyai karakteristik dan masa hidup yang berbeda,
c. penurunan fungsi dan efisiensi selular terjadi sebelum sel mampu membelah
diri secra maksimal. Lansia mengalami penurunan fungsi fisiologis pada
rongga mulut sehingga mempengaruhi mekanisme makanan. Perubahan
dalam rongga mulut yang terjadi pada lansia mencakup tanggalnya gigi,
muluit kering dan penurunan motilitas esofagus (Meiner, 2006).

15
2.3 Penurunan Pada Lansia

2.3.1 Perubahan Kondisi Fisik

Pada Lansia Perubahan kondisi fisik pada lansia antara lain :

a. Penurunan jumlah sel, cairan tubuh serta cairan intraselular. Protein dalam
otak, ginjal, otot, hati serta dan darah akan berkurang, mekanisme perbaikan
sel menjadi terganggu, terjadi atrofi pada otak, berat otak berkurang 5 – 10 %.
b. Pada sistem persarafan lansia, lansia menjadi lambat dalam merespon
sesuatu, saraf pancaindra mengecil.
c. Sistem pendengaran pada lansia menurun ditandai dengan hilangnya daya
pendengaran pada telinga dalam.
d. Terjadi sklerosis pupil dan hilangnya respon sinar bisa menyebabkan
penglihatan lansia menjadi berkurang.
e. Pada sistem kardiovaskuler, jantung sudah tidak bisa memompa darah secara
optimal.
f. Pada sistem pengaturan temperatur tubuh, tubuh seorang lansia sudah tidak
bisa memproduksi panas yang maksimal. Hal ini menyebabkan aktifitas otot
menjadi berkurang.
g. Sistem pernafasan yang menurun ditandai dengan hilangnya elastisitas paru –
paru.
h. Pada sistem gastrointestinal, lansia akan kehilangan gigi, indra pengecap
menurun, fungsi absorpsi akan mengalami penurunan.
i. Sekresi lendir vagina pada lansia perempuan akan berkurang. Produksi testis
pada lansia laki – laki semakin menurun. Produksi hormon pada lansia akan
menurun.
j. Hilangnya jaringan lemak pada lansia menyebabkan kulit keriput pada lansia.
Rambut pada lansia akan semakin tipis serta terjadi perubahan warna yaitu
menjadi lebih kelabu

16
2.3.2 Perubahan Psikologis Pada Lansia

Perubahan psikologis pada lansia dipengaruhi oleh keadaan fisik lansia


yang mengalami penurunan, kondisi kesehatan pada lansia, tingkat pendidikan
pada lansia, keturunan (hereditas), serta kondisi lingkungan dimana lansia berada.
Perubahan psikologis pada lansia adalah kenangan (memory) serta IQ
(Intellgentia Quantion) yakni kemampuan verbal lansia, penampilan lansia,
persepsi lansia serta ketrampilan psikomotor lansia menjadi berkurang.

2.3.3 Perubahan Psikososial

Lansia akan mengalami penurunan tingkat kemandirian dan psikomotor.


Tingkat kemandirian yakni kemampuan lansia untuk melakukan sesuatu. Fungsi
psikomotor yakni meliputi gerakan, tindakan, serta koordinasi. Adanya penurunan
fungsi pada tingkat kemandirian serta psikomotor menyebabkan lansia mengalami
suatu perubahan dari sisi aspek psikososial. Hal ini tentunya dikaitkan dengan
kepribadian lansia (Hardywinoto dan T., 2005).

2.3.4 Alat Ukur Kualitas Hidup Lansia

Bagian kesehatan mental WHO mempunyai proyek organisasi kualitas


kehidupan dunia (WHOQOL). Proyek ini bertujuan mengembangkan suatu
instrumen penilaian kualitas hidup. Instrumen WHOQOL – BREF ini telah
dikembangkan secara kolaborasi di berbagai belahan dunia.

(WHO, 2004). World Health Organization (WHO) telah mengembangkan


sebuah instrumen untuk mengukur kualitas hidup seseorang yaitu WHO Quality
of Life - BREF (WHOQOL-BREF). Distribusi ke-26 pertanyaan dari WHOQOL-
BREF adalah simetris dan hasil penelitian menunjukkan instrumen WHOQOL-
BREF valid dan reliable untuk mengukur kualitas hidup pada lansia. Kemampuan
crosscultural dari instrumen WHOQOL-BREF merupakan suatu keunggulan dan
mendukung premis yang menyatakan instrumen ini dapat digunakan sebagai alat
screening. WHOQOL-BREF merupakan suatu instrumen yang valid dan reliable
untuk digunakan baik pada populasi lansia maupun populasi dengan penyakit
tertentu. Instrumen ini telah banyak digunakan di berbagai negara industri

17
maupun berkembang pada populasi penderita hati dan paru-paru yang kronik
sebagai alat screening (Salim dkk, 2007).

