Gangguan Elektrolit
Gangguan Elektrolit
oleh :
Pembimbing :
Cairan elektrolit dan manajemen merupakan kerja yang sulit sebagian dokter, karena
gambaran klinis pasien sentiasa berubah. Artikel berikut menyajikan fungsi primer dan
mekanisme pengaturan masing-masing elektrolit. Penaksiran taktik dan pedoman pengobatan
juga dikaji.Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan tinjauan menyeluruh tentang cairan dan
elektrolit. Di dalam pengaryaan makalah ini akan difokuskan ke elektrolit clorida, kalium dan
calcium (Rhoda, 2011).
Air merupakan komponen utama dari tubuh manusia. Total air di dalam tubuh (Total
Body Water) merupakan sekitar 45% -60% dari berat badan dan dibagi menjadi cairan
ekstraselular (Extracellular fluid) dan intraseluler cairan (Intracelluar Fluid). ICF merangkumi
dua-pertiga dari TBW, yang menyumbang hingga sekitar 40% dari berat badan, dengan sisa
sepertiga dari TBW menjadi ECF, terhitung sekitar 20% dari berat tubuh. ECF meliputi cairan
intravaskuler, cairan interstitial, dan cairan transelular (yang terkandung dalam rongga tubuh
tertentu). Air bergerak antara ICF dan ECF tergantung pada jumlah zat terlarut sehingga
mencapai keadaan kesetimbangan. Pengukuran ini disebut sebagai osmolalitas dan sering
digunakan bergantian dengan tonisitas. Osmolalitas cairan tubuh dan cairan isotonik adalah
sekitar 280-300 mOsm / kg (Rhoda, 2011)
Hipovolemia, didefinisikan sebagai defisit ECF, dapat terjadi sebagai penurunan
volume air, dengan atau tanpa elektrolit deficit. Hypovolemia biasanya merupakan hasil dari
ketidakmampuan untuk mengatur air asupan (misalnya, hilang dari mekanisme haus atau
terkonsentrasi nutrisi enteral). Tanda-tanda patognomonik hipovolemia termasuk haus, pusing,
hipotensi, takikardia, miskin turgor kulit, dan penurunan natrium urin (Na) konsentrasi (<15 mEq
/ L) . Hypervolemia didefinisikan sebagai expansi dari volume ECF, dan dapat terjadi karena
fungsi ginjal berubah, pemberian cairan yang berlebihan, cairan interstitial plasma pergeseran,
atau pasca-operasi. Hypovolemia sering terlihat setelah operasi dan tindakan anestesi, apabila
ADH dilepaskan sehingga menyebabkan retensi air oleh ginjal(Rhoda, 2011).
Kalium merupakan kation intraseluler yang utama. Total kandungan potasium yang
normal dalam tubuh tergantung pada massa otot dan maksimal pada orang dewasa muda dan
menurun secara progresif dengan berlanjut usia. Kurang dari 1,5% dari total kalium tubuh
ditemukan di ruang ekstraselular. Konsentrasi kalium ekstraseluler dikendalikan oleh distribusi
kalium transelular, sedangkan total kalium tubuh diatur terutama oleh ginjal. Lebih dari 90% dari
kalium didapatkan dari diet seharian diekskresikan dalam bentuk urin, dan sisanya dieliminasi
dalam feses. Apabila laju filtrasi glomerulus menurun pada gagal ginjal, maka jumlah kalium
diekskresikan oleh lewat jalur gastrointestinal tubuh meningkat (Hines et all, 2008).
Hanya 1% dari total kalsium tubuh hadir dalam ECF. Sisanya disimpan dalam tulang.
Kalsium dalam ECF 60% bebas atau digabungkan dengan anion dan sisanya 40% terikat
dengan protein, terutama pada albumin. Hanya kalsium terionisasi dalam ruang ekstraselular
aktif secara fisiologi didalam tubuh. Beberapa hormon mengatur metabolisme kalsium seperti
hormon paratiroid, yang meningkatkan resorpsi pada tulang dan reabsorpsi kalsium pada
tubulus renal, kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang, dan vitamin D, yang menambah
penyerapan kalsium di usus. Kegiatan hormon ini berubah mengikut perubahan konsentrasi
kalsium yang terionisasi di dalam plasma. Hormon lain termasuk hormon tiroid, hormon
pertumbuhan, dan steroid adrenal dan gonad juga mempengaruhi homeostasis kalsium, tetapi
sekresi masing masing ditentukan oleh faktor lain selain konsentrasi kalsium plasma(Hines et
all, 2008).
