Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Reproduksi
Disusun oleh :
Kelompok 3
Tingkat 2A
2019/2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT., karena atas nikmat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Masalah Kesehatan
Reproduksi yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Reproduksi.
Dalam penulisan makalah ini tentunya ada pihak-pihak yang turut serta
mendukung kelancarannya, maka dari itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ibu Yulinda, SST., M.PH selaku Ketua Jurusan Kebidanan Bandung Poltekkes
Kemenkes Bandung.
2. Ibu Titi Legiati, SST., M.Kes selaku Koordinator mata kuliah Kesehatan
Reproduksi
3. Ibu Ida Widiawati, S.ST., M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu untuk memberikan arahan, dorongan, dan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
4. Orang tua kami tercinta yang senantiasa memberikan semangat, doa dan
dukungan baik moril maupun materil.
5. Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan banyak dukungan.
6. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Saya menyadari dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk hasil penyusunan makalah yang lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Infeksi Menular Seksual adalah suatu kelompok penyakit yang
menyerang manusia melalui hubungan seksual. Hubungan ini termasuk
hubungan seks melalui liang senggama, mulut (oral), atau dubur (anal).
Infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual yang
mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis.
(Ida Ayu Made Sri Arjani, 2015)
Infeksi menular Seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang
dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.
Semua teknik hubungan seksual baik lewat vagina, dubur, atau mulut
baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama jenis kelamin
bisa menjadi sarana penularan penyakit kelamin. (Ike Mega Puspita,
2017)
Dari kedua pendapat di atas, dapat kami simpulkan bahwa IMS
adalah suatu penyakit yang menyerang seseorang melalui hubungan
seksual dengan segala bentuk hubungan seksual baik vagina, oral
ataupun anal, sesama jenis ataupun lawan jenis.
2.1.2 Klasifikasi
Berdasarka Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual (2015), ada 5 jenis IMS yang di timbulkan berdasarkan
penyebabnya, yaitu :
a. IMS yang disebabkan Bakteri
Gonore, Infeksi Genital Non Spesifik, Sifilis, Ulkus Mole,
Limfomagranuloma Venerum,Vaginosis bakterial.
b. IMS yang disebabkan Virus
Herpes genetalis, Kondiloma Akuminata, Infeksi HIV, dan AIDS,
Hepatitis B, Moluskus Kontagiosum.
c. IMS yang disebabkan Jamur
Kandidiosis genitalis
d. IMS yang disebabkan Protozoa
Trikomoniasis
e. IMS yang disebabkan oleh Ektoparasit
Pedikulosis Pubis, Skabies.
5
2.1.3 Tanda dan Gejala
2.1.3.1 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara umum di bedakan
menjadi:
a. Perempuan
1) Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat
kelamin, anus, mulut atau bagian tubuh ang lain,
tonjolan kecil – kecil, diikuti luka yang sangat sakit
disekitar alat kelamin.
2) Cairan tidak normal yaitu cairan dari vagina bisa
gatal, kekuningan, kehijauan, berbau atau
berlendir.
3) Sakit pada saat buang air kecil yaitu IMS pada
wanita biasanya tidak menyebabkan sakit atau
burning urination.
4) Tonjolan seperti jengger ayam yang tumbuh
disekitar alat kelamin
5) Sakit pada bagian bawah perut yaitu rasa sakit
yang hilang muncul dan tidak berkaitan dengan
menstruasi bisa menjadi tanda infeksi saluran
reproduksi (infeksi yang telah berpindah kebagian
dalam sistemik reproduksi, termasuk tuba fallopi
dan ovarium)
6) Kemerahan yaitu pada sekitar alat kelamin.
b. Laki – laki
1) Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat
kelamin, anus, mulut atau bagian tubuh yang lain,
tonjolan kecil – kecil, diikuti luka yang sangat sakit
di sekitar alat kelamin
2) Cairan tidak normal yaitu cairan bening atau
bewarna berasal dari pembukaan kepala penis
atau anus.
3) Sakit pada saat buang air kecil yaitu rasa terbakar
atau rasa sakit selama atau setelah urination.
4) Kemerahan pada sekitar alat kelamin, kemerahan
dan sakit di kantong zakar.
Gambar a : Gonore
Sumber :
6
Manifestasi klinis :
1) Pada pria
Terdapat rasa panas selama buang air kemih dan
keluarnya nanah dari penis (uretra) disertai rasa
sakit saat kencing dan bila infeksi berlanjut akan
keluar cairan campur darah.
2) Pada wanita
Terdapat pengeluaran cairan yang abnormal dari
vagina, rasa nyeri di bagian perut, namun pada
wanita gonore seringkali tidak penampilkan gejala-
gejala.
b. Klamidia
Penyebab : Chlamydia trachomatis
Manifestasi klinis : Gejala dimulai dalam waktu 5-10
hari setelah paparan infeksi
1) Pada wanita
Sakit perut, keputihan abnormal, perdarahan diluar
menstruasi,demam ringan, hubungan seks
menyakitkan,nyeri dan rasa terbakar saat kencing,
pembengkakan di dalam vagina atau di sekitar
anus, ingin buang air kecil melebihi biasanya,
perdarahan vagina setelah berhubungan,
keluarnya cairan kekuningan dari leher rahim yang
mungkin memiliki bau yang kuat.
2) Pada pria
Nyeri atau rasa terbakar saat kencing, cairan
bernanah atau susu dari penis, testis bengkak atau
lembek, pembengkakan di sekitar anus.
Selain gejala di atas, klamidia yang menginfeksi mata
dapat menimbulkan kemerahan, gatal dan tahi mata.
Sedangkan klamidia yang meninfeksi tenggorokan
dapat menyebabkan rasa sakit.
c. Sifilis
Gambar c : Sifilis
Sumber :
7
1) Stadium I(sifilis primer) timbul antara 2-4 minggu
setelah kuman masuk. Ditandai dengan adanya
benjolan kecil merah kemudian menjadi luka atau
koreng yang tidak disertai rasa nyeri. Pada
stadium ini biasanya disertai pembengkakan
kelenjar getah bening regional. Luka atau koreng
tersebut akan hilang secara spontan meski tanpa
pengobatan dalam waktu 3-10 minggu, tetapi
penyakitnya akan berlanjut ke stadium II (sifilis
sekunder).
2) Stadium II (sifilis sekunder)
Stadium ini terjadi setelah 6-8 minggu dan dapat
berlangsung hingga 9 bulan. Kelainan dimulai
dengan adanya gejala nafsu makan yang
menurun, demam, sakit kepala, nyeri sendi. Pada
stadium ini juga muncul gejala menyerupai
penyakit kulit lain berupa bercak merah, benjolan
kecil-kecil seluruh tubuh, tidak gatal, kebotakan
rambut dan juga dapat disertai pembesaran
kelenjar getah bening yang bersifat menyeluruh.
Stadium laten dini terjadi apabila sifilis sekunder
tidak diobati, setelah beberapa minggu atau bulan
gejalagejala akan hilang seakan-akan sembuh
spontan. Namun infeksi masih berlangsung terus
dan masuk ke stadium laten lanjut. Stadium laten
lanjut.
3) Stadium III (sifilis tersier)
Setelah 1 tahun, sifilis masuk ke stadium laten
lanjut yang dapat berlangsung bertahun-tahun.
Stadium III (sifilis tersier) umumnya timbul antara
3-10 tahun setelah infeksi. Ditandai dengan
kelainan yang bersifat destruktif pada kulit, selaput
lendir, tulang sendi serta adanya radang yang
terjadi secara perlahan-lahan pada jantung, sistim
pembuluh darah dan syaraf. Pada kehamilan
terjadi sifilis kongenital.
d. Limfogranuloma Venereum
8
Penyebab : Chlamdia trachomatis
Manifestasi klinis : lesi primer di dinding vagina
posterior, limfadenopati inguinalis unilateral yang nyeri,
peradangan dapa jaringan limfe perirektum, fistula dan
strikur
f. Granuloma Inguinale
Penyebab : Klebsiella(Calymmatobacterium)
granulomatis,mycoplasma genitalium,
ureaplasma urealyticum,
haemophylus ducreyi.
Manifestasi klinis:
Terdapat satu atau lebih papul kecil, padat dan induratif
di tempat kontak yang dalam beberapa hari sampai
minggu mengalami ulserasi. Ulkus primer tampak
bersih, merahseperti daging, tidak nyeri dan tidak
meradang serta tidak menyebabkan limfadenopati (lesi
yang sering ditemukan di labia minora dan fourchette).
9
2.1.3.3 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang
disebabkan oleh virus dibedakan menjadi :
a. HIV/AIDS
Penyebabnya : Human Immunedeficiency
Syndrome (HIV)
Manifestasi klinis : keringat yang berlebihan pada
waktu malam hari, diare terus menerus, bengkakan
kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh sembuh,
nafsu makan dan kekebalan tubuh menurun.
b. Herpes Genitalis
Penyebabnya : Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 dan 2
Manifestasi klinis :
1) Primer : gejala sistemik, demam, malaise dan
nyeri kepala, lesi dengan nyeri lokal dan disuria.
