Anda di halaman 1dari 10

Kawin Siri Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Administrasi Kependudukan

Rindri Andewi Gati - 105030500111002

Abstrak
Belakangan ini, praktek kawin siri atau nikah siri seakan-akan menjamur di kalangan masyarakat
Indonesia. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa beberapa pejabat publik dan banyaknya warga-
warga di berbagai daerah yang melakukannya dengan berbagai macam alasan. Mulai dari
menjauhkan diri dari zina sampai yang melakukan kawin siri hanya sebagai pelampiasan nafsu
saja. Kawin siri sendiri oleh sebagian orang dianggap sah menurut hukum agama, namun
kedudukannya terhadap hukum negara tidak dianggap kuat karena tidak adanya pencatatan di
Kantor Pencatatan Sipil maupun KUA. Kawin siri dinilai hanya merugikan pihak perempuan dan
anaknya serta dapat membebaskan pihak laki-laki untuk meninggalkan hubungannya dan lepas
tangan terhadap istri serta anak hasil perkawinan siri secara leluasa. Dalam jurnal ini
menjelaskan konsep perkawinan siri beserta prakteknya dalam pandangan hukum negara maupun
hukum Islam, termasuk pengaruhnya dalam pencatatan administrasi kependudukan.
Kata kunci : kawin siri, hukum Negara, hukum Islam, administrasi kependudukan.

Abstract
In couple years, practice of marriage siri seems so popular among the people of Indonesia. This
can be seen by the fact that some public officials and citizen itself did it with many varieties of
reasons. From distance them from zina to the conduct siri marriage only for impingement of lust
itself. Some people believe that marriage siri is valid based on religious law, but the position of
the state law is not perceived to be strong due to the absence record in the Office of Civil
Registry and the Office of Religious Affairs. Marriage siri assessed only harm the women and
children and to liberate the men to leave relationship and hands-off with his wife and child of a
marriage siri freely. This paper explains the concept of marriage siri and its practice in view of
state and Islamic law including the influence in civil administrative records.
Keyword : marriage siri, state law, Islamic law, civil administration.

I. PENDAHULUAN
Perkawinan dianggap sebagai sebuah hal yang suci dan sakral dalam nilai-nilai adat dan
nilai agama. Tidak jarang banyak yang merayakan dengan upacara pernikahan secara besar-
besaran karena diyakini sebuah pernikahan seharusnya adalah sekali seumur hidup. Namun,
dalam perjalanannya tidak jarang yang mengalami permasalahan sehingga akhirnya bercerai.
Untuk sistematis perkawinan sendiri tidak hanya bersumber dari hukum agama dan kepercayaan
masing-masing, hukum perkawinan ini juga diatur melalui hukum negara yang sah dengan
kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa tiap-tiap warga negaranya untuk menaati hukum
tersebut.
Jaminan kekuatan hukum yang melindungi tiap warga negaranya untuk mendapatkan
pengakuan dan pelayanan yang sama ternyata tidak cukup membuat masyarakat menghindari
hal-hal yang merugikan mereka di masa depan. Dalam hal nikah siri misalnya, pernikahan secara
sembunyi-sembunyi dan tidak dipublikasikan ini rentan merugikan pihak perempuan dan anak
hasil pernikahan siri tersebut. Berbeda dengan pernikahan yang sah dan dicatatkan ke Kantor
Urusan Agama (KUA) sehingga memiliki kekuatan hukum yang jelas dan apabila terjadi
pelanggaran di dalamnya, pelaku dapat dikenai hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Pernikahan siri memiliki ketidakjelasan hukum, termasuk dalam hal penuntutan hak istri
terhadap suami atau hak waris anak yang ternyata hanya diakui memiliki hubungan dengan
keluarga dari ibunya saja. Merebak juga kontroversi di masyarakat dimana nikah siri dianggap
sebagai sebuah pembenaran. “Yang penting sudah sah menurut agama,” begitu pembelaan para
pelaku nikah siri. Mereka tidak memikirkan soal akibat-akibat apa saja yang mengikuti
pernikahan siri tersebut. Maka dengan adanya permasalahan tersebut di atas, maka paper ini akan
mencoba sedikit menjelaskan soal Pernikahan atau Perkawinan Siri ditinjau dari Perspektif
Hukum dan Administrasi Kependudukan.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Definisi Perkawinan
Secara bahasa, kawin berarti penyatuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“perkawinan” memiliki arti yang sama dengan pernikahan, hubungan seksual, dan perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi atau sah. Menurut Prof. DR. R.
Wirjono Prodjodikoro, SH., perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
masyarakat karena sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin
yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling tarik menarik satu
sama lain untuk hidup bersama. Sedangkan pernikahan adalah hidup bersama antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Wirjono, 1974).
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa (UU no. 1 Tahun 1974 pasal 1). Perkawinan sendiri adalah sebuah
jalan untuk terbentuknya lembaga bernama keluarga dimana di dalamnya saling mencintai dan
juga menyayangi secara bermartabat.
Dalam Islam, hukum dari perkawinan itu sendiri bisa dibagi menjadi lima, yaitu pertama
wajib ketika seseorang sudah memiliki kemampuan untuk memberi nafkah kepada calon istri dan
hidupnya diliputi nafsu seksual yang dikuatirkan akan malah menjerumuskan yang bersangkutan
ke dalam perbuatan zina. Kedua, sunnah apabila seseorang sudah mempunyai dorongan seksual
dan siap memenuhi kewajiban menikah tapi mampu menahan diri. Ketiga, haram apabila
seseorang tidak memiliki dorongan nafsu yang mendesak dan belum mamu memenuhi kewajiban
pernikahan. Keempat, makruh bila seseorang dianggap mampu memenuhi kewajiban pernikahan
namun khawatir akan menyusahkan istri. Terakhir, yang kelima adalah mubah yaitu ketika
seseorang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan dan alasan-alasan yang
mengharamkan untuk menikah (Nurhaedi, 2003).
Syarat-syarat perkawinan seperti yang diatur dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Usia
kedua calon mempelai telah mencapai usia minimal 19 tahun bagi mempelai laki-laki dan
minimal 16 tahun untuk mempelai perempuan (Pasal 7 ayat 1). Ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang tersebut berlaku sepanjang hukum agama dan masing-masing kepercayaan dari
yang bersangkutan tidak menentukan hal yang lain (Pasal 6 ayat 6). Undang-undang nomor 1
tahun 1974 ini tidak hanya mengatur soal pelaksanaan perkawinan saja namun juga hak dan
kewajiban suami isteri, pembagian harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan karena
kematian atau perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua dan anak, perwakilan
dan ketentuan-ketentuan lain soal perkawinan. Hal ini berarti negara sangat melindungi
kesakralan dan kesucian pernikahan itu sendiri serta memberi tameng hukum yang kuat sehingga
apabila terjadi pelanggaran atau penyelewengan terhadap undang-undang di atas, pelakunya bisa
dikenai sanksi yang mengikutinya.

Definisi Nikah Siri


Istilah nikah siri atau kawin siri lekat dengan kontroversi. Kata sirri berasal dari Bahasa
Arab yang berarti rahasia, sembunyi-sembunyi, serta diam-diam. Hal ini memang identik dengan
praktek nikah siri yang biasanya dilangsungkan dengan sembunyi-sembunyi dan tanpa publikasi.
lain dnegan pernikahan pada umumnya yang malah diselenggarakan secara besar-besaran dan
meriah sampai mengundang beribu-ribu orang. Nikah siri dalam perjalanannya di Indonesia
khususnya diterjemahkan menjadi nikah di bawah tangan, yaitu proses nikah yang tidak
dilegalisasi dalam hukum positif dan tidak mempunyai kekuatan hukum negara. Nikah siri
biasanya dianggap sah di mata agama karena memiliki syarat-syarat pernikahan yaitu adanya
mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, serta ijab dan kabul
(akad nikah) namun dalam pencatatannya nikah siri ini tidak dicatat melalui Kantor Urusan
Agama atau oleh Petugas Pencatat Nikah.
Apabila dilihat dari sisi sejarah, nikah siri yang terjadi pada zaman Imam Malik bin Anas
adalah peristiwa nikah yang terjadi dimana kedua belah pihak tidak memenuhi syarat-syarat
pernikahan. Hal ini terjadi karena keadaan masyarakat yang belum sekompleks sekarang,
sehingga pada zaman dahulu dianggap sah saja apabila melakukan pernikahan dan tidak
mencatatkannya ke lembaga pencatatan. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum
Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan
tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen
tertulis1. Pergeseran makna ini terjadi di Indonesia. Di Indonesia, yang dimaksud nikah siri
adalah pernikahan yang hanya secara agama dan tidak dicatatkan ke KUA maupun Petugas
Pencatat Pernikahan. Nikah siri ini sendiri di Indonesia mulai muncul ketika diberlakukan
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada dasarnya nikah siri adalah nikah
yang berlawanan dengan apa yang sudah dicantumkan oleh hukum. Apabila nikah yang diatur
dalam UU Perkawinan adalah nikah yang dianggap sah oleh hukum maka bisa dibilang nikah siri
dianggap sebagai tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