Sebagai anion ekstraseluler utama, klorida berfungsi untuk menjaga keseimbangan
asam-basa serum. Hubungan antara klorida dan bikarbonat berfungsi sebagai indikator penting
diagnostik asam-basa, dan spekulasi tentang peran klorida dalam hipertensi(Hines et all, 2008).
1.3 Tujuan
- Mengetahui proses fisiologi dari elektrolite (kalium, kalsium dan klorida)
- Mengetahui kekacauan, penyebab dan gejala masing masing elektrolit.
- Mengetahui penatalaksanaan dari elektrolite imbalance (kalium, kalsium dan klorida)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kalium
Kalium merupakan kation terutama di intraseluler. Total kalium dalam tubuh pada
dewasa sehat adalah kira – kira 50 mEq/kg, maka jika dewasa dengan berat badan 70 kg akan
mempunyai total kalium dalam tubuh sebesar 3500 mEq. Namun hanya 70 mEq (2% dari
keseluruhan) yang ditemukan di cairan ekstraselular. Karena plasma berperan sebesar 20%
dari cairan ekstraselular, maka kadar kalium dalam plasma sekitar 15 mEq, dimana hanya 0,4%
dari total kalium dalam tubuh. Hal ini menggambarkan bahwa kadar kalium dalam plasma
bukan menjadi pertanda yang sensitif untuk perubahan total kalium dalam tubuh (Marino, 2007;
Stoelting 2008)
Asupan kalium sehari – hari sekitar 80 mEq/hari pada dewasa (dengan rentang, 40 –
140 mEq/hari). Sekitar 70 mEq secara normal diekskresikan di urin, sedangkan 10 mEq
diekskresikan melalui saluran pencernaan. Pada dewasa yang memiliki kadar kalium dalam
plasma yang normal (antara 3,5 hingga 5,5 mEq/L), jumlah total defisit kalium dalam tubuh
sekitar 200 – 400 mEq menghasilkan penurunan 1 mEq/L dalam kadar kalium dalam plasma.
sedangkan kelebihan 100 hingga 200 mEq dalam total kalium dalam tubuh akan menghasilkan
peningkatan 1 mEq/L dalam plasma. Dengan kata lain, deplesi kalium harus dua kali agar
sebanding dengan akumulasi kalium agar mempunyai perubahan konsentrasi kalium yang
signifikan (1 mEq/L). Hal ini disebabkan perbedaan yang besar dari kalium intraselular, yang
dapat menggantikan kalium ekstraselular ketika ia hilang (Marino, 2007; Stoelting 2008).
2.1.1 HIPOKALEMIA
I. Definisi
Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium dalam plasma lebih rendah dari 3,5 mEq/L dan
terjadi karena:
II. Etiologi
Mineralocorticoid excess
Primary hyperaldosteronism (Conn's syndrome)
Glucocorticoid-remediable hyperaldosteronism
Renin excess
Renovascular hypertension
Bartter's syndrome
Liddle's syndrome
Diuresis
Chronic metabolic alkalosis
Antibiotics
Carbenicillin
Gentamicin
Amphotericin B
Renal tubular acidosis
Distal, gradient-limited
Proximal
Ureterosigmoidostomy
Gastrointestinal losses
Vomiting
Diarrhea, particularly secretory diarrheas
ECF - ICF shifts
Acute alkalosis
Hypokalemic periodic paralysis
Barium ingestion
Insulin therapy
Vitamin B12 therapy
Thyrotoxicosis (rarely)
Inadequate intake
Rhabdomyolysis
Ileus
Renal
Polyuria (nephrogenic diabetes insipidus)
Increased ammonia production
Increased bicarbonate reabsorption
IV. Terapi
Penggantian secara oral dengan kalium klorida merupakan yang teraman (60 – 80
mEq/hari). Pengganti dengan oral biasanya membutuhkan beberapa hari. Selain kalium klorida,
bisa digunakan cairan kalium fosfat (berisi 4,5 mEq kalium dan 3 μM fosfat per mL) yang dipilih
untuk menggantikan kalium pada penyakit ketoasidosis diabetik (karena deplesi fosfat yang
menyertai ketoasidosis) (Morgan, 2006; Marino, 2007).