2) Non primer : servisitis, prokitis, dan faringitis,
sekret vagina dan pendarahan intermitten, serviks
merah, rapuh dan mengalami ulserasi.
Keluhan seperti sensasi terbakar dan gatal, beberapa
jam sebelum timbul lesi, terkadang disertai gejala
umum, misalnya lemas, demam dan nyeri otot. Timbul
gelembunggelembung yang berkelompok dengan
mudah pecah. Gejala lesi awal dapat lebih berat dan
lama. Pada bentuk ulang (rekurens), biasanya didahului
oleh faktor pencetus seperti stress psikis, trauma, koitus
yang berlebihan, makanan yang sulit merangsang,
alcohol, obat-obatan dan beberapa hal yang sulit
diketahui.
c. Kutil kelamin
Penyebab : Human Papillomavirus (HPV)
Manifestasi klinis: Kutil genital dan tidak nyeri. Lesi
eksternal (introitus, vulva dan perineum), lesi internal
(dinding vagina dan seriks). Kelainan pada kulit berupa
vegetasi yang bertangkai dan berwarna kemerahan jika
masih baru, dan agak kehitaman bila sudah
lama.permukaan berjonjot (papilomaosa) sehingga pada
vegetasi yang besar dapat dilakukan percobaan
sondase. Jika timbul infeksi sekunder berwarna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan
berbau.
2.1.3.4 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang
disebabkan oleh protozoa dibedakan menjadi :
a. Trikomoniasis
10
Penyebab : Trichomonas vaginalis
Manifestasi klinis :
1) Pada pria : perasaan gatal pada uretra, disuria,
keluarnya tubuh dari uretra yang biasanya lebih
encer dibandingkan dengan duh tumbuh yang
keluar pada penderita gonore
2) Pada wanita: leukorhoe atau flour albus yang
banyak dengan warna putih kehijauan dan berbau,
perasan gatal pada vulva dan kadng sampai ke
paha, dinding vagina dijumpai banyak
ulkus,oedema, dan erthem
11
4) Terdapat keluarnya cairan vagina yang menyerupai
bubur
b. Skabies
Penyebab : sarcoptes scabiei
Manifestasi klinis :
Gatal gatal, teruama pada malam hari dikala temperatur
kulit menjadi lebih hangat. Tempat sasaran skabies
adalah sela sela jari tangan, pergelangan, lipatan ketiak
bagian depan dan belakang, daerah ikat pinggamg,
areola, perut bagian bawah, daerah genitalia dan pubis,
pantat bagian bawah dan lipatan pantat.
12
penggunaan kondom untuk aktivitas seksual penetratif. Hanya
melalui pencegahan primer yang memiliki efek besar terhadap IMS
yang tidak dapat disembuhkan yang terutama disebabkan oleh virus.
Pencegahan primer merupakan komponen penting dalam
program pengendalian IMS terutama pada daerah-daerah yang
miskin akan sumber daya disertai dengan keterbatasan obat-
obatan dan alat diagnostik, dan dalam menghadapi pola perubahan
dari IMS bakteri yang dapat disembuhkan ke IMS virus yang tidak
dapat disembuhkan. Selain itu strategi pencegahan primer dapat
menurunkan paparan dari individu infeksius melalui pengurangan
pasangan seksual atau menurunkan efisiensi transmisi melalui
penggunaan kondom atau metode barier lainnya, yang selanjutnya
akan memiliki dampak besar dalam menurunkan transmisi dari
seluruh IMS, jika dibandingkan dengan vaksin, terapi supresif atau
pemeriksaan skrining yang hanya spesifik untuk patogen tertentu.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder mengacu pada pengobatan dan
pelayanan terhadap individu yang terinfeksi, dengan aktivitas yang
meliputi: Promosi perilaku dalam mencari pengobatan, tidak hanya
untuk mereka yang memiliki gejala IMS, tapi juga untuk mereka
yang berisiko terkena IMS, penyediaan pelayanan kesehatan yang
mudah diakses, diterima masyarakat dan efektif baik untuk individu
simtomatik maupun asimtomatik, serta pasangannya, menyediakan
pelayanan konseling untuk IMS dan termasuk HIV.
