Anda di halaman 1dari 3

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida
Pestisida merupakan bahan yang digunakan untuk mengendalikan hama dan jasad
pengganggu lainnya. Di seluruh dunia, petani menggunakan pestisida untuk perlindungan
terhadap kegagalan panen yang disebabkan oleh hama (penyakit tanaman) (Sumiati, 2018).
Semua senyawa kimiawi atau zat lain serta mikroorganisme yang digunakan untuk
memusnahkan organisme perusak tanaman atau bagian tanaman, perusak hasil pertanian,
membasmi rumput liar, dan tumbuhan yang tidak diinginkan, serta membasmi organisme vektor
penyakit dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 7 Tahun 2007 digolongkan sebagai pestisida.

2.1.1 Pengelompokan Pestisida


Pestisida dari segi bentuk dibedakan menjadi bentuk padat, cair, dan gas. Pestisida bentuk
padat meliputi granula yaitu bahan aktif yang ditambahkan dengan bahan aktif lain dalam bentuk
padatan dengan ukuran lebih besar. Sedangkan pestisida dalam bentuk cair meliputi emulsi, uap,
suspensi, dan larutan. Dalam bentuk gas terdiri dari fumigan yaitu bentuk cairan atau padatan
yang tidak mudah menguap.
Berdasarkan bahan aktifnya pestisida dapat dikelompokkan sebagai hal berikut diantaranya
adalah organofosfat seperti azinophosmethyl, chlorpyrifos, chloryfos, diazinon, demeton methyl,
dichlorovos, dimethoat, disulfoton, ethion, malathion, palathion, dan parathion (Sudarmo dalam
Prijanto, 2009).
Berdasarkan hama sasaran dan contoh dapat digolongkan menjadi bermacam-macam.
Penggolongan tersebut dapat berupa insektisida yaitu bahan yang mengandung senyawa kimia
yang beracun yang dapat membunuh serangga (tiodan, sevin, sevidan, 70 WP), akarisida yang
dapat membunuh tungau (Kelthene MF), algasida yang berfungsi untuk melawan algae (diamin),
avisida yang berfungsi untuk membunuh atau mengontrol populasi burung (avitrol), fungisida
untuk membunuh fungi (dimatan), herbisida yang dapat mengontrol adanya gulma, rodentisida
yang berfungsi untuk membunuh binatang pengerat seperti tikus (Sudarmo dalam Prijanto,
2009).
Bahan pestisida yang sering menimbulkan keracunan pada manusia diantaranya adalah
senyawa organoklorin (Difenil Dieldrin Tetra Etil, benzena hexacloride, dieldrin), organofosfat
(malathion, fenthion, OMPA). Senyawa organofosfat yang menjadi racun penghambat yang kuat
terhadap aktivitas cholinesterase, senyawa organoklorin yang dapat mengganggu sistem saraf
pusat serta dapat terakumulasi pada jaringan lemak, senyawa karbamat yang dapat menghambat
aktivitas enzim cholinesterase (Sudarmo dalam Prijanto, 2009).
Salah satu jenis dari pestisida adalah organofosfat merupakan jenis pestisida yang banyak
digunakan karena efektivitasnya yang tinggi. Terdapat 211 formulasi pestisida dari total 3207
formulasi pestisida yang terdaftar di Kementrian Pertanian tahun 2016. Pada penggolongan
tersebut terdapat lima bahan aktif organofosfat yang pada WHO termasuk Highly hazardous
yaitu diklorvos, triazofos, metil oksidementon, kadusafos, dan metidation. Bahan yang termasuk
dalam golongongan Moderately Hazardous yaitu asefat, diazinon, dimetoat, protiofos, triklorfon,
dan metil pirimfos. Semua jenis dari penggolongan tersebut memiliki mekanisme terhadap
penghambatan jalur asetilkolinesterase.
Organofosfat sering digunakan sebagai bahan insektisida agar mematikan serangga
pengganggu. Keefektifan penggunaan pestisida ini sering disalahgunakan dengan meningkatkan
dosis yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Efek dari kematian serangga
didapatkan, namun berefek negatif pula pada petani dalam proses pajanan dengan jangka waktu
tertentu.
Organofosfat dapat menimbulkan efek toksik atau racun ketika masuk dalam tubuh melalui
inhalasi, oral, dan penetrasi pada kulit. Jalur yang paling sering menyebabkan toksisitas adalah
inhalasi dan penetrasi kulit. Pada jalur oral sangat jarang namun mekanisme ini sebagian besar
dilakukan oleh orang yang ingin mengakhiri hidupnya dengan sengaja.
Akumulasi organofosfat dalam tubuh dapat menimbulkan gejala toksisitas yang terbagi
menjadi mekanisme kolinesterase dan non kolinesterase. Mekanisme pertama yaitu
kolinesterase, kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi menterminasi stimulus kolinergik
melalui hidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Kerja enzim ini dipengaruhi oleh adanya
dua sisi aktif yaitu anion site dan esteratic site yang akan berikatan dengan asetilkolin. Ikatan
yang terjadi pada sisi tersebut akan secara cepat terhidrolisis oleh molekul air, melepaskan asetat,
dan mengembalikan enzim asetilkolinesterase untuk mengikat asetilkolin yang lain. Proses
penghambatan yang terjadi akibat adanya organofosfat dilakukan oleh fosforilasi grup hidroksi
seril pada estratic site sehingga terbentuk ikatan antara enzim dan organofosfat yang sangat
stabil dan lambat terhidrolisis. Akibat asetilkolinesterase yang terikat dengan organofosfat dalam
jumlah banyak dan waktu yang lama maka akan terjadi ikatan yang irreversible. Sedangkan
mekanisme non asetilkolinesterase adalah perubahan sistem homeostasis seperti sistem simpatik
dan parasimpatik yang terganggu.
Manifestasi klinis yang timbul ketika terjadi toksisitas organofosfat adalah gangguan pada
pengelihatan (pupil yang berkontriksi, pengelihatan yang buram, dan terjadi lakrimasi),
pernafasan (bronkospasme, peningkatan sekret bronkial, mengi, dada terasa berat, batuk, dan
edema paru), pada mekanisme gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare), genital
urinaria (mengompol, impotensi, dan kontraksi uterus), pada sistem saraf pusat (sakit kepala,
vertigo, letargi, insmonia, kelelahan yang berkepanjangan, kejang, dan penurunan kesadaran),
sistem kardiovaskuler (takikardi dan peningkatan tekanan darah), serta gangguan pada otot
(kelemahan, tremor, dan kram) (Abu Donia, 2005).

Anda mungkin juga menyukai