Penggantian secara intra-vena dengan kalium klorida biasanya diperlukan untuk pasien
dengan atau tanpa manifestasi kardio yang serius. Tujuan terapi melalui intra-vena adalah
menyelamatkan pasien agar tidak dalam kegawatan dan tidak dibutuhkan koreksi seluruh
defisit kalium. Kecepatan penggantian secara Intravena di vena perifer seharusnya tidak lebih
dari 8 mEq/ jam karena efek iritatifnya pada vena – vena perifer. Dosis bisa dinaikkan hingga 40
mEq/ jam jika memang diperlukan (seperti pada keadaan kadar kalium dalam plasma dibawah
1,5 mEq/L atau aritmia yang serius). Cairan yang isinya dekstrosa harus dihindari karena
berakibat pada hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder akan menyebabkan turunnya kadar
kalium dalam plasma (Morgan, 2006; Marino, 2007).
Kalium Klorida merupakan pilihan saat alkalosis metabolik terjadi karena cairan tersebut
juga meng-koreksi defisit klorida. Kalium bikarbonat atau ekuivalennya (K+ asetat atau K+ sitrat)
lebih dipilih untuk pasien – pasien dengan asidosis metabolik (Morgan, 2006).
2.1.2 HIPERKALEMIA
I. Definisi
Hiperkalemia didefinisikan jika kadar kalium dalam plasma lebih dari 5,5 mEq/L.
Hiperkalemia jarang terjadi pada individual normal karena kapasitas ginjal untuk
meng-eksresi kalium. Ketika asupan kalium menigkat secara perlahan, ginjal mampu
untuk meng-ekskresi sebanyak 500 mEq kalium per hari. Sistem simpatis dan
sekresi insulin juga berperan penting dalam mencegah meningkatnya kadar kalium
dalam plasma secara akut (Morgan, 2006).
Hiperkalemia bisa terjadi karena
1. Ion kalium yang berpindah antar kompartemen
2. Menurunnya ekstresi kalium dalam urin, atau
3. Meurunnya asupan kalium (jarang)
II. Etiologi
Pseudohyperkalemia
Red cell hemolysis
Marked leukocytosis/thrombocytosis
Intercompartmental shifts
Acidosis
Hypertonicity
Rhabdomyolysis
Excessive exercise
Periodic paralysis
Succinylcholine
Decreased renal potassium excretion
Renal failure
Decreased mineralocorticoid activity and impaired Na+ reabsorption
Efek yang paling penting dari hiperkalemia adalah pada otot – otot skelet
dan jantung. Kelemahan otot – otot skelet biasanya tidak tampak hingga kadar
kalium plasma lebih dari 8 mEq/L. Kelemahan tersebut disebabkan depolarisasi
spontan dan inaktivasi kanal natrium dari membran otot (mirip seperti
succinylcholine), yang berakibat paralisa asenden. Manifestasi pada jantung
disebabkan tertundanya depolarisasi dan secara konsisten terjadi ketika kadar
kalium plasma lebih dari 7 mEq/L.
Perubahan EKG digambarkan dari gelombang T yang memuncak (seringkali
disertai interval QT yang memendek), pelebaran kompleks ORS, P-R interval
memanjang, hilangnya gelombang P, hilangnya gelombang R, depresi segmen ST
(biasanya elevasi), hingga gelombang EKG yang menyerupai sinus, sebelum
menjadi fibrilasi ventrikel dan asistol. Kontraktilitas terlihat relatif baik. Hipokalemia,
hiponatremia dan dan asidosis menonjolkan efek – efek jantung pada hiperkalemia
(Morgan,2006).
IV. Terapi
Kalsium (5-10 mL dari 10% kalsium glukonas atau 3-5 mL dari 10% kalsium
klorida) menjadi antagonis secara parsial pada efek jantung yang disebabkan
hiperkalemia dan biasanya berguna pada hiperkalemia yang tinggi. Efek – efek
tersebut cepat namun sayangnya hanya bertahan sebentar. Perhatian khusus harus
diberikan pada pasien yang menerima digoksin, yang mempunyai potensi kalsium
toksisitas digoksin(Morgan, 2006).
2.2 Kalsium
Kebanyakan kalsium ditemukan dalam tulang dan gigi. Kalsium merupakan kation
ekstraseluler yang bertanggung jawab untuk fungsi fisiologis, seperti metabolisme tulang dan
fungsi neuromuskuler karena kalsium banyak terikat dengan protein. Usus, ginjal, dan tulang
bekerja secara sinergis untuk mengatur keseimbangan kalsium dalam mengatur kadar PTH dan
vitamin D (Rhoda, 2011).
Vitamin D dan PTH bekerja bersama untuk mempertahankan homeostasis kalsium.
Target kadar kalsium bisa mengatur kalenjar paratiroid sama ada menambah atau mengurangi
produksi PTH, yang akan berfungsi penyerapan kalsium pada usus dan ekskresi fosfor (P) dan
kalsium pada ginjal, PTH juga mengubah bentuk tidak aktif dari vitamin D menjadi bentuk
aktifnya (1,25-dihydroxyvitamin D; calcitriol), untuk meningkatkan penyerapan kalsium di GI
tract dan berfungsi dalam pengaturan defisiensi vitamin D. Aktivitas PTH dan calcitriol bersama
menargetkan meningkatkan dan / atau mengurangi reabsorpsi kalsium dan fosfor pada
proksimal sel tubulus ginjal sekalian bertanggung jawab untuk mengatur pelepasan rangka
kalsium ke ECF, dalam upaya untuk meningkatkan konsekuensi dari hypocalcemia (Rhoda,
2011).
Hanya 1% dari total kalsium tubuh hadir dalam ECF. Sisanya disimpan dalam
tulang. Kalsium dalam ECF 60% bebas atau digabungkan dengan anion dan sisanya 40%
terikat dengan protein, terutama pada albumin. Hanya kalsium terionisasi dalam ruang
ekstraselular aktif secara fisiologi didalam tubuh (Hines et all, 2008).
2.1.2 Gangguan Kalsium, Penyebab , Gejala dan Penatalaksanaan
2.1.2.1 Hipokalsemia
I. Etiologi
Hipokalsemia dapat didefinisikan di mana tingkat albumin normal dan nilai kalsium
serum <8,5 mg / dL. Hampir 50% dari serum kalsium terikat protein, dan karena itu, dengan
adanya hipoalbuminemia kalsium dikoreksi atau sebaiknya terionisasi (Rhoda, 2011).
II. Patofisiologi
Meskipun definisi hipokalsemia mencerminkan defisit konsentrasi di dalam ECF,
tetapi mayoritas kalsium terikat baik pada tulang atau protein. Karena serum yang tersimpan
diganti melalui aksi PTH, maka hipokalsemia berhubungan dengan fungsi paratiroid. Selain itu,
penyerapan kalsium dari saluran usus, ekskresi dari ginjal, dan tulang menyebabkan kalsium
yang tersimpan digunakani. Sekitar 40% dari total kalsium serum terikat pada protein.
Perubahan tingkat protein plasma akan mempengaruhi jumlah kadar kalsium serum.
Hipoalbuminemia menurunkan total serum kalsium, dan dan kebalikannya meningkatkan kadar
kalsium. Untuk setiap I mg / dl perubahan albumin dari nilai normal akan menyebabkan
perubahan terjadi pada kalsium terionisasi sebanyak 0,8 mg / dl. Pengikatan kalsium protein
dipengaruhi oleh pH dan jika pH normal, sekitar 40% dari total plasma kalsium terikat pada
serum albumin. Peningkatan pH seperti alkalosis meningkatkan pengikatan kalsium pada
albumin tetapi kadar kalsium terionisasi menurun . ( Roberts , 2004)
III. Penyebab
Hipoparatiroidisme (primer atau pembedahan diinduksi)
hypomagnesemia
hiperfosfatemia
Defesiensi vitamin D
penurunan asupan
sindrom malabsorpsi
protein malnutrisi
Penyakit hati parenkim
terapi antikonvulsan
sindrom nefrotik
gagal ginjal
pankreatitis akut
Luka bakar
Sepsis Gram-negatif
kemoterapi
Obat-obat tertentu: arninoglycosides, glukagon, fenobarbital, fenitoin
IV. Gejala
Hipokalsemia dapat meningkatkan produksi PTH dan aktivasi vitamin D dalam
upaya untuk mendapatkan kembali homeostasis. Peningkatan PTH meningkatkan
ekskresi fosfor pada ginjal, memobilisasi tulang, dan meningkatkan penyerapan kalsium
di saluran pencernaan melalui aktivasi vitamin D. Peningkatan ekskresi fosfor pada
ginjal akan menyebabkan penurunan kadar P serum, yang menggerakkan kalsium dari
ekstraselular keluar (Rhoda, 2011).