Instrumen WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang sesuai untuk


mengukur kualitas hidup dari segi kesehatan terhadap lansia dengan jumlah
responden yang kecil, mendekati distribusi normal, dan mudah untuk digunakan
(Hwang dkk, 2003).

2.4 Faktor – Faktor Yang Berkaitan Dengan Kualitas Hidup Lansia

2.4.1 Kondisi Fisik

2.4.1.1 Keadaan Umum

Pemeriksaan fisik secara umum pada lansia yakni meliputi pemeriksaan


tingkat kesadaran, tekanan darah, tanda-tanda vital atau TTV, berat badan, tinggi
badan serta postur tulang belakang pada lansia. Lansia yang sehat akan berada
pada tingkat kesadaran penuh (composmentis), tekanan darah 140/90mmHg
sampai dengan 160/90mmHg, tanda – tanda vital (nadi 60-70x/menit, pernafasan
14-16x/menit, suhu ) (Noorkasiani, 2009).

Masalah gizi yang kurang pada lansia dapat disebabkan oleh anoreksia
yang berkepanjangan. Hal tersebut menyebabkan penurunan berat badan pada
lansia. Gizi kurang juga sering diakibatkan oleh penyakit infeksi kronis, penyakit
jantung kongestif, masalah sosial dan ekonomi atau sebab lain. Kehilangan berat
badan terjadi amat berlebihan sehingga asupan makanan tak dapat mengimbangi
kehilangan yang cepat itu. Keadaan kurang gizi pada lansia ini juga perlu
mendapat penanganan diet khusus (Irianto, 2014).

IMT (Indeks Massa Tubuh) adalah suatu alat untuk pemantauan status gizi
orang dewasa yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. IMT
dihitung dengan cara :

IMT = berat badan (dalam kilogram)

[tinggi badan (dalam meter)]2

18
2.4.1.2 Kondisi Psikologis Lansia

Penuaan pada lanjut usia sangat dikaitkan dengan perubahan anatomi,


perubahan fisiologi, terjadi kesakitan atau hal – hal yang bersifat patologi dan
perubahan psikososial. Depresi adalah gangguan psikologis yang kita ketahui
sering dialami lanjut usia. Interaksi faktor biologi, fisik, psikologis, serta sosial
pada lanjut usia bisa mengakibatkan depresi pada lanjut usia (Soejono dkk, 2009).

Depresi adalah suatu masa terganggunya fungsi dalam diri manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih serta gejala yang menyertainya,
termasuk perubahan pada pola tidur, perubahan nafsu makan, perubahan
psikomotor, sulit berkonsentrasi, merasa tidak bahagia, sering merasa kelelahan,
sering timbul rasa putus asa, merasa tidak berdaya, serta keinginan bunuh diri
(Kaplan dan Saddock, 2007).

Depresi pada usia lanjut lebih sulit diseteksi karena :

1. Kecemasan serta histeria yang merupakan suatu gejala dari depresi justru
sering menutupi depresinya
2. Masalah sosial sering membuat depresi menjadi rumit
3. Usia lanjut sering menutupi kesepian serta rasa sedih dengan justru lebih aktif
dalam kegiatan di masyarakat (Soejono dkk, 2009).

Diagnosis awal dan terapi segera terhadap depresi pada pasien geriatri dapat
memperbaiki kualitas hidup, status fungsional, dan mencegah kematian dini.
Tanda dan gejala depresi yakni:

1. Hilangnya minat atau rasa senang, hampir setiap hari

2. Berat badan menurun atau bertambah yang bermakna

3. Insomnia atau hipersomnia, hampir setiap hari

4. Agitasi atau retardasi psikomotor, hampir tiap hari

5. Kelelahan (rasa lelah atau hilangnya energi), hampir tiap hari

6. Rasa bersalah atau tidak berharga, hampir tiap hari

19
7. Sulit konsentrasi

8. Pikiran berulang tentang kematian atau gagasan bunuh diri (Soejono dkk,
2009)

Geriatric Depression Scale (GDS) merupakan salah satu instrumen yang


paling sering digunakan untuk mendiagnosis depresi pada usia lanjut. Pertanyaan
yang panjang dan banyak pada GDS-30 pertanyaan membuat peneliti
mengembangkan versi yang lebih pendek, bervariasi antara 15 pertanyaan dan 1
pertanyaan. Di antara versi-versi tersebut, GDS 15 pertanyaan paling sering
digunakan untuk mendeteksi depresi pada lanjut usia dan dapat berfungsi sebaik
GDS 30 pertanyaan (Wongpakaran N, 2013).

