Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh :

Maria Elfiana Barus


Nisa Faradisa Hernita
Olivia Amanda
Yolanda Julia Perel Putri

Pembimbing:

dr. Deddy Satriya Putra, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus genus Flavivirus, family Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu

DEN-1,DEN-2, DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes

aegypti atau Aedes albopictus. Dari 4 serotipe dengue yang terdapat di Indonesia, DEN

-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat,

diikuti dengan serotipe DEN-2. 1

DBD saat ini masih menjadi problem kesehatan masyarakat. Penyakit ini

ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan

subtropik baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Kejadian Luar Biasa

(KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya

musim penghujan. 2

Penyakit DBD di Indonesia ditemukan pertama kali di Surabaya pada tahun

1968, empat belas tahun setelah Kejadian Luar Biasa (KLB) di Manila (Filipina),

dimana didapatkan 58 orang yang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia

dengan Angka kematian (AK) 41,3 %. Sejak itulah penyakit ini menyebar luas

keseluruh daerah yang ada di Indonesia.3

Dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) Indonesia

dimasukkan dalam kategori “A” yang mengindikasikan tingginya angka


perawatanrumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. World Health

Organization -South-East Asia Regional Office(WHO-SEARO) melaporkan bahwa

pada tahun 2009 terdapat 156.052 kasus dengue dengan 1.396 jumlah kasus kematian

di Indonesia dan case-fatality rates (CFR) 0.79%. 3,4

Berdasarkan data dari pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI,

pada tahun 2015 tercatat sebanyak 126.675 penderita DBD dari 34 provinsi yang ada

di Indonesia dan 1.229 diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut mengalami

peningkatan dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2014 ditemukan 100.347

penderita DBD dan 907 diantaranya meninggal dunia. Peningkatan tersebut disebabkan

oleh akibat perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan

lingkungan. Incident rate (IR) untuk provinsi Riau pada tahun 2015 yaitu sebesar 51,4

per 100.000 penduduk dan case-fatality rates (CFR) sebesar 0,67 %.3

DBD ditandai oleh demam akut akibat infeksi virus dengue yang menyerang

baik dewasa maupun anak-anak. Namun demikian, penyakit ini lebih banyak

menimbulkan korban pada anak-anak dibawah usia 15 tahun, karena sebagian besar

pada pasien anak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan disertai dengan terjadinya

perdarahan yang mengakibatkan renjatan sehingga dapat berakibat kematian pada

penderita.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau dengue

hemorraghic fever (DHF) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue yang disebarkan oleh nyamuk yang membawa virus dengue, terutama spesies

nyamuk Aedes aegypty.6Virus dengue merupakan virus dari genus Flavivirus dan

family Flaviviridae.Virus dengue terbagi atas beberapa serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,

DEN-3, DEN-4 denganserotipe DEN-3 adalah yang paling banyakditemukan di

Indonesia.7

Gambar 2.1Virus dengue dibawah mikroskop electron8

2.2 Patogenesis

Patogenesis DHF dan DSS (Dengue shock syndrome) masih merupakan

masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah

hipotesis infeksi sekunder (seconday heterologous infection) atau hipotesis immune


enchacement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang

mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog

mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk mederita DHF.9

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi

selain mengaktivasi system komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivasi system koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluhdarah. Kedua

faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi

sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membrane trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin diphosphate), sehingga trombosit melekat

satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh system RES

(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini

akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan koagulopati

konsumtif (KID= koagulasi intrvaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan

FDP (fibrinogen degradation product), sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.9