1
http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/
Banyak faktor yang melandasi seseorang lebih memilih untuk menikah siri. Pertama,
karena kedua belah pihak belum siap untuk mempublikasikan atau meramaikan pernikahan
mereka. Faktor kedua, nikah siri dilakukan supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan
supaya tidak terjerumus ke perbuatan yang dilarang agama. Ketiga, dalam beberapa kasus
poligami, nikah siri biasanya dilakukan karena mengingat status sang suami yang sudah menikah
dan berpikir bahwa akan terlalu sulit apabila harus meminta izin kepada istri pertamanya untuk
menikah lagi. Dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3
ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah
tempat tinggalnya”. Pihak laki-laki merasa dipersulit karena harus berurusan dengan hukum lagi
dan apabila harus izin dulu kepada istrinya secara logika saja kita bisa menarik kesimpulan
bahwa tidak ada perempuan yang bersedia untuk dimadu.
Nikah siri sendiri memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya, meminimalisasi adanya
seks bebas dan penyakit kelamin seperti HIV, AIDS maupun penyakit kelamin lainnya. Nikah
siri juga mengurangi beban atau tanggung jawab seorang wanita menjadi tulang punggung
keluarga. Dampak negatifnya, nikah siri tidak memiliki hukum yang kuat sehingga kebanyakan
istri dan anak hasil nikah siri tidak memiliki kejelasan status. Nikah siri juga bisa membuat kasus
poligami makin banyak. Hak istri terhadap suami pun juga berkurang karena secara hukum istri
yang dinikah secara siri tidak dapat menuntut suami termasuk menuntut nafkah lahir dan bathin2.

Administrasi Kependudukan
Menurut Undang-undang nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan,
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam
penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil,
pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk
pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Administrasi kependudukan erat kaitannya
dengan pendaftaran penduduk, peristiwa kependudukan, pencatatan sipil, dan berbagai peristiwa
penting kependudukan lainnya yang menyangkut komposisi penduduk dalam sebuah dokumen
kependudukan. Dokumen kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi
pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti otentik yang dihasilkan dari
pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Pendaftaran penduduk sendiri meliputi proses pencatatan dan pendataan atas pelaporan
peristiwa kependudukan dalam rangka penerbitan dokumen identitas penduduk (Kartu Keluarga,
Kartu Tanda Penduduk, dan lain-lain) atau surat keterangan kependudukan lainnya yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Setiap kejadian yang dialami oleh penduduk dan memiliki dampak
langsung terhadap penerbitan atau perubahan dokumen kependudukan harus dilaporkan, hal ini
meliputi pindah datang, perubahan alamat, tinggal sementara serta perubahan status orang asing

2
http://liamulyawati.blogspot.com/2009/07/hukum-nikah-siri-menurut-perpektip.html
dari status kunjungan menjadi tinggal terbatas atau dari status tinggal terbatas menjadi tinggal
tetap3.
Sementara itu, pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh
seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi pelaksana. Pencatatan sipil ini dilakukan
oleh pejabat pencatatan sipil atau seseorang yang melakukan pencatatan peristiwa penting yang
dialami seseorang pada instansi pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Peristiwa penting yang dimaksud dan harus dicatat meliputi kelahiran,
kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan
anak, perubahan nama, dan status kewarganegaraan (Pasal 1 UU no. 1 Tahun 1974).

