Anda di halaman 1dari 3

Balada Performance-Based Design

Oleh Ryan Rakhmat Setiadi

Alkisah suatu hari ada insinyur sedang memberikan presentasi ke klien. Presentasi ini
diberikan karena di awal si klien sudah meminta insinyur struktur agar mendesain struktur
lebih kuat dan memiliki performance yang lebih baik saat gempa terjadi. Hal ini dikarenakan
pengalaman pribadi klien pada salah satu bangunannya yang rusak parah saat gempa
terjadi, selain kerugian akibat kerusakan bangunan, yang menjadi sorotan utama klien
adalah kerugian yang sangat tinggi karena alat – alat pada pabrik di bangunan tersebut
rusak total yang jika dijumlahkan nilainya bisa jauh lebih mahal dibandingkan nilai bangunan
tersebut.

Insinyur struktur memperkenalkan metode bernama Performance-Based Design dan men-


klaim dalam presentasinya bahwa bangunan yang di desain dengan metode ini akan
memiliki performance yang lebih baik. Klien diberikan pilihan akan performance target yang
ingin dicapai dimana pilihannya seperti berikut :

Klien tersebut dengan pengetahuannya yang seadanya melihat opsi operasional, dan seperti
yang iya tebak, insinyur menjelaskan bahwa performance target tersebut menyatakan
bahwa bangunan akan tetap bisa bisa beroperasi setelah gempa terjadi. Klien senang
dengan pernyataan tersebut dan langsung memilih target performance ini.

Insinyur tersebut menyadari bahwa dengan performance tersebut, kebutuhan kekuatan


struktur yang ia design akan menjadi lebih tinggi. Ia menjelaskan konsekuensi dari hal
tersebut bahwa kolom dan balok dari bangunan mungkin akan lebih besar dari biasanya,
dan klien yang mendengar cukup setuju dan tidak masalah dengan hal tersebut.
Setelah analisis yang cukup sulit dengan detail nonlinearitas dan analisis yang lebih canggih
dari design standar based on code, akhirnya insinyur menghasilkan gambar drawing yang ia
rasa dapat memenuhi target performance operational. Setelah dilihat drawing strukturnya,
dirasa memang ukuran balok dan kolom serta wall cukup lebih besar dibandingkan biasanya.
Namun klien tersebut setuju dan percaya dengan insinyur tersebut.

Beberapa tahun kemudian setelah bangunan selesai dibangun, gempa yang cukup besar
benar – benar terjadi. Setelah gempa selesai, beberapa hari kemudian insiyur itu dipanggil
oleh klien yang pernah menggunakan jasanya tersebut. Klien tersebut terlihat cukup marah
dan si insiyur diminta untuk meninjau bangunannya. Insinyur tersebut meninjau bangunan
yang didesainnya dan mendapati keadaan kira – kira seperti berikut :
Pabrik tersebut berhenti total karena alat – alat rusak, celling runtuh, meja – meja dan
lainnya berantakan. Ini jelas bukan performance yang inginkan seperti target operational.
Lalu dimanakah yang salah ?.

Insinyur tersebut meng-kontak temannya dan menceritakan masalahnya. Ia mengatakan


bahwa sudah memenuhi persyaratan di code performance based design namun hasilnya
tidak sesuai yang diharapkan. Ia berharap temannya sesama insinyur bisa memberikan
penjelasan.

Temannya bertanya kepada insinyur tersebut apakah saat ia melihat bangunan tersebut,
ada kolom, balok, atau wall yang rusak parah ?. Insinyur menjawab bahwa menurut-nya
tidak ada elemen struktur yang rusak parah. Temannya menjelaskan masalahnya adalah di
awal, seharusnya insinyur tersebut tahu bahwa performance based design tidak bisa
memproteksi kerusakan pada nonstructural components. Metode tersebut hanya untuk
performance elemen structural, bukan nonstructural.

Hal ini dikarenakan secanggih dan sedetail apapun struktur analisis, insinyur yang
mengambil keputusan hanya dengan memperkuat dan memperkaku struktur, akan
berakhir dengan pengurangan drift namun meningkatkan floor acceleration. Pengurangan
drift dapat mengurangi kerusakan struktur dan partisi pada bangunan, namun
konsekuensinya yaitu peningkatan floor acceleration yang akan merusak equipment yang
sensitive terhadap percepatan serta meningkatkan potensi celling berjatuhan. Analisis
dengan performance design tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut. Analisis performace
design hanya mempertimbangkan performance untuk elemen structural yang umumnya
sensitive terhadap drift, bukan elemen nonstructural yang sensitive terhadap floor
acceleration.

Satu – satunya cara untuk meningkatkan performance elemen structural dan


nonstructural adalah dengan menggunakan Anti-Seismic Device yaitu seismic Isolation
atau beberapa tipe damping misalnya oil damping (viscoelastic damping). Penggunaan
anti-seismic device tersebut baru bisa memenuhi target performance yang diinginkan klien
untuk memproteksi elemen structural dan nonstructural. Seismic Isolation dan Oil Damping
pada bangunan tidak hanya dapat mengurangi drift struktur yang baik untuk memproteksi
elemen structural, namun juga dapat mengurangi floor acceleration sehingga dapat
mengurangi kerusakan pada elemen nonstructural. Sementara itu analisis Performance-
Based seismic design tetap perlu digunakan sebagai alat untuk memprediksi respon struktur
dengan anti-seismic devices dan mendapatkan nilai ekonomisnya.

Kasus ini menjadi pembelajaran bagi insiyur bahwa dalam hal pengurangan economic loss,
analisis yang complicated bukan jawaban tanpa teknologi, dan seismic isolation serta
damper tambahan adalah jawabannya.

Anda mungkin juga menyukai