Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KEPERAWATAN PALIATIF

NYERI KRONIS

OLEH KELOMPOK 2

AA Istri Eka Puspita Dewi C1117082


Ida Nyoman Ari Ardiana C1117084
Ayunda Ririyanti C1117089
Nyoman Verania Sevadewi C1117095
Made Dwi Handayani C1117097
Sang Ayu Komang Gangga Dewi C1117100
IGA Made Kesuma Dewi C1117101
Ni Putu Eka Wijayanti C1117102
Putu Widi Eka Saputra Dharma C1117103
Ni Made Sri Utari C1117105
Ni Putu Mira Febrianti C1117107
Kadek Putra Laksana Semaradana C1117111
Irsania Novita Sabawaly C1116072
Putu Rahayu Agustini C1116038

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangka
akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial.
Nyeri kronis adalah salah satu masalah kesehatan yang dapat menurunkan
kualitas hidup penderitanya. Kondisi ini dapat mempengaruhi kondisi psikologi
penderita, menurunkan produktivitas kerja, mengganggu aktivitas sehari-hari dan
berdampak signifikan secara secara social dan ekonomis
Prevalensi nyeri kronis secara umum bervariasi di berbagai belahan dunia,
berkisar antara 10,1 – 55,2% populasi dewasa. Menurut estimasi WHO, 20%
populasi dunia menderita nyeri kronis. Di Indonesia, sebuah survey di 13 rumah
sakit di kota besar menunjukan bahwa 21,8 % pasien dengan keluhan nyeri di
klinik saraf memiliki keluhan neuropatik.Tingginya prevalensi nyeri ini
menunjukan bahwa manajemen nyeri masih mengalami berbagai hambatan.
Nyeri bisa menjadi tanda atau sinyal bahwa akan munculnya penyakit dalam
tubuh individu. Nyeri tersebut kemudian mendorong individu mencari bantuan
medis untuk mengatasinya. Disamping itu, nyeri yang parah dan berkepanjangan
dapat mendominasi kehidupan penderitanya, sehingga mengganggu
keberfungsian sehari-hari, seperti menurunnya kemampuan bekerja, melakukan
hubungan social dan penyesuaian emosional.
B. Tujuan Dan Manfaat
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Keperawatan Paliatif, dan untuk dapat memahami tentang nyeri kronis secara
teori.
C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi nyeri kronis?
2. Apa etiologi dari nyeri kronis?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi respon nyeri?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya nyeri kronis?
5. Bagaimana epidemiologi dari nyeri kronis?
6. Apa saja jenis-jenis dari nyeri kronis?
7. Apa saja dampak dari nyeri kronis?
8. Apa saja gejala dari nyeri kronis?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari nyeri kronis?
10. Apa pemeriksaan penunjang dari nyeri kronis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Nyeri kronis adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu, nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas bervariasi dan
biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. (Potter dan Perry 2013)
Nyeri kronik adalah Nyeri yang dialami dalam periode waktu lebih dari
3 bulan, atau nyeri yang masih ditemukan setelah cedera jaringan sembuh.
(Mahalit Aribawa 2017)
Nyeri kronis adalah pengalaman nyeri yang terus menerus terjadi selama 6
bulan atau lebih. Penderita nyeri kronis biasanya akan memiliki kecemasan yang
tinggi dan cenderung mengembagkan perasaan putus asa dan tidak berdaya. Hal
ini karena ia merasa berbagai pengobatan yang dijalaninya tidak dapat
menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan. (Sarafino & Smith 2011)
Nyeri kronik disebut juga dengan nyeri persisten, terjadi lebih dari 90 hari
dan berlangsung terus menerus. (ACPA 2012)
Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
dengan kerusakan actual atau potensial, atau digambarkan sebagai suatu
kerusakan yang tiba-tiba lambat dengan integritas dari ringan hingga berat, terjadi
konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan
berlangsung lebih dari 3 bulan. (NANDA 2013)
Jadi, nyeri kronis adalah pegalaman nyeri dari nyeri ringan hingga berat yang
dirasakan terus menerus selama 6 bulan atau lebih.
B. Etiologi
Faktor predisposisi
1. Trauma
a. Mekanik: rasa nyeri timbul akibat ujung saraf bebas mengalami
kerusakan, misalnya akibat benturan, gesekan, luka.
b. Thermis: nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan
akibat panas, dingin, misalnya api atau air panas.
c. Khermis: nyeri timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam
atau basa kuat.
d. Elektrik: nyeri timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai
reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
2. Neoplasma, bersifat jinak maupun ganas
3. Peradangan
4. Kelainan pembuuh darah dan gangguan sirkulasi darah
5. Trauma psikologis

