Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ABDOMINAL COMPARTMENT SYNDROME

A. Definisi
Abdominal Compartement Syndrome (ACS) adalah kondisi
disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi abdomen yang
memerlukan intervensi bedah dengan laparatomi. Sebagian besar setuju
bahwa tekana perut intra > 25 mmHg, ACS merusak aliran balik vena dan
menurunkan curah jantung, kerusakan organ akhir telah dijelaskan dengan
1AP AS10 serendah mmHg. ACS merusak kardiovaskuler, paru, ginjal,
dinding perut, dan gangguan intrakranial dari pneingkatan 1AP terlepas dari
penyebabnya. Hanya 40% dari pasien dengan ini parah dari pengingkatan
Pressure intra abdominal (Jean Louis Vincent, 2009).
Sindrom kompartemen abdomen muncul bila disfungsi organ
terjado sebagai hasil dari hipertensi intra abdomen. Sindrom ini
didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdominal
lebih dar 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg
dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan organ. Tekanan intra
abdmoen normalnya antara 0-5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis
normal 1AP dapat mencapai antara 5-7 mmHg.
Sindrom kompartemen abdominal (ACS) adalah suatu kondisi yang
sangat berpotensi akan terjadinyanya kematian, hal ini dapat diakibatkan
oleh beberapa kasus yang menyebabkan hipertensi intra-abdominal,
penyebab tersering adalah trauma tumpul abdominal. Peningkatan tekanan
intra-abdominal menyebabkan hipoperfusi dan iskemik usus besar dan
selaput perut lainnya. Efek patologis termasuk pelepasan sitokin, oksigen
radikal bebas dan penurunan produksi sel (adenosine triphosphat). Proses
ini memungkinkan terjadinya translokasi bakteri yang berasal dari usus dan
edema usus besar yang merupakan faktor pencetus terjadinya sindrom
disfungsi organ pada pasien. Konsekuensi dari sindrom kompartemen
abdomen sangat besar dan mempenaruhi banyak sistem vital tubuh.

1
Hemodinamika, respirasi, renal dan abbnormalitas neurologi adalah bagian-
bagian yang dipengaruhi sindrom kompartemen abdomen. Penatalaksanaan
medis berupa laparatomi. Asuhan keperawatan berupa keterlibatan perawat
terhadap monitoring kondisi klien termasuk ukuran tekanan intra-
abdominal (Richard Paula, 2015).

B. Anatomi Fisiologi Abdomen


Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh.Bentuknya lonjong
dan meluas dari atas dari drafragma sampai pelvis di bawah.Rongga
abdomen dilukiskan menjadi dua bagian, abdomen yang sebenarnya yaitu
rongga sebelah atas dan yang lebih besar dari pelvis yaitu rongga sebelah
bawah dan lebih kecil. Batas-batas rongga abdomen adalah di bagian atas
diafragma, di bagian bawah pintu masuk panggul dari panggul besar, di
depan dan di kedua sisi otot-otot abdominal, tulang-tulang illiaka dan iga-
iga sebelah bawah, di bagian belakang tulang punggung dan otot psoas dan
quadratus lumborum. Rongga Abdomen dan Pelvis:

Rongga perut dan panggul (Pearce, 1999)


Keterangan :
1. Hipokondria kanan
2. Epigastrik

2
3. Hiponkondria kiri
4. Lumbal kanan
5. Pusar (Umbilikal)
6. Lumbal kiri
7. Ilium kanan
8. Hipogastrik
9. Ilium kiri
Isi dari rongga perut sebagian besar saluran pencernaan, yaitu
lambung, usus halus, dan usus besar.

1. Lambung
Lambung terletak di sebelah atas kiri abdomen, Fundus lambung,
mencapai ketinggian ruang interkostal (antar iga) kelima kiri.
Corpus, bagian terbesar letak di tengah. Pylorus, suatu kanalis yang
menghubungkan corpus dengan duodenum Fungsi lambung :
a. Tempat penyimpanan makanan sementara.
b. Melunakkan makanan.
c. Mencampurkan makanan.
d. Mendorong makanan ke distal.
e. Protein diubah menjadi pepton.
f. Faktor antianemi dibentuk.
2. Usus Halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah
meter panjang dalam keadaan hidup. Usus halus memanjang dari
lambung sampai katup ibo kolika tempat bersambung dengan usus besar.
Usus halus terletak di daerah umbilicus dan dikelilingi usus besar.Fungsi
usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi khime dari lambung isi
duodenum adalah alkali. Usus halus dapat dibagi menjadi beberapa
bagian :
a. Duodenum : bagian pertama usus halus yang panjangnya 25cm.
b. Jejenum : menempati dua per lima sebelah atas dari usus halus

3
c. Ileum : menempati tiga pertama akhir
3. Usus Besar
Usus besar Usus besar adalah sambungan dari usus halus dan
dimulai dari katup ileokdik yaitu tempat sisa makanan.Panjang usus
besar kira-kira satu setengah meter. Fungsi usus besar adalah :
a. Absorpsi air, garam dan glukosa
b. Sekresi musin oleh kelenjer di dalam lapisan dalam.
c. Penyiapan selulosa.
d. Defekasi (pembuangan air besar)
4. Hati
Hati adalah kelenjer terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian
teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma
Fungsi hati adalah: Bersangkutan dengan metabolisme tubuh, khususnya
mengenai pengaruhnya atas makanan dan darah.
Hati merupakan pabrik kimia terbesar dalam
tubuh/sebagai pengantar matabolisme.
a. Hati mengubah zat buangan dan bahan racun.
b. Hati juga mengubah asam amino menjadi glukosa.
c. Hati membentuk sel darah merah pada masa hidup janin.
d. Hati sebagai penghancur sel darah merah.
e. Membuat sebagian besar dari protein plasma.
f. Membersihkan bilirubin dari darah
5. Kandung Empedu
Kandung Empedu adalah sebuah kantong berbentuk terong dan
merupakan membran berotot.Letaknya di dalam sebuah lekukan di
sebelah permukaan bawah hati, sampai di pinggiran depannya.Kandung
empedu terbagi dalam sebuah fundus, badan dan leher.
6. Pankreas
Pankreas Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan, strukturnya
sangat mirip dengan kelenjar ludah. Panjangnya kurang lebih lima belas
centimeter. Fungsi pankreas adalah :

4
a. Fungsi exokrine dilaksanakan oleh sel sekretori lobulanya, yang
membentuk getah pankreas dan yang berisi enzim dan elektrolit.
b. Fungsi endokrine terbesar diantara alvedi pankreas terdapat
kelompok-kelompok kecil sel epitelium yang jelas terpisah dan
nyata.
c. Menghasilkan hormon insulin yang mengubah gula darah menjadi
gula otot.
7. Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah
lumbal di sebelah kanan dari kiri tulang belakang, di belakang
peritoneum.Panjang ginjal 6 sampai 7½ centimeter.Pada orang dewasa
berat kira-kira 140 gram. Ginjal terbagi menjadi beberapa lobus yaitu :
lobus hepatis dexter, lobus quadratus, lobus caudatus, lobus sinistra.
Fungsi ginjal adalah :
a. Mengatur keseimbangan air.
b. Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan
asam basa darah.
c. Ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam.
8. Limpa
Limpa Terletak di regio hipokondrium kiri di dalam cavum abdomen
diantara fundus ventrikuli dan diafragma. Limpa dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu :
Dua kutub yaitu ekstremitas superior dan inferior.
Dua margo yaitu margo anterior dan posterior.
Fungsi limpa adalah :
a. Pada masa janin dan setelah lahir adalah penghasil eritrosit dan
limposit.
b. Setelah dewasa adalah penghancur eritrosit tua dan pembentuk
homoglobin dan zat besi bebas.

5
C. Klasifikasi
1. ACS Primer
Biasanya terjadi pada keadaan cedera dan berawal dari perdarahan
serta edema viseral yang sering memerlukan penanganan bedah atau
intervensi radiologis intervensional. Penyebab utamanya yaitu trauma
penetrasi, perdarahan intraperitoneal, pankreatitis, fraktur panggul dll.
Contohnya trauma yaitu peritonitis, ileus, dan perdarahan.
2. ACS Sekunder
Sindrom kompartemen sekunder dapat terjadi pada pasien tanpa
cedera intra-abdomen, ketika cairan menumpuk dalam volume yang
cukup menyebabkan 1AH. Terdiri dari tekanan tinggi dan disfungsi
organ yang disebabkan oleh edema dan resusitasi. ACS sekunder
umumnya meningkat pada periode awal terapi langsung untuk
penanganan resusitasi sepsis. Penyebab meliputi : penetrasi atau trauma
tumpul tanpa cedera diidentifikasi pascaoperasi, packing dan pentupan
fasia primer, yang meningkatkan insiden keracunan darah dll.
3. ACS Rekuren (ACS Tersier)
Menunjukkan bahwa ACS terjadi berulang setelah penangan medis
awal atau pembedahan sindrom kompartemen sekunder. Hal yang umum
terjadi pada edema organ yaitu iskemia jaringa. Tingkat kematian sangat
tinggi. Penyebab sindrom kompartemen perut meliputi : dialisis
peritoneal, obesitas, sirosis, sindrom meigs, massa intra-abdomen.
Menurut sugrue (2005) berdasarkan penyebabnya, ACS dibagi
menjadi 3 yaitu
a. Primer atau ACS akut
Jika patologi intra abdominal terjadi secara langsung dibagian
proksimal. Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit
diregion pelvis abdomen yang sering memerluka penangan bedah
atau intervensi radiologi interversonal. Kondisi yang berkembang
setelah operasi perut (seperti perut cedera prgan yang membutuhkan
perbaikan atau kerusakan kontrol pembedahan, peritonitis sekunder,

