Anda di halaman 1dari 21

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kedaruratan psikiatri adalah suatu kondisi gangguan akut pada pikiran, perasaan,
perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen,
Forster, Zealberg, dan Currier, 2002). Sementara itu, menurut Kaplan dan Sadock
(1998), kedaruratan psikiatri adalah gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang
membutuhkan intervensi terapeutik segera, sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri
adalah perlu penanganan segera. Oleh karena itu, kedaruratan psikiatri di Indonesia
sering disebut dengan unit perawatan intensif psikiatri (UPIP) atau psychiatric intensive
care unit (PICU). Adapun kriteria kedaruratan memiliki kriteria adalah sebagai berikut.

1. Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda, atau lingkungan.


2. Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, serta harta
benda dan lingkungan.
3. Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap
kehidupan, kesehatan, harta benda, atau lingkungan.
Berdasarkan prinsip segera, penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I
(24 jam pertama), fase intensif II (24–72 jam pertama), dan fase intensif III (72
jam–10 hari).

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan


Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di
rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi
terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
a. Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium
Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi,
diagnosis, perawatan, dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien,
maka pasien memiliki tiga kemungkinan yaitu dipulangkan, dilanjutkan ke fase
intensif II, atau dirujuk ke rumah sakit jiwa.

Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai
dengan 72 jam. Berdasarkan hasil evaluasi, maka pasien pada fase ini memiliki
empat kemungkinan yaitu dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau
kembali ke ruang fase intensif I.

Pada fase intensif III, pasien dikondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi
menjadi lebih berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada
tindakan rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari.
Merujuk kepada hasil evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk

1
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
ke rumah sakit jiwa atau unit psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke
ruang fase intensif I atau II. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat
kedaruratan pasien adalah skala General Adaptive Function (GAF) dengan rentang
skor 1–30 skala GAF. Kondisi pasien dikaji setiap sif dengan menggunakan skor
GAF.

Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi
dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh
seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien.
2
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat
memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan
mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah
meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu
gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien
selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,
kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali
menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan
psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini
dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang
dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk
merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.
3
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa
hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya
penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan
radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik
sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai
tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.

A. Keadaan Gaduh Gelisah


Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi
hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala
tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu
gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan
Maramis, 2009).
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis
(Maramis dan Maramis, 2009):
1. Delirium
2. Skizofrenia katatonik
3. Gangguan skizotipal
4. Gangguan psikotik akut dan sementara
5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
6. Amok
4
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak
organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.
Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin
terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik
(misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial,
dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya)
dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa
atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada
otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun
biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya
tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada
suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui
penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis
yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal


Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara
mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi
serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini
biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada
perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-
emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau
bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun.
Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah
ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping
5
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang
inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis,
2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara


Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan
hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari
dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba
kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan
psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif
dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu.
Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia;
pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang
lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia
lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).

5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok
“Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia”
(“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan
penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic,
maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif,
mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap
siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau
berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau
6
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain,
karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia
menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan


Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak
kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):


a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24 tahun,
status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali
kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada,
dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak
jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk
lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya
secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah
itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
7
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik
tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu
mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,
haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak
secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu
tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara
intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti
neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan
antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan
saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi
sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya
duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis,
2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-
barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan
Maramis, 2009).
Pasien dengan amuk, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk
lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila
sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis,
2009).

B. Tindak kekerasan (violence)


Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri
atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat
berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat
mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
8
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
 Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan
mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),
 Intoksikasi alkohol atau zat lain,
 Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
 Katatonik furor
 Depresi agitatif
 Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),
 Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
 Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,
 Adanya rencana spesifik,
 Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
 Laki-laki,
 Usia muda (15-24 tahun),
 Tatus sosioekonomi rendah,
 Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
 Tindakan antisosial lainnya
 Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak
kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan Psikoterapi
 Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang
jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan
batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan
bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
 Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
 Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang
dan penuh kontrol.
 Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
9
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa
dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu
pada anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa
bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda.
Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,
gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
- Ancaman verbal,
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti
garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk
menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien
diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-
rata per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).
10
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk
penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu
berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali
memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. (Elvira,
Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum


Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan
dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada macam-macam
pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih
dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah
tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai
integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside
juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh
diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali
beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside
macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang
menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak
dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri
pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam

11
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga
lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:


1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut
akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan
dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed
murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan
emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan
bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada
wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum
dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan
menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena
kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi,
tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
l. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki.
Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan
dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri,
meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan
overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
m. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan

12
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih
jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
n. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding
ras kulit hitam.
o. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri.
Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah
meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
p. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki
resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi,
montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih
tinggi untuk bunuh diri.
q. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang
kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan
gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
s. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien
kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau
pasangan dalam satu tahun terakhir.
t. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain
itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan
kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
13
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri


Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau
berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering
dikatakan pada keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,
pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan
harta/barang-barang miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
 Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
 Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
 Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
 Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh
dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau
14
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan
atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan
antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali
dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan
depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis,
2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan
percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan
secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi
berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat
di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah
menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan
berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan
masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan
mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka
yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide
bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya
terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1
mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus
terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.

D. Sindroma Neuroleptik Maligna


Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan
dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia,
akinesia mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah
yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
15
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain
dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari
pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10
hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin
terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi
atau dosis yang meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika
terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala
berikut:
- Diaforesis
- Disfagia
- Tremor
- Inkontinensia
- Penurunan kesadaran
- Mutism
- Takikardia
- Tekanan darah yang meningkat atau labil
- Leukositosis
- Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2
menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak
menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis
dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat
menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan
instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi
hipotalamus dan kekakuan otot

Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,
pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini
dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni
dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.

16
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu
dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada
keluarga dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan


 Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
 Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan
bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma
neuroleptik maligna.
 Hentikna pemberian antipsikotik segera.
 Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
 Lakukan pmeriksaan laboratorium
 Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
 Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian
adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda
atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka
 Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
 Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45
mg/hari
 Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

ALUR PENERIMAAN PASIEN DI UPIP

Pasien baru yang masuk di UPIP dilakukan triase dengan mengkaji keluhan utama
pasien dengan menggunakan skor RUFA (1–30) dan tanda vital. Berikut kategori pasien
menurut skor RUFA adalah sebagai berikut.
1. Skor 1–10 masuk ruang intensif I.
2. Skor 11–20 masuk ruang intensif II.
3. Skor 21–30 masuk ruang intensif III.

Triase
Tahapan triase dilakukan rapid assessment/screening assessment yang dilakukan
berdasarkan protap. Pengkajian ini harus meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda
17
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
pengenal (KTP/ SIM/paspor), alamat, nomor telepon, serta nama dan nomor telepon orang
terdekat pasien yang dapat dihubungi. Selain itu, juga disertakan tanda vital dan keluhan
utama dengan skor RUFA untuk menentukan perlu tidaknya dirawat di unit UPIP dan bila
dirawat untuk menentukan level/fase intensif pasien. Sementara pihak medis melakukan
pengkajian dengan menggunakan skala GAF.

Fase Intensif I (24 Jam Pertama)


1. Prinsip tindakan
a. Penyelamatan hidup (life saving).
b. Mencegah cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 1–10 skala RUFA.
3. Pengkajian
Hal-hal yang harus dikaji adalah sebagai berikut.
a. Riwayat perawatan yang lalu.
b. Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila memungkinkan).
c. Diagnosis gangguan jiwa di waktu yang lalu yang mirip dengan tanda dan gejala
yang dialami pasien saat ini.
d. Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah pasien saat ini.
e. Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerja sama dalam proses perawatan.
f. Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, yang mencakup jenis obat yang
didapat, dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat,
serta daftr obat terakhir yang diresepkan dan nama dokter yang meresepkan.
g. Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuropsikiatrik.
h. Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur.
Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu, pasien harus
sudah diperiksa dalam 8 jam pertama. Pasien yang berada dalam kondisi yang sangat
membutuhkan penanganan harus segera dikaji dan bertemu dengan psikiater/petugas
kesehatan jiwa dalam 15 menit pertama.
4. Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi ketat, yakni sebagai berikut.
a. Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri).
b. Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan).
c. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.
5. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan untuk
dipindahkan ke ruang intensif II.
b. Bila kondisi pasien di atas 10 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke intensif II.

Fase Intensif II (24–72 Jam Pertama)


1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I).

18
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
b. Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 11–20 skala RUFA
3. Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase
intensif I. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik dan terapi
olahraga.
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan
untuk dipindahkan ke ruang intensif III.
b. Bila kondisi pasien di atas skor 20 skala RUFA, maka pasien dapat dipindahkan ke intensif
III. Bila di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif I.
Fase Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase akut (intensif II).
b. Memfasilitasi perawatan mandiri pasien.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 21–30 skala RUFA.
3. Intervensi

a. Observasi dilakukan secara minimal.


b. Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri.
c. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi olahraga, dan
terapi keterampilan hidup (life skill therapy).
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan untuk
dipulangkan.
b. Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala RUFA, maka pasien dapat dipulangkan dengan
mengontak perawat CMHN terlebih dahulu. Bila di bawah skor 20 skala
RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif II, serta jika di bawah skor 11 skala RUFA,
maka pasien dikembalikan ke fase intensif I.

19
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
20
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang
DAFTAR PUSTAKA

Ah, Yusuf.2015.Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta Selatan: Salemba Medika


Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI

Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams
& Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

21
Elinda Miftahur Rohma
1601460010
D4 Keperawatan Malang

Anda mungkin juga menyukai