Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI


KRONIS
(PPOK)

Disusun Oleh :
Yulia Hasanah,SKep.Ners
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruktif
Menahun (PPOM) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis
kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)

B. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut:
1. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari
disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan
terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut (Bruner & Suddarth, 2002).

Patofisiologi Bronkitis Kronis


Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan
inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi
lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih
banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi
menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat
menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi
makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing
termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi
pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan
fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi
perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan
bronkiektasis.
2. Emfisema paru
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara
diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner &
Suddarth, 2002)
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan
anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus.

Patofisiologi Emfisema
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu :
inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan;
kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi.
Dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi CO2
mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida
dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan
dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal)
adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai,
distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu
untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi
akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami
emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk
dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi
kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan
tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat
harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah
salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi
aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat,
dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti
tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas
paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada
untuk mengembang.
3. Asma
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner
& Suddarth, 2002).
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan
reversible akibat bronkospasme.

Patofisiologi Asma
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel
mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme,
pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi. Individu
dengan asma mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor a- dan b-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor a-adrenergik dirangsang,terjadi bronkokonstriksi;
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor b-adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor a- dan b-adrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa mengakibatkan
penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta-
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah
bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya,
asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan
konstriksi otot polos.
4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus;
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas;
dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran
nodus limfe. (Bruner & Suddarth, 2002).

Patofisiologi Bronkiektasis
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum yang menyumbat bronki. Dinding
bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas
ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap
tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir
bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau
segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya menyebabkan alveoli
di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau
fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi.
Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan
kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual
terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.

C. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi paru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan

D. Patofisiologi
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia
yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga
sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah
oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi
oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya
fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti
fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis.
Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis),
yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah
masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam
alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang
menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya
obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan
menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi
gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al,
1993).

E. Tanda dan Gejala


1. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
2. Batuk dan produksi dahak khusunya yang makin menjadi di saat pagi hari.
3. Sesak napas
4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5. Mengi atau wheezing
6. Ekspirasi yang memanjang
7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
8. Penggunaan otot bantu pernapasan
9. Suara napas melemah
10. Kehilangan berat badan yang cukup drastis
11. Hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah.
12. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
13. Edema kaki, asites dan jari tabuh.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
- Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
- Corak paru yang bertambah
b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
- Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan
pink puffer.
- Corakan paru yang bertambah.
2. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis.
Hipoksia merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
3. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Sering terdapat RBBB inkomplet.
4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5. Laboratorium darah lengkap

G. Pengkajian dan Diagnosa Keperawatan


1. Pengkajian
a. Palpasi
- Pengurangan pengembangan dada
- fremitus taktil menurun
b. Perkusi
- hiperesonansi pada perkusi dada
- Diafragma bergerak hanya sedikit

c. Auskultasi
- Wheezing
- Suara ronkhi
- Vokal fremitus nomal atau menurun
2. Diagnosa keperawatan dan Intervensi keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Intervensi keperawatan :
- Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
- Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan
diafragmatik dan batuk.
- Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau
- Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan
malam hari sesuai yang diharuskan.
- Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol,
suhu yang ekstrim, dan asap.
- Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada
dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum,
kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,
keletihan.
- Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Intervensi Keperawatan ;
- Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir
dirapatkan.
- Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan
tingkat toleransi pasien.
- Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika
diharuskan
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
Intervensi Keperawatan
- Deteksi bronkospasme saat auskultasi
- Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
- Berikan obat-obatan bronkodilator dan kortikosteroid dengan tepat dan
waspada kemungkinan efek sampingnya.
- Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu
mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
- Pantau pemberian oksigen.

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Masalah : Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit


sehubungan dengan kurang terpaparnya informasi tentang
penyakit PPOK.
Pokok Bahasan : Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Sub Pokok Bahasan : PPOK, yang terdiri dari :
1. Pengertian PPOK
2. Gejala PPOK
3. Penyebab PPOK
4. Perawatan PPOK
Sasaran : Keluarga penunggu pasien di ruang paviliun korpri
Tempat : Gedung paviliun korpri

A. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah memberikan penyuluhan 20 menit diharapkan keluarga penunggu dapat
memahami tentang PPOK.

B. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


 Dapat menjelaskan kembali pengertian PPOK
 Dapat mengetahui Gejala dari PPOK
 Dapat mengetahui penyebab dari PPOK
 Dapat mengetahui cara perawatan PPOK

MATERI PENYULUHAN

1. Pengertian
Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOK) merupakan suatu istilah yang
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama.
2. Gejala
 Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
 Batuk dan produksi dahak khusunya yang makin menjadi di saat pagi hari
 Sesak napas
 Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
 Mengi
 Bentuk dada tong (Barrel Chest)
 Penggunaan otot bantu pernapasan
 Kehilangan berat badan yang cukup drastis
 Hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah
 Suara napas melemah
 Edema kaki, asites dan jari tabuh

3. Penyebab
 Merokok sigaret yang berlangsung lama perokok atau memiliki riwayat
perokok berat (satu pak atau lebih sehari) selama 20 tahun atau lebih.
 Polusi udara
 Infeksi paru berulang

4. Perawatan PPOK
 Mengurangi penyebab PPOK seperti berhenti merokok, mengurangi kontak
dengan iritan
 Minum 6-8 gelas sehari untuk mengencerkan sekresi, kecendrungan pasien
untuk bernapas melalui mulut meningkatkan kehilangan air. Menghirup air
yang diuapkan juga membantu karena uap ini dapat melembabkan
percabangan bronchial, menambahkan ke dalam sputum dan menurunkan
viskositasnya, sehingga dapat lebih mudah untuk dibatukkan.
 Drainase postural dengan perkusi dan vibrasi menggunakan bantuan gaya
gravitasi dilakukan ketika pasien bangun untuk membuang sekresi yang telah
terkumpul sepanjang malam dan sebelum istirahat, membantu menaikkan
sekresi sehingga dapat di keluarkan atau diisap dengan mudah.
 Latihan bernapas dengan bibir dirapatkan dapat melambatkan ekspirasi
mencegah kolaps units paru, dan membantu pasien untuk mengendalikan paru
dan membantu pasien untuk mengendalikan frekuensi serta kedalaman
pernapasan dan untuk rileks, yang memungkinkan pasien untuk mencapai
control terhadap dispnea dan perasaan panik.
 Mengatur aktifitas perawatan diri dalam batas toleransi
 Patuh terhadap program terapeutik
KEGIATAN PENYULUHAN

1. Penyuluhan Dilakukan Dengan Cara metode :


a.Ceramah
Yaitu pemaparan materi yang disampaikan oleh seorang perawat kepada
keluarga penunggu pasien.
b. Tanya jawab
Yaitu metode pemberian pertanyaan dari keluarga kepada perawat sebagai
respon terhadap materi yang telah disampaikan.

KEGIATAN
NO PEMBERI MATERI SASARAN
1. Memperkenalkan diri 1. Menanggapi dan memberi respon
yang baik.
2. Memberikan kesempatan kepada 2. Mengungkapkan pengetahuan yang
sasaran untuk mengungkapkan dimiliki.
pengetahuannya tentang lingkungan
yang sehat.
3. Memberikan tambahan masukan 3. Mendengarkan dan menyimak materi
materi. yang diberikan.
4. Memberikan kesempatan kepada 4. Mengajukan beberapa pertanyaan dan
sasaran untuk bertanya materi yang diberikan.
5. Menjawab pertanyaan yang 5. Menyimak jawaban yang diberikan
diberikan dan merasa puas
6. Bertanya sebagai bahan evaluasi 6. Menjawab dengan benar
7. Menutup acara 7. Memberikan respon yang baik.

5. Media dan Sumber


a. Media yang digunakan adalah Leaflet dan infocus

b. Sumber :
- Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi
8, Jakarta: EGC
- Long Barbara C. (1996) Perawatan Medikal Bedah Suatu
pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.
- Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Jakarta: Balai penerbit FKUI
- Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta:
EGC
- Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4,
Jakarta: EGC

6. Evaluasi
a. Apa pengertian PPOK?
b. Bagaimana gejala PPOK?
c. Apa penyebab PPOK?
d. Bagaimana cara perawatan keluarga dengan PPOK?

Anda mungkin juga menyukai