2.4.1.3 Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah kemampuan berfikir rasional yang terdiri dari


beberapa aspek. Fungsi kognitif diukur dengan Mini Mental State Examination
(MMSE). Hasil skornya yaitu kognitif normal (skor : 16–30) dan gangguan
kognitif (skor : 0-15). Aspek yang dinilai pada MMSE adalah status orientasi,
registrasi, atensi dan kalkulasi, memori, bahasa dan kemampuan menulis serta
menggambar spontan (Folstein dkk, 1975).

Fungsi kognitif yang menurun dapat menyebabkan terjadinya


ketidakmampuan lansia dalam melakukan aktifitas normal sehari-hari. Hal ini
dapat mengakibatkan para lansia sering bergantung pada orang lain untuk
merawat diri sendiri (care dependence) pada lansia (Reuser dkk , 2010).

Olahraga atau latihan fisik merupakan kegiatan yang dapat menghambat


kemunduran kognitif akibat dari penuaan. Peningkatan kebugaran fisik serta
senam otak (Senam Vitalisasi Otak) dapat meningkatkan potensi kerja otak
(Markam dkk, 2006).

Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif. Perubahan yang


terjadi pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan
informasi (storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang

20
mengalami penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan
memproses informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap rangsangan sederhana
ataukompleks, penurunan ini berbeda antar individu (Lumbantobing, 2006).

2.4.2 Aktivitas Sosial

Aktivitas sosial merupakan salah satu dari aktivitas sehari – hari yang
dilakukan oleh lansia. Lansia yang sukses adalah lansia yang mempunyai aktivitas
sosial di lingkungannya. Contoh aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan
aktivitas sosial yang dikemukan oleh Marthuranath pada tahun (2004) dalam
Activities of Daily Living Scale for Elderly People adalah lansia mampu
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya bersama lansia lainnya atau orangorang
terdekat, menjalankan hobi serta aktif dalam aktivitas kelompok. Aktivitas sosial
merupakan kegiatan yang dilakukan bersama dengan masyarakat di lingkungan
sekitar (Napitupulu, 2010). Menurut Yuli pada tahun (2014) Teori aktivitas atau
kegiatan (activity theory) menyatakan bahwa lansia yang selalu aktif dan
mengikuti banyak kegiatan sosial adalah lansia yang sukses.

2.4.3 Interaksi Sosial

Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan manusia


lainnya, makhluk yang mampu berpikir sebelum melakukan sesuatu. Dari proses
berpikir muncul perilaku atau tindakan sosial. Ketika seseorang bertemu dengan
orang lainnya, dimulailah suatu interaksi sosial. Seseorang dengan orang lainnya
melakukan komunikasi baik secara lisan maupun isyarat, aktivitas-aktivitas itu
merupakan suatu bentuk interaksi sosial. Terdapat beberapa macam interaksi
sosial. Dari sudut subjek, ada 3 macam interaksi sosial yaitu interaksi antar
perorangan, interaksi antar orang dengan kelompoknya atau sebaliknya, interaksi
antar kelompok. Dari segi cara, ada 2 macam interaksi sosial yaitu interaksi
langsung yaitu interaksi fisik, seperti berkelahi, hubungan seks dan sebagainya,
interaksi simbolik yaitu interaksi dengan menggunakan isyarat (Subadi, 2009).

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan timbal balik yang saling


mempengaruhi antara individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Interaksi sosial

21
merupakan suatu proses di mana manusia melakukan komunikasi dan saling
mempengaruhi dalam tindakan maupun pemikiran. Penurunan derajat kesehatan
dan kemampuan fisik menyebabkan lansia secara perlahan akan menghindar dari
hubungan dengan orang lain. Hal ini akan mengakibatkan interaksi sosial
menurun (Hardywinoto dan T., 2005).

