Anda di halaman 1dari 30

MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI YANG BERKAITAN DENGAN INFEKSI

MENULAR SEKSUAL DAN HIV/AIDS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Reproduksi

Dosen Pengampu : Ida Widiawati, S.ST., M.Kes

Disusun oleh :

Kelompok 3

Tingkat 2A

Arum Mutiasari P17324118048

Aulia Nur Insanni P17324118051

Intan Fatimah Azzahra P17324118038

Katrina Sifa Nurahmah P17324118042

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG

PROGRAM STUDI DIII-KEBIDANAN BANDUNG

2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT., karena atas nikmat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Masalah Kesehatan
Reproduksi yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Reproduksi.

Dalam penulisan makalah ini tentunya ada pihak-pihak yang turut serta
mendukung kelancarannya, maka dari itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Yulinda, SST., M.PH selaku Ketua Jurusan Kebidanan Bandung Poltekkes
Kemenkes Bandung.
2. Ibu Titi Legiati, SST., M.Kes selaku Koordinator mata kuliah Kesehatan
Reproduksi
3. Ibu Ida Widiawati, S.ST., M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu untuk memberikan arahan, dorongan, dan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
4. Orang tua kami tercinta yang senantiasa memberikan semangat, doa dan
dukungan baik moril maupun materil.
5. Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan banyak dukungan.
6. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Saya menyadari dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk hasil penyusunan makalah yang lebih baik.

Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca.

Bandung, Januari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5

2.1 Infeksi Menular Seksual .................................................................................. 5


2.1.1 Definisi ............................................................................................... 5
2.1.2 Klasifikasi .......................................................................................... 5
2.1.3 Tanda dan Gejala .............................................................................. 6
2.1.4 Etiologi dan Penularan ...................................................................... 12
2.1.5 Pencegahan IMS ............................................................................... 12
2.1.6 Penanganan Infeksi Menular Seksual............................................... 13
2.1.7 Pemeriksaan Klinis Pasien Infeksi Menular Seksual ........................ 15
2.1.8 Kewenangan Bidan ........................................................................... 19
2.1.9 Penularan dari Ibu ke Bayi ................................................................ 19
2.2 HIV/AIDS ......................................................................................................... 20
2.2.1 Definisi ............................................................................................... 20
2.2.2 Stadium ............................................................................................. 21
2.2.3 Tanda dan Gejala .............................................................................. 22
2.2.4 Orang berisiko tertular ....................................................................... 23
2.2.5 Penularan .......................................................................................... 23
2.2.6 Penularan dari Ibu ke Bayi ................................................................ 23
2.2.7 Penanganan ...................................................................................... 24
2.2.8 CD4 HIV dan AIDS ............................................................................ 28
2.2.9 Pencegahan ...................................................................................... 28
2.2.10 Triple Eliminasi .................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 30

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insidens Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS mengalami


peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens IMS dan HIV/AIDS
dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut : Perubahan demografi, fasilitas
kesehatan yang tersedia kurang memadai, pendidikan kesehatan dan pendidikan
seksual kurang tersebar luas, kontrol IMS belum dapat berjalan baik serta
adanya perubahan sikap dan perilaku masyarakat terutama dalam bidang agama
dan moral. Peningkatan kasus IMS dan HIV/AIDS dari waktu ke waktu akan
menimbulkan permasalahan kesehatan yang sangat serius dan berdampak besar
pada masa yang akan datang, apabila tidak mendapatkan perhatian dan
penanganan yang intensif.

Kasus penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) terus mengalami


peningkatan, fenomena peningkatan dan penyebaran kasus infeksi menular
seksual yang terjadi pada kelompok resiko tinggi demikian cepat, salah satu
kelompok resiko tinggi adalah WPS. Masalah lain bahwa penyakit infeksi menular
seksual sangat berpotensi meningkatkan resiko penularan HIV melalui hubungan
seksual, yang sekarang menjadi perhatian dan komitmen global dalam
pencegahan dan penanganannya

Ibu Rumah Tangga merupakan kelompok yang berisiko terkena infeksi


menular seksual maupun HIV/AIDS. Banyak ditemukan kasus IMS dan HIV/AIDS
yang menjangkit Ibu Rumah Tangga karena berbagai faktor. Oleh karena itu
sebagai mahasiswa kebidanan sangat penting untuk mengetahui tentang IMS
dan HIV/AIDS karena ruang lingkup bidan merupakan ruang lingkup yang
strategis untuk melakukan deteksi dini dan melakukan upaya preventif untuk
menurunkan insidens IMS dan HIV/AIDS.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Menular Seksual

2.1.1 Definisi
Infeksi Menular Seksual adalah suatu kelompok penyakit yang
menyerang manusia melalui hubungan seksual. Hubungan ini termasuk
hubungan seks melalui liang senggama, mulut (oral), atau dubur (anal).
Infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual yang
mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis.
(Ida Ayu Made Sri Arjani, 2015)
Infeksi menular Seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang
dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.
Semua teknik hubungan seksual baik lewat vagina, dubur, atau mulut
baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama jenis kelamin
bisa menjadi sarana penularan penyakit kelamin. (Ike Mega Puspita,
2017)
Dari kedua pendapat di atas, dapat kami simpulkan bahwa IMS
adalah suatu penyakit yang menyerang seseorang melalui hubungan
seksual dengan segala bentuk hubungan seksual baik vagina, oral
ataupun anal, sesama jenis ataupun lawan jenis.

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarka Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual (2015), ada 5 jenis IMS yang di timbulkan berdasarkan
penyebabnya, yaitu :
a. IMS yang disebabkan Bakteri
Gonore, Infeksi Genital Non Spesifik, Sifilis, Ulkus Mole,
Limfomagranuloma Venerum,Vaginosis bakterial.
b. IMS yang disebabkan Virus
Herpes genetalis, Kondiloma Akuminata, Infeksi HIV, dan AIDS,
Hepatitis B, Moluskus Kontagiosum.
c. IMS yang disebabkan Jamur
Kandidiosis genitalis
d. IMS yang disebabkan Protozoa
Trikomoniasis
e. IMS yang disebabkan oleh Ektoparasit
Pedikulosis Pubis, Skabies.

Berdasarkan cara penularannya infeksi menular seksual di bagi


menjadi dua, yaitu:
a. IMS Mayor (Penularannya melalui hubungan seksual) yaitu:
gonore,sifilis, ulkus, limfogranuloma Venerum, dan granuloma
inguinal.
b. IMS Minor (Penularannya tidak harus dengan hubungan seksual)
yaitu, herpes genetalis, non spesifik Uretritis,
tricomoniasis,kandidiasis vaginalis, vaginosis bacterial, kondiloma
akuminata, moluskum kontagiosum, skabies, hepatitis,dan aids.

5
2.1.3 Tanda dan Gejala
2.1.3.1 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara umum di bedakan
menjadi:
a. Perempuan
1) Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat
kelamin, anus, mulut atau bagian tubuh ang lain,
tonjolan kecil – kecil, diikuti luka yang sangat sakit
disekitar alat kelamin.
2) Cairan tidak normal yaitu cairan dari vagina bisa
gatal, kekuningan, kehijauan, berbau atau
berlendir.
3) Sakit pada saat buang air kecil yaitu IMS pada
wanita biasanya tidak menyebabkan sakit atau
burning urination.
4) Tonjolan seperti jengger ayam yang tumbuh
disekitar alat kelamin
5) Sakit pada bagian bawah perut yaitu rasa sakit
yang hilang muncul dan tidak berkaitan dengan
menstruasi bisa menjadi tanda infeksi saluran
reproduksi (infeksi yang telah berpindah kebagian
dalam sistemik reproduksi, termasuk tuba fallopi
dan ovarium)
6) Kemerahan yaitu pada sekitar alat kelamin.
b. Laki – laki
1) Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat
kelamin, anus, mulut atau bagian tubuh yang lain,
tonjolan kecil – kecil, diikuti luka yang sangat sakit
di sekitar alat kelamin
2) Cairan tidak normal yaitu cairan bening atau
bewarna berasal dari pembukaan kepala penis
atau anus.
3) Sakit pada saat buang air kecil yaitu rasa terbakar
atau rasa sakit selama atau setelah urination.
4) Kemerahan pada sekitar alat kelamin, kemerahan
dan sakit di kantong zakar.