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak dapat berfungsi baik. Disisilain,

aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman, sehingga terjadi

aktivasi system kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat

mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan massif pada DBD diakibatkan oleh

trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (KID/DIC),kelainan fungsi trombosit

dan kerusakan dinding endotel kapiler, yang akhirnya akan terjadi perdarahan yang

akan memperberat syok yang terjadi.9


Gambar 2.2 Patogenesis DBD9

2.3 Klasifikasi

Keparahan DBD dapat dibagi menjadi 4 derajat (Gambar 2.3). Trombositopenia

bersamaan dengan hemokonsentrasi merupakan petanda yang membedakan DHF

derajat I dan II dengan demam dengue.10

Gambar 2.3 Klasifikasi Dengue menurut WHO 201110

2.4 Manifestasi Klinis


Dalam perjalanannya, kasus DBD memiliki beberapa fase yang umumnya

terjadi pada pasien DBD. Fase tersebut terdiri dari fase febris, fase kritis dan fase

pemulihan.Manifestasi klinis yang terjadi bergantung dari strain virus dan faktor

penjamu seperti usia, status imunitas dan sebagainya. (Gambar 2.4).10

Gambar 2.4 Spektrum klinis infeksi dengue10


Gambar 2.5. Perjalanan DHF6

2.5 Diagnosis

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain :

1. Demam : dengan onset akut, demam tinggi dan berlangsung terus menerus,

Lamanya demam sebagian besar terjadi dalam dua hingga tujuh hari.

2. Terdapat satu dari manifestasi perdarahan berikut : uji tourniquet positif,

petekie, purpura (pada area pengambilan sampel darah vena) , ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena

3. Hepatomegali dapat dijumpai pada 90-98% anak-anak.

4. Syok, dengan manifestasi takikardia, perfusi jaringan yang buruk dengan

denyut nadi yang lemah serta tekanan nadi yang sempit( < 20 mmHg ) atau

hipotensi yang disertai dengan akral dingin dan lembab dan atau gelisah.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hasil sebagai berikut :

1. Trombositopenia ( < 100.000 / mm 3 )

2. Hemokonsentrasi :hematokrit meningkat > 20% dari baseline pasien tersebut

atau populasi dengan usia sama.

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi

atau peningkatan nilai hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosa DBD. Jika

terdapat hepatomegali selain dua kriteria klinis diatas, maka DBD dapat disangkakan

sebelum munculnya tanda-tanda kebocoran plasma.10

Munculnya efusi pleura (yang ditemukan berdasarkan rontgen torak maupun

sonografi) merupakan bukti yang paling objektif terhadap adanya kebocoran plasma,

dengan hipoalbuminemia sebagai bukti pendukungnya. Hal ini bermanfaat untuk

mendiagnosa DBD pada kondisi :10

1. Anemia

2. Perdarahanhebat

3. Tidakadanilai baseline hematokrit

4. Peningkatan hematokrit< 20 % dikarenakan pemberian terapi intravena dini.

Pada keadaan syok, nilai hematokrit yang tinggi disertai trombositopenia dapat

menyokong diagnosis SSD. Nilai laju endap darah (LED) yang rendah yakni< 10 mm/1

jam pertama dapat membedakan antara syok akibat SSD dan syok akibat sepsis.10

Perlu diingat bahwa, diagnosis DHF juga mungkin dapat disertai dengan

adanya warning sign atau petanda bahaya yaitu antara lain : 10


1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat sebelum atau selama

transisi ke fase afebris.

2. Muntah persisten, tidak bisa minum .

3. Nyeri abdomen yang berat

4. Lesudan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak .

5. Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis, perdarahan menstruasi yang

berlebihan, urin berwarna gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.

6. Perasaan pusing.

7. Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.

8. Kurang / tidak ada produksi urine selama 4-6 jam

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan infeksi dengue pada prinsipnya adalah terapi cairan. Hal ini

bertujuan untuk mengisi volume didalam cairan intravaskular yang hilang serta

mencegah syok. Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan

untuk sekedar mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi. Larutan kristaloid

isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6bulan lebih tepat

menggunakan natrium klorida 0,45%.Pemberian cairan intravena harus dimulai jika

asupan oral buruk atau peningkatan hematokrit terus berlanjut serta jika terdapat

warningsign.10
Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam

bagi mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi cairan

intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena

pasien yang tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran plasma sementara pasien

yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung dalam durasi yang lebih panjang

hingga terapi intravena dimulai.10

Gambar 2.6 Kebutuhan vairan berdasarkan berat badan ideal4

Gambar 2.7 Kecepatan pemberian intravena10


Gambar 2.8 Kecepatan cairan intravena pada DHF non syok10

Gambar 2.9. Tatalaksana Sindroma syok dengue.9


2.7 Komplikasi

Komplikasi DHF yang terjadi biasanya dikaitkan dengan syok yang nyata/

berlangsung lama sehingga menyebabkan asisdosis metabolik dan perdarahan hebat

sebagai akibat dari koagulasi intravascular diseminata (KID) dan kegagalan multiorgan

seperti disfungsi hati dan ginjal. Hal yang lebih penting diperhatikan adalah bahwa

pemberian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma dapat

menyebabkan efusi yang massif dan gangguan pernafasan, bendungan paru akut

dan/atau gagal jantung.9

Cairan yang terus diberikan setelah berakhirnya periode kebocoran plasma

dapat berakibat edema paru akut atau pun gagal jantung, khususnya dengan adanya

reabsorbsi cairan yang sebelumnya mengalami ekstravasasi. Selainitu, syok yang

nyata/berlama-lama serta pemberian cairan yang tidak tepat dapat menyebabkan

gangguan metabolik/elektrolit. Gangguan metabolik yang paling sering ditemukan

adalah hipoglikemia, hiponatremia, hipokalemia dan kadang-kadang hiperglikemia.

Hal ini dapat berakibat munculnya berbagai manifestasi yang jarang, misalnya

ensefalopati.10
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama / No. MR : An. MZI / 969889

Umur : 9 tahun 5 bulan

Ayah / Ibu : Tn. Eko / Ny. Desi

Suku : Jawa / Minang

Alamat : Jl. Setia Mulya No. 6 Pekanbaru

Tanggal masuk : 31 Oktober 2017

Tanggal periksa : 1 November 2017

Tanggal pulang : 3 November 2017

ANAMNESIS (Alloanamnesis)

Diberikan oleh: Ibu pasien

Keluhan utama: Demam sejak 6 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :

Sejak 6 hari SMRS, pasien mengalami demam. Demam dirasakan mendadak

tinggi dan terus menerus sepanjang hari. Demam turun jika diberi obat penurun panas,

namun beberapa saat kemudian suhu kembali meningkat. Pasien juga mengeluhkan

nyeri pada kepala, nyeri pada belakang bola mata dan nyeri pada sendi anggoa gerak.

Lemas (+) nafsu makan menurun (+) namun pasien masih mau minum. Kejang (-)
batuk pilek (-) sesak nafas(-) nyeri menelan (-) nyeri pada telinga (-) nyeri pada perut

(-).Pasien kemudian dibawa klinik pratama dan diberikan obat penurun panas

kemudian pasien dipulangkan.

3 hari SMRS pasien mengeluhkan mimisan yang keluar sedikit-sedikit, darah

berwarna merah segar. Pasien juga mengeluhkan gusi berdarah sebanyak ± ½ sendok

makan, darah berwarna merah segar. Pasien mengaku tidak ada bitnik kemerahan pada

kulitnya.

1 hari SMRS pasien masih mengeluhkan demam yang tidak turun dan sudah

berlangsung sejak 6 hari. Pasien juga masih mengalami mimisan dan mulai

mengeluhkan nyeri ulu hati. Pasien mengeluhkan batuk yang tidak berdahak, sesak

nafas (-) pilek (-). Pasien tampak semakin lemas dan selera makan menurun. BAB tidak

ada keluhan, frekuensi ± 1 kali sehari, tidak ada keluhan sulit BAB, mencret (-). BAB

berwarna hitam (-) frekuensi 4-6 kali per hari, warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-

) BAK lampias, BAK terakhir 2 jam SMRS. Oleh karena itu pasien dibawa berobat ke

poli anak RSUD Arifin Achmad. Saaat dipoli klinik pada pasien dilakukan uji

pembendungan selama 10 menit pada lengan kiri dan didapatkan adanya bitnik

kemerahan pada kulit sebanyak ± 10 bintik dalam lingkaran 5 cm. Kemudia pasien

di rawat di bangsal anak.

Riwayat penyakit dahulu :

 Tidak pernah mengeluhkan hal yang sama

 Riwayat alergi disangkal

 Riwayat kelainan darah disangkal


 Riwayat kejang demam tidak ada

Riwayat penyakit keluarga :

 Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal yang sama

 Riwayat kelainan darah disangkal

Riwayat orang tua :

 Ayah: Wiraswasta

 Ibu: IRT

Riwayat kehamilan dan persalinan :

Pasien merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara, lahir dengan persalinan normal

ditolong oleh bidan, hamil cukup bulan, Ibu pasien lupa tanggal HPHT, berat badan

lahir 3200 gram, panjang badan lahir 51 cm, langsung menangis kuat. Ibu pasien rutin

melakukan kontrol kehamilan ke bidan setiap bulan, USG 3x didapatkan janin dalam

keadan sehat. Konsumsi tablet Fe (+) imunisasi TT (-) pemeriksaan TD (+)

pemeriksaan gula darah (-) pemeriksaan urin (-) konsumsi jamu (-)

Riwayat makan dan minum:

 0-1 tahun : ASI

 6 bulan-1,5 tahun : ASI+MPASI

 1,5 tahun – sekarang : Makan Biasa (Nasi)

Riwayat imunisasi :

Ibu pasien rutin melakukan imunisasi di Posyandu setiap bulan dan dikatakan anaknya

lengkap menerima semua imunisasi hingga usia 9 bulan.


Riwayat Pertumbuhan Fisik:

 BBL : 3200 gr

 BB sekarang : 24 kg

 PBL : 51 cm

 TB sekarang : 131 cm

 LK : 50 cm

 LILA : 18 cm

Riwayat Perkembangan :

 Merangkak usia 4 bulan

 Duduk usia 6 bulan

 Berjalan usia 10 bulan

 Berbicara usia 1,5 tahun

Riwayat perumahan dan tempat tinggal:

Pasien tinggal di rumah permanen. Pencahayaan cukup. Air minum

menggunakan air galon dan MCK dari sumur bor. Dilingkungan rumah dan sekolah

pasien tidak ada yang memiliki keluhan demam seperti pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Suhu : 39,2 oC
Nadi : 92 x/menit

Nafas : 22 x/menit

Gizi

TB : 131 cm

BB : 24 kg

BBI : 27 kg

Lingkar kepala : 50 cm

LILA : 18 cm

Kepala : Normocephali (>-2SD)

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Mata

Kelopak mata : Edema palpebra (-)

Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (-/-)

Pupil : Isokor ( 2 mm/ 2 mm)

Reflek cahaya : (+/+)

Eksoftalmus/enoftalmus : (-)

Mata cekung : (-)

Gerakan bola mata: dalam batas normal

Kornea : Normal, jernih

Telinga : Cairan (-), darah (-), bentuk normal

Hidung : Cairan (-), bukti bekas perdarahan pada mukosa hidung

(-), pernafasan cuping hidung (-)


Mulut

Bibir : Tidak pucat

Selaput lendir : Basah

Palatum : Utuh

Lidah : Tidak kotor, hiperemis (-)

Gigi : Karies (-), gigi berlubang (-)

Tonsil : Tonsil kiri dan kanan T2-T3, hiperemis (-)

KGB : Tidak ada pembesaran

Kaku kuduk : Tidak ada kaku kuduk

Dada :

- Inspeksi :
o Statis: Bentuk dada normal, simetris kiri dan kanan, ictus cordis tidak
terlihat.
o Dinamis: Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi dinding
dada (-).
- Palpasi:
o Pulmo: Vocal fremitus simetris normal kiri dan kanan.
o Cor: Ictus cordis teraba di Spatium Inter Kosta (SIK) V linea
midclavicularis sinistra.
- Perkusi:
o Pulmo: Sonor di seluruh lapangan paru.
o Cor: Batas kanan jantung di linea parasternalis dextra, batas kiri jantung
di linea midclavicularis sinistra.
- Auskultasi:
o Pulmo: Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

o Cor: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).