6
perdarahan patah tulang, panggul, atau penyebab lainnya hematoma
retroperitoneal besar, transplantasi hati).
b. ACS Sekunder
Jika tidak terdapat luka intra abdominal, tetapi diluar abdominal yang
dikarenakan akumulasi cairan seperti sepsis dan kebocoran kapiler,
luka bakar, dan kondisi lain yang membutuhkan resusitasi cairan
besar.
c. ACS Kronik
Jika disebabkan oleh sirosis dan asites (biasanya pada stadium lanjut
ACS). Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah
sebelumnya atau terap medis pada primer atau sekunder.

D. Etiologi,
Sindrom kompartemen abdomen terjadi ketika IAP terlalu tinggi,
mirip dengan kompartemen sindrom di ekstremitas. 3 jenis sindrom
kompartemen abdomen (primer, sekunder, dan kronis) memiliki penyebab
yang berbeda dan kadang-kadang tumpang tindih.
1. Primary ACS
Penyebab utama (yaitu, akut) sindrom kompartemen abdominal
adalah sebagai berikut:
a. Trauma Penetrasi
b. Perdarahan intraperitoneal
c. Pankreatitis
d. Tabrakan kendaraan bermotor atau setelah ledakan struktur besar
e. Fraktur panggul
f. Pecahnya aneurisma aorta abdominal
g. Ulkus peptikum perforasi
2. ACS sekunder
Sekunder sindrom kompartemen abdominal dapat terjadi pada
pasien tanpa cedera intra-abdominal, ketika cairan menumpuk dalam
volume yang cukup untuk menyebabkan IAH. Penyebab meliputi:

7
a. Besar volume resusitasi: literatur menunjukkan peningkatan
signifikan risiko dengan infus lebih dari 3 L.
b. Daerah besar ketebalan penuh luka bakar: Hobson et al
menunjukkan sindrom kompartemen abdominal dalam waktu 24 jam
pada pasien luka bakar yang telah menerima rata-rata 237 mL / kg
selama 12 jam.
c. Menembus atau trauma tumpul tanpa cedera diidentifikasi.
d. Pascaoperasi
e. Packing dan penutupan fasia primer, yang meningkatkan insiden.
f. Keracunan darah
Sebuah penelitian retrospektif melaporkan faktor risiko langsung
berhubungan dengan kematian pada pasien dengan baik hipertensi intra-
abdominal dan ACS. Polytransfusion adalah prediktor kuat kematian,
bersama dengan sejarah dilaporkan diabetes dan jumlah total produk
darah yang digunakan.
ACS sekunder paa pasien dengan ekstremitas bawah cedera vaskular
dari pnentrasi cedera atau trauma tumpul dikaitkan dengan kematian 60%
dalam satu penelitian (Macedo FI, 2015).
3. Kronis
Penyebab sindrom kompartemen abdomen kronis meliputi berikut ini:
a. Obesitas morbid
b. Sirosis
c. Sindrom Meigs
d. Massa intra-abdomen

E. Manifestasi Klinis
Manisfetasi ACS menurut (Paula Richard MD, 2013).
a. Distensi abdmen yng berat
b. Penuruna output urin (kurang dari 0.5 ml/kgBB/Jam)
c. Peningkatan tekanan puncak inspirasi (>40 mmHg).
d. Prenuruna transfor O2

8
e. Ggangguan kardiovaskuler dan ditandai dengan peningkatan vena
central (CVP)
f. Gagal nafas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal
yang berkurang.
g. Penurunan curah jantung
h. Tekanan darah yang labil
i. pH rendah yang menetap
j. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
k. Tekanan intra abdomen yang meningkat (>40 mmHg).

F. Insiden dan Faktor Risiko Kompartemen Syndrom Abdome


Abdominal compartement syndrome Belum jelas namun total
populasi yang di diagnosis dengan ACS semakin meningkat. Ini termasuk
pasien - pasien dengan luka tusuk dan luka tumpul terbuka, ruptur
aneurysma aorta abdomen, perdarahan retroperitoneal, pneumo peritoneum,
neoplasma pankreatitis, asites yang
masif dan transplantasi hepar. Resusitasi cairan yang masif, akumulasi dar
ah dan pembekuan edema usus dan penutupan secara paksa pada
dinding abdomen yang tidak komplians adalah faktor-faktor yang bisa
menyebabkan ACS. Tambahan pula, jaringan parut luka bakar disekeliling
abdomen cenderung terjadinya kompresi dinding abdomen yang
menyebabkan peningkatan pada tekanan intra-abdominal.
Selain itu faktor yang sering terjadinya ACS adalah pada pasien
yang dalam proses penyembuhan luka jaringan akibat laparotomi, terutama
bila ada kasa atau pack yang intra-abdominal. Dalam penelitian yang
dijalankan telah didapatkan sebanyak 14 % dari 145 orang pasien berisiko
tinggi terkena ACS. Pasien yang
mengalami ACS akibat dari ruptur aneurysma aorta abdomen dilaporkan
sebanyak 4%.

9
G. Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut
dapat menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi,
seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal.
Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan
hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan
perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah
penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen. pembedahan perut
dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan
tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus sebagai akibat dari syok
hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab
penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS
pada pasien trauma.
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system syaraf
simpatik mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan
saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak.
Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus.
Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan
kompensasi positif yang mencirikan pathogenesis hipertensi intra-
abdomendan perkembangannya menjadi ACS :
1. Pelepasan sitokinin
2. Pembentukan oksigen radikal bebas
3. Penurunan produksi adenosine trifosfat pada sel

Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka


sitokinin dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengarah pada terjadinya edema.
Setelah seluler mengalami reperfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen
ini memiliki efek toksik pada membran sel yang kondisinya diperparah oleh
adanya sitokinin, yang merangsang pelepasan radikal lebih banyak lagi.
Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami
keterbatasan produksi adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari

10
adenosine triphosphat ini tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard,
2009).

Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi


pompa sangat penting untuk peraturan intraseluler elektrolit. Ketika pompa
gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam sel inflamasi (peradangan).
Inflamasi dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari
kebocoran kapiler, dan jaringan di usus semakin membengkak akibat dari
semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi
usus terganggu, hipoksia seluler, kematian sel, peradangan, edema terus
berlanjut. (Pleva Mayzlík, J. 2004).

Jadi, pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan


vasokonstriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen.
Apabila tekanan intra-abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan
terjadinya penurunan perfusi jaringan dan akhirnya terjadi edema yang juga
dapat memperparah peningkatan tekanan intra-abdomen. Meningkatnya
tekanan intra-abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan kompartement
sindrom abdominal.

Patofisiologi dampak ACS pada berbagai sistem organ :

1. Disfungsi Ginjal
Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek
klasik IAH/ACS pada system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria
dengan IAP yang meningkat. IAP 15±20 mmHg dapat terjadi oliguria,
sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi anuria. Mekanisme
terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak faktor. ACS membuat
gangguan pada kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung
sehingga menurunkan aliran arteri ginjal, meningkatkan resistensi
vaskular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus dan kompresi vena
ginjal.
2. Disfungsi Paru

11
Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians
paru mengalami resultan reduksi progresif pada kapasitas total paru,
kapasitas residu fungsional dan volume residu. Ini ditunjukkan secara
klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini
ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi
selanjutnya akibat hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP.
Resistensi vascular paru meningkat sebagai hasil dari pengurangan
tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak.
Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan
hipoksia, hiperkapnia dan peningkatan tekanan ventilasi.
3. Disfungsi jantung
Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan
curah jantung.Ini ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan
jurah jantung merupakanhasil dari penurunan alur balik vena jantung dari
kompresi langsung pada venacava dan vena porta. Peningkatan tekanan
intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan
inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus
cavum diafragma. Ini berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba
antara abdomen dan rongga dada. Peningkatan tekanan intra-thorak
menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume akhir
diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek
gabungan vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan
ini membuat stroke volume berkurang dimana hanya satu-satunya yang
dikompensasi dengan meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas.
Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan curah
jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan
ini terjadi eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia. Perubahan
hemodinamik signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
4. Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi
mikro berhubungan dengan IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya

12
meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q konstan dan tekanan arteri
rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena porta
menurun hingga 35% dan aliran sirkulasimikro hepatic berkurang hingga
29% dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi
mikro hepatik yang sama juga terjadi pada pasien dengan kolesistektomi
per laparoskopi. Pasien dengan trauma kemungkinan meningkat resiko
sekunder terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral yang
terjadiselama syok.
5. Disfungsi Splaknik
Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava
inferior, efek predominan dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi
splaknik. Hipoperfusi splaknik dapat terlihat pada IAP 15 mmHg dengan
laporan kasus iskemia intestinal yang memerlukan intervensi operatif
setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumo
peritonium. Bagaimanapun aliran darah arteri mesenterikum, mukosa
usus, dan vena porta telah menurun dengan peningkatan IAP. Ini dapat
diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster yang
mengindikasikan penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi
menunjukkan bahwa penurunan perfusi gaster disimpulkan dengan
penurunan pHi gaster yang berkurang lebih awal dari tanda-tanda ACS
(oliguria, tekanan puncak inspirasi meningkat). Penurunan perfusi
gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang
meningkat juga menunjukkan tekanan vena porta yang meningkat. Ini
kemungkinan salah satu factor kontribusi pada patofisiologi
varises esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya IAP
hingga 10 mmHg menghasilkan peningkatan tekanan varises, volume,
radius dan ketegangan dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi
splaknik dan cedera reperfusi ditunjukkan dengan produksi sitokin dari
usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi septic dan atau
sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dan kegagalan organ multipel.
6. Disfungsi system saraf pusat

13
Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat,
terdapathubungan erat antara IAH dan ICP yang meningkat dengan
reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan pada dua hewan percobaan.
Ini akibat mekanismepeningkatan tekanan intrathora dimana dihasilkan
dari IAH, elevasi media padadiafragma. Peningkatan tekanan intra-
thorak meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS
secara klinis dan ICP yang meningkat telahterkoreksi ICP dengan
laparotomi dekompresi. Dengan demikian pemantauan IAPdisarankan
pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen atau curiga
IAHdengan pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP.

H. Pemeriksaan Penunjang Kompartemen sindrom Abdominal


Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, antara lain :
1. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diag
nosis banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile (CMP)
b. Hitung sel darah lengkap
c. Kreatinin fosfokinasi dan urin myoglobulin
d. Serum myoglobulin
e. Toksilogi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi
tidak membantu dalam menentukan terapi pasien.
f. Urin awal : bila ditemukan myoglobulin pada urin, hal ini dapat
mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.
g. Protombin time (PT) dan actived partial thrombhoplastin time
(aPTTT)
2. Radiografi
a. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam
mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal.

14
b. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun
1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien
dengan sindrom kompartemen abdominal :
1) Round-belly sign – distensi abdomen dengan rasio diameter
abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio
>0.80; P<0.001).
2) Kolaps vena kava
3) Penebalan dinding usus dengan enhancement
4) Hernia inguinal bilateral
5) USG Abdomen
6) Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
7) Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan
3. Imaging
a. Rotgen pada ekstremitas yang terkena
b. USG : untuk membantu mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT).
4. Pemeriksaan Lainnya
a. Pengukuran kompartemen

b. Pulse Oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi
ekstremitas namun tidak cukup sensitif.

I. Penatalaksanaan Medis
Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:
a. Grade I : IAP 12 – 15 mmHg
b. Grade II : IAP 16 – 20 mmHg

15
c. Grade III : IAP 21 – 25 mmHg
d. Grade IV : IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis
dan pemeriksaan klinis adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur IAP, yakni dengan
cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis peritoneal atau
laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan
intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode
ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh
dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha
untuk melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan hasil
pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir
pada posisi supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen.
Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang
cukup tepat untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan
intra peritoneal direfleksikan pada tekanan intravesika. Validasi metode ini
menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik dengan tekanan
intraperitoneal. (Iberti, 1997).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan
peningkatan IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ
bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat
meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH
secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan
tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien
dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan
dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut
dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera
intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus
dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini

16
sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah
antara 20 hingga 25 mmHg.
1. Sistem grade kompartemen abdominal
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I. 10–15 Pertahankan normovolemik
II. 16–25 Resusitasi Hipervolemik
III. 26–35 Dekompresi
IV. >35 Dekompresi dan re-eksplorasi

Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :

a. Memperbaiki komplians dinding abdomen


1) Sedasi dan analgesik
2) Blokade neuromuskular
3) Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
b. Evakuasi isi intra-lumen
1) Dekompresi nasogaster
2) Dekompresi rektum
3) Agent gastro-/colo-prokinetik
c. Evakuasi kumpulan cairan abdominal
1) Parasentesis
2) Drainase perkutan
d. Koreksi keseimbangan cairan positif
1) Hindari resusitasi cairan berlebih
2) Diuretik
3) Koloid / cairan hipertonik
4) Hemodialisis / ultrafiltrasi
e. Organ Pendukung
1) Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
2) Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
3) Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
4) Pplattm = Pplat – IAP

17
5) Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
6) Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
7) PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
8) CVPtm = CVP - 0.5 * IAP

Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari


lima intervensi terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat
terapi :

a. Evakuasi isi intralumen


1) Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen.
2) Memperbaiki komplians dinding abdomen
3) Optimalkan kebutuhan cairan
4) Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik
b. Manajemen pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam
penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen
sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak
digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat
peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC
sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan
mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah
laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang
dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.
c. Temporary abdominal closure
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat
digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat adalah apakah
menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka.
Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat
rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai
bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan.
Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid

18
(Vicryl™), polypropylene (Marlex™), atau polytetrafluoroethylene
(PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat
burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena (“Bogotá bag”),
kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup
atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit
kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan
ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape™ or Steri
Drape™). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia,
mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika
penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan
terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti
tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga
sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi
dinding abdomen anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus.
Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat
(Vidrape ™ atau tirai Steri ™) yang menempel pada dinding perut dan
mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan
kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke
usus meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal
ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan
atau perdarahan.
d. Permanent abdominal closure
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia,
hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya
tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode
penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat
dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding
perut tertunda rekonstruksi. Setelah mobilisasi signifikan cairan,

19
dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan.
Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk
reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan
(sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua
minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke
jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan
ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup
dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut
rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial
bilateral kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa
sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps
kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah
perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi
dengan nonabsorbable mesh.

Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat


faktor resiko terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang
baru atau progresif. Bila dua atau lebih faktor resiko dijumpai,
pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran
IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut. Pengukuran IAP terdiri
dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung
(sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko
thrombosis dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi
berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi buli merupakan
kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP
adalah dengan tekanan buli-buli. Untuk mengukur tekanan buli-buli,
suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley kateter melalui lubang
aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin letak distal dari
lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong urin ke Foley
kateter; lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian

20
klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke kantong drain melalui
lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser
menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam
posisitelentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter
melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan
tekanan sebagai ganti transduser.

J. Komplikasi
Jika kompartemen sindrom tidak mendapatkan penanganan dengan
segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain (Irga, 2008) :
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

21
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Lakukan pengkajian identits biodata klien yang meliputi nama,
umur, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian, no registrasi, dan diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Klien dengan abdominal kompartement syndrome mengalami
keluhan utama mengeluh adanya distensi abdomen dan nyeri abdomen
bawah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini dari awal gejala muncul
dan penangan yang telah dilakukan saat pengkajian.
Riwayat kesehatan sekarang keluhan yang muncul adalah perut membe
sar distensi abdomen yang berat, gagal napas, sesak nafas, oliguria yang
tidak respon terhadap terapi konvensional keadaan tersebut terjadi
setelah adanya
kondisi pembedahan abdomen, trauma mayor seperti luka bakar,
gastroparesis, pseudo obtruksi kolon, pankreatitis, oliguria, sepsis, dll.
4. Penyakit Kesehatan Terdahulu
Penyakit yang pernah dialami oleh pasien sebelum masuk rumah
sakit,kemungkinan pasien pernah menderita penyakit sebelumnya,
seperti obstruksi mekanis usus halus, trauma tumpul pada perut karena
kecelakaan, pembesaran abdomen dan hipertensi intra abdomen,
Trauma Penetrating, Perdarahan intraperitoneal, Pankreatitis, fraktur
panggul, dll.
5. Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang memiliki gejala penyakit
yang sama seperti pasien.
6. Pemeriksaan Fisik

22
a. B1 (Breath) : Peningkatan tekanan intra-abdominal yang
mengangu/menekan dinding dada dan diafragma. Sebagai akibat dari
itu, total kapasitas paru, kapasitas fungsional residual dan volume
residual berkurang. Tekanan intra-torasik dan udara meningkat secara
drastic. Penurunan fungsi paru dan peningkatan resisten pada vascular
paru mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia. Peningkatan tekanan
udara secara tidak terkontrol mengakibatkan baro trauma selama
ventilasi mekanik dan menyebabkan terjadinya Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Peningkan tekanan intra-torasik
menurunkan tekanan arus kembali vena ke jantung dan terjadi
ganguan hemodinamik.
b. B2 (Blood) : Peningkatan tingkat intra-abdominal dapat menyebabkan
kompresi pada vena dimana terjadi penurunan aliran balik vena yang
menyebabkan pengisian jantung menurun mngakibatkan cardiac
output meurun dan berlangsung menjadi hipotensi dan takikardi.
Cardiac outup menurun walaupun tekanan vena central meningkat.
Tekanan di arteri plumonal dan resistensi vaskuler sistematik juga
turut meningkat menyebabkan kesulitan dalam mengukur dan
mengintersipasi kedaan hemodinamik
c. B3 (Brain) : Sistem saraf pusat juga bisa tergangu terutama pasien
dengan trauma capitis. Peningkatan tekanan intra-abdominal dan
intra-torasik menyebabkan ganguan pada drainase vene cerebal. Hal
ini akan berlangsung menjadi peningkatan tekanan intra cranial dan
edema intra cerebal.
d. B4 (bladder) : Penurunan drastic pada pengeluaran urine adalah tanda-
tanda seseorang ada ACS . Ganguan pada ginjal juga bisa terkena pada
pre-renal. Daya flirasi glomerulus berkurang sehubungan dengan
peningkatan tekanan intra-abdominal. Selain itu peningkatan tekanan
intra-abdominal juga bisa menyebabkan komperesi terhadap vena dan
parenkim ginjal serta peningkatan resisten vaskuler vena ginjal. Oleh

23
itu penurunan cardiac outup mengakibatkan penuran aliran darah
ginjal dan flitrasi glomerulus sehingga menjadi oligounia dan anunia.
e. B5 (Bowel) : Pada gastro intestinal, efek dari peningkatan tekanan
intra-abdominal adalah skemik usus. Penelitian telah terbukti karena
terjadi peningkatan premeabilitas dinding usus dan translokasi
bacteria, respons sistem inflamatori dan sepis serta gagal sistem
organ-organ.
f. B6 (Bone) : Lemah,turgor jelek

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen
yang mengakibatkan iskemik jaringan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang
mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi
diafragma)
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kompresi pada vena balik.
4. Gangguan perfusi serebri berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke
otak
5. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
6. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan
menurun akibat adanya mual dan muntah.

C. Intervensi
No Diagnosa NIC NOC

1 Nyeri Akut  Pain Level 1. Lakukan pengkajian nyeri


 Pain Control secara komperhensif
 Comfort Level termaksud lokasi,
Batasan Karateristik : karakteristik,
1. Mampu mengontrol nyeri durasi,frekuensi, kualias dan
(tahu penyebab nyeri, faktor presiptasi
mampu menngunak teknik

24
nonfarmakologi untuk 2. Oobservasi reaksi dari
mengurangi nyeri, mencari ketidaknyamanan
bantuan) 3. Kontrol lingkungan yang
2. Melaporkan bahwa nyeri dapat mempengaruhi nyeri
berkurang dengan seperti suhu ruangan,
mengunakan manajemen pencahyaan dan kebisingan
nyeri 4. Aajarkan tentang teknik non
3. Menyatakan rasa nyaman farmakologi tarik nafas
setelah nyeri berkurang. dalam, relaksasi dan distraksi
5. Kolaborasi pemberian
analgetik
6. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali

2 Ketidakefektifan  Respyratoty Status : 1. Pertahankan jalan nafas yang


pola nafas Ventilation paten
 Respiratory status : Airway 2. Posisikan pasien untuk
patency memaksimalkan ventilasi
Batasan Karakteristik : 3. Auskultasi suara nafas, catat
1. Menunjukkan jalan nafas adanya suara tambahan
yang paten (klien tidak 4. Buka jalan nafas, gunakan
merasa tercekik, irama teknik chin lift atau jaw thrust
nafas, frekuensi bila perlu
pernapasan dalam rentang 5. Identifikasikan pasien
normal, tidak ada suara perlunya pemasangan alat
nafas abnormal jalan nafas buatan
2. mendemonstrasikan batuk 6. Lakukan fisioterapi dada jika
efektif dan suara nafas perlu
yang bersih, tidak ada 7. Keluarkan secret dengan
sianosis dan dyspneu batuk atau suction
(mampu mengeluarkan 8. Observasi adanya tanda-tanda
sputum, mampu bernafas hipoventilasi

25
dengan mudah, tidak ada 9. Observasi tanda-tanda vital
pursed lips)
3. TTV dalam rentang
normal
3 Penurunan  Cardiac pump: Cardiac care
curah jantung effectiveness 7. Evaluasi adanya nyeri dada.
 Circulation status 8. Catatat adanya distrimia
 Vital sign status jantung
Kriteria hasil: 9. Catat adanya tanda dan gejala
1. Tanda vital dalam rentang penurunan cardiac output
normal 10. Monitor status kardiovaskuler
2. Tidak ada edema paru, 11. Monitor abdomen sebagai
perifer, dan tidak ada asites. indicator penurunan perfusi
3. Tidak ada penurunan 12. Monitor balance cairan
kesadaran 13. Monitor adanya perubahan
tekanan darah
14. Atur periode latihan untuk
menghindari kelelahan
15. Anjurkan untuk menurunkan
stress
Vital sign monitoring
1. Monitor TTV
2. Monitor frekuensi dan irama
jantung
3. Monitor sianosis perifer
4. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign.
4 Resiko  Circulation status 1. Monitor daerah tertentu yang
ketidakefektifan  Tissue prefesion serebral hanya peka terhadap
perfusi jaringan Batasan karakteristik panas/dingin/tajam/tump
otak 1. Mendemonstrasikan status 2. Monitor adanya paretese
sirkulasi yang ditandai 3. Catat status neurologi secara
teratur dan pantau tanda-tanda

26
dengan : TTV normal, GCS peningkatan TIK (Nyeri
normal kepala, muntah proyektil,
2. Tekanan systole dan penurusan kesadaran,
diastole dalam rentang yang papiledema, gelisah,
di harapkan parastese)
3. Tidak ada tanda-tanda 4. Observasi tanda-tanda vital
peningkatan tekanan
intrakarnial (tidak lebih dari
15 mmHg)
4. Menunjukan fungsi sensori
motori carnial yang utuh :
tinngkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan involunter

5 Ganguan  Urinary elimination Urinary Retention Care


Eleminasi Urin  Urinary continuence 1. Lakukan pengkajian kemih
Batasan Karaktristik yang komperhensif berfokus
1. Tidak ada residu urine pada inkontinensia (mis.,
>100-200 cc output,urine pola berkemih
2. Intake cairan rentang kemih, fungsi kognitif, dan
normal masalah kencing preasisten)
3. Tidak ada spasme bladder 2. Memantau penggunaan obat
4. Balance cairan seimbang dengan sifat antiikolinergik
5. Tidak ada tanda-tanda ISK atau property alpha agnosi
3. Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan
palpasi atau perkusi
4. Menerapkan kateterisasi
intermiten, sesuai
5. Menunjukan ke spialis
kotinensiia kemih, sesuai

27
6 Ketidakseimban  Nutritional Status : 1. Kaji adanya penurunan BB
gan nutrsis Adequacy of nutrient 2. Berikan informasi tentang
kurang dari  Nutritional Status : food kebutuhan nutrisi
kebutuhan and fluid 3. Monitor jumlah nutrisi dan
tubuh  Wieght Control kandungan kalori
Batasan Karakteristik : 4. Kaji makanan yang disukai
1. Adanya peningkatan BB 5. Berikan makanan yang
sesuai tujuan disukai
2. Tidak ada tanda-tanda 6. Kaji kemampuan pasien
malnutrisi untuk mendapaatkan nutrisi
3. Mampu mengidentifikasi yang di butuhkan
kebutuhan nutrisi 7. kaloborasi dengan ahli gizi
4. Tidak terjadi penurunan BB untuk menentukan jumlah
yang berarti kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
8. Yakinkan diet yang di makan
mengandung tinggi serat
untuk mencegah konstipasi

28

Anda mungkin juga menyukai