2.1.3.2 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang


disebabkan oleh bakteri dibedakan menjadi :
a. Gonore (Kencing nanah)

Gambar a : Gonore
Sumber :

Penyebab : Neisseria Gonorrhoeae

6
Manifestasi klinis :
1) Pada pria
Terdapat rasa panas selama buang air kemih dan
keluarnya nanah dari penis (uretra) disertai rasa
sakit saat kencing dan bila infeksi berlanjut akan
keluar cairan campur darah.
2) Pada wanita
Terdapat pengeluaran cairan yang abnormal dari
vagina, rasa nyeri di bagian perut, namun pada
wanita gonore seringkali tidak penampilkan gejala-
gejala.

b. Klamidia
Penyebab : Chlamydia trachomatis
Manifestasi klinis : Gejala dimulai dalam waktu 5-10
hari setelah paparan infeksi
1) Pada wanita
Sakit perut, keputihan abnormal, perdarahan diluar
menstruasi,demam ringan, hubungan seks
menyakitkan,nyeri dan rasa terbakar saat kencing,
pembengkakan di dalam vagina atau di sekitar
anus, ingin buang air kecil melebihi biasanya,
perdarahan vagina setelah berhubungan,
keluarnya cairan kekuningan dari leher rahim yang
mungkin memiliki bau yang kuat.
2) Pada pria
Nyeri atau rasa terbakar saat kencing, cairan
bernanah atau susu dari penis, testis bengkak atau
lembek, pembengkakan di sekitar anus.
Selain gejala di atas, klamidia yang menginfeksi mata
dapat menimbulkan kemerahan, gatal dan tahi mata.
Sedangkan klamidia yang meninfeksi tenggorokan
dapat menyebabkan rasa sakit.

c. Sifilis

Gambar c : Sifilis
Sumber :

Penyebab : Treponema Pallidum


Manifestasi klinis :

7
1) Stadium I(sifilis primer) timbul antara 2-4 minggu
setelah kuman masuk. Ditandai dengan adanya
benjolan kecil merah kemudian menjadi luka atau
koreng yang tidak disertai rasa nyeri. Pada
stadium ini biasanya disertai pembengkakan
kelenjar getah bening regional. Luka atau koreng
tersebut akan hilang secara spontan meski tanpa
pengobatan dalam waktu 3-10 minggu, tetapi
penyakitnya akan berlanjut ke stadium II (sifilis
sekunder).
2) Stadium II (sifilis sekunder)
Stadium ini terjadi setelah 6-8 minggu dan dapat
berlangsung hingga 9 bulan. Kelainan dimulai
dengan adanya gejala nafsu makan yang
menurun, demam, sakit kepala, nyeri sendi. Pada
stadium ini juga muncul gejala menyerupai
penyakit kulit lain berupa bercak merah, benjolan
kecil-kecil seluruh tubuh, tidak gatal, kebotakan
rambut dan juga dapat disertai pembesaran
kelenjar getah bening yang bersifat menyeluruh.
Stadium laten dini terjadi apabila sifilis sekunder
tidak diobati, setelah beberapa minggu atau bulan
gejalagejala akan hilang seakan-akan sembuh
spontan. Namun infeksi masih berlangsung terus
dan masuk ke stadium laten lanjut. Stadium laten
lanjut.
3) Stadium III (sifilis tersier)
Setelah 1 tahun, sifilis masuk ke stadium laten
lanjut yang dapat berlangsung bertahun-tahun.
Stadium III (sifilis tersier) umumnya timbul antara
3-10 tahun setelah infeksi. Ditandai dengan
kelainan yang bersifat destruktif pada kulit, selaput
lendir, tulang sendi serta adanya radang yang
terjadi secara perlahan-lahan pada jantung, sistim
pembuluh darah dan syaraf. Pada kehamilan
terjadi sifilis kongenital.

d. Limfogranuloma Venereum

Gambar d : Limfogranuloma Venereum

8
Penyebab : Chlamdia trachomatis
Manifestasi klinis : lesi primer di dinding vagina
posterior, limfadenopati inguinalis unilateral yang nyeri,
peradangan dapa jaringan limfe perirektum, fistula dan
strikur

e. Chancroid ( Ulkus Mole)

Gambar e : Ulkus Mole

Penyebab : Haemophilus ducreyl


Manifestasi klinis : gejala klasik ulkus mole adalah
ulkus yang superficial dan dangkal dalam ukuran
beberapa milimeter sampai 2cm. Tepinya kasar atau
berbentuk seperti kulit kerang dan dikelilingi oleh
lapisan peradangan yang kemerahan. Ulkus mole ini
sangat nyeri dan lunak serta tidak indurasi. Pada pria
letaknya sering pada preputium dan frenulum,
sedangkan pada wanita pada labia dan perianal. Luka
biasanya lebih nyeri, dengan tanda radang yang jelas,
benjolan dilipatan paha, meninggalkan ulkus dan terjadi
kematian jaringan disekitarnya.

f. Granuloma Inguinale
Penyebab : Klebsiella(Calymmatobacterium)
granulomatis,mycoplasma genitalium,
ureaplasma urealyticum,
haemophylus ducreyi.
Manifestasi klinis:
Terdapat satu atau lebih papul kecil, padat dan induratif
di tempat kontak yang dalam beberapa hari sampai
minggu mengalami ulserasi. Ulkus primer tampak
bersih, merahseperti daging, tidak nyeri dan tidak
meradang serta tidak menyebabkan limfadenopati (lesi
yang sering ditemukan di labia minora dan fourchette).

9
2.1.3.3 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang
disebabkan oleh virus dibedakan menjadi :
a. HIV/AIDS
Penyebabnya : Human Immunedeficiency
Syndrome (HIV)
Manifestasi klinis : keringat yang berlebihan pada
waktu malam hari, diare terus menerus, bengkakan
kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh sembuh,
nafsu makan dan kekebalan tubuh menurun.
b. Herpes Genitalis
Penyebabnya : Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 dan 2
Manifestasi klinis :
1) Primer : gejala sistemik, demam, malaise dan
nyeri kepala, lesi dengan nyeri lokal dan disuria.
2) Non primer : servisitis, prokitis, dan faringitis,
sekret vagina dan pendarahan intermitten, serviks
merah, rapuh dan mengalami ulserasi.
Keluhan seperti sensasi terbakar dan gatal, beberapa
jam sebelum timbul lesi, terkadang disertai gejala
umum, misalnya lemas, demam dan nyeri otot. Timbul
gelembunggelembung yang berkelompok dengan
mudah pecah. Gejala lesi awal dapat lebih berat dan
lama. Pada bentuk ulang (rekurens), biasanya didahului
oleh faktor pencetus seperti stress psikis, trauma, koitus
yang berlebihan, makanan yang sulit merangsang,
alcohol, obat-obatan dan beberapa hal yang sulit
diketahui.
c. Kutil kelamin
Penyebab : Human Papillomavirus (HPV)
Manifestasi klinis: Kutil genital dan tidak nyeri. Lesi
eksternal (introitus, vulva dan perineum), lesi internal
(dinding vagina dan seriks). Kelainan pada kulit berupa
vegetasi yang bertangkai dan berwarna kemerahan jika
masih baru, dan agak kehitaman bila sudah
lama.permukaan berjonjot (papilomaosa) sehingga pada
vegetasi yang besar dapat dilakukan percobaan
sondase. Jika timbul infeksi sekunder berwarna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan
berbau.
2.1.3.4 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang
disebabkan oleh protozoa dibedakan menjadi :
a. Trikomoniasis

10
Penyebab : Trichomonas vaginalis
Manifestasi klinis :
1) Pada pria : perasaan gatal pada uretra, disuria,
keluarnya tubuh dari uretra yang biasanya lebih
encer dibandingkan dengan duh tumbuh yang
keluar pada penderita gonore
2) Pada wanita: leukorhoe atau flour albus yang
banyak dengan warna putih kehijauan dan berbau,
perasan gatal pada vulva dan kadng sampai ke
paha, dinding vagina dijumpai banyak
ulkus,oedema, dan erthem

2.1.3.5 Gejala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang


disebabkan oleh jamur dibedakan menjadi :
a. Kandidiasis

Penyebab : Candida albicans


Manifestasi klinis : iritasi hebat pada vulva dan
vagina, edema, eritema dan fisura pada vulva, disertai
disuria. Selain itu terdapat sekret vagina seperti “keju
lembut”

2.1.3.6 Gejaala infeksi menular seksual (IMS) secara spesifik yang


disebabkan oleh ektoparasit dibedakan menjadi :
a. Pedikulosis pubis
Penyebab : Phtrus pubis
Manifestasi klinis :
1) Rasa gatal yang sangat hebat pada pubis, dapat
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada,
bercak-bercak berwarna abu atau kebiruan, serta
ditemukan black dot yaitu bercak hitam pada
celana dalam pada waktu bangun tidur
2) Terdapat kelainan lokal di mulut, tenggorokan, kulit,
kepala, vagina, jari-jari tangan, kuku, bronkhi, paru,
atau saluran pencernaan makanan, atau menjadi
sistemik misalnya septikemia, endokarditis dan
meningitis.
3) Gejala peradangan, gatal, dan perih didaerah
kemaluan.

11
4) Terdapat keluarnya cairan vagina yang menyerupai
bubur

b. Skabies
Penyebab : sarcoptes scabiei
Manifestasi klinis :
Gatal gatal, teruama pada malam hari dikala temperatur
kulit menjadi lebih hangat. Tempat sasaran skabies
adalah sela sela jari tangan, pergelangan, lipatan ketiak
bagian depan dan belakang, daerah ikat pinggamg,
areola, perut bagian bawah, daerah genitalia dan pubis,
pantat bagian bawah dan lipatan pantat.

2.1.4 Etiologi dan Penularan


1. Bakteri diantaranya N.gonorrhoeae, C.trachomatis, T.pallidum
2. Virus diantaranya HSV,HPV,HIV, Herpes B virus, Molluscum
contagiosum virus
3. Protozoa diantaranya Trichomonas vaginalis
4. Jamur diantaranya Candida albicans
5. Ektoparasit diantaranya Sarcoptes scabiei
Penularan Infeksi Menular Seksual adalah dengan cara kontak
langsung yaitu kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau
selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan
yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan
jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual
(vaginal, oral, anal).
Penularan IMS juga dapat terjadi dengan media lain seperti
darah melalui berbagai cara,yaitu:
1. Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV
2. Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba
3. Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/tidak sengaja
4. Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril,
5. Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika
terluka dan menyisakan darah pada alat).
6. Penularan juga pada terjadi dari ibu kepada bayi pada saat hamil,
saat melahirkan dan saat menyusui.
Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi
dengan IMS kongenital jarang sekali terjadi. (Nasibah, 2018)

2.1.5 Pencegahan IMS


Program pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk:
a. Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS.
b. Mencegah infeksi HIV
c. Mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan
d. Mencegah efek kehamilan yang buruk.

Pencegahan IMS terbagi menjadi :


a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah didapatnya
suatu infeksi atau penyakit melalui perilaku seksual yang aman atau

12
penggunaan kondom untuk aktivitas seksual penetratif. Hanya
melalui pencegahan primer yang memiliki efek besar terhadap IMS
yang tidak dapat disembuhkan yang terutama disebabkan oleh virus.
Pencegahan primer merupakan komponen penting dalam
program pengendalian IMS terutama pada daerah-daerah yang
miskin akan sumber daya disertai dengan keterbatasan obat-
obatan dan alat diagnostik, dan dalam menghadapi pola perubahan
dari IMS bakteri yang dapat disembuhkan ke IMS virus yang tidak
dapat disembuhkan. Selain itu strategi pencegahan primer dapat
menurunkan paparan dari individu infeksius melalui pengurangan
pasangan seksual atau menurunkan efisiensi transmisi melalui
penggunaan kondom atau metode barier lainnya, yang selanjutnya
akan memiliki dampak besar dalam menurunkan transmisi dari
seluruh IMS, jika dibandingkan dengan vaksin, terapi supresif atau
pemeriksaan skrining yang hanya spesifik untuk patogen tertentu.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder mengacu pada pengobatan dan
pelayanan terhadap individu yang terinfeksi, dengan aktivitas yang
meliputi: Promosi perilaku dalam mencari pengobatan, tidak hanya
untuk mereka yang memiliki gejala IMS, tapi juga untuk mereka
yang berisiko terkena IMS, penyediaan pelayanan kesehatan yang
mudah diakses, diterima masyarakat dan efektif baik untuk individu
simtomatik maupun asimtomatik, serta pasangannya, menyediakan
pelayanan konseling untuk IMS dan termasuk HIV.
Tujuan pengobatan kasus IMS adalah: untuk membuat
diagnosis yang tepat, menyediakan pengobatan yang efektif,
mencegah/mengurangi perilaku berisiko di masa yang akan datang,
menyarankan ketaatan dalam berobat, promosi dan penyediaan
kondom serta memastikan pasangannya dikenali dan ditangani
dengan baik. Bahkan pada klinik IMS dengan peralatan yang paling
lengkap akan memiliki keterbatasan dalam mengendalikan IMS jika
pemanfaatan pelayanan IMS masih buruk. (Wiraguna, 2016)

2.1.6 Penanganan Infeksi Menular Seksual

Penanganan kasus IMS merupakan layanan pada seorang


dengan sindrom yang berhubungan dengan IMS, atau dengan hasil
positif pada pemeriksaan laboratorium untuk satu atau lebih IMS.
Komponen penanganan kasus IMS harus dilakukan secara paripurna
meliputi: anamnesis, pemeriksaan klinis, diagnosis yang tepat,
pengobatan dini dan efektif, edukasi pasien, penyediaan dan anjuran
untuk menggunaan kondom, notifikasi dan penanganan pasangan
seksnya.

Dengan demikian, penanganan kasus yang efektif, tidak hanya


terdiri dari terapi antimikroba untuk memperoleh kesembuhan dan
mengurangi penularan, namun secara menyeluruh dan meliputi layanan
terhadap kesehatan reproduksi pasien.