III. PEMBAHASAN
Kawin Siri dalam Pandangan Hukum Islam
Istilah nikah siri sudah dikenal oleh para ulama semenjak zaman Imam Malik bin Anas.
Nikah siri yang dahulu dilakukan dengan yang sekarang mempunyai pengertian yang berbeda.
Zaman dahulu nikah siri adalah pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun perkawinan
dengan syarat yang terpenuhi. Syaratnya antara lain adanya mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang
saksi. Hal ini yang membedakan dengan pernikahan biasanya karena saksi diminta untuk tidak
mengabarkan pernikahan itu ke khalayak ramai. Dalam nikah siri tidak ada i’lanun nikah dalam
bentuk walimatul-‘ursy4 (penyaksian pernikahan, umumnya menyembelih seekor kambing di
sambing adanya kesaksian nikah dari para saksi). Pada zaman dahulu, hukum Islam tidak
mengenal adanya pencatatan perkawinan secara konkrit karena tidak disebutkan adanya
pencatatan perkawinan sebagai rukun atau syarat perkawinan. Dimungkinkan juga bahwa
masyarakat ada zaman itu kondisinya tidak sekompleks masyarakat zaman sekarang. Di Arab
sendiri pada masa itu kurang berkembang kebudayaan menulis dan hanya mengandalkan ingatan
serta hafalan, maka bisa dimaklumi apabila pencatatan pernikahan bukan merupakan sebuah
sebuah konsentrasi administrasi pemerintahan zaman itu.
Seiring berkembangnya kebudayaan dan berkembangnya zaman, pikiran-pikiran tersebut
mulai mengalami perkembangan. Termasuk sekarang adanya pencatatan pernikahan. Namun,
dengan adanya peraturan tentang pencatatan nikah, bukan berarti nikah siri kemudian sudah
tidak dilakukan lagi. Prakteknya masih ada sampai sekarang dan tidak hanya berlaku di
Indonesia. Di sejumlah negara-negara Islam termasuk di Arab terkenal istilah nikah urfi dan
nikah misyar. Pemerintah Mesir dan Saudi Arabia bahkan memiliki sanksi yang tegas dan
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan terhadap siapapun pelaku nikah urfi dan
misyar. Bahkan apabila wanita Mesir melakukan nikah urfi dengan lelaki dari luar Mesir, maka
anak hasil nikah urfi tersebut tidak memiliki kewarganegaraan Mesir. (Hoda, Osman dan Fahimi,
2005; Jabarti, 2005; Zakaria, 2010).

3
http://dukcapil.kalbarprov.go.id/artikel/tentang-administrasi-kependudukan
4
http://www.makalahkuliah.com/2012/06/pencatatan-perkawinan-dan-akta-nikah.html
Di Indonesia sendiri, para pelaku menganggap nikah siri adalah sah karena dasarnya tidak
melanggar syarat pernikahan dan rukun pernikahan. Faktor banyaknya terjadi nikah siri di
Indonesia antara lain, pihak laki-laki ingin berpoligami namun sulitnya meminta persetujuan dari
istri secara tertulis melalui pengadilan. Boro-boro mau meminta persetujuan secara tertulis, baru
mengungkapkan keinginan untuk berpoligami saja biasanya malah menimbulkan pertengkaran
suami istri (Vitayala, 2010). Ada juga pelaku nikah siri yang menyatakan mereka tidak mampu
membayar besarnya biaya pencatatan nikah di KUA. Nikah siri sebetulnya tidak menjadi
masalah ketika keemudian hari dari pihak mempelai ketika sudah mempunyai modal yang cukup
pada akhirnya mencatatkan ke Pejabat Pencatatan Nikah.
Menurut Prof. Azzyumardi Azra dalam dialog Indonesia Lawyers Club di TVOne pada
tanggal 18 Desember 2012 lalu menyatakan bahwa dari segi fiqih munakahatnya termasuk sah
walaupun dari segi hukum negara tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Pendapat ini juga
diperkuat oleh pendapat dari Neneng Zubaedah, pakar hukum pernikahan, dalam forum dialog
yang sama. Nikah siri dianggap sah apabila menaati rukun dan syarat pernikahan dan merujuk
kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, namun sebagai warga negara
Republik Indonesia yang baik memiliki kewajiban untuk mencatatkan pernikahan. Dari berbagai
pemaparan di atas maka bisa ditarik kesimpulan bahwa sebuah pernikahan siri dianggap sah di
hadapan agama apabila memenuhi syarat dan rukun pernikahan dan diiringi oleh niat yang baik
dan sepanjang hidup, bukan untuk menikah sementara selama beberapa waktu.

