Anda di halaman 1dari 5

Siaran Pers

KPK Tetapkan Empat Tersangka Dalam Kasus Suap Pengadaan Barang dan Jasa di PT Krakatau Steel

Siaran Pers 23 Maret 2019 Dilihat: 1540

Jakarta, 23 Maret 2019. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan empat orang tersangka dalam kasus
dugaan suap pengadaan barang dan jasa di PT Krakatau Steel tahun 2019 Penetapan tersangka ini adalah
hasil dari peristiwa tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat, 22 Maret 2019.

Energi kami tak akan habis untuk menyatakan bahwa kami merasa dangat miris dan menyayangkan
masih terjadinya suap dalam pengadaan barang dan jasa di Badan Usaha Milik Negara. Apalagi PT KS
adalah satu-satunya BUMN yang bergerak dalam industri baja. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1970
ini seharusnya sudah bisa menghasilkan industri baja nasional yang luar biasa.

Setelah melakukan pemeriksaan selama 1x24 jam, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk
menetapkan empat tersangka dalam dugaan suap ini. Empat tersangka tersebut adalah WNU (Direktur
Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero)) dan AMU (swasta) diduga sebagai penerima. KSU,
(swasta) dan KET (swasta), diduga sebagai pemberi.

WNU bersama-sama dengan AMU diduga menerima suap untuk mempengaruhi pengadaan barang dan
jasa di PT Krakatau Steel (Persero). Proyek nilai pengadaan barang dan jasa tersebut masing-masing
senilai Rp24 miliar dan Rp2,4 miliar.

Dua tersangka lain yakni KSU dan KET diduga memberi suap untuk melancarkan proses mereka
mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa di PT Krakata Steel (Persero).

Proses pengadaan barang dan jasa diduga diatur sedemikian rupa supaya perusahaan KSU dan KET
mendapatkan proyek tersebut.
Sebagai pihak yang diduga penerima, WNU dan AMU disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf
b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.

KSU dan KET yang diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b
atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selanjutnya, untuk kepentingan pemeriksaan, KPK menahan tiga tersangka tersebut selama 20 hari ke
depan. WNU dan AMU ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK Gedung Merah Putih. KSU ditahan di
Rumah Tahanan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur.

Adapun beberapa beberapa konstruksi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sering dipaksakan
di antaranya :

Ketidak akuratan dalam penentuan hak, kewajiban dan tanggung jawab para pihak, yang tidak sesuai
ketentuan peraturan pengadaan

Contoh kasus : Pada saat terjadi pelanggaran oleh PPK dalam serah terima barang, maka secara serta
merta PPHP dianggap turut serta dalam pelanggaran tersebut.

Ketidakmauan dan ketidakmampuan dalam membuktikan niat dan perbuatan jahat korupsi, dimana
antara niat dan perbuatan adalah dua hal yang harus ada.

Contoh kasus : Terhadap kesalahan administrasi dalam proses pelelangan, maka dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum terhadap peraturan pengadaan. Dan pelanggaran tersebut langsung
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Ketidak akuratan dalam dalam menentukan transaksional haram dalam proses pengadaan barang dan
jasa.
Contoh kasus : Kalau penyedia barang mendapat keuntungan besar, lebih dari 15 %, maka PPK dianggap
sebagai memperkaya orang lain.

Ketidak sesuaian dalam menentukan auditor yang berwenang menghitung kerugian negara, termasuk
metodologinya.

Contoh kasus : Penegakan unsur kerugian negara oleh auditor yang tidak relevan, misalnya penggunaan
auditor independen swasta atau personil APIP yang tidak mempunyai metodologi kerja yang memadai.

Ini Celah Penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa pada Kasus E-KTP

Minggu, 2 April 2017 | 18:23 WIB

Jaksa KPK menghadirkan enam saksi dalam sidang ketujuh perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP di
Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/4/2017). KPK menduga ada perbuatan melawan hukum dan atau
penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan proyek KTP
elektronik.

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Tranparency International Indonesia
Jonni Oeyoen mengatakan, dari proses perencanaan sudah terlihat adanya penyimpangan dalam proyek
pengadaan e-KTP.

Menurut dia, hampir seluruh tahapan pengadaan barang dan jasa bisa jadi celah kecurangan maupun
korupsi.

"Ada pengadaan fiktif, sudah ditetapkan siapa pelaksananya. Jadi dari awal sudah mengarah pada
sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur pengadaan," ujar Jonni dalam diskusi di Jakarta,
Minggu (2/4/2017).

Menurut Jonni, tahapan pembentukan panitia lelang juga berpotensi disusupi kepentingan pihak
tertentu.

Kecurangan dalam tahapan ini yaitu panitia tak dapat menjamin kesamaan dalam memperoleh informasi
bagi semua peserta lelang. Jadi, ada keberpihakan panitia pada tender tertentu. Jangka waktunya pun
cenderung singkat untuk memenuhi prasyarat lelang.
"Ini titik krusialnya, penentuan HPS (harga perkiraan sementara) seringkali tidak memenuhi kaidah
penyusunan," kata Jonni.

HPS sedianya disusun oleh panitia berdasarkan harga satuan di pasaran. Namun, dalam kasus e-KTP,
bukan panitia lelang yang menentukan HPS. Diduga ada tim lain di luar panitia yang menyusunnya.

"Ini terkait perencanaan awal sudah ada semacam skenario. Di awal saja sudah melibatkan salah satu
pengusaha, dari Kemendagri dan Komisi II yang dilibatkan dalam proses penganggaran," kata Jonni.

Setelah penentuan HPS, tahapan berikutnya yaitu penjelasan soal lelang dan evaluasi penawaran. Dalam
mekanisme yang menyimpang, ada kesan "pilih kasih" panitia terhadap peserta lelang.

Informasi utuh dan lengkap hanya diberikan kepada peserta tertentu. Evaluasi penawaran juga dilakukan
tertutup tanpa pengecekan lapangan untuk syarat teknis dan administratif.

"Panitia harus berpatokan pada kriteria yang sudah ada di dokumen. Tapi dalam kasus e-KTP, ada
penambahan kriteria," kata Jonni.

Tahapan selanjutnya yakni pengumuman pemenang lelang. Banyak dijumpai kasus diloloskannya
perusahaan yang tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis karena adanya kongkalikong. Hal itu
juga terjadi dalam kasus e-KTP.

Setelah itu, ada kesempatan bagi peserta lelang yang tak lolos untuk menyanggah. Dalam jangka waktu
lima hari, panitia harus menjawab sanggahan tersebut.

"Kalau yang mengajukan sanggah masih tidak puas jawaban panitia, maka bisa ajukan sanggah banding.
Di kasus e-KTP, sanggah-banding ini yang jadi pintu masuk teungkapnya kasus ini," kata Jonni.
"Yang diadukan panitia lelang, Penjabat pembuat komitmennya Irman (Dirjen Dukcapil Kementerian
Dalam Negeri) dan panitianya, Sugiharto," ujarnya.

Saat ini, kasus e-KTP tengah bergulir di persidangan. Irman dan Sugiharto duduk di kursi terdakwa. Selain
itu, KPK juga menetapkan pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka.

Anda mungkin juga menyukai