Faktor presipitasi

1. Lingkungan
2. Suhu ekstrem
3. Kegiatan
4. Emosi
C. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1. Usia
Batasan usia menurut Depkes RI (2009) yaitu anak-anak mulai usia 0-
12 tahun, remaja usia 13-18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun, lansia usia lebih
dari 60 tahun. Usia mempunyai peranan yang pentig dalam mempersepsikan
dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien dewasa memiliki respon yang
berbeda terhadap nyeri dibandingkan pada lansia. Nyeri dianggap sebagai
kondisi yang alami dari proses penuaan. Cara menafsirkan nyeri ada dua.
Pertama, rasa sakit adalah normal dari proses penuaan. Kedua sebagai tanda
penuaan. Usia sebagai faktor penting dalam pemberian obat. Perubahan
metabolik pada orang yang lebih tua mempengaruhi respon terhadap analgesik
opioid. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia
terhadap persepsi nyeri dan hasilnya sudah tidak konsisten.
2. Jenis kelamin
Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Penelitian terhadap
sampel 100 pasien untuk mengetahui perbedaan respon nyeri antara laki-laki
dan perempuan. Hasilnya menunjukan bahwa ada perbedaan antara laki- laki
dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu perempuan mempunyai respon
nyeri lebih baik dari pada laki-laki.
3. Etnis
Data-data menunjukkan bahwa golongan kulit hitam di Amerika
menunjukkan toleransi yang rendah bila dibandingkan orang kulit hitam untuk
stimulus spesifik termasuk rasa panas, nyeri iskemik, tekanan, dingin. Orang
kulit hitam juga menunjukkan rating yang lebih tinggi terhadap intensitas dan
ketidaknyamanan nyeri dan lebih sering melakukan strategi penghindaran
nyeri pasif . Hal ini sejalan dengan penelitian yang melaporkan bahwa orang
kulit hitam memiliki level nyeri lebih tinggi untuk migrain, nyeri pasca
operasi, nyeri myofasial, dan nyeri kronik non kanker. Hal ini menunjukkan
bahwa bahwa faktor etnik dapat memiliki hubungan langsung terhadap aspek
sensitivitas nyeri dan pelaporannya.
4. Pendidikan
Tingkat pendidikan mempunyai hubungan negatif dengan persepsi
nyeri, semakin rendah pendidikan menyebabkan peningkatan intensitas nyeri
dan disabilitas akibat nyeri. Hal tersebut berhubungan dengan strategi coping,
yaitu konsekuensi masing-masing individu untuk menilai suatu keadaan.
5. Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan
jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Bahwa orang Jawa dan Batak
mempunyai respon yang berbeda terhadap nyeri. Dia menemukan bahwa
pasien Jawa mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan hanya diam,
menunjukkan sikap tabah, dan mencoba mengalihkan rasa sakit melalui
kegiatan keagamaan. Ini berarti bahwa pasien Jawa memiliki kemampuan
untuk mengelolanya. Di sisi lain, pasien Batak merespon nyeri dengan
berteriak, menangis, atau marah dalam rangka untuk mendapatkan perhatian
dari orang lain, sehingga menunjukkan ekspresif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pasien dengan budaya yang berbeda dinyatakan dalam
cara yang berbeda yang mempengaruhi persepsi nyeri.
D. Patofisiologi
Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujungujung saraf
bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan termasuk tekanan mekanis,
deformasi, suhu yang ekstrim, dan berbagai bahan kimia. Pada rangsangan yang
intensif, reseptor-reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner juga
mengirim informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang
memperparah nyeri antara lain adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa
prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen. Masing-masing zat tersebut
tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau kematian sel. Nyeri cepat (fast pain)
disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta, nyeri lambat (slow pain)
disalurkan ke korda spinalis oleh serat C lambat.
Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P sewaktu
bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis, sebagian besar serat nyeri
bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari segmen. Namun, sebagian serat
berjalan ke atas atau ke bawah beberapa segmen di korda spinalis sebelum
bersinaps. Setelah mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, Informasi mengenai
rangsangan nyeri dikirim oleh satu dari dua jaras ke otak - traktus
neospinotalamikus atau traktus paleospinotalamikus.
Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat A delta di salurkan
ke otak melalui serat-serat traktus neospinotalamikus. Sebagian dari serat tersebut
berakhir di reticular activating system dan menyiagakan individu terhadap adanya
nyeri, tetapi sebagian besar berjalan ke thalamus. Dari thalamus, sinyal-sinyal
dikirim ke korteks sensorik somatik tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti.
Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan sebagian oleh
serat A delta, disalurkan ke otak melalui serat-serat traktus paleospinotalamikus.
Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular dibatang otak, dan ke daerah di
mesensefalon yang disebut daerah grisea periakuaduktus. Serat- serat
paleospinotalamikus yang berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk
mengaktifkan hipotalamus dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus
paleospinotalamik memiliki lokalisasi difus dan menyebabkan distress emosi
berkaitan dengan nyeri.
E. Epidemiologi
Prevalensi nyeri kronis secara umum bervariasi di berbagai belahan dunia,
berkisar antara 10,1 – 55,2% populasi dewasa. Menurut estimasi WHO, 20%
populasi dunia menderita nyeri kronis. Di Indonesia, sebuah survey di 13 rumah
sakit di kota besar menunjukan bahwa 21,8 % pasien dengan keluhan nyeri di
klinik saraf memiliki keluhan neuropatik.
Di Indonesia prevalensi individu yang menderita nyeri kronis sekitar 35,86%
total dari kunjungan pasien nyeri, dan sebagian besar yang mengalaminya adalah
individu yang bekerja dan individu yang tinggal d kota besar. Estimasi global
menunjukan yang menderita nyeri kronis berkisar antara 18-41%, kondisi ini juga
dialami oleh anak dan remaja. (Schopflocher, Taenzer & Jovey, 2011)
F. Jenis-jenis
Jenis-jenis nyeri kronis menurut Sarafino dan Smith 2011:
1. Chronic-recurrent pain, yaitu nyeri yang bersifat jinak serta memiliki episode
berulang dan intens, namun diselingi oleh periode tanpa rasa nyeri.
Contohnya: sakit kepala migren dan nyeri pada rahang
2. Chronic-intractable-benign pain, yaitu nyeri yang tejadi secara terus menerus
dan menimbulkan rasa tidak nyaman dengan intensitas yang bervariasi.
Intensitas nyeri yang dirasakan tersebut tidak berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang di derita oleh individu. Contohnya: nyeri kronis di
daerah pinggang bagian bawah.
3. Chronic-Progressife pain, nyeri yang m,enimbulkan ketidaknyamanan secara
terus menerus dan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang
diderita individu. Biasanya, ntensitas nyeri ini akan semakin meningkat
seiring dengan semakin parahnya kondisi individu tersebut. Contohnya
rheumatoid arthritis (radang sendi) dan kanker.
G. Dampak
Nyeri kronis memiliki dampak yang luas, baik bagi penderitanya maupun
orang-orang disekitarnya, seperti keluarga, pasangan, teman, dan lain sebagainya
(Morrison & Bennett 2009). Nyeri kronis ini juga menyebabkan penderitanya
mengalami kesulitan menjalani berbagai aktivitasnya, seperti bekerja,
bersosialisasi, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya membuat penderita nyeri
kronis juga memiliki kesulitan dalam menjalani rutinitasnya sehari-hari. Mereka
rentan mengalami gangguan dam hubungan social dan pernikahannya, misalnya
pertengkaran dengan pasangan, padahal gangguan yang dialami oleh penderita ini
justru akan meningkatkan intensitas nyeri yang dirasakan. (Morrisn & Bennett
2009)
Sementara itu, nyeri kronis juga berdampak negative terhadap kondisi
psikologis penderitanya. Nyeri kronis dapat meningkatkan stress dan kecemasan,
menurunkan tenaga, membatasi mobilitas, dan meimbulkan kesulitan tidur.