Teori pembebasan (disengagement theory) menyatakan bahwa seseorang


secara perlahan mulai menarik diri dari kehidupan sosialnya dengan semakin
bertambahnya umur. Sering terjadi kehilangan (triple loss) yakni kehilangan
peran, hambatan kontak sosial, dan berkurangnya kontak komitmen yang
disebabkan karena interaksi sosial lansia menurun baik secara kualitas maupun
kuantitas (Yuli, 2014).

Penelitian Rantepadang pada tahun (2012) menyebutkan bahwa ada


hubungan yang kuat antara interaksi sosial dengan kualitas hidup pada lansia.
Semakin baik interaksi sosial lansia, semakin tinggi pula kualitas hidupnya.
Penelitian oleh Sanjaya dan Rusdi pada tahun (2012) menyatakan bahwa
responden yang memiliki interaksi sosial yang baik tidak akan merasa kesepian
dalam hidupnya dan hal ini tentu dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan sosial mempunyai efek yang


positif pada kesejahteraan emosional lansia dan kesehatan fisik serta diprediksi
dapat menurunkan resiko kematian. Lansia sering kehilangan kesempatan
partisipasi dan hubungan sosial. Interaksi sosial cenderung menurun disebabkan
oleh kerusakan kognitif, kematian teman, fasilitas hidup atau home care (Estelle
dkk, 2006). Menurut (Santrock, 2003) interaksi sosial berperan penting dalam
kehidupan lansia. Hal ini dapat mentoleransi kondisi kesepian yang ada dalam
kehidupan sosial lansia.

22
2.5 Hubungan Antara Aktivitas Sosial, Interaksi Sosial, dan Fungsi Keluarga
Dengan Kualitas Hidup Lansia

Penelitian oleh Sutikno pada tahun (2007) memenukan bahwa faktor umur
lansia mempunyai hubungan dengan kualitas hidup pada lansia. Menurut
Nugroho, pada tahun (2000) kualitas hidup lansia akan semakin buruk dengan
bertambahnya usia. Dengan pertambahan usia maka akan ada perubahan dalam
cara hidup seperti merasa kesepian dan sadar akan kematian, hidup sendiri,
perubahan dalam hal ekonomi, penyakit kronis, kekuatan fisik semakin lemah,
terjadi perubahan mental, ketrampilan psikomotor berkurang, perubahan
psikososial yaitu pensiun, akan kehilangan sumber pendapatan, kehilangan
pasangan dan teman, serta kehilangan pekerjaan dan berkurangnya kegiatan.

Semakin bertambahnya umur membuat kualitas hidup lansia terus


menurun. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan
kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya
bersosialisasi. Interaksi sosial yang menjadi syarat utama terjadinya
aktivitasaktivitas sosial ini merupakan hubungan sosial yang dinamis. Hasil
penelitian oleh Rosmalina,dkk pada tahun (2003) menunjukkan bahwa aktivitas
sosial mempunyai hubungan yang bermakna dengan tingkat kesegaran jasmani
lansia yang tentunya dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Dengan interaksi
sosial, lansia dapat berpikir positif dan optimis tentang kehidupan melalui
keanggotaan dalam sebuah perkumpulan (Noorkasiani, 2009).

Keluarga merupakan kelompok dimana kelompok ini memiliki peranan


yang sangat penting untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada anggota
keluarga. Kualitas hidup dipengaruhi oleh status ekonomi. Kualitas hidup akan
buruk jika status ekonomi rendah karena menyebabkan hambatan untuk
memperoleh makanan sehat serta bergizi, pendidikan yang memadai, tempat
tinggal yang layak, serta pelayanan dalam mengatasi masalah kesehatan yang
optimal akan terganggu. Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi kualitas
hidup, jika tingkat pendidikan rendah maka kualitas hidup akan buruk karena
pengetahuan lansia tentang kualitas hidup menjadi rendah (Sutikno, 2007).

23
Lanjut usia akan mengalami penurunan fungsi tubuh, sehingga akan
berakibat pada penurunan fungsi jalan, penurunan keseimbangan, serta penurunan
pada kemampuan fungsional. Tingkat kemandirian pada lanjut usia akan menurun
sehingga kualitas hidupnya juga akan mengalami penurunan (Utomo, 2010).
Suatu penelitian di Makassar mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat kemandirian dengan kualitas hidup lanjut usia (Aziz,
2015).

24

Anda mungkin juga menyukai