ADENOMIOSIS
Disusun Oleh :
1102014272
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1
adenomiosis itu sendiri.4,5,6 Kedua teknik noninvasif tersebut cukup akurat dalam
mendiagnosis adenomiosis preoperatif.4
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara
endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan
miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan kedalaman
penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:
2.2 Epidemiologi
4
2.3 Faktor Risiko
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain
usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus
spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali,
riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas,
menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD
dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.2,10
Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk adenomiosis.
Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan parous dan hampir 80 persen
berkembang pada wanita di usia empat puluhan dan lima puluhan (Lee, 1984).1
2.4 Histologi
Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain, berperan
sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar endometrium berkontak
langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted menunjukkan tiga lapisan berbeda
pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan dalam, mukosa endometrium, intensitas
tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.
Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut
bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan secara siklis
menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya peristaltik uterus
di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur pada MRI
akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH.4
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Anatomi
Pada pemeriksaan kotor, biasanya terdapat pembesaran uterus secara
menyeluruh, tetapi pembesarannya jarang melebihi kehamilan 12 minggu. Kontur
permukaan halus dan teratur, tekstur rahim melunak, dan kemerahan warna
miometrium seperti pada umumnya. Pada potongan , permukaan rahim biasanya
memperlihatkan gambaran spons dengan perdarahan fokal1.
5
Gambar 2.1 Adenomyosis. A. Gross bivalved uterine specimen. Note the spongy texture of this
uterus with adenomyosis. Gambar 2.2 B. Microscopically benign endometrial glands (arrows) and
stroma infiltrate deeply into the myometrium. (Courtesy of Dr. Raheela Ashfaq.)
6
menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di lapisan
fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat
implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk
regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada
saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan
sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula
intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi
pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam
studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana
potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam
miometrium.4,9
7
endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen
dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4
8
belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan
dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada
Carsinoma endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya
yang ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
Choriocarsinoma.
9
Gambar 2.3 skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-dependent.
10
oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin dan konsumsi makanan, tetapi
hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada penelitian dengan hewan coba,
dioxin meningkatkan aktivitas peristaltik tuba dan diaktifkan melalui reseptor estrogen.
Faktor keturunan juga diteliti pada koloni monyet Rhesus yang menunjukkan ada
kaitannya dengan endometriosis.
11
yang tergantung dari potensial proliferative dari fragmen basalis masing-masing.
Gambaran endometriosis pelvis yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak
gangguan awal pada tingkat archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis.
2.6 Diagnosis
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan
pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.
Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah
dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis
prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4
12
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat
digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu
Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.4
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan
kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki
sensitivitas yang rendah.4
13
transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat
akurasinya.4
Selama bertahun-tahun, diagnosis adenomiosis dalam banyak kasus telah dibuat secara
retrospektif dengan histerektomi. serum dari CA125 tumor marker telah dievaluasi
sebagai alat diagnostik tetapi belum terbukti bermanfaat. Meskipun tingkat CA125
biasanya meningkat pada wanita dengan adenomiosis, mereka juga dapat meningkat
pada orang-orang dengan leiomioma, endometriosis, infeksi panggul, dan keganasan
panggul.
Sonografi
Karena sonografi transabdominal tidak konsisten mengidentifikasi perubahan
miometrium pada adenomiosis, pencitraan dengan TVS lebih disukai, dan pencitraan
MR mungkin lebih banyak mendapat pujian. (Bazot, 2001; Reinhold, 1998).
Adenomiosis fokal muncul sebagai nodul diskrit hypoechoic yang dapat dibedakan
dengan leiomioma oleh pinggiran/ batas yang susah dijelaskan,lebih berbentuk elips
daripada bentuk globular, efek massa minimal pada jaringan sekitarnya, kurangnya
kalsifikasi, dan adanya kista anechoic dengan diameter bervariasi (Fedele, 1992;
Reinhold 1998)
14
2.7 Gambaran Klinis
Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal atau
MRI;
15
Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan
adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)
2.9 Penatalaksanaan
16
a. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi hormonal
dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat hormonal hanya
mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian obat dihentikan. Obat
hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin releasing hormone
agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja
GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis
dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.4
b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis.
Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang progresif
seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun
telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik operasi baru telah
dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang
baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus direkonstruksi
dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur uterus apabila
pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan,
16 di antaranya berhasil dan 14 dapat mempertahankan kehamilannya hingga aterm
dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum
diterima secara luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.4
17
BAB III
KESIMPULAN
18
lain menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis
endometrium maupun adenomiosis.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan
pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan
rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya.
a. Terapi Hormonal
b. Terapi Operatif
Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari
90% kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan. Dan
karena kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause dapat
menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat dilakukan
apabila keluhan sangat mengganggu dan mengancam.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, Mc Graw Hill, 2008.
2. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th Ed.
2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998;
4: 312-322.
4. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63.
5. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility.
Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.
6. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.
7. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 23rd 2019).
www.medscape.com.
9. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed. 2007.
London : Blackwell Science, Ltd.
10. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and Uncommon
Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound
Med 2006; 25:617–627.
11. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6
pp.1275–1279, 1997.
12. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott
Williams & Wilkins.
13. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell
Science, Ltd.
20