Tujuan pengobatan kasus IMS adalah: untuk membuat
diagnosis yang tepat, menyediakan pengobatan yang efektif,
mencegah/mengurangi perilaku berisiko di masa yang akan datang,
menyarankan ketaatan dalam berobat, promosi dan penyediaan
kondom serta memastikan pasangannya dikenali dan ditangani
dengan baik. Bahkan pada klinik IMS dengan peralatan yang paling
lengkap akan memiliki keterbatasan dalam mengendalikan IMS jika
pemanfaatan pelayanan IMS masih buruk. (Wiraguna, 2016)
13
Diagnosis etiologis IMS masih merupakan masalah yang
terdapat di banyak tempat, berkaitan dengan kendala waktu,
ketersediaan sumber daya, pembiayaan, dan keterjangkauan
pengobatan. Masalah lain yang tidak kalah penting muncul akibat
beragamnya tingkat sensitivitas dan spesifisitas hasil tes laboratorium
yang akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap hasil tes
laboratorium. Bilamana fasilitas laboratorium tersedia, juga diperlukan
petugas laboratorium yang terampil dan terlatih untuk dapat
melaksanakan semua prosedur teknis laboratoris. Semua kelengkapan
ini wajib ditunjang dengan fasilitas uji mutu eksternal yang memadai.
Hanya ada beberapa fasilitas kesehatan di Indonesia yang memiliki
sarana laboratorium dan kemampuan sumber daya manusia yang
memadai untuk melakukan diagnosis IMS secara etiologis. Untuk
mengatasi hal tersebut telah dilaksanakan dan dikembangkan
penatalaksanaan kasus IMS berdasarkan pendekatan sindrom untuk
semua fasilitas kesehatan dasar.
14
2.1.7 Pemeriksaan Klinis Pasien Infeksi Menular Seksual
1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat perjalanan penyakit
15
4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja
seks, teman, pacar, suami/isteri
5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan
6. Jenis kelamin pasangan seksual
7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital,
anogenital)
8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9. Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan
dokter/sendiri)
10. Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah
haid; kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan,
lain-lain); penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid,
kontrasepsi); pemakaian alat kontrasepssi dalam rahim (AKDR);
rangsangan seksual; kehamilan; kontak seksual
11. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya
12. Hari terakhir haid
13. Nyeri perut bagian bawah
14. Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada daerah genitalia
dan sekitarnya, yang dilakukan di ruang periksa dengan lampu yang
cukup terang . Lampu sorot tambahan diperlukan untuk pemeriksaan
pasien perempuan dengan spekulum. Dalam pelaksanaan sebaiknya
pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain. Pada
pemeriksaan terhadap pasien perempuan, pemeriksa didampingi oleh
paramedis perempuan, sedangkan pada pemeriksaan pasien laki-laki,
dapat didampingi oleh tenaga paramedis laki-laki atau perempuan.
Beri penjelasan lebih dulu kepada pasien mengenai tindakan
yang akan dilakukan:
1. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya,
pemeriksa harus selalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa
mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa.
2. Pasien harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan
pemeriksaan genitalia (pada keadaan tertentu, kadang–kadang
pasien harus membuka seluruh pakaiannya secara bertahap).
Pasien perempuan, diperiksa dengan berbaring pada meja
ginekologik dalam posisi litotomi
16
6. Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan
untuk tidak berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum
pemeriksaan.
3. Pemeriksaan Spesimen
Pasien perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum serta pengambilan specimen
1. Beri penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan
dilakukan agar pasien tidak merasa takut
2. Bersihkan terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi
larutan NaCl
3. Setiap pengambilan bahan harus menggunakan spekulum steril
(sesuaikan ukuran spekulum dengan riwayat kelahiran per
vaginam), swab atau sengkelit steril
4. Masukkan daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan
posisi tegak/vertikal ke dalam vagina, dan setelah seluruhnya
masuk kemudian putar pelan-pelan sampai daun spekulum dalam
posisi datar/horizontal. Buka spekulum dan dengan bantuan lampu
sorot vagina cari serviks. Kunci spekulum pada posisi itu sehingga
serviks terfiksasi (Gambar 4).
5. Setelah itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan
pengambilan spesimen
a. Dari serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa
steril, kemudian ambil spesimen duh tubuh serviks dengan
sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk pembuatan sediaan
hapus, dengan swab Dacron™ yang lain dibuat sediaan
biakan,
b. Dari forniks posterior: dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril
untuk pembuatan sediaan basah, dan lakukan tes amin
c. Dari dinding vagina: dengan kapas lidi/ sengkelit steril untuk
sediaan hapus,
d. Dari uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
6. Cara melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga
spekulum dalam posisi tertutup, putar spekulum 90o sehingga
daun spekulum dalam posisi tegak, dan keluarkan spekulum
perlahan-lahan.
17
1. Dengan jari tangan buka introitus untuk memasukkan spekulum
2. Spekulum dimasukkan dalam posisi oblik (daun spekulum
dimiringkan)
3. Setelah tampak posisi uterus, arahkan spekulum pada serviks
4. Buka spekulum untuk memperlihatkan ostium serviks eksternal
5. Setelah posisi spekulum di vagina menunjukkan ostium serviks,
lakukan penguncian speculum
Pasien dengan gejala ulkus genitalis (laki-laki dan
perempuan)
1. Untuk semua pasien dengan gejala ulkus genital, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan serologi untuk sifilis dari bahan darah vena
(RPR=rapid plasma reagin, syphilis rapid test )
2. Untuk pemeriksaan Treponema pallidum pada ulkus yang dicurigai
karena sifilis: − Ulkus dibersihkan terlebih dahulu dengan kain
kasa yang telah dibasahi larutan salin fisiologis (NaCl 0,9%) −
Ulkus ditekan di antara ibu jari dan telunjuk sampai keluar cairan
serum − Serum dioleskan ke atas kaca obyek untuk pemeriksaan
Burry atau mikroskop lapangan gelap bila ada.
4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan Bimanual
1. Gunakan sarung tangan dan dapat digunakan pelumas
2. Masukkan jari tengah dan telunjuk tangan kanan ke dalam vagina,
ibu jari harus dalam posisi abduksi, sedangkan jari manis dan
kelingking ditekuk ke arah telapak tangan
3. Untuk palpasi uterus: letakkan tangan kiri di antara umbilikus dan
tulang simfisis pubis, tekan ke arah tangan yang berada di dalam
pelvik
4. Dengan jari tangan, raba fundus uteri sambil mendorong serviks ke
anterior dengan jari-jari yang berada di pelvik. Perhatikan ukuran,
posisi, konsistensi, mobilitas uterus, dan kemungkinan rasa nyeri
saat menggoyangkan serviks
5. Dengan perlahan, geser jari-jari yang berada di vagina menuju
forniks lateral sambil tangan yang berada di atas perut menekan
ke arah inferior
5. Diagnosis yang tepat
18
Dalam penggunaan bagan alur, dapat dilihat 3 macam
kotak yang berbeda, masingmasing mempunyai tujuan: Kotak segi
empat dengan sudut tumpul:
1. Merupakan kotak masalah yang memberikan keterangan tentang
keluhan dan gejala, dan merupakan awal dari setiap bagan alur.
2. Kotak segi enam: merupakan kotak keputusan yang selalu
mempunyai dua alur keluar yang mengarah ke kotak tindakan.
Kedua alur itu adalah alur “ya” dan alur “tidak”.
3. Kotak segi empat dengan sudut tajam: merupakan kotak tindakan.
Kotak ini menunjukkan penatalaksanaan yang harus dilakukan.
6. Pengobatan yang efektif
7. Nasehat yang berkaitan dengan perilaku seksual
8. Penyediaan kondom dan anjuran pemakaiannya,
9. Penatalaksanaan mitra seksual
10. Pencatatan dan pelaporan kasus, dan
11. Tindak lanjut klinis secara tepat.
19
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu
selama hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi
HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada
masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. (Kemenkes RI. 2015)
2.2 HIV/AIDS
2.2.1 Definisi
Menurut WHO (2014), HIV / AIDS adalah penyakit yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang
sistem kekebalan tubuh dan melemahkan sistem pengawasan dan
pertahanan manusia terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Ketika
virus menyerang dan merusak fungsi sel-sel kekebalan tubuh, individu
yang terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi.
Immunodefisiensi menghasilkan peningkatan kerentanan terhadap
berbagai infeksi dan penyakit yang dapat dilawan oleh orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang sehat.
HIV merupakan retro virus yang menjangkiti sel-sel sistem
kekebalan tubuh manusia dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Terjangkiti virus HIV (biasanya disebut sebagai positif HIV)
tidaklah sama dengan mengidap AIDS. Banyak orang yang positif HIV
tidak menderita sakit selama bertahun-tahun. Infeksi virus inilah yang
kemudian berakibat pada menurunnya sistem kekebalan. Seiring dengan
berkembangnya HIV dalam tubuh, virus tersebut secara perlahan
menggerogoti sistem kekebalan tubuh.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome. AIDS menggambarkan sebuah sindrom dengan berbagai
gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan
tubuh. AIDS sendiri disebabkan oleh virus yang sebut HIV, Human
Immunodeficiency Virus.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab
AIDS yang menyerang dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh,
sehingga tubuh tidak mampu melindungi diri dari berbagai penyakit.
Sedangkan, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh virus HIV. HIV adalah singkatan dari human
immunodeficiency virus, yang merupakan virus yang menyebabkan
infeksi HIV. Singkatan "HIV" dapat merujuk pada virus atau infeksi HIV.
AIDS adalah singkatan dari sindrom imunodefisiensi yang didapat. AIDS
adalah tahap paling lanjut dari infeksi HIV.
HIV menyerang dan menghancurkan sel CD4 yang melawan
infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Hilangnya sel CD4 menyulitkan
tubuh untuk melawan infeksi dan kanker tertentu. Tanpa pengobatan,
20
HIV secara bertahap dapat menghancurkan sistem kekebalan dan
berkembang menjadi AIDS.
2.2.2 Stadium
HIV/AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu,
yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization) sebagai berikut:
21
Menurut AIDSinfo United States Department of Health and Human
Services (2019), ada tiga tahap infeksi HIV:
a. Infeksi HIV Akut
Infeksi HIV akut adalah tahap awal infeksi HIV, dan
umumnya berkembang dalam 2 sampai 4 minggu setelah infeksi
HIV. Selama waktu ini, beberapa orang memiliki gejala seperti
flu, seperti demam, sakit kepala, dan ruam. Pada tahap infeksi
akut, HIV berlipat ganda dengan cepat dan menyebar ke seluruh
tubuh. Virus ini menyerang dan menghancurkan sel CD4 yang
melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Selama tahap
infeksi HIV akut, tingkat HIV dalam darah sangat tinggi, yang
sangat meningkatkan risiko penularan HIV. Seseorang dapat
mengalami manfaat kesehatan yang signifikan jika mereka
memulai ART selama tahap ini.
b. Infeksi HIV Kronis
Tahap kedua infeksi HIV adalah infeksi HIV kronis (juga
disebut infeksi HIV tanpa gejala atau latensi klinis). Selama
tahap ini, HIV terus berkembang biak di dalam tubuh tetapi pada
tingkat yang sangat rendah. Orang dengan infeksi HIV kronis
mungkin tidak memiliki gejala terkait HIV. Tanpa ART, infeksi
HIV kronis biasanya berkembang menjadi AIDS dalam 10 tahun
atau lebih, walaupun pada beberapa orang infeksi ini dapat
berkembang lebih cepat. Orang yang memakai ART mungkin
dalam tahap ini selama beberapa dekade. Walaupun masih
mungkin untuk menularkan HIV ke orang lain selama tahap ini,
orang yang memakai ART tepat seperti yang ditentukan dan
mempertahankan viral load tidak terdeteksi secara efektif tidak
memiliki risiko penularan HIV ke pasangan HIV-negatif melalui
seks.
c. AIDS
AIDS adalah tahap akhir, infeksi HIV yang paling parah. Karena
HIV telah merusak sistem kekebalan tubuh, tubuh tidak dapat
melawan infeksi oportunistik. (Infeksi oportunistik adalah infeksi
dan kanker terkait infeksi yang terjadi lebih sering atau lebih
parah pada orang dengan sistem kekebalan yang lebih lemah
daripada orang dengan sistem kekebalan yang sehat.) Orang
dengan HIV didiagnosis dengan AIDS jika mereka memiliki
jumlah CD4 kurang dari 200 sel / mm3 atau jika mereka memiliki
infeksi oportunistik tertentu. Sekali seseorang didiagnosis dengan
AIDS, mereka dapat memiliki viral load yang tinggi dan dapat
menularkan HIV ke orang lain dengan sangat mudah. Tanpa
perawatan, penderita AIDS biasanya bertahan hidup sekitar 3
tahun.
22
terjadinya infeksi. Kendati infeksi HIV tidak disertai gejala awal,
seseorang yang terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut
kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada
di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV. (Konsultan Jenderal
Republik Indonesia, _______)
23
Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup
langkah-langkah sebagai berikut.
24
Beberapa perilaku yang membuat seseorang beresiko tinggi terpapar
HIV seperti pekerja seks atau pengguna narkoba suntik, juga membuat
mereka lebih rentan terhadap pemaksaan, diskriminasi, kekerasan,
pengabaian, pengurungan atau dampak-dampak negatif lainnya setelah
mengungkapkan hasil tes HIV yang positif. Para penyedia layanan
kesehatan harus mendapat pelatihan dan supervisi khusus untuk
menjalankan prinsip/standar informed consent dan kerahasiaan untuk
kelompok ini. VCT HIV untuk kelompok ini harus disertai dengan
pelaksanaan kelompok dukungan sosial, kebijakan dan legal yang
pendukung.
Komponen-komponen program berikut ini akan menentukan
kualitas layanan VCT yang berkualitas :
a. Persetujuan, privasi dan kerahasiaan sangat penting. Test HIV hanya
bisa dilakukan secara sukarela. Dapatkan selalu informed
consent/persetujuan sebelum seseorang menjalani test HIV. VCT tidak
boleh dipaksakan pada seseorang pada situasi apapun.
b. Menyediakan layanan secara gratis.
c. Memastikan pra dan pasca konseling merupakan bagian dari
keseluruhan layanan VCT.
d. Layanan pendukung pasca test harus tersedia, termasuk jaringan
rujukan dan akses terhadap test tambahan (seperti penghitungan CD4 )
untuk menilai kelayakan pasien mendapatkan program perawatan dan
pengobatan.
e. VCT hanya boleh dilakukan di fasilitas yang dilengkapi standar tes yang
layak. Ikuti proses algoritma testing HIV yang sudah divalidasi secara
nasional, saat mempertimbangkan issue hak asasi manusia spesifik
untuk memasuki program perawatan dan pengobatan. Gunakan
teknologi test yang sesuai untuk situasi tsb, seperti tes cepat dengan
spesimen darah dari tusuk jari. Hasil tes dengan tes HIV cepat dapat
diperoleh dalam waktu tidak sampai 20 menit dan biasanya memiliki
tingkat keberhasilan lanjutan dan konseling pasca tes yang lebih tinggi.
Ini akan mendukung desentralisasi VCT. Pertimbangkan kondisi
penyimpanan lokal dan jika perlu pesan tes cepat/rapid test yang tidak
membutuhkan pendinginan.
2. Intervensi ARV
Sangat penting untuk penyediaan program obat-obatan
antiretroviral (ARV) dan terapi antiretroviral (ART) dasar. Pemberian
layanan terkait HIV pada masyarakat dalam situasi bencana merupakan
upaya yang sulit namun sangat penting, mengingat ini tercantum dalam
undang-undang hak asasi internasional. Seperti halnya dengan semua
program dan kebijakan dan program HIV dan AIDS, ART harus dikaitkan
dengan program pencegahan, perawatan dan dukungan. ART tidak
boleh dilaksanakan sebagai intervensi paralel, akan tetapi harus sebagai
bagian dari program terintegrasi dengan layanan-layanan lain (seperti
layanan kesehatan, nutrisi, edukasi, sosial serta air dan sanitasi). Jika
ART tersedia, sangat penting bahwa konseling harus mencakup efek
samping dan manfaat ART serta pentingnya mematuhi jadwal
pengobatan. Intervensi penting yang menggunakan ARV adalah:
a. Post exposure prophylaxis (PEP)
b. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT)
25
a. PEP
Para manajer program kesehatan reproduksi harus memastikan
pemberian PEP dapat dilakukan dengan segera (dalam waktu 72 jam)
untuk mengurangi kemungkinan tertular HIV dimasukan ke dalam
protokol bagi dua situasi berikut ini:
1. Layanan untuk korban perkosaan: untuk mencegah dan
menangani dampak pemerkosaan terhadap
kesehatan korban/penyintas harus memiliki akses mendapatkan
perawatan klinis, termasuk konseling pendukung. Perawatan ini
mencakup penyediaan PEP.
2. Paparan kerja: meskipun tindakan pencegahan standar telah
diberlakukan dan dipatuhi dalam kondisi pelayanan kesehatan,
kecelakaan kerja dengan paparan darah dan cairan tubuh yang
berpotensi terinfeksi HIV sangat mungkin terjadi. Misalnya
melalui cedera akibat jarum suntik. Pastikan PEP tersedia dalam
situasi ini sebagai bagian standar tindakan pencegahan
komprehensif yang bisa mengurangi kemungkinan paparan
tersebut. Perawatan PEP yang direkomendasikan adalah terapi
kombinasi 28 hari dengan dua nucleoside-analogue reverse-
transcriptase inhibitor (NRTI), biasanya zidovudine dan
lamivudine. Untuk informasi lebih lengkap mengenai PEP
3. PMTCT
Tanpa prophylaxis, kemungkinan bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang positif HIV menjadi terinfeksi adalah antara 20% sampai 45% di
antara ibu yang menyusui. Pemberian obat antiretroviral dosis tunggal
akan mengurangi angka ini sekitar dua pertiga, sementara
penggunaan sediaan kompleks terapi tripleARV dan/atau operasi
bedah sesar yang direncanakan (elective caesarean section) dan
tidak menyusui bayinya dapat mengurangi kemungkinan hingga
kurang dari 2%.
Jika seorang perempuan yang diketahui hidup dengan HIV
mendatangi perawatan antenatal, persalinan atau nifas, manfaatkan
peluang tersebut untuk mencegah penularan HIV pada bayinya.