Abdomen:

- Inspeksi : Tampak datar, distensi (-), venektasi (-).


- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 1/ 3-1/2
cm di bawah dari arcus costa dextra dan 1/3 dari procecus xiphoideus, bagian
tepi tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata, splenomegali (-), turgor kulit
kembali cepat.
- Perkusi : Timpani diseluruh regio abdomen.
- Auskultasi : BU (+) 8 kali/menit.
Alat Kelamin: Laki-laki, dalam batas normal.

Ekstremitas: Akral hangat, CRT<2 detik, udem (-) tidak pucat

Status Neurologis: Refleks fisiologis (+), refleks patologis (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

DARAH

Darah rutin saat masuk (31/10/2017)

Hb : 12,5 g/dl MCHC : 34,9 g/dl

Hematokrit : 35,8 % Eosinofil : 0,3 %

Leukosit : 3.810 /ul Basofil : 0,02 %

Trombosit : 55.000 /ul Neutofil : 40,7 %

RDW-CV : 12,7 % Monosit : 7,3 %

MCV : 74,6 fL Limfosit : 51,2 %

MCH : 26,0 pg
HAL HAL PENTING DARI ANAMNESIS

 Demam terus menerus sejak 6 hari SMRS

 Nyeri kepala, nyeri belakang bola mata, nyeri sendi

 Gusi berdarah

 Mimisan

 Nyeri perut

 Batuk

 Penurunan nafsu makan

 Lemas

 Dilakukan uji rumple leed dengan hasil (+) di poli anak RSUD AA.

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK

 Suhu : 39,2 oC

 Nyeri tekan epigastrium (+)

 Hepatomegali (+) 1/ 3-1/2 cm di bawah dari arcus costa dextra dan 1/3 dari

procesus xiphoideus

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

 Leukosit : 3.810 /ul

 Trombosit : 55.000 /ul


DIAGNOSA KERJA : Dengue Hemorrhagic Fever

DIAGNOSA GIZI :

(BBA/BBI) x 100% = (24/27)x100%

= 88,8% (Gizi Baik)

DIAGNOSA BANDING : Demam chikungunya

PEMERIKSAAN ANJURAN: Cek lab rutin setiap hari

TERAPI

Medikamentosa :

 IVFD D5 ½ NS 2 cc/kgBB, 16 tpm

 Paracetamol syr 4x10 cc

 Inj. Kalnex 3x250 mg

 Inj. Ranitidin 2x25 mg

 Ambroxol syr 3x4 cc

Gizi : Diet MB dengan kebutuhan energi 1.350 - 1620 kkal

PROGNOSIS:

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : Bonam


FOLLOW UP:

1 November 2017 (pagi)


S Lemas (+), demam (+), batuk (+), nyeri kepala (+), nyeri belakang bola
mata (+), nyeri sendi (+), nyeri ulu hati (+), mimisan (-), gusi berdarah (-),
mual (-), muntah (-)
O KU : Tampak sakit sedang Darah rutin :
Kes : Composmentis - Hb : 12,2 g/dl
T: 39,2ºC - Ht : 35,2 %
RR: 22x/i - Leuko : 3.860/ul
HR: 92 x/menit - Trombo : 41.000/ul
TD : 100/70 mmHg - PT : 15,0 sec
Mata : dalam batas normal - INR : 1,14
Hidung : Keluar cairan (-) darah (-) - APTT : 36,0 sec
Mulut : perdarahan gusi (-)
Toraks: dalam batas normal Urinalisa :
Abdomen: nyeri tekan epigastrium - Warna : kuning jernih
(+), hepatomegali (+) - Protein : +1
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 - Glukosa : negative
detik - Bilirubin : negative
- Ph : 6,0
- Darah : +1
- Keton : negative
- Eritrosit : 10-12/LPB
- Leukosit : 2-3/LPB
- Sel Epitel : 6-7/LPB
A DHF
P  IVFD D5 ½ NS 2 cc/kgBB, 16 tpm
 Paracetamol syr 4x10 cc
 Inj. Ranitidin 2x25 mg
 Ambroxol syr 3x4 cc
2 November 2017
S Lemas (+), nyeri ulu hati (+), batuk (+), demam (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), nyeri belakang bola
mata (-), nyeri sendi (-)
O KU : Tampak sakit sedang Darah rutin :
Kes : Composmentis - Hb : 12,0 g/dl
T: 36,6ºC - Ht : 34,7 %
RR: 20x/i - Leuko : 5.010/ul
HR: 84 x/menit - Trombo : 53.000/ul
TD : 110/70 mmHg
Mata : dalam batas normal
Hidung : Keluar cairan (-) darah (-)
Mulut : perdarahan gusi (-)
Toraks: dalam batas normal
Abdomen: nyeri tekan epigastrium
(+), hepatomegali (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
A DHF
P  IVFD D5 ½ NS 2 cc/kgBB, 16 tpm
 Paracetamol syr 4x10 cc
 Inj. Ranitidin 2x25 mg
 Ambroxol syr 3x4 cc
3 November 2017
S Lemas (+), batuk (+), demam (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), mual (-),
muntah (-), nyeri kepala (-), nyeri belakang bola mata (-), nyeri sendi (-),
nyeri ulu hati (-), nafsu makan sudah membaik
O KU : Tampak sakit sedang Darah rutin :
Kes : Composmentis - Hb : 12,7 g/dl
T: 36,4ºC - Ht : 37,0 %
RR: 20x/i - Leuko : 4.780/ul
HR: 78 x/menit - Trombo : 83.000/ul
TD : 100/70 mmHg - Albumin : 3,1g/dl
Mata : dalam batas normal
Toraks: dalam batas normal
Abdomen: nyeri tekan epigastrium (-),
hepatomegali (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2
detik
A DHF
P  IVFD D5 ½ NS 2 cc/kgBB, 16 tpm
 Paracetamol syr 4x10 cc
 Inj. Ranitidin 2x25 mg
 Ambroxol syr 3x4 cc
 Rencana Pulang
Follow up hari rawatan
100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0
I II III

Suhu Trombosit (10^3) Hematokrit (%)


TIMELINE PERJALANAN PENYAKIT PASIEN

6 Hari 5 Hari 4 Hari 3 Hari 2 Hari 1 Hari Masuk RS Hari Hari Hari
SMRS SMRS SMRS SMRS SMRS SMRS Rawat 1 Rawat 2 Rawat 3
- Demam - Demam - Demam - Demam - Demam - Demam - Demam - Demam - Nyeri - Batuk
- Nyeri otot - Nyeri otot - Nyeri otot - Nyeri otot - Nyeri otot - Nyeri otot - Nyeri otot - Nyeri otot perut
- Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Batuk
sendi sendi sendi sendi sendi sendi sendi sendi
- Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri - Nyeri
belakang belakang belakang belakang belakang belakang belakang belakang
bola mata bola mata bola mata bola mata bola mata bola mata bola mata bola mata
- Mimisan - Mimisan - Mimisan - Mimisan - Nyeri
- Gusi - Nyeri - Nyeri perut
berdarah perut perut - Batuk
- Batuk - Batuk
T = 39,1ºC T = 39,2ºC T = 36,6ºC T=
36,4ºC
Ht = 35,8% Ht = 35,2% Ht = Ht = 37%
PLT = PLT = 34,7% PLT =
55.000 41.000 PLT = 83.000
53.000
Paracetamol
Kalnex
Ranitidin
Ambroxol
FEBRIS KRITIS RECOVERY
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan demam mendadak, tinggi sejak 6 hari