Kawin Siri dalam Pandangan Hukum Negara


Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada awalnya lahir karena
adanya praktek poligami dimana-mana, nilai perceraian yang tinggi hingga mencapai 50%,
pernikahan dini yang marak, dan ada berbagai prosedur pernikahan yang tidak lazim (contohnya
mengirimkan talak dalam bentuk surat kilat)5. Perkawinan secara agama diakui dalam Undang-
undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dalam Kompilasi
Hukum Islam tercantum di pasal 4 : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”,
kemudian pasal selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) : “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat” dan ayat 2 : Pencatatan perkawinan tersebut
apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-
undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954”. Bila ditarik kesimpulan
maka pernikahan yang diakui dan mempunyai kekuatan hukum Negara adalah pernikahan yang
sah di mata agama dan kepercayaan masing-masing yang kemudian dicatatkan di hadapan
pejabat pencatat nikah. Kenapa harus dicatatkan? Pencatatan pernikahan adalah sebuah tindakan
administratif bahwa secara hukum agama dia sudah sah, tetapi secara hukum negara tergantung
apakah pernikahan itu dicatatkan atau tidak. Dari sini bisa disimpulkan dengan adanya perintah

5
Pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan dalam forum dialog Indonesia Lawyers Club di TVOne
tanggal 18 Desember 2012.
untuk mencatatkan pernikahan terdapat nilai tertib administrasi dan perlindungan serta kekuatan
hukum6.
Bahkan jauh sebelum ada Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah
ada Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 yang mengatur Nikah, Talaq dan Rujuk disebutkan:
(1) perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah, (2) bagi pasangan yang melakukan
perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena
merupakan suatu pelanggaran dan dikenakan sanksi sebesar Rp 50,00 (senilai dengan Rp
1,000,000,00 sekarang). Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa tujuan pancatatan
perkawinan di depan Pejabat Pencatat Nikah adalah demi terjaminnya ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam (pasal 5 ayat (1)). Dengan adanya peraturan perundang-undangan di atas,
negara tidak mengakui nikah siri. Walaupun secara agama nikah siri sudah sah, tapi tidak akan
mempunyai kekuatan dan kepastian hukum apabila belum dicatatkan di depan Pejabat Pencatat
Nikah. Karena dengan adanya pencatatan maka status istri, anak, dan hal-hal lain yang mengikuti
pernikahan tersebut akan dijamin secara hukum dan hak asasinya, lain dengan pernikahan siri
yang dianggap belum mempunyai kepastian hukum.