Untuk implementasi program penularan ibu ke anak, hal-hal berikut
harus tersedia:
a. Layanan antenatal care
b. Perawatan kesehatan ibu dan anak, termasuk perawatan
persalinan yang aman
c. Tes dan konseling HIV yang diprakarsai penyedia layanan,
dengan menggunakan pendekatan opt-out (option-out), yakni
individu harus secara khusus membatalkan tes HIV setelah
menerima informasi prates jika mereka tidak ingin mengikuti tes
tersebut
d. Konseling tentang pemberian makan bayi
e. Ketersediaan ARV dan protokol PMTCT
Resiko bayi tertular HIV melalui menyusui harus
dibandingkan dengan resiko kematian yang lebih tinggi oleh
sebab-sebab lain seperti kekurangan gizi, diare, dan pneumonia
pada bayi yang disusui. Bukti-bukti penularan HIV menunjukkan
26
pemberian ASI eksklusif sampai enam bulan dapat menurunkan
resiko penularan HIV tiga sampai empat kali dibandingkan
dengan pemberian ASI tidak eksklusif. Para petugas kesehatan
reproduksi harus membahas di dalam sektor/kluster kesehatan
dan dengan otoritas kesehatan nasional tentang promosi praktek
tunggal menyusui bayi di dalam komunitas sebagai perawatan
standar.
Perempuan yang positif HIV harus diberikan konseling
dan didukung untuk:
a. Menyusui dan menerima pelayanan ARV atau
b. Jika pemberian makan pengganti diterima (acceptable),
layak (feasible), terjangkau (affordable), berkesinambungan
(sustainable) dan aman (safe), hindari menyusui supaya
bayi punya peluang untuk terbebas dari HIV. Pemberian
ARV pada perempuan dengan HIV yang hamil dan
menyusui dan bayi yang menyusu sangat dianjurkan dan
sektor/ kluster kesehatan harus berjuang keras untuk
memperkenalkan ARV (lihat oral antiretroviral prophylaxis di
bawah ini). Namun ketiadaan ARV tidak mengubah
rekomendasi mengenai menyusui:
c. Pemberian ASI eksklusif pada enam bulan pertama sejak
kelahiran direkomendasikan bagi ibu yang terinfeksi HIV
(dengan bayi yang tidak terinfeksi HIV atau tidak diketahui
status HIV-nya) kecuali terdapat makanan pengganti yang
dapat diterima, layak, terjangkau, berkesinambungan dan
aman. Pada usia enam bulan, perkenalkan bayi dengan
makanan pelengkap yang sesuai dan lanjutkan menyusui
hingga usia 12 bulan. Semua proses menyusui harus
dihentikan jika makanan yang aman dan cukup gizi tanpa
ASI telah tersedia.
d. Jika bayi dan anak-anak ternyata sudah terinfeksi HIV, ibu
sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif pada
enam bulan pertama dan melanjutkan menyusui sesuai
dengan praktek yang berlaku di masyarakat yaitu hingga
bayi berusia dua tahun atau lebih.
e. Layanan kesehatan harus dilanjutkan pada semua bayi yang
terpapar HIV, tanpa memandang pemberian makan yang
dipilih, termasuk dengan terus memberikan konseling dan
dukungan pemberian makan bayi, terutama sekali ketika
keputusan pemberian makan bisa dipertimbangkan kembali,
seperti ketika diagnosa awal bayi dan pada usia enam
bulan.
27
2.2.8 CD4 HIV dan AIDS
2.2.9 Pencegahan
28
4. telah melalui tes HIV dan standar keamanan darah.
5. Katakan TIDAK pada narkoba, apapun bentuknya. (Mega, 2017)
29
DAFTAR PUSTAKA
United States Department of Health and Human Services. (2019). The Stage of HIV
Infection.
Diakses dari : https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-sheets/19/46/
the-stages-of-hiv-infection [26 Januari 2020, 21.31 WIB]
(Watkins, K. dan Lee, J.E.C. Narrative Review of Barriers to the Secondary Prevention of
Sexually Transmitted Infections: Implication for the Military Context and Current
Research Gaps. Journal of Military and Veterans’ Health. 2014; 22(3): 44-52.)
Diakses dari : (http://www.yankes.kemkes.go.id/read-penyakit-infeksi-menular-
seksual-3675.html)
Wiraguna. 2016. Pencegahan dan pengendalian IMS di negara berkembang. Denpasar.
Program studi dokter spesialis kulit kelamin Universitas Udayana
World Health Organization. (2014). Immunization, Vaccines and Biologicals HIV/AIDS.
Diakses dari : https://www.who.int/immunization/diseases/hiv/en/ [26 Januari
2020, 18.02 WIB]
http://www.wpro.who.int/hiv/topics/emtct/web_consultation_triple_EMTCT/en/
30