Tanda-tanda dan gejala hipokalsemia tergantung pada kecepatan dan tingkat
penurunan kalsium yang terionisasi. Sebagian dari tanda-tanda dan gejala yang jelas
adalah pada sistem kardiovaskular dan neuromuskuler dan termasuk parestesia,
iritabilitas, kejang, hipotensi, dan depresi miokard. Laringospasme dapat mengancam
nyawa (Hines et all, 2008).
V. Penatalaksanaan
Gejala akut hipokalsemia akan menyebabkan kejang, tetani, dan / atau depresi
kardiovaskular dan harus segera diobati dengan kalsium intravena. Lamanya
pengobatan akan tergantung pada pemeriksaan kalsium serial. Pengobatan
hipokalsemia dengan adanya hypomagnesemia tidak akan efektif kecuali magnesium
juga dikoreksi. Metabolik atau respiratori alkalosis harus diperbaiki. Jika metabolik atau
respiratori asidosis muncul bersamaan hipokalsemia, maka tingkat kalsium harus
dikoreksi sebelum respiratori asidosis dikoreksi karena mengoreksi asidosis dengan
bikarbonat atau hiperventilasi hanya akan memperburuk hipokalsemia tersebut.
Hipokalsemia kurang akut dan tanpa gejala dapat diobati dengan suplemen kalsium dan
vitamin D (Hines et all, 2008).
Pengobatan hipokalsemia tergantung pada tingkat kalsium dan adanya gejala.
Jika kadar serum Ca adalah> 7,5 mg / dL dan / atau ada tidak adanya gejala, asupan
makanan harus dioptimalkan Meskipun hipokalsemia sejati biasanya berhubungan
dengan diet sumber, pilihan pengobatan ini harus habis sebagai terapi lini pertama.
Gejala mulai berkembang sebagai tingkat turun di bawah 7,5 mg / dL. Dalam kasus ini,
suplementasi IV diperlukan. (Rhoda, 2011).
2.1.2.1 Hiperkalsemia
I. Etiologi
Hiperkalsemia (> 10,5 mg / dL) terjadi dari pengaturan katabolisme tulang,
mengakibatkan peningkatan pergerakan kalsium ke ECF. Hal ini dipicu oleh imobilisasi,
keganasan, dan hiperparatiroidisme primer, bersama dengan factor lain. Peningkatan
kadar kalsium akan menekan produksi PTH sehingga kalsium di skeletal berkurang.
Hypercalemia menargetkan kalsium berlebihan mengekskresi ke ginjal lewat urin untuk
mencegah keracunan kalsium (Rhoda, 2011).
Kondisi seperti iatrogenic overtreatrnent hipokalsemia, keganasan
/neoplasma, imobilitas, hypophosphatemia, hiperparatiroidisme, intoksikasi vitamin D,
penggunaan diuretik thiazide, dan hypophosphatasia akan meneyebabkan kalisum
dalam badan meningkat. Hal ini paling sering terlihat pada anak sakit kritis bersamaan
dengan hiponatremia dan hiperkalemia dan juga gagal ginjal kronis (Roberts, 2004).
II. Patofisiologi
Hiperkalsemia terjadi ketika kalsium masuknya ke dalam kompartemen ECF dan
meregulasi hormon kalsium (PTH dan vitamin D) dan mekanisme ekskresi ginjal .
Protein dan pH juga mempengaruhi tingkat kalsium. Peningkatan albumin juga
menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum. Penurunan pH seperti yang terlihat
dengan asidosis meningkatkan kalsium terionisasi. Dalam situasi ini, lebih banyak
kalsium bebas yang tersedia tanpa binding dengan protein untuk partisipasi dalam kimia
reaksi (Roberts, 2004).
III. Gejala
Hiperkalsemia dikaitkan dengan tanda-tanda neurologis dan gastrointestinal
contoh seperti gejala kebingungan, hypotonia, depresi refleks tendon dalam, lesu, sakit
perut, dan mual dan muntah terutama jika terjadi peningkatan kalsium serum relative
secara akut. Hiperkalsemia kronis sering dikaitkan dengan poliuria, hiperkalsiuria, dan
nefrolitiasis (Hines et all, 2008).
VI. Penatalaksanaan
Pengobatan hiperkalsemia menyababkan peningkatan ekskresi kalsium urin
dan menghambat penyerapan pada tulang dan penyerapan gastrointestinal lanjut .
