Anda di halaman 1dari 8

Definisi E.

histolytica
Entamoeba histolytica adalah parasit yang dapat menyebabkan suatu benjolan besar
yang bisa menyumbat usus dan dapat juga menyebabkan perlubangan pada dinding usus yang
dikarenakan dari kontaminasinya tangan dari makanan masuk kemulut dan beradaptasi di usus
manusia,untuk itu perlunya pencegahan dengan menjaga lingkungan yang sehat dan bersih agar
tidak terjangkit penyakit kista dari entamoeba histylica.
Klasifikasi Entamoeba histolytica adalah :
Domain : Eukaryota
Filum : Amoebozoa
Kelas : Archamoebae
Ordo : Amoebida
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba histolytica

Mofologi E.histolytica
Dalam siklusnya terdapat tiga bentuk dari Entamoeba histolytica yaitu:
 Bentuk Histolitika :
Besarnya 20-40 mikron, inti Entamoeba ada satu dengan kariosom letak sentral,
endoplasma dengan vakuol-vakuol (berbutir halus) biasanya tidak mengandung bakteri atau
sisa makanan, tetapi mengandung sel darah merah, ada eritrosit, ektoplasma bening homogen
terdapat di bagian tepi sel membentuk pseudopodium yang dapat dilihat dengan nyata.
Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan
mendadak, pergerakannya cepat. Bentuk histolitika ini patogen dan dapat hidup dalam jaringan
usus besar, hati, paru, otak, kulit dan vagina. Bentuk ini berkembangbiak secara belah pasang
di jaringan dan dapat merusak jaringan tersebut, sesuai dengan nama spesiesnya Entamoeba
histolytica (histo = jaringan, lysis = hancur).
Gambar Entamoeba Histolytica :

 Bentuk Minuta :

Bentuk minuta adalah bentuk pokok (esensial); tanpa bentuk minuta daur hidup tidak

dapat berlangsung; Besarnya 10-20 mikron, mempunyai satu inti Entamoeba dengan

kariosom letak sentral, endoplasma dengan vakuol-vakuol (berbutir-butir) yang tidak

mengandung sel darah merah tetapi mengandung bakteri dan sisa makanan, tanpa eritrosit,

ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak jika membentuk pseudopodium. Pseudopodium

dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat.

Gambar Entamoeba Minuta :

 Bentuk Kista :

Bentuk kista dibentuk di rongga usus besar; Besarnya 10-20 mikron, berbentuk bulat

atau lonjong, mempunyai dinding kista, mempunyai satu atau empat inti, terlihat benda

kromatoid besar menyerupai lisong, terdapat vakuol glikogen. Benda kromatoid dan vakuol

glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista muda. Pada kista
matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Bentuk kista ini tidak

patogen, tetapi dapat merupakan bentuk infektif.

Jadi, E. Histolytica tidak selalu menyebabkan penyakit. Bila tidak menyebabkan penyakit,

ameba ini hidup sebagai bentuk minuta yang bersifat komensal di rongga usus besar,

berkembangbiak secara belah pasang. Kemudian bentuk minuta dapat membentuk dinding dan

berubah menjadi bentuk kista. Kista dikeluarkan bersama tinja.Dengan adanya dinding kista,

bentuk kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia.Bila kista matang

tertelan, kista tersebut sampai di lambung masih dalam keadaan utuh karena dinding kista tahan

terhadap asam lambung. Di rongga usus halus dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan

keluarlah bentuk-bentuk minuta yang masuk ke rongga usus besar. Bentuk minuta dapat

berubah menjadi bentuk histolitika yang patogen dan hidup di mukosa usus besar dan dapat

menimbulkan gejala. Dengan aliran darah, bentuk histolitika dapat tersebar ke jaringan hati,

paru dan otak. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang.

Gambar Entamoeba Kista :


Siklus Hidup E.histolytica
 Pada Entamoeba histolytica :

Kista matang dikeluarkan bersama tinja penderita (1). Infeksi Entamoeba histolytica
oleh kista matang berinti empat (2) tinja terkontaminasi pada makanan, air, atau oleh tangan.
Terjadi ekskistasi (kista berinti empat yang masuk ke dalam tubuh membentuk delapan
amubula kemudian menjadi bentuk trofozoit, proses ini terjadi di sekum/ileum). (3) dan
berbentuk tropozoit (4) selanjutnya, bermigrasi ke usus besar. Tropozoit memperbanyak diri
dengan cara membelah diri (binary fission) dan menjadi kista (5), menumpang dalam tinja (1).
Karena untuk mempertahankan dirinya, kista akan dapat bertahan beberapa hari sampai dengan
berminggu-minggu pada keadaan luar dan penyebab penularan. (bentuk tropozoit selalu ada
pada tinja diare, namun dengan cepat dapat dihancurkan oleh tubuh, dan jika tertelan bentuk
ini tidak dapat bertahan saat melewati lambung) dalam banyak kasus, tropozoit akan kembali
berkembang menuju lumen usus (A: noninvasive infection) pada carier yang asimtomatik, kista
ada dalam tinjanya. Pasien yang diinfeksi oleh tropozoit di dalam mukosa ususnya (B:
intestinal disease), atau, menuju aliran darah, secara ekstra intestinal menuju hati, otak, dan
paru (C: extraintestinal disease), dengan berbagai kelainan patologik.
Gejala Klinis E.histolytica
 Pada Entamoeba histolytica
Bentuk klinis yang dikenal ada dua, yaitu amebiasis intestinal dan amebiasis ekstra
intestinal. Amebiasis kolon intestinal terdiri dari amebasis kolon akut dan amebasis kolon
menahun. Amebasis kolon akut gejalanya berlangsung kurang dari satu bulan, biasa disebut
disentri ameba memiliki gejala yang jelas berupa sindrom disentri. Amebasis kolon menahun
gejalanya berlangsung lebih dari satu bulan, disebut juga koletis ulserosa amebic, gejalanya
bersifat ringan dan tidak begitu jelas. Amebasis ekstra intestinal terjadi jika amebasis kolon
tidak diobati. Dapat terjadi secara hematogen, melalui aliran darah atau secara langsung.
Hematogen terjadi bila amoeba telah masuk di submukosa porta ke hati dan menimbulkan
abses hati, berisi nanah warna coklat. Cara langsung terjadi bila abses hati tidak diobati
sehingga abses pecah, dan abses yang keluar mengandung ameba yang dapat menyebar
kemana-mana.

Cara pencegahan penularan E.histolytica


 Pada Entamoeba histolytica
1. Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah
dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air.
2. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman.
3. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan
atau sesudah buang air besar.
4. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar
sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air.
5. Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan pemeriksaan
parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan
obat cacing.
6. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit.

Pengobatan pada E.histolytica


 Pada Entamoeba histolytica
1. Dengan obat pembasmi amuba per-oral ( Melalui mulut ), seperti iodokuinol,

paromomisin dan diloksanid, yang akan membunuh parasit di dalam usus. Tinjau di
periksa ulang dalam waktu 1,3 dan 6 bulan setelah pengobatan, untuk memastikan

bahwa penderita telah sembuh.

2. Obat untuk gangguan yang di sebabkan oleh Entamoeba Histolytica antara lain Emetin

Hidroklorida, klorokuin, antibiotik, dan Metro nidazol, atau Nitroimidazol.

Diagnosa E.histolytica
 Pada Entamoeba histolytica
Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses.
Pemeriksaan serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala
klinis dan reaksi tes imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis adanya
abses dalam hati. Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk mendiagnosis
infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk menemukan
trofozoit cukup baik dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik hasilnya.
Penggunaan teknik fluoerscens antibodi cukup baik tetapi tidak dapat membedakan antara
E.histolytica dengan E.hartmanni.
Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar.
Selain itu pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif.
Sehingga pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu
1 minggu baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma
E.histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang
hanya disebabkan oleh E.histolytica.
Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit.
Karena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil
alcohol (pva) atau pada suhu 4 °C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat
aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal
yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan waktu
pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja yang terkontaminasi urin dan
air, penggunaan antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat antidiare
(kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan tinja diberi pengawet.
 Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi
Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica akan terpapar parasit
berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan
antibodi sulit membedakan antara current atau previous injections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok
yang tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang
disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi
terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti
IHA, lateks aglutinasi, counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen,
dan ELISA. Biasanya merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan
alternatif karena lebih cepat, sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap
antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada
penderita kolitis maupun abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut
dapat diulang. Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current
infection dari previous infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu
pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap
tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai
6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
 Deteksi Antigen
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan
abses, dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA,
sedangkan dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada
tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis
intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan
menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat
melakukan ELISA pada tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal adalah
tinja segar atau disimpan dalam lemari pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan
infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar. Pada penderita abses hati amoeba,
deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau serumnya.
 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi
antigen pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang
diperlukan lebih lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme
E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya
sangat dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi
false negatif karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus
penderita dengan abses hati amoeba. Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah
diberi pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan infeksi E.histolytica dengan
E.dispar.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan
kombinasi pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat
dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit
biasanya ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan
rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinal
atau abses hati amoeba. Metode deteksi anti gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan
yang lebih tepat untuk menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, syarat untuk
melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap dilakukan
untuk menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun
non-parasit.

DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, Srisasi, dkk. 2009. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Hirt, R.P., Noel, C.J., Sicheritz-Ponten, T., Tachezy, J., and Fion, P-L. 2007.
Trichomonas vaginalis surface proteins: a view from the genome. Trends in
Parasitology.
Jawetz, E. dkk. 1986. “Mirobiologi”. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jawetz, E. dkk. 2004. “Mikrobiologi Kedokteran”. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2008. “Parasitologi Kedokteran”. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai