0leh:
ANDI ARMA ZUHRIANA (191051404058)
membacanya. Hal dikernakan siswa tersebut sulit untuk berkonsentrasi, dan ia sering menghayal
atau bahkan mengganggu temannya saat belajar. Masalah gangguan belajar pada anak-anak
kerap kali ditemukan. Masalah ini timbul bisa di sekolah maupun di luar sekolah. Anak yang
belajarnya seperti gangguan daya ingat, gangguan membaca, gangguan menulis, berhitung dan
lain-lain. Dampak yang dialami oleh anak yang mengalami gangguan belajar bukan hanya pada
tumbuh kembangnya, tetapi juga berdampak pada proses interaksi anak dengan dunia sekitarnya
Setelah mengamati penelitian mengenai kesulitan belajar, ahli terkeuka Linda Siegel
(2003) baru-baru ini menyimpulkan bahwa diagnosis kesulitan belajar (learning disability)
diberikan hanya ketika anak memiliki IQ diatas tingkat retardasi mental, mengalami kesulitan
yang signifikan dalam bidang yang berkaitan dengan sekolah (terutama membaca atau
kesulitan belajar (Bloom & Dey, 2006). Disinyalir, jumlah anak perempuan dengan kesulitan
belajar jumlahnya kurang lebih tiga kalinya anak laki-laki, (Departemen Pendidikan AS, 1996).
Penjelasan untuk perbedaan gender ini di antaranya adalah kerentanan biologis yang lebih besar
di antara anak laki-laki dan bias penunjukkan (referral bias, yaitu anak laki-laki cenderung
ditunjuk oleh guru untuk konseling karena perilaku mereka) (Liederman, Kantrowitz, &
Flannery, 2005).
Sebagian besar kesulitan belajar itu berlangsung seumur hidup. Dibandingkan dengan
anak-anak yang tidak memiliki kesulitan belajar, anak-anak yang memiliki kesulitan belajar
kemungkinan besar memiliki prestasi akademis yang buruk, angka dikeluarkan dari sekolah
(dropout) yang tinggi, serta riwayat pascapendidikan menengah dan perkerjaan yang buruk
(Berninger, 2006; Wagner & Blackkorby, 1996). Meskipun demikian, disamping masalah yang
mereka jumpai, banyak anak yang memiliki keterbatasan tumbuh dewasa dengan kemampuan
menjalani kehidupan normal dan terlibat dalam perkerjaan yang produktif (Mercer & Pullen,
prestasi nyata dan prestasi yang diharapkan atas dasar perkiraan tes intelegensi yang dilakukan
secara individual. Adapun ciri-cirinya yang saya dapat di sekolah yaitu siswa tersebut sering
menjaili temannya saat belajar, siswa tersebut ketika di suruh belajar seakan-akan kebingunan,
dan siswa tersebut lebih banyak bermain dari pada belajar. Strategi lain dalam identifikasi yang
dikemukakan akhir-akhir ini adalah respons terhadap intervensi, atau respons terhadap
perlakuan, yang melibatkan siswa-siswa yang tidak belajar dengan efektif baik dalam merespons
atau mengikuti instruksi (Fuchs, dkk., 2003). Namun, sejauh mana pendekatan ini dapat
diimplementasikan dengan efektif, masih diperdebatkan sampai sekarang (Kavale, Holdnack, &
Mostert, 2005).
Identifikasi awal kesulitan belajar biasanya dilakukan oleh guru kelas. Apabila diduga
ada kesulitan belajar, guru tersebut memanggil spesialis. Tim antar cabang ilmu pengetahuan
yang terdiri atas orang-orang professional disesuaikan untuk membuktikan apakah seorang siswa
mempunyai kesulitan belajar. Evaluasi (intelegensi) psikologis individual dan penilaian
pendidikan (seperti tingkat prestasi ini) sangat dibutuhkan (Mercer & Pullen, 2005). Selain itu
tes keterampilan visual-motorik, bahasa, dan ingatan dapat digunakan mengidentifikasi kesulitan
1. Disleksia
Masalah umum yang menandakan seorang anak mengalami kesulitan belajar adalah
keterampilan dalam membaca (Moats, 2004). Anak-anak seperti ini mempunyai kesulitan
bagaimana bunyi dan huruf dipadukan untuk membentuk kata-kata. Disleksia (dyslexia)
adalah satu kategori yang ditujukan bagi indidvidu-individu yang memiliki kelemaham
serius dalam kemampuan mereka untuk membaca dan mengeja (Ranus, 2004; Spafford &
Grosser, 2005).
2. Disgrafia
Disgrafia (dysgraphia) adalah kesulitan belajar yang ditandai dengan adanya kesulitan
dkk., 2004). Pada umumnya, istilah disgrafia digunakan untuk mendeskripsikan tulisan
tangan yang sangat buruk. Anak-anak yang memiliki disgrafia mungkin menulis dengan
sangat pelan, hasil tulisan mereka bisa jadi sangat tak terbaca, dan mereka mungkin
3. Diskalkulia
Center for Learning Disabilities, 2006). Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang
neuropsikologis dan kognitif, termasuk prestasi yang buruk dalam mengelola ingatan,
persepsi visual, dan kemampuan visual spasial (Kaufmann, 2003; Slaves, 2004). Seorang
anak yang mungkin memiliki kesulitan mambaca dan matematika, serta terdapat deficit
kognitif yang menjadi ciri khas kedua jenis kesulitan ini, seperti pengolahan ingatan yang
kesulitan belajar yang berlangsung lama atau terus-menerus pada banyak anak; lebih dari
separuh anak-anak ini masih mendapatkan nilai yang jelek dalam matematika ketika
Kesulitan belajar cenderung menurun dalam keluarga dengan satu orang tua yang memiliki
kesulitan seperti disleksia atau diskalkulia, meskipun transmisi genetika dari kesulitan
Siswa tersebut kurang perhatian serta bimbingan dari orang tua, karena Anak tersebut
ternyata dia tidak tinggal bersama orang tuannya. Sehingga anak tersebut tidak memiliki
motivasi dalam belajar, dan karakternya berbeda dengan anak-anak yang lain. Penelitian
ini mengindikasikan bahwa kesulitan belajar kemungkinan besar tidak melibatkan lokasi
informasi dari banyak bagian otak atau kesulitan yang tak kentara
dalam struktur dan fungsi otak. Kemungkinan lain adalah bahwa beberapa kesulitan
proses kelahiran. Sejumlah studi menemukan bahwa kesulitan belajar lebih lazim terjadi
pada bayi-bayi yang memiliki berat badan yang ringan saat lahir (Litt, dkk.,2005).
Banyak intervensi berfokus pada perbaikan kemampuan membaca anak
(Berninger,2006; Vukovic & Siegel, 2006). Sebagai contoh, dalam sebuah studi,
yang melibatkan masalah membaca mendapatkan manfaat dari intervensi awal yang
sesuai. Sebagian besar anak yang mengalami kesulitan membaca tidak terdiagnosis
sampai kelas tiga atau kelas berikutnya sedangkan yang mendapatkan intervensi tidak
berhasil menunjukkan perbaikan yang nyata (Lyon, 1996). Namun, pelajaran yang
intensif selama satu periode waktu oleh seorang guru yang kompeten dapat membantu
tua, peran pemerintah dapat membantu perkembangan setiap anak untuk memperoleh
5. Guru dan orang tua siswa harus menciptakan suasana belajar yang kondusif,
6. Mendampingi anak ketika belajar agar anak lebih mudah bertanya dan