Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ADENOMIOSIS

Disusun Oleh :

Ulfi Nela Yanar

1102014272

Pembimbing :

dr. Trubus Priyoko, Sp.OG.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARJAWINANGUN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan


kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan
endometrium fungsional di miometrium.1,2 Istilah adenomiosis diperkenalkan pertama
kali oleh Frankl (1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh
Sampson (1927).2,3
Gambaran cystosarcoma adenoids uterinum (istilah awal adenomiosis)
pertama kali dilaporkan oleh patolog Carl von Rokitansky (1860).2,3,4 Pada tahun 1896,
von Recklinghausen melaporkan fenomena yang sama dengan istilah adenomyomata
dan cystadenomata.2 Pada masa itu, patomekanisme adenomiosis dan endometriosis
masih dianggap berbeda.3 Thomas Stephen Cullen (1908) menemukan tumor
intramiometrial dengan epitel dan stroma endometrial terdistribusi di dalamnya. Tahun
1921 barulah disadari bahwa ‘adenomiosis’ dan ‘endometriosis’keduanya berasal dari
jaringan endometriotik serupa.2,3
Tahun 1972, Bird et al. mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi
jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan
pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik
dan hiperplastik.2,3,4 Belakangan diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasi
sebagai lesi fokal terisolasi dalam miometrium.1
Pada awal tahun 1988, Honoré et al. mempublikasikan kasus adenomiosis
pada tiga wanita muda infertil yang menjalani pembedahan dengan diagnosis awal
leiomioma uteri.4 Memang, telah lama dicurigai adenomiosis berperan sebagai salah
satu penyebab subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja
diagnosis adenomiosis saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga
sangat sulit mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4
Kini, pada wanita muda tanpa gejala sekalipun magnetic resonance imaging
(MRI) memungkinkan identifikasi penebalan junctional zone (JZ), tautan antara
endometrium dengan sisi dalam miometrium. JZ mengalami penebalan signifikan pada
adenomiosis.4Transvaginal sonography(TVS) memungkinkan identifikasi

1
adenomiosis itu sendiri.4,5,6 Kedua teknik noninvasif tersebut cukup akurat dalam
mendiagnosis adenomiosis preoperatif.4

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi & Klasifikasi

Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak


jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran
uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik
non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.2,3,4
Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis
adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di
kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ seringkali
ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis
minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di
sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus
adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.2
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori berdasarkan
kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan dalam dan lapisan
permukaan.7
Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis sederhana
berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan
JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun. Kedua, adenomiosis parsial
atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan
melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan ketiga, adenomioma,
massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal rendah pada semua
sekuens MRI.4
Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika
ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial
junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak antara
batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm.
Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar endometrium < 2
mm di bawah stratum basalis endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih dari
sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan Ferenczy tetap

3
mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis adenomiosis jika jarak antara
endomyometrial junction dengan fokal adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan
miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan kedalaman
penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:

· Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)

· Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium

· Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)

Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-pulau


endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3), sedang (4-9) & berat
(>10).

2.2 Epidemiologi

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain


dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .8 Studi di
Nepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen
histerektomi.5 Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997)
melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani
histerektomi atas berbagai indikasi.10 Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi
studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang.4,10
Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan teknologi
memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya
dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54%
hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti
lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan
agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152 pasien
in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang diukur
dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa peningkatan
ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan kegagalan implantasi pada IVF.
Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada
subjek lain.4

4
2.3 Faktor Risiko

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain
usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus
spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali,
riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas,
menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD
dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.2,10
Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk adenomiosis.
Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan parous dan hampir 80 persen
berkembang pada wanita di usia empat puluhan dan lima puluhan (Lee, 1984).1

2.4 Histologi

Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain, berperan
sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar endometrium berkontak
langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted menunjukkan tiga lapisan berbeda
pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan dalam, mukosa endometrium, intensitas
tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.
Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut
bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan secara siklis
menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya peristaltik uterus
di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur pada MRI
akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH.4

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Anatomi
Pada pemeriksaan kotor, biasanya terdapat pembesaran uterus secara
menyeluruh, tetapi pembesarannya jarang melebihi kehamilan 12 minggu. Kontur
permukaan halus dan teratur, tekstur rahim melunak, dan kemerahan warna
miometrium seperti pada umumnya. Pada potongan , permukaan rahim biasanya
memperlihatkan gambaran spons dengan perdarahan fokal1.

5
Gambar 2.1 Adenomyosis. A. Gross bivalved uterine specimen. Note the spongy texture of this
uterus with adenomyosis. Gambar 2.2 B. Microscopically benign endometrial glands (arrows) and
stroma infiltrate deeply into the myometrium. (Courtesy of Dr. Raheela Ashfaq.)

2.5.2 Patologi Anatomi


Teori yang paling banyak dipakai mengenai perkembangan adenomiosis
menggambarkan invaginasi ke bawah lapisan basalis endometrium dalam ke
miometrium.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium
masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferasi
secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan
fungsional menjadi tempat implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan
dalam proses regenerasi setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi.
Selama periode regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan
langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari
stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya
hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam
miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis
dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada masih


harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis

6
menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di lapisan
fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat
implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk
regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada
saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan
sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula
intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi
pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam
studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana
potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam
miometrium.4,9

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu


menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih mengekspresikan
reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang normal, kelenjar-
kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun
belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan
dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada
karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya
yang ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
koriokarsinoma.4

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang


tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada
40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor
progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik
pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan
progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.4

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang


menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi
estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya

7
endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen
dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma endometri,


endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase
menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi
oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang
meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi,
akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.
mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase
yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara
imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada manusia


masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis
menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & ciliogenesis di lapisan
fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat
implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk
regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada
saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan
sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula
intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi
pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam
studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana
potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam
miometrium.

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu


menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih mengekspresikan
reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang normal, kelenjar-
kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun

8
belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan
dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada
Carsinoma endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya
yang ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
Choriocarsinoma.

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang


tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada
40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor
progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik
pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan
progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang


menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi
estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya
endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen
dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma endometrii,


endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase
menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi
oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang
meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi,
akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.

9
Gambar 2.3 skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-dependent.

Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase & sulfatase. Produksi


estrogen lokal meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-sama dengan estrogen
dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan yang termediasi oleh reseptor
estrogen.

mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama


aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir
secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.

PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS & ADENOMIOSIS

Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam perkembangan


endometriosis & adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu oleh peningkatan kadar
estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol yang memicu hiperperistaltik ini
dapat juga berasal dari endometrium itu sendiri. Adanya ekspresi P450 aromatase
selama fase luteal, dimana lapisan basalis endometrium merupakan kelenjar endokrin
yang memproduksi estrogen dari prekursor androgen. Pada wanita dengan adenomiosis
dan endometriosis, konsentrasi estrogen dalam darah saat haid lebih tinggi
dibandingkan wanita normal.

Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium merupakan salah


satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis yang dipengaruhi juga

10
oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin dan konsumsi makanan, tetapi
hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Pada penelitian dengan hewan coba,
dioxin meningkatkan aktivitas peristaltik tuba dan diaktifkan melalui reseptor estrogen.
Faktor keturunan juga diteliti pada koloni monyet Rhesus yang menunjukkan ada
kaitannya dengan endometriosis.

Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan endometriosis dan


adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh peningkatan lokal dari estradiol dan
oksitosin endometrium beserta reseptornya. Kejadian yang menyebabkan
hiperestrogenisme archimetrium sampai saat ini belum diketahui. Diduga karena
peranan P450 aromatase yang karena aktivasi P450 aromatase menyebabkan
peningkatan produksi lokal dari estrogen. Hiperestrogenisme archimetrium
menghasilkan hiperperistaltik uterus dan peningkatan tekanan uterus.

Gambar 2.4 skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis

Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi peningkatan


deskuamasi fragmen endometrium basalis dan juga terjadi peningkatan kapasitas
transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi fragmen-fragmen tersebut
melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi dimanapun di dalam cavum
peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi proliferasi dan pertumbuhan infiltrative

11
yang tergantung dari potensial proliferative dari fragmen basalis masing-masing.
Gambaran endometriosis pelvis yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak
gangguan awal pada tingkat archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis.

Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek. Adanya


hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan dehisiensi miometrium
yang dapat terinfiltasi oleh endometrium basalis. Terbentuklah adenomiosis fokal atau
difus. Adenomiosis fokal biasanya berada di dinding anterior dan atau posterior, namun
terutama di dinding posterior dan tidak pernah berada di dinding lateral atau corpus
uteri.

2.6 Diagnosis

Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen bedah,


meskipun salah satu bentuk dapat diduga secara klinis. Dengan demikian, dilaporkan
insiden di spesimen histerektomi bervariasi tergantung pada kriteria histologis serta
tingkat sectioning, tetapi berkisar antara 20 sampai 60 persen (Bird, 1972; Parazzini,
1997).1

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan


pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat
dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis
seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis. Sehingga adanya kecurigaan
klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa USG
transvaginal dan MRI.4

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan
pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.
Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah
dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis
prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4

Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai


adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis

12
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat
digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu
Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.4

Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan
kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki
sensitivitas yang rendah.4

Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar


berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium
dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001 melaporkan bahwa
USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1%
untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas diagnostik
yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang terdapat fibroid.4

Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal yang


menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik dengan USG
transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang heterogen/distorsi,
echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier
miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%,
spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG transvaginal dalam
mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk
adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan modalitas pencitraan
yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal ini karena
kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat anatomi internal
uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk,
kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium
dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12 mm.4

Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG


transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu
menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG

13
transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat
akurasinya.4

Kanker Antigen 125

Selama bertahun-tahun, diagnosis adenomiosis dalam banyak kasus telah dibuat secara
retrospektif dengan histerektomi. serum dari CA125 tumor marker telah dievaluasi
sebagai alat diagnostik tetapi belum terbukti bermanfaat. Meskipun tingkat CA125
biasanya meningkat pada wanita dengan adenomiosis, mereka juga dapat meningkat
pada orang-orang dengan leiomioma, endometriosis, infeksi panggul, dan keganasan
panggul.

Sonografi
Karena sonografi transabdominal tidak konsisten mengidentifikasi perubahan
miometrium pada adenomiosis, pencitraan dengan TVS lebih disukai, dan pencitraan
MR mungkin lebih banyak mendapat pujian. (Bazot, 2001; Reinhold, 1998).

Di tangan sonographers berpengalaman, temuan adenomiosis difus dapat meliputi: (1)


anterior atau posterior dinding miometrium tampak lebih tebal daripada yang lain, (2)
heterogenitas miometrium, (3) kista hypoechoic miometrium kecil, mewakili kelenjar
cystic dalam pusat endometrium ektopik , dan (4) proyeksi lurik linear membentang
dari endometrium ke dalam miometrium (Reinhold, 1999).

Adenomiosis fokal muncul sebagai nodul diskrit hypoechoic yang dapat dibedakan
dengan leiomioma oleh pinggiran/ batas yang susah dijelaskan,lebih berbentuk elips
daripada bentuk globular, efek massa minimal pada jaringan sekitarnya, kurangnya
kalsifikasi, dan adanya kista anechoic dengan diameter bervariasi (Fedele, 1992;
Reinhold 1998)

Karena temuan ini mungkin susah, pengalaman operator mempengaruhi akurasi


diagnostik berpengaruh lebih dari kebanyakan patologi panggul lainnya. Selain itu,
adanya penyakit bersamaan rahim lainnya seperti leiomioma atau kanker endometrium
juga membatasi akurasi. Dalam pengaturan ini, MR pencitraan telah terbukti sangat
akurat untuk diagnosis (lihat Gambar. 2-26).