PENANGANAN BERDASARKAN PENDEKATAN SINDROM

13
Diagnosis etiologis IMS masih merupakan masalah yang
terdapat di banyak tempat, berkaitan dengan kendala waktu,
ketersediaan sumber daya, pembiayaan, dan keterjangkauan
pengobatan. Masalah lain yang tidak kalah penting muncul akibat
beragamnya tingkat sensitivitas dan spesifisitas hasil tes laboratorium
yang akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap hasil tes
laboratorium. Bilamana fasilitas laboratorium tersedia, juga diperlukan
petugas laboratorium yang terampil dan terlatih untuk dapat
melaksanakan semua prosedur teknis laboratoris. Semua kelengkapan
ini wajib ditunjang dengan fasilitas uji mutu eksternal yang memadai.
Hanya ada beberapa fasilitas kesehatan di Indonesia yang memiliki
sarana laboratorium dan kemampuan sumber daya manusia yang
memadai untuk melakukan diagnosis IMS secara etiologis. Untuk
mengatasi hal tersebut telah dilaksanakan dan dikembangkan
penatalaksanaan kasus IMS berdasarkan pendekatan sindrom untuk
semua fasilitas kesehatan dasar.

Penanganan kasus IMS berdasarkan pendekatan sindrom


dilaksanakan melalui identifikasi sekelompok keluhan dan gejala sebagai
sindrom yang mudah dikenali, dan selanjutnya ditetapkan
pengobatannya terhadap sebagian besar atau hampir semua mikro-
organisme yang diyakini sebagai penyebab sindrom tersebut. World
Health Organization (WHO) telah mengembangkan satu perangkat yang
sudah disederhanakan dan mudah dimengerti (dalam bentuk bagan alur
atau algoritme) untuk memandu para petugas kesehatan dalam
melakukan penatalaksanaan kasus IMS dengan pendekatan sindrom.
Penanganan kasus IMS dengan pendekatan sindrom untuk duh tubuh
uretra pada pria dan ulkus genital baik pada pria maupun wanita telah
terbukti manfaatnya dan memadai untuk dilaksanakan.

Cara ini telah berhasil mengobati sebagian besar orang yang


terinfeksi dengan IMS dengan cara murah, sederhana dan sangat
berhasil guna. Namun perlu disadari bahwa masih ada keterbatasan dari
bagan alur duh tubuh vagina, khususnya pada infeksi serviks (gonokok
maupun klamidia). Umumnya sindrom duh tubuh vagina pada populasi
dengan prevalensi rendah dan pada remaja wanita, disebabkan radang
vagina yang bersifat endogen dari pada IMS. Walaupun telah dilakukan
beberapa upaya untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas bagan
alur duh tubuh vagina untuk mendiagnosis infeksi serviks, yaitu dengan
melakukan penilaian terhadap beberapa faktor risiko yang bersifat
spesifik, namun sensitivitas dan spesifisifisitasnya tetap saja rendah.

Selain itu, penilaian faktor risiko melalui beberapa pertanyaan


yang didasarkan pada kondisi demografis seperti faktor umur, dan status
perkawinan, akan cenderung salah mengelompokkan para remaja ke
dalam kelompok berisiko menderita radang serviks. Oleh karena itu,
perlu dilakukan identifikasi beberapa faktor risiko utama lainnya pada
kelompok remaja setempat yang kemudian dinilai untuk mendapatkan
faktor risiko yang dianggap paling sesuai untuk daerah tersebut. Khusus
untuk kelompok remaja akan lebih tepat bila didasarkan pada faktor
risiko yang berkaitan dengan pola perilaku seksual setempat.

14
2.1.7 Pemeriksaan Klinis Pasien Infeksi Menular Seksual

Komponen penatalaksanaan IMS meliputi:


1. anamnesis tentang riwayat infeksi/ penyakit
Tujuan :
a. menentukan faktor risiko pasien
b. membantu menegakkan diagnosis sebelum dilakukan
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang lainnya
c. membantu mengidentifikasi pasangan seksual pasien
Sikap saat melakukan anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan,
yaitu:

a. Sikap sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi


b. Menciptakan suasana yang menjamin privasi dan kerahasiaan,
sehingga sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup dan tidak
terganggu oleh keluar-masuk petugas
c. Dengan penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan
pasien, jangan sambil menulis saat pasien berbicara dan jangan
memutuskan pembicaraannya.
d. Gunakan keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian
anamnesis menggunakan pertanyaan terbuka, dan mengakhiri
dengan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka memungkinkan
pasien untuk memberikan jawaban lebih panjang sehingga dapat
memberikan gambaran lebih jelas, sedangkan pertanyaan tertutup
adalah salah satu bentuk pertanyaan yang mengharapkan
jawaban singkat, sering dengan perkataan “ya” atau “ tidak”, yang
biasanya digunakan untuk lebih memastikan hal yang dianggap
belum jelas.
e. Gunakan keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya
dengan memfasilitasi, mengarahkan, memeriksa, dan
menyimpulkan, sambil menunjukkan empati, meyakinkan dan
kemitraan.
f. Rangkaian pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien IMS
dapat dilihat pada kotak 2.
Untuk menggali faktor risiko perlu ditanyakan beberapa hal tersebut
di bawah ini. Berdasarkan penelitian faktor risiko oleh WHO (World
Health Organization) di beberapa negara (di Indonesia masih belum
diteliti), pasien akan dianggap berperilaku berisiko tinggi bila terdapat
jawaban “ya” untuk satu atau lebih pertanyaan di bawah ini:

1. Pasangan seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir


2. Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir
3. Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir.
4. Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi.

Informasi yang perlu ditanyakan kepada pasien:

1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat perjalanan penyakit

15
4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja
seks, teman, pacar, suami/isteri
5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan
6. Jenis kelamin pasangan seksual
7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital,
anogenital)
8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)
9. Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan
dokter/sendiri)
10. Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah
haid; kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan,
lain-lain); penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid,
kontrasepsi); pemakaian alat kontrasepssi dalam rahim (AKDR);
rangsangan seksual; kehamilan; kontak seksual
11. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya
12. Hari terakhir haid
13. Nyeri perut bagian bawah
14. Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada daerah genitalia
dan sekitarnya, yang dilakukan di ruang periksa dengan lampu yang
cukup terang . Lampu sorot tambahan diperlukan untuk pemeriksaan
pasien perempuan dengan spekulum. Dalam pelaksanaan sebaiknya
pemeriksa didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain. Pada
pemeriksaan terhadap pasien perempuan, pemeriksa didampingi oleh
paramedis perempuan, sedangkan pada pemeriksaan pasien laki-laki,
dapat didampingi oleh tenaga paramedis laki-laki atau perempuan.
Beri penjelasan lebih dulu kepada pasien mengenai tindakan
yang akan dilakukan:
1. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya,
pemeriksa harus selalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa
mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa.
2. Pasien harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan
pemeriksaan genitalia (pada keadaan tertentu, kadang–kadang
pasien harus membuka seluruh pakaiannya secara bertahap).
Pasien perempuan, diperiksa dengan berbaring pada meja
ginekologik dalam posisi litotomi

1. Pemeriksa duduk dengan nyaman sambil melakukan inspeksi dan


palpasi mons pubis, labia, dan perineum
2. Periksa daerah genitalia luar dengan memisahkan ke dua labia,
perhatikan adakah kemerahan, pembengkakan, luka/lecet, massa,
atau duh tubuh
3. Lakukan inspeksi dan palpasi daerah genitalia, perineum, anus
dan sekitarnya.
4. Jangan lupa memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui
pembesaran kelenjar getah bening setempat (regional)
5. Bilamana tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan
pengambilan bahan pemeriksaan.

16
6. Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan
untuk tidak berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum
pemeriksaan.
3. Pemeriksaan Spesimen
Pasien perempuan dengan status sudah menikah, dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum serta pengambilan specimen
1. Beri penjelasan lebih dulu mengenai pemeriksaan yang akan
dilakukan agar pasien tidak merasa takut
2. Bersihkan terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi
larutan NaCl
3. Setiap pengambilan bahan harus menggunakan spekulum steril
(sesuaikan ukuran spekulum dengan riwayat kelahiran per
vaginam), swab atau sengkelit steril
4. Masukkan daun spekulum steril dalam keadaan tertutup dengan
posisi tegak/vertikal ke dalam vagina, dan setelah seluruhnya
masuk kemudian putar pelan-pelan sampai daun spekulum dalam
posisi datar/horizontal. Buka spekulum dan dengan bantuan lampu
sorot vagina cari serviks. Kunci spekulum pada posisi itu sehingga
serviks terfiksasi (Gambar 4).
5. Setelah itu dapat dimulai pemeriksaan serviks, vagina dan
pengambilan spesimen
a. Dari serviks: bersihkan daerah endoserviks dengan kasa
steril, kemudian ambil spesimen duh tubuh serviks dengan
sengkelit/ swab Dacron™ steril untuk pembuatan sediaan
hapus, dengan swab Dacron™ yang lain dibuat sediaan
biakan,
b. Dari forniks posterior: dengan sengkelit/ swab Dacron™ steril
untuk pembuatan sediaan basah, dan lakukan tes amin
c. Dari dinding vagina: dengan kapas lidi/ sengkelit steril untuk
sediaan hapus,
d. Dari uretra: dengan sengkelit steril untuk sediaan hapus
6. Cara melepaskan spekulum: kunci spekulum dilepaskan, sehingga
spekulum dalam posisi tertutup, putar spekulum 90o sehingga
daun spekulum dalam posisi tegak, dan keluarkan spekulum
perlahan-lahan.

Pada pasien perempuan berstatus belum menikah tidak


dilakukan pemeriksaan dengan spekulum, karena akan merusak
selaput daranya sehingga bahan pemeriksaan hanya diambil
dengan sengkelit steril dari vagina dan uretra. Untuk pasien
perempuan yang belum menikah namun sudah aktif berhubungan
seksual, diperlukan informed consent sebelum melakukan
pemeriksaan dengan spekulum. Namun bila pasien menolak
pemeriksaan dengan spekulum, pasien ditangani menggunakan
bagan alur tanpa spekulum.

17
1. Dengan jari tangan buka introitus untuk memasukkan spekulum
2. Spekulum dimasukkan dalam posisi oblik (daun spekulum
dimiringkan)
3. Setelah tampak posisi uterus, arahkan spekulum pada serviks
4. Buka spekulum untuk memperlihatkan ostium serviks eksternal
5. Setelah posisi spekulum di vagina menunjukkan ostium serviks,
lakukan penguncian speculum
Pasien dengan gejala ulkus genitalis (laki-laki dan
perempuan)
1. Untuk semua pasien dengan gejala ulkus genital, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan serologi untuk sifilis dari bahan darah vena
(RPR=rapid plasma reagin, syphilis rapid test )
2. Untuk pemeriksaan Treponema pallidum pada ulkus yang dicurigai
karena sifilis: − Ulkus dibersihkan terlebih dahulu dengan kain
kasa yang telah dibasahi larutan salin fisiologis (NaCl 0,9%) −
Ulkus ditekan di antara ibu jari dan telunjuk sampai keluar cairan
serum − Serum dioleskan ke atas kaca obyek untuk pemeriksaan
Burry atau mikroskop lapangan gelap bila ada.
4. Pemeriksaan Lain
 Pemeriksaan Bimanual
1. Gunakan sarung tangan dan dapat digunakan pelumas
2. Masukkan jari tengah dan telunjuk tangan kanan ke dalam vagina,
ibu jari harus dalam posisi abduksi, sedangkan jari manis dan
kelingking ditekuk ke arah telapak tangan
3. Untuk palpasi uterus: letakkan tangan kiri di antara umbilikus dan
tulang simfisis pubis, tekan ke arah tangan yang berada di dalam
pelvik
4. Dengan jari tangan, raba fundus uteri sambil mendorong serviks ke
anterior dengan jari-jari yang berada di pelvik. Perhatikan ukuran,
posisi, konsistensi, mobilitas uterus, dan kemungkinan rasa nyeri
saat menggoyangkan serviks
5. Dengan perlahan, geser jari-jari yang berada di vagina menuju
forniks lateral sambil tangan yang berada di atas perut menekan
ke arah inferior
5. Diagnosis yang tepat

18
Dalam penggunaan bagan alur, dapat dilihat 3 macam
kotak yang berbeda, masingmasing mempunyai tujuan: Kotak segi
empat dengan sudut tumpul:
1. Merupakan kotak masalah yang memberikan keterangan tentang
keluhan dan gejala, dan merupakan awal dari setiap bagan alur.
2. Kotak segi enam: merupakan kotak keputusan yang selalu
mempunyai dua alur keluar yang mengarah ke kotak tindakan.
Kedua alur itu adalah alur “ya” dan alur “tidak”.
3. Kotak segi empat dengan sudut tajam: merupakan kotak tindakan.
Kotak ini menunjukkan penatalaksanaan yang harus dilakukan.
6. Pengobatan yang efektif
7. Nasehat yang berkaitan dengan perilaku seksual
8. Penyediaan kondom dan anjuran pemakaiannya,
9. Penatalaksanaan mitra seksual
10. Pencatatan dan pelaporan kasus, dan
11. Tindak lanjut klinis secara tepat.

2.1.8 Kewenangan Bidan

Kewenangan bidan pasal 25 ayat 1 Peraturan Menter Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan yaitu melaksanakan deteksi dini,
merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual
(IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya.

2.1.9 Penularan Dari Ibu Ke Bayi

Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya


pencegahan penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko
penularan berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan,
maka risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan
pengobatan ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil
dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIVmelalui
persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pada ibu hamil dengan
sifilis, pemberian terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu dapat
mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya.

Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang


terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup
langkah-langkah sebagai berikut.

1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.


2. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin
(untuk sifilis) bagi ibu.
4. Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak,
serta KB.
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada
anak.

19
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu
selama hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi
HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada
masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. (Kemenkes RI. 2015)

2.2 HIV/AIDS

2.2.1 Definisi
Menurut WHO (2014), HIV / AIDS adalah penyakit yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang
sistem kekebalan tubuh dan melemahkan sistem pengawasan dan
pertahanan manusia terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Ketika
virus menyerang dan merusak fungsi sel-sel kekebalan tubuh, individu
yang terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi.
Immunodefisiensi menghasilkan peningkatan kerentanan terhadap
berbagai infeksi dan penyakit yang dapat dilawan oleh orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang sehat.
HIV merupakan retro virus yang menjangkiti sel-sel sistem
kekebalan tubuh manusia dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Terjangkiti virus HIV (biasanya disebut sebagai positif HIV)
tidaklah sama dengan mengidap AIDS. Banyak orang yang positif HIV
tidak menderita sakit selama bertahun-tahun. Infeksi virus inilah yang
kemudian berakibat pada menurunnya sistem kekebalan. Seiring dengan
berkembangnya HIV dalam tubuh, virus tersebut secara perlahan
menggerogoti sistem kekebalan tubuh.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome. AIDS menggambarkan sebuah sindrom dengan berbagai
gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan
tubuh. AIDS sendiri disebabkan oleh virus yang sebut HIV, Human
Immunodeficiency Virus.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab
AIDS yang menyerang dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh,
sehingga tubuh tidak mampu melindungi diri dari berbagai penyakit.
Sedangkan, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh virus HIV. HIV adalah singkatan dari human
immunodeficiency virus, yang merupakan virus yang menyebabkan
infeksi HIV. Singkatan "HIV" dapat merujuk pada virus atau infeksi HIV.
AIDS adalah singkatan dari sindrom imunodefisiensi yang didapat. AIDS
adalah tahap paling lanjut dari infeksi HIV.
HIV menyerang dan menghancurkan sel CD4 yang melawan
infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Hilangnya sel CD4 menyulitkan
tubuh untuk melawan infeksi dan kanker tertentu. Tanpa pengobatan,

20
HIV secara bertahap dapat menghancurkan sistem kekebalan dan
berkembang menjadi AIDS.

Gambar 2.2.1 : HIV tanpa pengobatan menjadi AIDS


Sumber : https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-sheets/
19/45/hiv-aids--the-basics

2.2.2 Stadium
HIV/AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu,
yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization) sebagai berikut:

Gambar 2.2.2 Stadium klinis HIV/AIDS


Sumber : https://www.bhaktirahayu.com/artikel-kesehatan/previous/2

21
Menurut AIDSinfo United States Department of Health and Human
Services (2019), ada tiga tahap infeksi HIV:
a. Infeksi HIV Akut
Infeksi HIV akut adalah tahap awal infeksi HIV, dan
umumnya berkembang dalam 2 sampai 4 minggu setelah infeksi
HIV. Selama waktu ini, beberapa orang memiliki gejala seperti
flu, seperti demam, sakit kepala, dan ruam. Pada tahap infeksi
akut, HIV berlipat ganda dengan cepat dan menyebar ke seluruh
tubuh. Virus ini menyerang dan menghancurkan sel CD4 yang
melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Selama tahap
infeksi HIV akut, tingkat HIV dalam darah sangat tinggi, yang
sangat meningkatkan risiko penularan HIV. Seseorang dapat
mengalami manfaat kesehatan yang signifikan jika mereka
memulai ART selama tahap ini.
b. Infeksi HIV Kronis
Tahap kedua infeksi HIV adalah infeksi HIV kronis (juga
disebut infeksi HIV tanpa gejala atau latensi klinis). Selama
tahap ini, HIV terus berkembang biak di dalam tubuh tetapi pada
tingkat yang sangat rendah. Orang dengan infeksi HIV kronis
mungkin tidak memiliki gejala terkait HIV. Tanpa ART, infeksi
HIV kronis biasanya berkembang menjadi AIDS dalam 10 tahun
atau lebih, walaupun pada beberapa orang infeksi ini dapat
berkembang lebih cepat. Orang yang memakai ART mungkin
dalam tahap ini selama beberapa dekade. Walaupun masih
mungkin untuk menularkan HIV ke orang lain selama tahap ini,
orang yang memakai ART tepat seperti yang ditentukan dan
mempertahankan viral load tidak terdeteksi secara efektif tidak
memiliki risiko penularan HIV ke pasangan HIV-negatif melalui
seks.
c. AIDS
AIDS adalah tahap akhir, infeksi HIV yang paling parah. Karena
HIV telah merusak sistem kekebalan tubuh, tubuh tidak dapat
melawan infeksi oportunistik. (Infeksi oportunistik adalah infeksi
dan kanker terkait infeksi yang terjadi lebih sering atau lebih
parah pada orang dengan sistem kekebalan yang lebih lemah
daripada orang dengan sistem kekebalan yang sehat.) Orang
dengan HIV didiagnosis dengan AIDS jika mereka memiliki
jumlah CD4 kurang dari 200 sel / mm3 atau jika mereka memiliki
infeksi oportunistik tertentu. Sekali seseorang didiagnosis dengan
AIDS, mereka dapat memiliki viral load yang tinggi dan dapat
menularkan HIV ke orang lain dengan sangat mudah. Tanpa
perawatan, penderita AIDS biasanya bertahan hidup sekitar 3
tahun.

2.2.3 Tanda dan Gejala


Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya
karena tidak ada gejala yang tampak setelah terjadi infeksi. Beberapa
orang mengalami gangguan kelenjar dengan efek seperti demam
(disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada
limpa), yang dapat terjadi antara enam minggu dan tiga bulan setelah

22
terjadinya infeksi. Kendati infeksi HIV tidak disertai gejala awal,
seseorang yang terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut
kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada
di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV. (Konsultan Jenderal
Republik Indonesia, _______)

2.2.4 Orang berisiko tertular


Ada tiga cara utama untuk tertular HIV :
1. Melakukan seks dubur, vagina atau mulut tanpa pelindung dengan
seseorang yang terinfeksi. Seks tanpa pelindung adalah seks tanpa
menggunakan kondom atau dan gigi.
2. Ketika darah yang terinfeksi masuk ke aliran darah orang lain.
3. Dari wanita yang terinfeksi kepada bayinya, selama kehamilan atau
kelahiran, atau dari menyusui.
Kelakuan yang tidak aman. Risiko tertinggi untuk pria dan wanita
adalah seks dubur tanpa pelindung. Seks vaginal tanpa pelindung adalah
risiko juga. Penggunaan bergantian peralatan injeksi, terutama jarum dan
semprit, dapat memasukkan HIV langsung ke aliran darah Anda. Anda
juga risiko jika pasangan seksual Anda bergantian menggunakan
peralatan injeksi, walaupun Anda tidak menggunakannya. Seks mulut
tanpa pelindung juga risiko, terutama bila pada mulut atau kemaluan ada
luka teriris.
2.2.5 Penularan
Ada beberapa cara, yaitu:
1. Penularan secara seksual: HIV dapat ditularkan melalui seks
penetratif yang tidak terlindungi.
2. Penularan melalui pemakaian jarum suntik secara bergantian
3. Penularan dari ibu ke anak:
4. HIV dapat ditularkan ke anak selama masa kehamilan, pada proses
persalinan, dan saat menyusui. Pada umumnya, terdapat 15-30%
risiko penularan dari ibu ke anak sebelum dan sesudah kelahiran.
5. Penularan melalui transfusi darah:
6. kemungkinan risiko terjangkit HIV melalui transfusi darah dan
produk-
7. produk darah yang terkontaminasi ternyata lebih tinggi (lebih dari
8. 90%). Kendati demikian, penerapan standar keamanan darah
menjamin
9. penyediaan darah dan produk-produk darah yang aman, memadai
dan berkualitas baik bagi semua
10. pasien yang memerlukan transfusi.
2.2.6 Penularan Dari Ibu Ke Bayi
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya
pencegahan penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko
penularan berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan,
maka risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan
pengobatan ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil
dengan HIV dapat melahirkan anak yang terbebas dari HIVmelalui
persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pada ibu hamil dengan
sifilis, pemberian terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu dapat
mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya.

23
Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup
langkah-langkah sebagai berikut.

1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.


2. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin
(untuk sifilis) bagi ibu.
4. Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan
anak, serta KB.
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada
anak.
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi
ibu selama hamil, bersalin dan bayinya.

Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara


berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV
dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa
kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. (Kemenkes RI. 2015)
2.2.7 Penanganan
1. Konseling dan Test HIV Sukarela
Konseling dan test sukarela HIV (VCT) tidak menjadi intervensi
prioritas di awal respon darurat karena bukan merupakan intervensi
penyelamatan jiwa langsung. Namun, ketika situasi telah stabil, VCT
harus ditawarkan kepada orang-orang yang ingin mengetahui serostatus
mereka. Layanan VCT merupakan praktek standar untuk meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan seseorang dan merupakan gerbang untuk
memperoleh layanan perawatan dan pengobatan yang layak. Berikan
konseling untuk menyiapkan diri klien mengetahui hasil tes mereka dan
mendorong perubahan perilaku, bagaimanapun hasil tes tersebut.
Pada situasi epidemik populasi umum dimana situasi lingkungan
yang memungkinkan, sumber daya yang mencukupi tersedia (termasuk
standar pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV yang
direkomendasikan), layanan VCT harus ditawarkan oleh petugas
Kesehatan sebagai standar dari layanan klinis. Jika ada hambatan
sumber daya dan kapasitas, pelaksanaan test dan konseling yang
prakarsai oleh penyedia sangat dibutuhkan. Berikut ini adalah daftar
prioritas untuk pelaksanaan tersebut:
1. Klinik TB
2. Layanan IMS
3. Antenatal Care, persalinan dan post natal care
4. Fasilitas medis pasien rawat inap dan berobat jalan
Dalam epidemi terkonsentrasi dan level rendah, penyedia
layanan kesehatan tidak boleh memulai VCT pada setiap pasien yang
mendatangi fasilitas kesehatan, karena sebagian besar pasien beresiko
rendah. Fasilitas VCT harus tersedia dalam situasi yang lebih stabil,
melalui layanan-layanan yang telah tersedia ataupun klinik keliling.

24
Beberapa perilaku yang membuat seseorang beresiko tinggi terpapar
HIV seperti pekerja seks atau pengguna narkoba suntik, juga membuat
mereka lebih rentan terhadap pemaksaan, diskriminasi, kekerasan,
pengabaian, pengurungan atau dampak-dampak negatif lainnya setelah
mengungkapkan hasil tes HIV yang positif. Para penyedia layanan
kesehatan harus mendapat pelatihan dan supervisi khusus untuk
menjalankan prinsip/standar informed consent dan kerahasiaan untuk
kelompok ini. VCT HIV untuk kelompok ini harus disertai dengan
pelaksanaan kelompok dukungan sosial, kebijakan dan legal yang
pendukung.
Komponen-komponen program berikut ini akan menentukan
kualitas layanan VCT yang berkualitas :
a. Persetujuan, privasi dan kerahasiaan sangat penting. Test HIV hanya
bisa dilakukan secara sukarela. Dapatkan selalu informed
consent/persetujuan sebelum seseorang menjalani test HIV. VCT tidak
boleh dipaksakan pada seseorang pada situasi apapun.
b. Menyediakan layanan secara gratis.
c. Memastikan pra dan pasca konseling merupakan bagian dari
keseluruhan layanan VCT.
d. Layanan pendukung pasca test harus tersedia, termasuk jaringan
rujukan dan akses terhadap test tambahan (seperti penghitungan CD4 )
untuk menilai kelayakan pasien mendapatkan program perawatan dan
pengobatan.
e. VCT hanya boleh dilakukan di fasilitas yang dilengkapi standar tes yang
layak. Ikuti proses algoritma testing HIV yang sudah divalidasi secara
nasional, saat mempertimbangkan issue hak asasi manusia spesifik
untuk memasuki program perawatan dan pengobatan. Gunakan
teknologi test yang sesuai untuk situasi tsb, seperti tes cepat dengan
spesimen darah dari tusuk jari. Hasil tes dengan tes HIV cepat dapat
diperoleh dalam waktu tidak sampai 20 menit dan biasanya memiliki
tingkat keberhasilan lanjutan dan konseling pasca tes yang lebih tinggi.
Ini akan mendukung desentralisasi VCT. Pertimbangkan kondisi
penyimpanan lokal dan jika perlu pesan tes cepat/rapid test yang tidak
membutuhkan pendinginan.
2. Intervensi ARV
Sangat penting untuk penyediaan program obat-obatan
antiretroviral (ARV) dan terapi antiretroviral (ART) dasar. Pemberian
layanan terkait HIV pada masyarakat dalam situasi bencana merupakan
upaya yang sulit namun sangat penting, mengingat ini tercantum dalam
undang-undang hak asasi internasional. Seperti halnya dengan semua
program dan kebijakan dan program HIV dan AIDS, ART harus dikaitkan
dengan program pencegahan, perawatan dan dukungan. ART tidak
boleh dilaksanakan sebagai intervensi paralel, akan tetapi harus sebagai
bagian dari program terintegrasi dengan layanan-layanan lain (seperti
layanan kesehatan, nutrisi, edukasi, sosial serta air dan sanitasi). Jika
ART tersedia, sangat penting bahwa konseling harus mencakup efek
samping dan manfaat ART serta pentingnya mematuhi jadwal
pengobatan. Intervensi penting yang menggunakan ARV adalah:
a. Post exposure prophylaxis (PEP)
b. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT)

25
a. PEP
Para manajer program kesehatan reproduksi harus memastikan
pemberian PEP dapat dilakukan dengan segera (dalam waktu 72 jam)
untuk mengurangi kemungkinan tertular HIV dimasukan ke dalam
protokol bagi dua situasi berikut ini:
1. Layanan untuk korban perkosaan: untuk mencegah dan
menangani dampak pemerkosaan terhadap
kesehatan korban/penyintas harus memiliki akses mendapatkan
perawatan klinis, termasuk konseling pendukung. Perawatan ini
mencakup penyediaan PEP.
2. Paparan kerja: meskipun tindakan pencegahan standar telah
diberlakukan dan dipatuhi dalam kondisi pelayanan kesehatan,
kecelakaan kerja dengan paparan darah dan cairan tubuh yang
berpotensi terinfeksi HIV sangat mungkin terjadi. Misalnya
melalui cedera akibat jarum suntik. Pastikan PEP tersedia dalam
situasi ini sebagai bagian standar tindakan pencegahan
komprehensif yang bisa mengurangi kemungkinan paparan
tersebut. Perawatan PEP yang direkomendasikan adalah terapi
kombinasi 28 hari dengan dua nucleoside-analogue reverse-
transcriptase inhibitor (NRTI), biasanya zidovudine dan
lamivudine. Untuk informasi lebih lengkap mengenai PEP
3. PMTCT
Tanpa prophylaxis, kemungkinan bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang positif HIV menjadi terinfeksi adalah antara 20% sampai 45% di
antara ibu yang menyusui. Pemberian obat antiretroviral dosis tunggal
akan mengurangi angka ini sekitar dua pertiga, sementara
penggunaan sediaan kompleks terapi tripleARV dan/atau operasi
bedah sesar yang direncanakan (elective caesarean section) dan
tidak menyusui bayinya dapat mengurangi kemungkinan hingga
kurang dari 2%.
Jika seorang perempuan yang diketahui hidup dengan HIV
mendatangi perawatan antenatal, persalinan atau nifas, manfaatkan
peluang tersebut untuk mencegah penularan HIV pada bayinya.
Untuk implementasi program penularan ibu ke anak, hal-hal berikut
harus tersedia:
a. Layanan antenatal care
b. Perawatan kesehatan ibu dan anak, termasuk perawatan
persalinan yang aman
c. Tes dan konseling HIV yang diprakarsai penyedia layanan,
dengan menggunakan pendekatan opt-out (option-out), yakni
individu harus secara khusus membatalkan tes HIV setelah
menerima informasi prates jika mereka tidak ingin mengikuti tes
tersebut
d. Konseling tentang pemberian makan bayi
e. Ketersediaan ARV dan protokol PMTCT
Resiko bayi tertular HIV melalui menyusui harus
dibandingkan dengan resiko kematian yang lebih tinggi oleh
sebab-sebab lain seperti kekurangan gizi, diare, dan pneumonia
pada bayi yang disusui. Bukti-bukti penularan HIV menunjukkan

26
pemberian ASI eksklusif sampai enam bulan dapat menurunkan
resiko penularan HIV tiga sampai empat kali dibandingkan
dengan pemberian ASI tidak eksklusif. Para petugas kesehatan
reproduksi harus membahas di dalam sektor/kluster kesehatan
dan dengan otoritas kesehatan nasional tentang promosi praktek
tunggal menyusui bayi di dalam komunitas sebagai perawatan
standar.
Perempuan yang positif HIV harus diberikan konseling
dan didukung untuk:
a. Menyusui dan menerima pelayanan ARV atau
b. Jika pemberian makan pengganti diterima (acceptable),
layak (feasible), terjangkau (affordable), berkesinambungan
(sustainable) dan aman (safe), hindari menyusui supaya
bayi punya peluang untuk terbebas dari HIV. Pemberian
ARV pada perempuan dengan HIV yang hamil dan
menyusui dan bayi yang menyusu sangat dianjurkan dan
sektor/ kluster kesehatan harus berjuang keras untuk
memperkenalkan ARV (lihat oral antiretroviral prophylaxis di
bawah ini). Namun ketiadaan ARV tidak mengubah
rekomendasi mengenai menyusui:
c. Pemberian ASI eksklusif pada enam bulan pertama sejak
kelahiran direkomendasikan bagi ibu yang terinfeksi HIV
(dengan bayi yang tidak terinfeksi HIV atau tidak diketahui
status HIV-nya) kecuali terdapat makanan pengganti yang
dapat diterima, layak, terjangkau, berkesinambungan dan
aman. Pada usia enam bulan, perkenalkan bayi dengan
makanan pelengkap yang sesuai dan lanjutkan menyusui
hingga usia 12 bulan. Semua proses menyusui harus
dihentikan jika makanan yang aman dan cukup gizi tanpa
ASI telah tersedia.
d. Jika bayi dan anak-anak ternyata sudah terinfeksi HIV, ibu
sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif pada
enam bulan pertama dan melanjutkan menyusui sesuai
dengan praktek yang berlaku di masyarakat yaitu hingga
bayi berusia dua tahun atau lebih.
e. Layanan kesehatan harus dilanjutkan pada semua bayi yang
terpapar HIV, tanpa memandang pemberian makan yang
dipilih, termasuk dengan terus memberikan konseling dan
dukungan pemberian makan bayi, terutama sekali ketika
keputusan pemberian makan bisa dipertimbangkan kembali,
seperti ketika diagnosa awal bayi dan pada usia enam
bulan.

27
2.2.8 CD4 HIV dan AIDS

Semua ibu hamil dengan HIV diberi pengobatan ARV


segeratanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan, serta
pengobatan ARV diberikan seumur hidup. Persalinan pada ibu dengan
HIV dapat dilakukan secara pervaginam dan pemberian ASI
eksklusifdengan mengikuti syarat-syarat tertentu. Semua ibu hamil
dengan HIV diberi konseling dan pelayanan KB postpartum. Semua
metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh perempuan dengan HIV,
kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi efektivitas ARV.
Untuk pencegahan penularan infeksi HIV tetap dianjurkan penggunaan
kondom pada setiap hubungan seksual. (Kemenkes RI, 2015)

2.2.9 Pencegahan

Penularan HIV dapat dicegah dengan:

1. Berpantang seks, menghindari perilaku seks bebas dan tetap setia


2. pada pasangan/tidak berganti-ganti pasangan, atau melakukan seks
secara “aman”.
3. Apabila kita akan menjalani transfusi darah, pastikan bahwa darah dan
alat-alatnya steril dan

28
4. telah melalui tes HIV dan standar keamanan darah.
5. Katakan TIDAK pada narkoba, apapun bentuknya. (Mega, 2017)

2.2.10 Triple Eliminasi

Triple Eliminasi HIV, Hepatitis B, dan Sifilis Menyelamatkan Bayi


dari Komplikasi Penyakit Infeksi. WHO mencanangkan eliminasi
penularan penyakit infeksi dari ibu ke anak (mother-to-child transmission)
di Asia dan Pasifik pada tahun 2018-2030. Tiga penyakit yang menjadi
fokus adalah HIV, Hepatitis B, dan Sifilis. Tiga penyakit tersebut
merupakan penyakit infeksi yang endemik di wilayah Asia dan Pasifik.

Penularan penyakit-penyakit tersebut ke bayi dapat dicegah


dengan imunisasi, skrining dan pengobatan penyakit infeksi pada ibu
hamil. WHO menyarankan upaya pencegahan tersebut dilakukan dengan
pendekatan terkoordinasi untuk implementasi intervensi di fasilitas
layanan kesehatan. Upaya pencegahan tersebut menggunakan layanan
terpadu untuk untuk ibu dan anak agar tercapai eliminasi. Upaya tersebut
melibatkan beberapa komponen layanan kesehatan, seperti: klinik
antenatal, klinik PDP (perawatan, dukungan, dan pengobatan) HIV, dan
klinik anak. (WHO 2018)

29
DAFTAR PUSTAKA

Amalia.T.(2017).Faktor-faktor Resiko IMS.Purwokerto.

Arjani, I. A. M. S. (2015). IDENTIFIKASI AGEN PENYEBAB INFEKSI MENULAR


SEKSUAL (Dosen Jurusan Analis Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Denpasar).
Diakses dari : http://www.poltekkes-denpasar.ac.id/files/JSH/V12N1/
Ida%20Ayu%20Made%20Sri%20Arjani.pdf [26 Januari 2020, 11.42 WIB]
Ayu.I.(2015).vol.12.identifikasi penyebab infeksi menular seksual.Denpasar.

Goverment of western Australia Departement of health. 2013. HIV/AIDS. Western


Australia. Communicable Disease Control Directorate Departement of Health
Kemenkes RI. 2015. pedoman program pencegahan penularan HIV dan Sifilis dari ibu ke
Anak. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI
Konsultan Jenderal Republik Indonesia, - , untuk Hongkong SAR dan Macau SAR,
Leighton Road, Caused Bay, Departemen Luar Negeri Hongkong
Mega Ike. 2017. Infeksi Menular Seksual. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Puspita, I. M., Budiastuti, A., & Pramono, D. (2017). Pengaruh Pendekatan Blended
Learning Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Siswa SMA Negeri 9 Semarang
Tentang Infeksi Menular Seksual (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

United States Department of Health and Human Services. (2019). The Stage of HIV
Infection.
Diakses dari : https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact-sheets/19/46/
the-stages-of-hiv-infection [26 Januari 2020, 21.31 WIB]
(Watkins, K. dan Lee, J.E.C. Narrative Review of Barriers to the Secondary Prevention of
Sexually Transmitted Infections: Implication for the Military Context and Current
Research Gaps. Journal of Military and Veterans’ Health. 2014; 22(3): 44-52.)
Diakses dari : (http://www.yankes.kemkes.go.id/read-penyakit-infeksi-menular-
seksual-3675.html)
Wiraguna. 2016. Pencegahan dan pengendalian IMS di negara berkembang. Denpasar.
Program studi dokter spesialis kulit kelamin Universitas Udayana
World Health Organization. (2014). Immunization, Vaccines and Biologicals HIV/AIDS.
Diakses dari : https://www.who.int/immunization/diseases/hiv/en/ [26 Januari
2020, 18.02 WIB]
http://www.wpro.who.int/hiv/topics/emtct/web_consultation_triple_EMTCT/en/

30

Anda mungkin juga menyukai