H. Gejala
1. Nyeri yang tak kunjung reda setelah 6 bulan
2. Nyeri seperti terbakar
3. Kekakuan atau rasa sakit
4. Kelelahan
5. Melemahnya sistem kekebalan tubuh
6. Selalu ingin beristirahat
7. Tidak bisa tidur
8. Rasa takut
9. Depresi
10. Rasa cemas
I. Penatalaksanaan
1. Perawatan rumah seperti teknik bersantai alami serta istirahat dan tidur yang
cukup
2. Latihan ringan seperti peregangan, berjalan, berenang dan bersepeda.
3. Terapi fisik.
4. Terapi pijat
5. Yoga atau terapi meditasi
6. Terapi pijat tulang chiropractic
7. Pemberian obat melalui aliran darah
8. Tusuk jarum atau akupuntur
9. Rangsangan saraf
10. Pelatihan pikiran untuk mengendalikan fungsi tubuh atau biofeedback
11. Psikoterapi
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
3. Elektromiografi dan Studi konduksi saraf
4. Pengukuran nyeri :
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
adalah hal yang sulit. Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk
menilai intensitas nyeri, antara lain :
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang
ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari
saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini
menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu :
a) tidak nyeri (none)
b) nyeri ringan (mild)
c) nyeri sedang (moderate)
d) nyeri berat (severe)
e) nyeri sangat berat (very severe)
2. Numeric Rating Scale (NRSs)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range
dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas
nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. “0” menggambarkan tidak ada nyeri
sedangkan “10” menggambarkan nyeri yang hebat.
3. Visual Analogue Scale (VASs)
Paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak
nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis
yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan
menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan
intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan
dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan
pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika
pasien berada dalam nyeri hebat.
4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Menggunakan check list untuk mendeskripsikan gejala-gejala nyeri
yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek
antara lain sensorik, afektif, dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan
dengan meranking dari “0” sampai “3”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan dengan kerusakan actual atau potensial, atau digambarkan
sebagai suatu kerusakan yang tiba-tiba lambat dengan integritas dari ringan
hingga berat, terjadi konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan. Nyeri kronis ini disebabka
oleh beberapa faktor, seperti trauma dan faktor lingkungan. Respon nyeri
setiap orang juga berbeda tergantung usia, jenis kelamin atau etnis dari
penderita nyeri tersebut. Nyeri juga dapat di redakan dengan beristirahat atau
melakukan kegiatan yang membuat rileks serta dapat juga dengan
mengkonsumsi obat anti nyeri. Nyeri ini dapat berdampak pada kehidupan
penderita nyeri tersebut, penderita akan kesusahan melakukan berbagai
aktivitas rutinnya.
B. Saran
Diharapkan penderita nyeri kronis dapat melakukan penatalaksanaan
unguk nyerinya sendiri dan dapat mengurangi faktor-faktor yang mungkin kan
menimulkan nyeri. Dan di harapkan penderita nyeri nyeri kronis berkurang
dengan cara hidup sehat dan menghindari faktor-faktor yang menimbulkan
nyeri.
Daftar Pustaka

Andini, F., 2015. Risk Factors of Law Back Pain in Workers. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.

Morrison Paul & Bunnard Philip. 2009. Caring & Communicating alih
bahasa Widyawati. Edisi 2. Jakarta: EGC

NANDA. 2013. Panduan Penyusun Asuhan Keperawatan Profesional: Edisi


Revisi Jilid 1 dan Jilid 2. Mediaction Publishing

Potter, P.A., Perry, A.G., Stokert, P.A., Hall, A.M. (2013). Fundamentals of
Nursing. 8th ed.St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby

Sarafino, Edward P., Timothy W. Smith. 2011. Health Psychology


Biopsychososial Interactions Seventh edition. United States of America

Anda mungkin juga menyukai