Kawin Siri dan Administrasi Kependudukan


Seperti dijelaskan di atas, perihal perkawinan telah diatur dalam Undang-undang nomor 1
Tahun 1974. Terutama soal pencatatan nikah yang merupakan syarat diakuinya suatu pernikahan
oleh negara. Sementara itu, dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2006 pasal 2 berbunyi :
“Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh : (a) Dokumen Kependudukan; (b)
pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; (c) perlindungan atas
Data Pribadi; (d) kepastian hukum atas kepemilikan dokumen; (e) informasi mengenai data hasil
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan (f) ganti rugi
dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana. Serta di pasal 3 : “Setiap
Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya
kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil”. Kedua pasal tersebut mengatur soal hak dan kewajiban tiap
Warga Negara indonesia dalam Administrasi kependudukan, khususnya pencatatan peristiwa
penting kependudukan. Dalam Bagian Ketiga hingga Bagian Keenam pasal 34 sampai dengan
pasal 43 Undang-undang nomor 23 tahun 2006 juga membahas tentang pencatatan pernikahan
hingga pembatalan perceraian.
Fakta di masyarakat sendiri kebanyakan yang menderita kerugian adalah pihak perempuan
namun selain itu apabila kita melihat lebih mendalam dari pihak laki-laki juga terkadang
mengalami masalah dengan adanya nikah siri tersebut. Karena tidak adanya pencatatan
pernikahan oleh Pejabat Pencatat Nikah, perempuan dalam hal ini istri menjadi subjek yang tidak
memiliki kepastian hukum. Salah satu contoh pernikahan siri yang paling heboh di Indonesia
adalah kasus pernikahan siri penyanyi dangdut Machica Mochtar dengan Moerdiono, mantan

6
Pernyataan Kapuspen Kemendagri, Reydonnizar Moenoek dalam forum dialog Indonesia Lawyers Club di TVOne
tanggal 18 Desember 2012.
Menteri Sekretaris Negara di era Orde Baru7. Pernikahan mereka menghasilkan satu anak laki-
laki bernama Mohammad Iqbal Ramadhan, kabarnya Iqbal tidak pernah berjumpa dengan
ayahnya semenjak pasangan Machica-Moerdiono berpisah pada 1998. Ketika di kemudian hari
Machica meminta pertanggungjawaban sang ayah dengan entengnya Moerdiono meminta bukti
catatan pernikahan antara Machica dengan dirinya. Karena pernikahan mereka yang dilakukan
secara siri, otomatis tidak ada dokumen yang mendapat pengakuan di mata hukum untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Konflik ini berlangsung kurang lebih selama 8 tahun sampai
akhirnya Machica Mochtar mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi salah satunya
terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 yang awalnya berbunyi “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Kabar terakhir yang saya dapat dari forum Indonesia Lawyers Club di TVOne
edisi 18 Desember 2012, MK mengabulkan perubahan terhadap pasal 43 ayat 1 menjadi “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dalam kasus lain, pihak laki-laki bisa
menjadi korban dari terlaksananya nikah siri, biasanya pihak ayah dari anak tersebut kesulitan
untuk menemui anaknya karena pihak perempuan masih memendam emosi dan faktor-faktor
lainnya.
Dikarenakan banyaknya kasus yang serupa dengan kasus yang ada di atas maka negara
berupaya melindungi hak-hak warga negaranya, namun dengan adanya pemenuhan hak maka
warga negaranya sendiri harus memiliki kesadaran bahwa mereka perlu melaksanakan kewajiban
tersebut terlebih dahulu. Bila dilihat dari sini apabila kita merujuk pada Undang-undang nomor
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, nikah siri bisa dianggap melanggar hukum
karena peristiwa pernikahan adalah salah satu dari berbagai peristiwa kependudukan yang wajib
didaftarkan atau dilaporkan. Apabila nikah siri dengan syarat pernikahan yang tercantum di atas
bisa dianggap melanggar hukum, maka dalam beberapa kasus nikah siri seperti tidak adanya wali
dari pihak perempuan, tanpa saksi bahkan tanpa sepengetahuan orang tua salah satu pihak bisa
dianggap pernikahan yang tidak sah dari kacamata hukum Agama maupun hukum negara.
Apabila pernikahan siri tersebut tetap dilakukan padahal negara sudah memberikan dampak
positif dan negatif maka hal-hal yang mengikuti pernikahan siri tersebut pihak negara tidak mau
ikut campur.

