Angina Ludwig
Angina Ludwig
Infeksi gigi merupakan penyakit yang umum terjadi di masyarakat. Infeksi gigi
kebanyakan ringan, namun pada beberapa kasus dapat berkem!ang menjadi
komplikasi serius dan fatal. Angina Ludwig merupakan salah satu jenis penyakit
mulut yang disebabkan oleh infeksi pada bagian dalam mulut. Angina Ludwig
merupakan infeksi ruang submandibula (rahang bawah) berupaperadangan selulitis
dari bagian superior ruang suprahioid (sekitar leher), yang ditandai dengan
pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang submandibular, yang mencakup
jaringan yang menutupi otot-otot antara laring dan dasar mulut, tanpa disertai
pembengkakan pada limfonodus. Penyakit Ludwig Angina memiliki gejala seperti
leher sakit, sulit mengunyah, leher bengkak, sesak nafas, demam, bercak pada leher,
nyeri ditelinga, linglung. (Siti A., et al., 2017).
Angina Ludwig atau dikenal sebagai Angina Ludovici pertama kali dijelaskan
oleh Wilheim Frederick von Ludwig pada tahun 1836 sebagai suatu selulitis atau
infeksi jaringan ikat leher dan dasar mulut yang cepat menyebar, kondisi ini akan
memburuk secara progresif bahkan dapat berakhir pada kematian dalam waktu 10-12
hari. Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian
superior ruang suprahioid. Ruang porensial ini berada antara otot-otot yang
melekatkan lidah pada tulang hiod dan milohiodeus. Angina Ludwig juga salah satu
bentuk abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fascia leher sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana
yang terlibat, gejala dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan
menunjukkan lokasi infeksi. (Lemonick M., et al., 2002).
I. DEFINISI
II. ANATOMI
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis
dan fasia servikalis profunda. Ruang-ruang potensial dikatogerikan sebagai (menurut
modifikasi Hollingshead) (Murray AD., 2014; Cummings C., 2005).
III. EPIDEMILOGI
Kebanyakan kasus angina Ludwig terjadi pada individu yang sehat. Kondisi
yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia
aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan lupus eritematosus sistemik.
Umunya, pasien berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada yang melaporkan kasus ini
terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun. Laki-laki lebih sering terkena
dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 3:1 atau 4:1. (Lemonick M.,
et al., 2002 ; Bull TR., 2003).
IV. ETIOLOGI
Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.
Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan
gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali
merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar
ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar
gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya
mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,
perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut
rahang. (Bull TR., 2003; Saifeldeen K., et al., 2004).
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke
ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat
menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa
ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus
yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh
manipulasi instrumen saat perawatan gigi. Penyakit ini juga dapat berkembang
sebagai tanda gangguan pertahanan tubuh, seperti dalam kasus pasien diabetes atau
imunosupresi (terutama anak-anak). (Lemonick M., et al., 2002 ; Saifeldeen K., et al.,
2004).
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut,
abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena
melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral,
luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
(Saifeldeen K., et al., 2004).
V. PATOFISIOLOGI
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan
jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak,
maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical.
Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak.
Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat
menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous),
dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran
secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus. (Rahardjo S., 2008; Probst R., et al., 2006; Wax
MK, 2011).
Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses
submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial.
Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses
submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar
molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat
melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika
molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke
ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal. Selain infeksi gigi abses
ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi gusi yang disebabkan
erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. Infeksi bakteri yang paling sering oleh
streptococcus atau staphylococcus. Sejak semakin berkembangnya antibiotik, angina
Ludwig menjadi penyakit yang jarang. (Rahardjo S., 2008; Probst R., et al., 2006;
Wax MK, 2011; Costain N., et al., 2011).