Karena hiperkalsemia sering dikaitkan dengan hipovolemia sekunder untuk poliuria,
ekspansi volume dengan garam tidak hanya mengoreksi defisit cairan tetapi juga
meningkatkan ekskresi kalsium. Diuretik loop akan meningkatkan ekskresi natrium dan
kalsium. Kalsitonin, bifosfonat, atau mithramycin mungkin diperlukan dalam gangguan
yang berkaitan dengan resorpsi tulang osteoklastik. Hidrokortison dapat mengurangi
penyerapan kalsium dalam pencernaan penyakit granulomatosa, keracunan vitamin D,
limfoma, dan myeloma. Fosfat oral juga dapat diberikan untuk mengurangi penyerapan
gastrointestinal kalsium jika fungsi ginjal normal. Dialisis mungkin diperlukan untuk
hiperkalsemia mengancam jiwa. Operasi pengangkatan kelenjar paratiroid mungkin
diperlukan untuk mengobati hiperparatiroidisme primer atau sekunder (Hines et all,
2008).
Pengobatan hanya ditujukan untuk penyebab yang untuk penyimpanan
kalsium dalam tulang mendasari peningkatan mobilisasi tulang. Di samping itu, setelah
timbul gejala atau serum kalsium melebihi 12 mg / dL, perawatan akut diperlukan sepert
di jadwal bawah. Perawatan ini meliputi pembatasan diet, resusitasi cairan, dan
pengurangan obat yang mengandungi kalsium. Dalam kasus yang parah hiperkalsemia
(> 15 mg / dL dengan pemberian NS yang cepat dapat meningkat eksresi kalsium leat
ginjal Ini, diikuti dengan pemberian diuretik, dapat membantu menormalkan serum
2.2 Klorida
2.2.1 Fisiologi
Klorida adalah anion yang paling banyak ditemukan di kompartemen ECF. Peran
utamanya adalah sebagai penyangga dalam pemeliharaan keseimbangan asam-basa. Klorida,
dengan natrium, juga mempertahankan osmolalitas serum. Klorida bersaing dengan bikarbonat
untuk kation dalam kompartemen ECF untuk menetralitas cas listrik. Klorida tertarik dengan cas
bermuatan positif iaitu kation dan menyeimbangkan elektrolit bermuatan positif dalam
kompartemen ECF dengan bergabung menjadi natrium klorida (NACl), asam klorida (HCI),
kalium klorida (KCI), dan kalsium klorida '(CaCI2). Karena klorida biasanya dikombinasikan
dengan salah satu kation utama dalam tubuh maka perubahan kadar klorida serum biasanya
menunjukkan perubahan elektrolit lainnya sealalunya dengan terdapat gangguan
keseimbangan asam-basa (Roberts , 2004).
Ion klorida sangat terkonsentrasi di sekresi lambung dan keringat. Faktor-faktor
yang mempengaruhi ekskresi tersebut adalah gangguan asidosis dan alkalosis karena sebagai
tingkat serum bikarbonat berubah dari sekresi ion hidrogen, timbal balik perubahan dalam
serum klorida umumnya akan terjadi (Roberts , 2004).
I. Etiologi
Hypochloremia adalah defisit klorida dalam kompartemen ECF, yang terjadi ketika
kadar klorida serum di bawah 95 mEqlL. Penyebab paling umum dari hypochloremia
meliputi gangguan GI, gangguan fungsi ginjal, dan hilangnya klorida melalui keringat
berlebihan (Roberts , 2004).
II. Patofisiologi
Hypochloremia dapat terjadi degan adanya gangguan alkalosis metabolik.
Ketika kadar klorida menurun, kadar bikarbonat meningkat dalam upaya untuk menjaga
listrik netralitas kompartemen ECF. Jadi apabila klorida menurun, ginjal
mempertahankan ion bikarbonat ekstra untuk menyeimbangkan ion natrium. Hal ini
pada gilirannya menghasilkan sebuah hipokloremia alkalosis metabolik. Penyakit paru-
paru kronis (respiratori asidosis) juga dapat dikaitkan dengan hypochloremia. Hal ini
terjadi dari hasil kompensasi ginjal dan reabsorpsi bikarbonat, yang terjadi karena
kompensasi dari respiratori asidosis. Hypochloremia juga dapat terjadi saat hilangnya
klorida dari tubuh melebihi kehilangan natrium. Ini mungkin disebabkan oleh hilangnya
sekresi lambung berlebihan atau diare berkepanjangan atau sebagai konsekuensi dari
penggunaan berlebihan diuretik kuat. Hypochloremia dapat terjadi sebagai akibat dari
keterbatasan asupan klorida, salt restricted diet, dan berkeringat berlebihan, seperti
yang terlihat dengan anak demam (Roberts , 2004).
III. Gejala
Kehilangan natrium dan klorida, akan menemukan hiponatremia dan deficit cairan
dalam tubuh. Nilai laboratorium yang akan terganggu adalah serum klorida, serum
natrium, kadar bikarbonat dan pH. Karakteristik pola hypochloremia adalah serum
klorida menurun, penurunan serum natrium, dan peningkatan pH dan bikarbonat
(Roberts , 2004).
IV. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk hypochloremia primer termasuk mengobati penyebab
sementara dari menunggu koreksi gangguan elektrolit tersebut. Setelah penyebab
primer terkoreksi, gangguang elektrolit klorida biasanya dikoreksi melalui administrasi
natrium klorida, kalium klorida, atau amonium klorida. Tiga perempat dari
ketidakseimbangan ini sering dikoreksi dengan natrium klorida, dan sisanya yang
keempat diganti dengan kalium klorida. Amonium klorida digunakan sekiranya kadar
kalium tinggi . Larutan 0,9% natrium klorida digunakan untuk ketidakseimbangan klorida
yang benar (Roberts , 2004).
2.2.2.2 Hiperkloremia
I. Etiologi
Hyperchloremia adalah kelebihan klorida dalam kompartemen ECF dan
terjadi ketika kadar klorida serum melebihi 108 mEqlL. Penyebab hyperchloremia
termasuk asupan klorida yang berlebih, biasanya berhubungan dengan penggunaan
obat, dan kondisi yang menyebabkan metabolic asidosis dengan kehilangan berlebihan
ion bikarbonat, seperti diare, gagal ginjal, dan administrasi solusi saline isotonik yang
berlebihan (Roberts , 2004).
II. Patofisiologi
Hyperchloremia dapat terjadi dari proses metabolik asidosis. Metabolik
asidosis terjadi karena hasil dari penurunan bikarbonat sehingga menyebabkan kadar
klorida meningkat. Hyperchloremia mungkin juga bisa terjadi dari kelebihan kadar ion
klorida yang dikosumsi atau tertahan dalam tubuh. Kelebihan asupan klorida
menyebabkan ion bikarbonat akan dibuang dalam tubulus ginjal, sehingga kadar
bikarbonat dalam darah berkurang. Kelebihan kadar klorida juga terjadi sebagai akibat
dari pemberian kortison, yang menyebabkan retensi natrium yang mengakibatkan
hilangnya ion bikarbonat seperti diare berat, cedera kepala dan retensi natrium, dan
gagal ginjal akut (Roberts , 2004).
III. Gejala
Ketika klorida didalam tubuh lebih tinggi yang terjadi secara langsung dengan
natrium berlebihan, maka tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan volume
deficit mendominsa atau hipernatremia terjadi . (Roberts , 2004).
IV. Penatalaksanaan
Pengobatan atau koreksi dari hyperchloremia meliputi identifikasi penyebab
dasar dan koreksi gangguan asam-basa , elektrolit dan ketidakseimbangan cairan.
Cairan (baik oral atau IV) dapat digunakan untuk mencairkan kelebihan klorida. Dalam
kegawatan darurat, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengoreksi metabolik
asidosis. Diuretik mungkin digunakan untuk mengeksresi klorida, serta natrium yang
berlebihan (Roberts , 2004).
DAFTAR PUSTAKA
1. Hines & Marschall, 2008. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, fifth
edition.Churchill Livingstone Elsevier. Chapter 15.
2. Kathryn E. Roberts , 2004. Fluid and Electrolyte Regulation ,Edisi ke-3.Bab 11
3. Kristen M. Rhoda, 2011 .Fluid and Electrolyte Management : Putting a Plan in Motion JPEN
J Parenter Enteral Nutr 35: 675
4. Marino, Paul L., 2007. The ICU book, third edition. Lippincott Williams and Wilkins. Chapter 33.
5. Morgan Jr., G. Edward, Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th
edition. McGraw-Hill companies. Chapter 28.