Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Infeksi gigi merupakan penyakit yang umum terjadi di masyarakat. Infeksi gigi
kebanyakan ringan, namun pada beberapa kasus dapat berkem!ang menjadi
komplikasi serius dan fatal. Angina Ludwig merupakan salah satu jenis penyakit
mulut yang disebabkan oleh infeksi pada bagian dalam mulut. Angina Ludwig
merupakan infeksi ruang submandibula (rahang bawah) berupaperadangan selulitis
dari bagian superior ruang suprahioid (sekitar leher), yang ditandai dengan
pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang submandibular, yang mencakup
jaringan yang menutupi otot-otot antara laring dan dasar mulut, tanpa disertai
pembengkakan pada limfonodus. Penyakit Ludwig Angina memiliki gejala seperti
leher sakit, sulit mengunyah, leher bengkak, sesak nafas, demam, bercak pada leher,
nyeri ditelinga, linglung. (Siti A., et al., 2017).

Angina Ludwig atau dikenal sebagai Angina Ludovici pertama kali dijelaskan
oleh Wilheim Frederick von Ludwig pada tahun 1836 sebagai suatu selulitis atau
infeksi jaringan ikat leher dan dasar mulut yang cepat menyebar, kondisi ini akan
memburuk secara progresif bahkan dapat berakhir pada kematian dalam waktu 10-12
hari. Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian
superior ruang suprahioid. Ruang porensial ini berada antara otot-otot yang
melekatkan lidah pada tulang hiod dan milohiodeus. Angina Ludwig juga salah satu
bentuk abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fascia leher sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana
yang terlibat, gejala dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan
menunjukkan lokasi infeksi. (Lemonick M., et al., 2002).

Mengenal tanda-tanda awal angina Ludwig sangat penting dalam manajemen


gangguan ini. Pada kasus tahap lanjut, mengamankan patensi jalan nafas dan drainase
surgical sangat penting untuk menghindari terjadinya asfiksia. (Kulkarni AH., et al.,
2008).

Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada seberapa cepat tatalaksana


mengamankan jalan nafas dan pemberian antibiotic dilakukan. Pada era sebelum
ditemukannya antibitik, tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan dengan era saat
antibiotik telah ditemukan. (Lemonick M., et al., 2002).
TINJAU PUSTAKAAN

I. DEFINISI

Angina Ludwig merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat


(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam penyakit
infeksi odontogen, di mana infesksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi,
lidah, gusi, tenggorokan dan leher. Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yag
potensial mengancam nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular
bilateral dan menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas. Umumnya, infeksi
dimulai dengan selulitis, kemudian berkembang menjadi fasciitis, dan akhirnya
berkembang menjadi abses yang menyebabkan indurasi suprahyoid, pembengkakan
pada dasar mulut, dan elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior. (Grupta AK.,
et al., 2008., Lemonick M., et al., 2002., Cossio PI., et al., 2010).

II. ANATOMI

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis
dan fasia servikalis profunda. Ruang-ruang potensial dikatogerikan sebagai (menurut
modifikasi Hollingshead) (Murray AD., 2014; Cummings C., 2005).

 Ruang yang melingkupi seluruh leher


 Ruang retrofaring
 Ruang bahaya (Danger Space)
 Ruang prevetebral
 Ruang vascular visceral
 Ruang yang terbatas diatas tulang hyoid
 Ruang parafaring
 Ruang submandibular dan submental
 Ruang parotis
 Ruang masticator
 Ruang peritonsil
 Ruang temporal
 Ruang yang terbatas dibawah tulang hyoid
 Ruang pretrakeal
 Ruang suprasternal

Ruang submandibular merupakan ruang di atas os hyoid (suprahyoid) dan m.


mylohyoid. Di bagian anterior, m. mylohyoid memisahkan ruang ini menjadi dua
yaitu ruang sublingual di superior dan ruang submaksilar di inferior. Adapula yang
membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang sublingual, ruang submental dan
ruang submaksillar. (Rahardjo S., 2008).

Ruang submaksilar dipisahkan dengan ruang sublingual di bagian superiornya


oleh m. mylohyoid dan m. hyoglossus, di bagian medialnya oleh m. styloglossus dan
di bagian lateralnya oleh korpus mandibula. Batas lateralnya berupa kulit, fascia
superfisial dan m. platysma superficialis pada fascia servikal bagian dalam. Di bagian
inferiornya dibentuk oleh m. digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini
berhubungan secara bebas dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya
terhubung dengan ruang pharyngeal. (Lemonick M., et al., 2002; Rahardjo S., 2008).
Gambar 1: Potongan midsagittal menunjukkan fasia dan ruang-ruang leher

Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillar, duktus Wharton,


n. lingualis dan hypoglossal, a. facialis, sebagian nodus limfe dan lemak.Ruang
submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang terletak di garis tengah
bawah mandibula dimana batas superior dan lateralnya dibatasi oleh bagian anterior
dari m. digastricus. Dasar ruangan ini adalah m. mylohyoid sedangkan atapnya adalah
kulit, fascia superfisial, dan m. platysma.Ruangsubmental mengandung beberapa
nodus limfe dan jaringan lemak fibrous. (Rahardjo S., 2008).
Gambar 2. Anatomi dari ruang submandibular (Rahardjo S., 2008).

III. EPIDEMILOGI

Kebanyakan kasus angina Ludwig terjadi pada individu yang sehat. Kondisi
yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia
aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan lupus eritematosus sistemik.
Umunya, pasien berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada yang melaporkan kasus ini
terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun. Laki-laki lebih sering terkena
dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 3:1 atau 4:1. (Lemonick M.,
et al., 2002 ; Bull TR., 2003).

IV. ETIOLOGI

Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.
Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan
gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali
merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar
ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar
gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya
mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,
perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut
rahang. (Bull TR., 2003; Saifeldeen K., et al., 2004).

Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke
ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat
menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa
ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus
yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh
manipulasi instrumen saat perawatan gigi. Penyakit ini juga dapat berkembang
sebagai tanda gangguan pertahanan tubuh, seperti dalam kasus pasien diabetes atau
imunosupresi (terutama anak-anak). (Lemonick M., et al., 2002 ; Saifeldeen K., et al.,
2004).

Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut,
abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena
melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral,
luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
(Saifeldeen K., et al., 2004).

Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig


melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci. (Saifeldeen K., et al., 2004)

Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,


Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies
Klebsiella. (Saifeldeen K., et al., 2004)

V. PATOFISIOLOGI

Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan
jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak,
maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical.
Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak.
Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat
menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous),
dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran
secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus. (Rahardjo S., 2008; Probst R., et al., 2006; Wax
MK, 2011).

Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses
submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial.
Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses
submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar
molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat
melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika
molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke
ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal. Selain infeksi gigi abses
ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi gusi yang disebabkan
erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. Infeksi bakteri yang paling sering oleh
streptococcus atau staphylococcus. Sejak semakin berkembangnya antibiotik, angina
Ludwig menjadi penyakit yang jarang. (Rahardjo S., 2008; Probst R., et al., 2006;
Wax MK, 2011; Costain N., et al., 2011).
Gambar 3: Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar
dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi
oleh m. mylohyoideus (Rahardjo S., 2008)

Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras
dari fascia cervikal profunda dengan m. digastricus anterior dan os hyoid. Edema
dagu dapat terbentuk dengan jelas. Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas
di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus
submaksilaris Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual,
atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang
fascia leher. Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah
di bagian superior dan posterior sehingga mendorong supraglotic larynx dan
lidah ke belakang, akhirnya mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas.
Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula dan di bagian inferior
yaitu m. mylohyoid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan
posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah. Os hyoid membatasi terjadinya
proses ini di bagian inferior sehingga pembengkakan menyebar ke daerah depan leher
yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “bull neck”. (Pandey M., et al.,
2017).
Gambran 4. Jalur penyebaran infeksi dari gigi molar 3 bawah (Pandey et al, 2017).

VI. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis umum angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu,


malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan
bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang
keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan
ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat
edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan
peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam
artikulasi bicara (disarthria). (Lemonick M., et al., 2002).

Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi


dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar
bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang
submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus
dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. (Kulkarni AH., et
al., 2008).
Apabila pasien memiliki tanda dan gejala yang menunjukkan perburukan,
seperti pireksia, takikardi atau takipneu, trismus, dasar mulut yang terangkat, salivasi,
selulitis periorbital, kesulitan bernapas, makan atau berbicara, hipotensi, peningkatan
jumlah leukosit, limfadenopati, dan dehidrasi, maka pasien perlu segera
ditindaklanjuti melalui pembedahan maksilofasial. Gejala atau tanda- tanda tersebut
merupakan tanda red flag bahwa infeksi telah menyebar dan dapat membahayakan
jiwa (Robertson et al, 2015).

Gambaran 5. Pembengkakan pada area submandibular (Heavey J., et at., 2008)

Gambar 6. Pembengkakkan di regio submandibular dan submental yang meluas


hingga ke leher. (Rasul dan Kawulusan, 2018)
Gambar 7. Edema difus pada daerah leher (Toptak et al, 2017)

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesa

Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa
tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami
kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya
air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan
mengalami kesulitan makan dan minum. Dapat dijumpai demam dan rasa menggigil.
(Fachruddin, D., 2007; Rahardjo S., 2008).
2. Pemeriksaan fisik

Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi menyebar ke
belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah terdorong
ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut membengkak,
saat bernapas akan terdengar suara tinggi (stridor). Pembengkakan pada jaringan
anterior leher diatas tulang hyoid sering disebut dengan bull’s neck appearance2.
Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang
diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang
menindikasikan adanya infeksi sistemik. (Fachruddin, D., 2007; Murray AD., 2014;
Kassam K., et al., 2013; Bull TR., 2003).

Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat


penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini. Terdapat 4 tanda
cardinal dari angina Ludwig oleh Grodinsky, yaitu:

a) Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga


b) Menghasilkan infiltrasi yang gangren-serosanguineous, putrid infiltration
dengan atau tanpa pus
c) Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur kelenjar.
d) Penyebaran secara perkontinuitatum dan bukan secara limfatik.
(Fachruddin, D., 2007; Murray AD., 2014; Kassam K., et al., 2013; Bull TR., 2003)
3. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis angina Ludwig dapat diketahui berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan diagnosis.
(Kassam K., et al., 2013; Probst R., et al., 2006; Wax MK., 2011).
Hasil yang dapat ditemukan pada pemeriksaan laboratorium adalah
leukositosis, peningkatan C-reactive protein yang menunjukkan tanda terjadinya
infeksi. Apabila pasien memiliki riwayat DM, maka dapat ditemukan peningkatan
GDS. Hasil lainnya yang mungkin dapat ditemukan adalah peningkatan kadar
bilirubin atau prokalsitonin. Gambaran uremia dan hipokalemi juga dapat
ditemukan (Okoje et al, 2017).
Pemeriksaan USG akan menunjukkan penebalan jaringan lunak dan edema
jaringan pada regio submandibula bilateral, area submental, dan bagian atas dari
leher. Pemeriksaan USG berguna sebagai langkah pemeriksaan awal dan aman
dikarenakan tidak memiliki radiasi.
Foto rontgen toraks dan soft tissue lateral juga dapat digunakan untuk menilai
penyebab dari pembengkakkan dan lokasi terjadinya serta melihat ada tidaknya
penyebaran. Hasil foto rontgen soft tissue lateral dapat menunjukkan gambaran
radiolusen serta penyempitan saluran napas atas.
Pemeriksaan CT Scan cervical dapat digunakan untuk menentukan lokasi
terkumpulnya abses. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan adanya gambaran
hipodense pada jaringan lunak yang memberikan kesan penyempitan jalur napas
pada regio orofaring setinggi basis lingua. Obstruksi sinus piriformis juga dapat
terlihat. Temuan lainnya dapat berupa kesan terkumpulnya cairan dengan
gelembung- gelembung udara yang mengindikasikan adanya pembentukkan abses
pada jaringan lunak. Pemeriksaan MRI cervical dapat memberikan gambaran
pembengkakkan jaringan lunak subkutan dan penebalan dinding laring superior,
nasofaring, orofaring, dan atau hipofaring. Gambaran lesi kista dengan kesan
hiperintens dapat ditemukan. Selain MRI cervical, dapat dilakukan juga
pemeriksaan MRA (Magnetic Resonance Angiography) yang dapat menilai ada
tidaknya komplikasi vaskuler seperti trombosis vena jugularis interna, erosi arteri
karotis, atau ruptur (Arsian et al, 2017).
Gambar 8. Foto rontgen thorax dan foto lateral soft tissue yang menunjukkan adanya
gambaran radiolusen dan penyempitan pada saluran napas atas (Rasul dan Kawulusan,
2018).

