Kedaruratan psikiatri adalah suatu kondisi gangguan akut pada pikiran, perasaan,
perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen,
Forster, Zealberg, dan Currier, 2002). Sementara itu, menurut Kaplan dan Sadock
(1998), kedaruratan psikiatri adalah gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang
membutuhkan intervensi terapeutik segera, sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri
adalah perlu penanganan segera. Oleh karena itu, kedaruratan psikiatri di Indonesia
sering disebut dengan unit perawatan intensif psikiatri (UPIP) atau psychiatric intensive
care unit (PICU). Adapun kriteria kedaruratan memiliki kriteria adalah sebagai berikut.
Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai
dengan 72 jam. Berdasarkan hasil evaluasi, maka pasien pada fase ini memiliki
empat kemungkinan yaitu dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau
kembali ke ruang fase intensif I.
Pada fase intensif III, pasien dikondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi
menjadi lebih berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada
tindakan rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari.
Merujuk kepada hasil evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk
1
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
ke rumah sakit jiwa atau unit psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke
ruang fase intensif I atau II. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat
kedaruratan pasien adalah skala General Adaptive Function (GAF) dengan rentang
skor 1–30 skala GAF. Kondisi pasien dikaji setiap sif dengan menggunakan skor
GAF.
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi
dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh
seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien.
2
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat
memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan
mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah
meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu
gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien
selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,
kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali
menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan
psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini
dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang
dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk
merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.
3
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa
hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya
penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan
radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik
sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai
tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu.
Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia;
pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang
lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia
lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok
“Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia”
(“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan
penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic,
maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif,
mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap
siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau
berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau
6
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain,
karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia
menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali
kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada,
dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak
jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk
lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya
secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah
itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
7
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik
tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu
mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,
haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak
secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu
tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara
intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti
neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan
antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan
saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi
sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya
duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis,
2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-
barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan
Maramis, 2009).
Pasien dengan amuk, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk
lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila
sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis,
2009).
11
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga
lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
l. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki.
Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan
dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri,
meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan
overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
m. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
12
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih
jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
n. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding
ras kulit hitam.
o. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri.
Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah
meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
p. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki
resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi,
montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih
tinggi untuk bunuh diri.
q. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang
kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan
gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
s. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien
kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau
pasangan dalam satu tahun terakhir.
t. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain
itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan
kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
13
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya
terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1
mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus
terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.
Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,
pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini
dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni
dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.
16
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu
dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada
keluarga dan teman-temannya.
Terapi Psikofarmaka
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45
mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
Pasien baru yang masuk di UPIP dilakukan triase dengan mengkaji keluhan utama
pasien dengan menggunakan skor RUFA (1–30) dan tanda vital. Berikut kategori pasien
menurut skor RUFA adalah sebagai berikut.
1. Skor 1–10 masuk ruang intensif I.
2. Skor 11–20 masuk ruang intensif II.
3. Skor 21–30 masuk ruang intensif III.
Triase
Tahapan triase dilakukan rapid assessment/screening assessment yang dilakukan
berdasarkan protap. Pengkajian ini harus meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda
17
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
pengenal (KTP/ SIM/paspor), alamat, nomor telepon, serta nama dan nomor telepon orang
terdekat pasien yang dapat dihubungi. Selain itu, juga disertakan tanda vital dan keluhan
utama dengan skor RUFA untuk menentukan perlu tidaknya dirawat di unit UPIP dan bila
dirawat untuk menentukan level/fase intensif pasien. Sementara pihak medis melakukan
pengkajian dengan menggunakan skala GAF.
18
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
b. Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 11–20 skala RUFA
3. Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase
intensif I. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik dan terapi
olahraga.
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan
untuk dipindahkan ke ruang intensif III.
b. Bila kondisi pasien di atas skor 20 skala RUFA, maka pasien dapat dipindahkan ke intensif
III. Bila di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif I.
Fase Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase akut (intensif II).
b. Memfasilitasi perawatan mandiri pasien.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 21–30 skala RUFA.
3. Intervensi
19
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
20
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
DAFTAR PUSTAKA
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams
& Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
21
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang