Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau

“Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung

akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan,

kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya

itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah

menyerang ginjal. Untuk menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit

ini yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian,

hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik

tersebut (Pasquel, Virginia, Jacques & Banchereau, 2006).

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan

kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun

menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut

penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan peradangan di berbagai organ tubuh

kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi,

paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan

“Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya

mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT

(lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik

(Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang

1
2

ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya

ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik

merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau

trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan

lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal

terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat

rendah (Sukmana, 2010).

Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil

penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan

Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus

erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat

diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas

pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain

yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya

tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi

klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,

hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan

kematian janin (Hahn, 2011).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah proses penyakit systemic lupus erithematosus

2. Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa calon

perawat, bila menghadapi klien dengan penyakit SLE


3

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a) Tujuan Umum :

Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.

b) Tujuan Khusus :

1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis

penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda

dan gejala), prognosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta

komplikasi penyakit lupus.

2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada

klien yang menderita penyakit lupus.

D. Manfaat Penulisan

a) Manfaat Teoritis :

1) Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam

mengetahui tentang penyakit lupus

2) Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.

b) Manfaat Praktis :

Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang

perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan

(defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun asuhan keperawatan pada

klien yang menderita penyakit lupus.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya

tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ

tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan

organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang

masuk ke dalam tubuh (Pasquel, Virginia, Jacques & Banchereau, 2006).

Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan

organ tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan.

Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat

kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika

sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan

(lupus SLE) (Pagana, 2002).

SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang

sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan

atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun

dalam tubuh. SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau

imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun

(Albar, 2009).

4
5

Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :

1. Penyakit Lupus Diskoid

Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus

yang terbatas pada kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit

yang terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher,

dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal. Penyakit ini biasanya

lebih ringan biasanya sekitar 10% - 15% yang berkembang menjadi lupus

sistemik.

2. Penyakit Lupus Sistemik

Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan

berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh

seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering

ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi

(ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa

lama suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh

dan tidak pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar

datang dan pergi berulang kali selama bertahun-tahun.

3. Drug Induced Lupus (DIL)

DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus

ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala

sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi lupus

adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat

TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala
6

penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi

yang belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi

lain pada hati dan darahnya karena serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang

muncul akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak.

Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala

akan ngelotok sehingga rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang,

seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun sakit. Biasanya untuk menghilangkan

sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan morfin efeknya tidak baik,

jadi sering kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika

menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke

dan koma. Lupus itu mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan

tubuh penderita menurun drastis, sehingga penyakit-penyakit mudah

menyerang tubuh penderita.

Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih

menindak lanjuti penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan

diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria

yang mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan bahwa hormon wanita

(hormon estrogen) mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit lupus

karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit

lupus adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress,

obat-obatan tertentu, infeksi, dan paparan sinar matahari.


7

Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering

diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan

perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang

berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala penyakit lupus.

Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah

melahirkan.

Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang

pernah terkena sebelumnya, namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab

yang jelas untuk penyakit ini. Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah

dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya dalam teori, tidak ada yang jelas

dinyatakan sebagai fakta. Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit

misterius di kalangan medis. Kecuali lupus yang disebabkan reaksi obat,

penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan bahkan masih

berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari

beberapa penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus adalah

perempuan, yang mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait

hormon-hormon perempuan. Menstruasi, menopause dan melahirkan dapat

memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita penyakit ini di

usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.

Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal

yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan :

1. Menghindari stress

2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari


8

3. mengurangi beban kerja yang berlebihan

4. menghindari pemakaian obat tertentu.

(Pasquel, Virginia, Jacques & Banchereau, 2006)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena

penyakit lupus. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif

yang mempertimbangkan semua gejala dan riwayat penyakit.

Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American

Rheumatism Association (ARA) menetapkan “Sebelas Kriteria Lupus” untuk

membantu dokter mendiagnosis lupus dan yang diperbaharui tahun 1997.

Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan

jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11

kriteria yaitu :

1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa

nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak

mengalami kerusakan

2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada

pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya

3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas,

datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV

/matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam

kulit
9

5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6. Salah satu Kelainan darah :

a) anemia hemolitik,

b) Leukosit < 4000/mm³,

c) Limfosit<1500/mm³, dan

d) Trombosit <100.000/mm³

7. Salah satu Kelainan Ginjal :

a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal

dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :

a) Pleuritis,

b) Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis :

a) Konvulsi / kejang,

b) Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan

11. Salah satu Kelainan Imunologi :

a) Sel LE+

b) Anti dsDNA diatas titer normal

c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal

d) Tes serologi sifilis positif palsu


10

B. Etiologi

Sampai saat ini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi

tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar

ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan. Penyakit Sistemik Lupus

Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan

bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau

bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon

wanita saat ini masih dalam kajian.

C. Patofis (Patofisiologis)

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan

penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya

matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,

isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan

seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau

obat-obatan. .

Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau

beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik

akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan

hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T

autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang

memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
11

belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar

ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk

ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran

ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan

alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang

disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka

tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini

secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang

spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah

ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa

gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks

imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-

gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan

akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan

aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang.

Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau

tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan

sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme

regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu

yang resisten.
12

D. Prognosis

Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat

bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan

periode bebas gejala yang dapat berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi

setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan bermakna dalam

dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka

panjangnya adalah baik. Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu

obat, penghentian obat akan menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat

memakan waktu berbulan-bulan.

E. Manifestasi Klinis

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada

penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui)

menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya

penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari

penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita

berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan

(eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di

kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

1. Sistem Muskuloskeletal

a) Artralgia

b) artritis (sinovitis)

c) pembengkakan sendi,

d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan


13

e) rasa kaku pada pagi hari.

2. Sistem Integument (Kulit)

a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang

pangkal hidung serta pipi, dan

b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3. Sistem kardiak

a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4. Sistem pernafasan

a) Pleuritis atau efusi pleura.

5. Sistem vaskuler

a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,

b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor

lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem perkemihan

a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7. Sistem saraf

a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk

penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

F. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:

1. Pemeriksaan Laboratorium

a) Tes Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL


14

Negatif : < 70 IU/mL

Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang

pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE

sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit

reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah

antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada

penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif

pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua

tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA)

dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif

dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks

antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi

merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks

tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya

inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana, 2002).

b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA

adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA

cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95%

penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan
15

dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan

kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka

penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes

negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan

juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka

sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien

tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-

ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana, 2002).

2. Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk

monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,

lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte

Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),

Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin

kinase (Pagana, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Ruam kulit atau lesi yang khas.

b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan

pleura atau jantung.

d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari

atau +++.
16

e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.

f) Biopsi ginjal.

g) Pemeriksaan saraf.

G. Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah

terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,

memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari

penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan

efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam

manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat

individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.

Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal

et al., 2010), sebagai berikut :

1. Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga

diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang

terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena

hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat

memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE.

Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E

75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi

seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.

Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk


17

penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang

terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah

2. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan

mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat

keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul

pada setiap pasien.

a). Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum)

(metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3

hr, jika membaik dilakukan tapering off).

b). AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

c). Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

d). Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000

mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan

setiap 3 minggu.

e). NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan

termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2010). NSAID

memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik NSAID dapat

dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2

inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan

COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat

rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta


18

tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang

berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin

untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal.

COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,

dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan

NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit

kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif

COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi

kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal,

2008).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien

terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya.

Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu

untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak

efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain

dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID

tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping

toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID

gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau

antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al.,

2010).
19

f). Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang

(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan

kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat

antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat

pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi

DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan

aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF-

α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal

terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2

minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis

diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE

teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering

dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per

minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat

(Herfindal et al., 2010).

g). Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak

memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau

antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang

mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih

menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.


20

Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi

melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi

asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi

seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta

menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang

bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek

imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus

sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag

jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut

dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi

interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen

(Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk

antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki

parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi

klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid

dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat

respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul

pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil

prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30

menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama

beberapa minggu.
21

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien

menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada

awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin,

blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10

minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi

DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa

manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,

abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19

hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason

karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti

ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk

terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan

penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling

sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika

penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka

dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan

untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika

akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang

dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena

dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan

supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).


22

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar

(contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat

dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau

hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama

penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk

melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif

untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2010).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan

diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap

tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini.

Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu

penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada

pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat

menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi

kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang

kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid

sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D

(Rahman, 2007).

h). Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan

obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu

proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga
23

menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel

T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B

dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig

G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat

berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya

neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara

rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu

diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian,

durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum

kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat

mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi

dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter

menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan

mengurangi dosis steroid. Efek samping lain pada penggunaan

siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual

dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik.

Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada

wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al.,

2010).

i). Terapi hormone

Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria

yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan.
24

Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak

pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE

mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini

memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek

samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998).

Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1,

IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan

untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme

secara in vivo belum diketahui.

j). Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga

dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum

menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg

and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian

antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari

selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan

kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002).

Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena

menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE.

Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin

B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).


25

H. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a). Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada

gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,

lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap

gaya hidup serta citra diri pasien.

b). Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

c). Kardiovaskuler

1). Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

2). Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis

menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari

kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.

d). Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku

pada pagi hari.

e). Sistem integument

a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang

melintang pangkal hidung serta pipi.

b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

f). Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

g). Sistem vaskuler


26

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous

dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan

bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

h). Sistem Renal

Edema dan hematuria.

i). Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun

manifestasi SSP lainnya.

2. Diagnosa Keperawatan

a). Uraian Masalah Keperawatan

1) Nyeri

2) Kerusakan intergritas kulit

3) Isolasi sosial

4) Kerusakan mobilitas fisik

5) Keletihan/kelelahan

6) Perubahan Nutrisi

7) Kurang Pengetahuan

b). Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.

3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

3. Intervensi (Rencana Tindakan)

a). Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.


27

Tujuan dan Kriteria Hasil :

Tujuan :

1) Gangguan nyeri dapat teratasi

2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

Kriteria Hasil :

1) Skala Nyeri : 1-10

a) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R) untuk

mandiri:

1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan

intensitas (skala nyeri 1-10).

R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan

jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian

balutan dan debridemen.

2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode

pemajanan pada udara terbuka.

R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada

pemajanan ujung saraf.

3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat,

penutup tubuh hangat.

R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas

eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri

obat dan/atau pada hidroterapi.


28

R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan

penggantian balutan dan debridemen.

5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.

R:Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat

meningkatkan mekanisme koping.

6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi

progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.

R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan

meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan

farmakologis.

7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.

R:membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan

memfokuskan kembali perhatian.

Untuk tindakan kolaborasi Kolaborasi:

8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.

R : membantu mengurangi nyeri.

b). Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

Tujuan :

1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

Kriteria Hasil :

1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

2) Rencana Tindakan dan Rasional untuk tindakan mandiri mandiri


29

b) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R):

Untuk Mandiri

1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi.

Gambarkan lesi dan amati perubahan.

R :Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di

bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh

kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase

dengan menggunakan lotion atau krim.

R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi

barier infeksi.

3) I : Gunting kuku secara teratur.

R: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau

barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.

R: Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses

penyembuhan.

Untuk tindakan kolaborasi:

5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai

indikasi

R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

c). Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.

Tujuan dan Kriteria Hasil :


30

Tujuan :

1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan

keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).

Kriteria Hasil :

2) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari

informasi yang diberikan

c) Rencana Tindakan dan Rasional

1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa

depan.

R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat

pilihan berdasarkan informasi.

2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.

R:mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung

keamanan bagi pasien/orang lain.

3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.

R:merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa

sejahtera.

4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi

R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi

kebutuhan perubahan/individu.

5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit

sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.


31

R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut;

mendukung pemulihan dan kemandirian.


32

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan bahwa,

Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker.

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk

secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.

Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi

diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar

ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini

ada kaitannya dengan hormon estrogen. Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum

yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar

dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B. Saran

Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :

1) Diharapkan kepada mahasiswa untuk bisa mengenali gejala-gejala pada penyakit

lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak awal untuk mempercepat proses

penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari penyebarannya

keseluruh organ tubuh.

2) diharapkan kepada mahasiswa perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses

penyembuhan penyakit ini.

31
33

3) diharapakan kepada mahasiswa agar mendapatkan informasi yang lebih dalam

makalah ini tentang penyakit systemic lupus erythematosus.

Anda mungkin juga menyukai