Gambar 9. A) Foto klinis pasien berupa pembengkakkan leher progresif B) Foto CT


Scan axial yang menunjukkan kumpulan cairan dengan gelembung gas (panah merah)
dan penyempitan trakea (panah biru) C) Foto CT Scan sagittal menunjukkan
kumpulan cairan dengan gelembung gas (panah merah) (Shemesh et al, 2019).
Gambar 10. Foto MRI cervical a) Pada basis lingua terdapat penebalan hipodens
jaringan lunak yang menggambarkan penyempitan saluran napas. b) terlihat adanya
penyempitan sinus piriformis sinistra. (Arslan et al, 2017).

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding dari angina Ludwig adalah : karsinoma lingua, sublingual


hematoma, abses glandula salivatorius, limfadenitis, dan peritonsilar abses. (Murray
AD., 2014).

IX. PENATALAKSANAAN

Pada kasus infeksi akut, pemberian antibiotik dapat digunakan dan harus
disesuaikan dengan hasil kultur dari bakteri. Antibiotik spektrum luas yang dapat
digunakan adalah benzilpenisilin 1 juta IU, prokain penisilin 600 ribu IU per 12 jam,
dan tetrasiklin 250-500 mg. Pengobatan ini dapat diberikan sembari menunggu hasil
kultur bakteri. Apabila hasil kultur dicurigai berupa bakteri anaerob maka dapat
diberikan infus metronidazol (Rasul dan Kawulusan, 2018). Antibiotik lainnya yang
dapat diberikan berupa injeksi ceftriakson intravena dengan dosis awal 2 gram
kemudian 1 gram per 12 jam serta metronidazole dengan dosis 500 mg per 8 jam
(Okoje et al, 2018). Selain antibiotik, dapat diberikan pengobatan simptomatik berupa
injeksi ondansetron, ketorolac, dan dexametason dengan dosis awal 8 mg, kemudian
4 mg per 8 jam selama 48 jam (Polat dan Sade, 2018; Pak et al, 2017; Okoje et al,
2018).

Gambar 11. Antibiotik dan cara pemberiannya. (Kamala et al, 2017)

Tatalaksana operatif untuk angina Ludwig dapat melalui evakuasi abses atau
melalui trakeostomi dengan anestesi umum maupun lokal apabila terdapat indikasi
obstruksi saluran napas. Ekstraksi gigi yang menjadi sumber infeksi juga perlu
dilakukan untuk mencegah infeksi berulang (Okoje et al, 2018). Tatalaksana dapat
berupa manajemen konservatif dibandingkan manajemen pembedahan airway serta
dapat dilakukan pemasangan drain untuk dekompresi ruang sehingga dapat membuka
saluran napas dan mencegah penutupan airway. Penelitian menunjukkan bahwa
langkah penatalaksanaan yang terbaik adalah menggabungkan pemberian antibiotik
dengan tindakan pembedahan, dikarenakan pemberian antibiotik saja dapat
membiarkan terjadinya obstruksi saluran udara oleh abses yang timbul (Edentanlen
dan Saheeb, 2018).
Gambar 12. Trakeostomi pada pasien dengan angina Ludwig (Toptak et al, 2017)

Gambar 13. A) Aspirasi abses B) Insisi pada daerah yang berfluktuasi C) diseksi
tumpul untuk evakuasi abses D) Pemasangan drain (Rasul dan Kawulusan, 2018)

X. PROGNOSIS

Prognosis Angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas


untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang
terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan
yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan
trakeostomi. (Murray AD., 2014; Saifeldeen K., et al., 2004).
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian
pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini,
perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang
adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa
mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga
kurang dari 5%. (Murray AD., 2014; Cummings C., 2005; Saifeldeen K., et al.,
2004).
XI. PENCEGAHAN
Edukasi mengenai menjaga kesehatan gigi serta penanganan penyakit pada gigi
maupun rongga mulut perlu diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi. Pada anak-
anak, dianjurkan untuk menggosok gigi dua kali sehari dengan pasta gigi yang
mengandung fluorida. Setelah menggosok gigi, pasta gigi diludahkan, dan berkumur
dengan air. Kurangi makan- makanan yang mengandung banyak gula terutama antara
makan siang dengan makan malam dan sebelum tidur. Gunakan pemanis tanpa gula,
seperti xylitol. Dan dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan gigi secara rutin
(Robertson et al, 2015).
XII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses
ke ruang leher dalam lain dan mediastinum dan sepsis (Murray AD., 2014)
XIII. KESIMPULAN
Angina Ludwig adalah suatu penyakit infeksi jaringan lunak dasar mulut dan
leher. Infeksi tersebut disebabkan oleh bakteri gran positif, gran negatif, aerob
maupun anaerob. Biasanya penderita dengan penyakit tersebut memiliki riwayat sakit
gigi, mengorek, dan mencabut gigi. Untuk menghindari terjadinya komplikasi yang
fatal, maka harus mewaspadai gejala-gejala klinik dari penyakit tersebut, salah
satunya penyempitan jalan napas. Mengontrol jalan napas sangat penting dan untuk
itu dipertimbangkan pemberian antibiotik, drainase, dan trakeostomi. Dengan deteksi
dan pengobatan dini, maka angka mortalitas dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKAAN

1. Arslan F, Altunkeser A, Turgut B, dan Erdogan H. 2017. Ludwig’s Angina: A


Rapid Radiological and Clinical Nightmare. Clin Med Img Lib 3: 079.
2. Bull TR. Color Altas of ENT Diagnosis, 4th Edition, Thieme, 2003, p245.
3. Cossio PI, Hinojosa EF, Cruz MAM, Perez LMG. 2010. Ludwig´s angina and
ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal. 2010 Jul 1;15 (4):e624-7.
4. Costain N, Marrie TJ. Ludwig’s Angina. Am J of Med. 2011;124(2): 161-3.
5. Cummings C W.Ed. Otolaringology Head and Neck Surgery.4th Ed. Pennsylvania:
Elsevier Mosby; 2005. P. 2517.
6. Edentalen B dan Saheeb B. 2018. Comparison of Outcomes in Conservative
versus Surgical Treatments for Ludwig’s Angina. Med Princ Pract 27: 362-366.
7. Fachruddin, D. Abses leher Dalam. In:Soapardi E A, Iskandar N I, Bashiruddin J
eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan-THT Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta:Balai
Penerbit FKUI; 2007. P.230.
8. Grupta AK, Dhulkhed VK, Rudagi BM, Gupta A. 2009. Drainage of Ludwig’
Angina under Superficial Cervical Plexus Block in Pediatric Patient. Anestesia
Pediatrica e Neonatale, Vol. 7, N. 3.
9. Heavey J, Gupta N. 2008. Ludwig’s Angina. The New England Journal of
Medicine. 359;14.
10. Kamala K, Sankethguddad S, dan Sujith S. 2017. Ludwig’s Angina: Emergency
Treatment. J Health Sci Res 8(1): 46-48.
11. Kassam K, Messiha A, Heliotis M. Ludwig’s Angina: The Original Angina. Case
Rep Surg.2013.P1-4.
12. Kulkarni AH, Pai SD, Bhattarai B, Rao ST, Ambareesha M. 2008. Ludwig’s
Angina and Airway Considerations: A Case Report. Cases Journal 2008, 1:19.
13. Lemonick DM, Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment, Hospital Physician
July 2002. P31- 7
14. Murray AD, editor. Deep Neck Infections 2014.
http://emedicine.medscape.com/article/837048-overview.
15. Okoje V, Ambeke O, dan Gbolahan O. 2018. Ludwig’s Angina: An Analysis of
Cases Seen at the University College Hospital, Ibadan. Ann Ib Postgrad Med
16(1): 61-68.
16. Pandey M, Kaur M, Sanwal M, Jain A, dan Sinha S. 2017. Ludwig’s angina in
children anesthesiologist’s nightmare: Case series and review of literature. J
Anesthesiol Clin Pharmacol. 33(3): 406-409.
17. Pak S, Cha D, Meyer C, Dee C, dan Fershko A. 2017. Ludwig’s Angina. Cureus
9(8): e1588.
18. Polat G dan Sade R. 2018. Radiologic imaging of Ludwig angina in a pediatric
patient. J Cranio Surgery 0(0): 1
19. Probst R, Grevers G, Iro H. Bacterial and Fungal Infections In: Probst R, Grevers
G, Iro H,Editors. Basic Otorhinolaryngology, A Step-By-Step Learning Guide, 1st
Ed, New york,Thieme,2006.P 84-5.
20. Rahardjo S P. Penatalaksanaan angina Ludwig. Dexa Media. 2008;21(1).p32-5.
21. Rasul M dan Kawulusan N. 2018. Penatalaksanaan infeksi rongga mulut:
Ludwig’s angina (laporan kasus). Makassar Dent J 7(1): 30-34.
22. Robertson D, Keys W, Rautemaa-Richardson R, Burns R, dan Smith A. 2015.
Management of severe acute dental infections. BMJ 350(Mar 24 10): h1300-h1300.
23. Saifeldeen K, Evans R. Ludwig’s Angina. Emerg Med J. Mar 2004; 21(2): 242–
243.
24. Shemesh A, Yitzbak A, Itzbak J, Azizi H, dan Solomonov M. 2019. Ludwig
angina after first aid treatment: possible etiologies and prevention- case report.
JOE: 45(1): 79-82.
25. Siti A., Abdi D., Mardi T. Jaringan Syaraf Tiruan Prediksi Penyakit Ludwig
Angina. Juriti Prima. Vol. 1, No 1, Juni 2017.
26. Toptak F, Kilic E, Akdemir M, dan Kaydu A. 2017. Ludwig’s angina after tooth
extraction leading to tracheostomy: a case presentation. Otolaryngology Online
Journal 7(2): 151.
27. Wax MK. Ludwig’s Angina & Deep Neck Infection. In: Wax MK. Primary Care
of Otolaryngology. 3rd Edition.USA: American Academy of
Otolaryngology;2011.p.22.

Anda mungkin juga menyukai