14
2.7 Gambaran Klinis

Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala. keparahan


mereka berkorelasi dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik dan luasnya invasi
(Levgur, 2000; Nishida, 1991; Sammour, 2002). Biasanya terdapat gejala Menorrhagia
dan dismenore. Menorrhagia mungkin akibat dari peningkatan dan vaskularisasi
abnormal dari lapisan endometrium. Dismenore diduga disebabkan oleh peningkatan
produksi prostaglandin ditemukan dalam jaringan adenomyotic dibandingkan dengan
miometrium normal (Koike, 1992). Mungkin 10 persen mengeluhkan dispareunia.
Karena adenomiosis biasanya berkembang pada wanita parous tua di 40-an dan 50-an,
infertilitas bukanlah keluhan umum (Nikkanen, 1980)1.

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan


rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah studi dimana telah
ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari spesimen histerektomi,
35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala adenomiosis yang umum
yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum
terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu
dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.

Tabel 2.1 Presentasi klinis adenomiosis

Gejala Klinis Adenomiosis


1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal atau
MRI;

bersama dengan patologi yg lain)


2. Perdarahan uterus abnormal

Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses adenomiosis

(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat)

15
Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan
adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar


adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari kelenjar
adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan hubungannya dengan
perdarahan banyak menentukan pilihan strategi penatalaksanaannya. McCausland
menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi endometrium, kedalaman penetrasi
adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak
yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi
endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan
perdarahan banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah
konvensional yaitu histerektomi.2,11,12

2.8 Diagnosis Banding

Gejala mungkin seperti pada penderita leiomioma, kanker endometrium,


endometriosis, dan penyakit radang panggul kronis. Kanker endometrium, hipertrofi
miometrium, atau kontraksi uterus mungkin tampak seperti ademiosis difus pada
pencitraan sonografi. Adenomiosis fokal dapat memberikan karakteristik sonografi
leiomyomas.

2.9 Penatalaksanaan

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi


selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi
dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi noninvasif terlebih
dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral dan
progestin telah menunjukkan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis pada
prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan endometriosis.8,12

16
a. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi hormonal
dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat hormonal hanya
mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian obat dihentikan. Obat
hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin releasing hormone
agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja
GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis
dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.4

b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis.
Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang progresif
seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun
telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik operasi baru telah
dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang
baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus direkonstruksi
dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur uterus apabila
pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan,
16 di antaranya berhasil dan 14 dapat mempertahankan kehamilannya hingga aterm
dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum
diterima secara luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.4

17
BAB III

KESIMPULAN

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al.


(1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium
ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan
gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik
dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori berdasarkan
kedalaman lokasi lesi. Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis
sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus.
- Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ≤12 mm pada
wanita berusia ≤35 tahun.
- Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial
berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <⅓,
<⅔ atau >⅔.
- Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas
sinyal rendah pada semua sekuens MRI.
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain
dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain :
- Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah
(<7 tahun mengenyam pendidikan), riwayat hiperplasia endometrium, riwayat
abortus spontan, dan polimenore.10
- Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus
provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause,
panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan
tidak berkaitan dengan adenomiosis.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium
masih belum jelas. Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia
insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Beberapa menunjukkan
tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang

18
lain menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis
endometrium maupun adenomiosis.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan
pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan
rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya.
a. Terapi Hormonal
b. Terapi Operatif
Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari
90% kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan. Dan
karena kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause dapat
menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat dilakukan
apabila keluhan sangat mengganggu dan mengancam.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, Mc Graw Hill, 2008.
2. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th Ed.
2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998;
4: 312-322.
4. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63.
5. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility.
Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.
6. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.
7. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 23rd 2019).
www.medscape.com.
9. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed. 2007.
London : Blackwell Science, Ltd.
10. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and Uncommon
Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound
Med 2006; 25:617–627.
11. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6
pp.1275–1279, 1997.
12. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott
Williams & Wilkins.
13. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell
Science, Ltd.

20

Anda mungkin juga menyukai