IV. KESIMPULAN
Nikah siri pada awalnya terjadi di negara-negara Islam, selain karena belum adanya
pencatatan dan belum kompleksnya penduduk masa itu seperti masa sekarang, pada saat itu
wanita dianggap sebagai penduduk “kelas dua” yang pekerjaannya hanya sebatas dapur dan
kasur. Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan berbagai pemikiran, permasalahan
gender menjadi konsentrasi masyarakat dan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-
laki. Di Indonesia sendiri pernikahan sendiri marak dilakukan untuk dijadikan pembenaran

7
Pernyataan Machica Mochtar dan pengacaranya dalam forum dialog Indonesia Lawyers Club di TVOne tanggal 18
Desember 2012.
bahwa pernikahan siri adalah sah walaupun hanya sah di mata agama dan tanpa dicatatkan dalam
sebuah administrasi kependudukan. Akibat yang biasanya ditimbulkan dengan dilakukannya
nikah siri ini terbagi atas dua yaitu akibat secara hukum dan dalam administrasi kependudukan.
Secara hukum, perempuan yang menikah siri tidak mendapatkan hak atas harta bersama,
penelantaran dan bahkan istri siri dibiarkan begitu saja karena sang suami terburu pergi tanpa
kabar yang jelas. Dalam hal administrasi kependudukan dengan tidak adanya pencatatan nikah
maka anak hasil pernikahan siri mengalami kesulitan ketika akan membuat akte kelahiran.
Padahal akte kelahiran diperlukan di hampir semua pendaftaran sekolah.
Antara hukum negara dan hukum agama dalam hal ini memang tidak bisa “dibenturkan”.
Islam bisa saja dianggap ketinggalan karena hanya berdasarkan fiqih dan kajian dari kitab suci
Al-Qur’an serta kurang memperhatikan wanita serta anak-anak secara total. Dalam hal ini, MUI
di Indonesia diharapkan mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk diterapkan ke dalam
aturan-aturan negara. Permasalahan pernikahan nikah siri intinya bukanlah soal sah atau tidak
sahnya pernikahan, namun bagaimana perlindungan hak mempelai (baik pria maupun wanita)
dan anak atas akibat pernikahan siri tersebut termasuk dalam hal administrasi kependudukan.
Pemerintah diharapkan lebih mengakomodir peraturan-peraturan yang dapat melindungi pihak-
pihak yang terlibat dari pernikahan siri tersebut.
Solusi yang terpikirkan oleh saya adalah pemerintah membuat pencatatan administrasi
dengan harga yang terjangkau dan dapat dipenuhi oleh semua kalangan masyarakat, dimudahkan
juga dalam pelaksanaan istbat nikah. Karena walaupun sudah jelas secara hukum, sebagai warga
negara yang baik seharusnya mencatatkan pernikahan sebagai suatu peristiwa penting yang harus
dicatat dalam dokumen administrasi kependudukan agar adanya jaminan hukum yang pasti dan
kuat untuk melindungi hak asasi manusia, dalam hal ini khususnya perlindungan hukum dan
administrasi kependudukan terhadap anak hasil pernikahan siri.

V. DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2004. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Akamedika Pressindo.
Anonim. . Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah. (diakses 24 Desember 2012).
(http://www.makalahkuliah.com/2012/06/pencatatan-perkawinan-dan-akta-nikah.html)
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta : Balai Pustaka
Ma’ruf, Farid. 14 Maret 2009. Hukum Islam tentang Nikah Siri. (diakses tanggal 25 Desember
2012). (http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/)
Nurhaedi, Dadi. 2003. Nikah di Bawah Tangan Praktik Nikah Siri Mahasiswa Yogya.
Yogyakarta : Saujana.
Pemprov Kalimantan Barat. 1 September 2012. Tentang Administrasi Kependudukan. (diakses
tanggal 30 Desember 2012). (http://dukcapil.kalbarprov.go.id/artikel/tentang-
administrasi-kependudukan)
Prodjodikoro, Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung : Sumur Bandung.
Rofei. 29 Maret 2012. Hukum Nikah Siri Menurut Perspektip Hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia. (diakses tanggal 25 Desember 2012).
(http://liamulyawati.blogspot.com/2009/07/hukum-nikah-siri-menurut-perpektip.html)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Departemen Dalam Negeri
Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Deprtamen Dalam
Negeri Republik Indonesia.
Vitayala, Aida. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa : Sambutan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Bogor :PT.
Penerbit IPB Press.

Anda mungkin juga menyukai