Gambar 3: Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar
dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi
oleh m. mylohyoideus (Rahardjo S., 2008)
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras
dari fascia cervikal profunda dengan m. digastricus anterior dan os hyoid. Edema
dagu dapat terbentuk dengan jelas. Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas
di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus
submaksilaris Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual,
atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang
fascia leher. Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah
di bagian superior dan posterior sehingga mendorong supraglotic larynx dan
lidah ke belakang, akhirnya mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas.
Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula dan di bagian inferior
yaitu m. mylohyoid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan
posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah. Os hyoid membatasi terjadinya
proses ini di bagian inferior sehingga pembengkakan menyebar ke daerah depan leher
yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “bull neck”. (Pandey M., et al.,
2017).
Gambran 4. Jalur penyebaran infeksi dari gigi molar 3 bawah (Pandey et al, 2017).
VII. DIAGNOSIS
1. Anamnesa
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa
tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami
kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya
air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan
mengalami kesulitan makan dan minum. Dapat dijumpai demam dan rasa menggigil.
(Fachruddin, D., 2007; Rahardjo S., 2008).
2. Pemeriksaan fisik
Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi menyebar ke
belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah terdorong
ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut membengkak,
saat bernapas akan terdengar suara tinggi (stridor). Pembengkakan pada jaringan
anterior leher diatas tulang hyoid sering disebut dengan bull’s neck appearance2.
Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang
diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang
menindikasikan adanya infeksi sistemik. (Fachruddin, D., 2007; Murray AD., 2014;
Kassam K., et al., 2013; Bull TR., 2003).
IX. PENATALAKSANAAN
Pada kasus infeksi akut, pemberian antibiotik dapat digunakan dan harus
disesuaikan dengan hasil kultur dari bakteri. Antibiotik spektrum luas yang dapat
digunakan adalah benzilpenisilin 1 juta IU, prokain penisilin 600 ribu IU per 12 jam,
dan tetrasiklin 250-500 mg. Pengobatan ini dapat diberikan sembari menunggu hasil
kultur bakteri. Apabila hasil kultur dicurigai berupa bakteri anaerob maka dapat
diberikan infus metronidazol (Rasul dan Kawulusan, 2018). Antibiotik lainnya yang
dapat diberikan berupa injeksi ceftriakson intravena dengan dosis awal 2 gram
kemudian 1 gram per 12 jam serta metronidazole dengan dosis 500 mg per 8 jam
(Okoje et al, 2018). Selain antibiotik, dapat diberikan pengobatan simptomatik berupa
injeksi ondansetron, ketorolac, dan dexametason dengan dosis awal 8 mg, kemudian
4 mg per 8 jam selama 48 jam (Polat dan Sade, 2018; Pak et al, 2017; Okoje et al,
2018).
Tatalaksana operatif untuk angina Ludwig dapat melalui evakuasi abses atau
melalui trakeostomi dengan anestesi umum maupun lokal apabila terdapat indikasi
obstruksi saluran napas. Ekstraksi gigi yang menjadi sumber infeksi juga perlu
dilakukan untuk mencegah infeksi berulang (Okoje et al, 2018). Tatalaksana dapat
berupa manajemen konservatif dibandingkan manajemen pembedahan airway serta
dapat dilakukan pemasangan drain untuk dekompresi ruang sehingga dapat membuka
saluran napas dan mencegah penutupan airway. Penelitian menunjukkan bahwa
langkah penatalaksanaan yang terbaik adalah menggabungkan pemberian antibiotik
dengan tindakan pembedahan, dikarenakan pemberian antibiotik saja dapat
membiarkan terjadinya obstruksi saluran udara oleh abses yang timbul (Edentanlen
dan Saheeb, 2018).
Gambar 12. Trakeostomi pada pasien dengan angina Ludwig (Toptak et al, 2017)
Gambar 13. A) Aspirasi abses B) Insisi pada daerah yang berfluktuasi C) diseksi
tumpul untuk evakuasi abses D) Pemasangan drain (Rasul dan Kawulusan, 2018)
X. PROGNOSIS