SMRS disertai dengan keluhan nyeri kepala, nyeri retro-orbita, myalgia dan atralgia

serta manifestasi perdarahan berupa gusi berdarah dan epistaksis. Nyeri ulu mulai

dirasakan pasien 3 hari SMRS. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu 39,10C, nyeri

tekan epigastrium dan hepatomegali. Pada pemeriksaan labor ditemukan leukopeni

(3.810/ul) dan trombositopeni (55.000/ul). Pasien didiagnosis dengan demam berdarah

dengue. Hal ini sudah sesuai dengan kriteria penegakkan diagnosis demam berdarah

dengue, namun kurang lengkap. Berdasarkan guideline terkini yaitu WHO tahun 2011

didasari oleh temuan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien ini

ditegakkan diagnosis DHF grade II dengan tanda bahaya (warning sign).9

Pada pasien juga ditemukan keluhan batuk tidak berdahak sejak 1 hari SMRS.

Keluhan batuk ini sesuai dengan data temuan guideline WHO 2011 yang menyatakan

bahwa pada 21,5% pasien dengan infeksi dengue dapat ditemukan gejala penyerta

berupa batuk.9 Selain itu, batuk kemungkinan juga dapat disebabkan karena adanya

infeksi saluran pernafasan. Pada anamnesis didapatkan keluhan batuk tidak berdahak,

tanpa disertai oleh keluhan lain seperti pilek, nyeri menelan dan sesak nafas.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan juga tidak menunjukkan faring dan yang hiperemis

serta pemeriksaan fisik thorax dalam batas normal serta didukung dengan hasil

pemeriksaan laboraturium yang tidak ditemukan adanya peningkatan leukosit,

sehingga kemungkinan akibat infeksi bakteri pada saluran nafas dapat disingkirkan.
Pada pasien diberi terapi simptomatik yaitu ambroxol yang merupakan golongan

mukolitik. Menurut penulis, terapi tersebut tidak tepat, karena jika pemberian ambroxol

dilakukan seharusnya disertai dengan diagnosis tambahan pada pasien ini. Hal ini

dikarenakan tidak ada guideline yang memberikan ambroxol pada pasien DHF.

Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien sudah mengalami manifestasi

perdarahan berupa gusi berdarah dan mimisan. Gusi berdarah hanya terjadi satu kali,

sedangkan mimisan terus berlangsung hingga pasien datang ke poliklinik RSUD Arifin

Achmad. Manifestasi perdarahan berupa mimisan ini tidak khas pada infeksi dengue.

Sehingga perlu di kaji lebih lanjut mengenai penyebab mimisan. Anamnesis yang

dilakukan, tidak didapatkan adanya riwayat mimisan pada pasien sebelumnya, tidak

ada riwayat trauma maupun riwayat kelainan darah. Untuk mendukung hasil anamnesis

ini maka pemeriksaan rumple leed dapat dilakukan. Walaupun secara teori dikatakan

bahwa pemeriksaan rumple leed bertujuan untuk membuktikan adanya kerapuhan

(fragility) dari pembuluh darah kapiler jika belum ada ditemukan bukti perdarahan

sebelumnya.9,11

Pada pasien dilakukan pemeriksaan masa pembekuan darah pada hari ke 2

rawatan. Berdasarkan guideline WHO 2011 pada pemeriksaan laboratorium pasien

DHF dapat ditemukan pemanjangan PT dan APTT pada hampir setengah kasus.9

Berdasarkan pathogenesis, akibat dari serangan infeksi virus dengue menyebabkan

terjadinya kerusakan pada dinding endotel kapiler dan gangguan pada trombosist dan

sistem koagulasi.10 Pemeriksaan PT dan APTT ini bertujuan untuk membuktikan

adanya gangguan pada sistem koagulasi.10,12 Penelitian yang dilakukan di Sudan

membuktikan bahwa terdapat pemanjangan pada PT dan APTT, walaupun


pemeriksaan ini tidak dirutin dilakukan di rumah sakit karena keterbatasan

penggunaannya sebagai indikator dalam penentuan prognosis dari penyakit ini.12

Pada hari terakhir rawatan, pada pasien dilakukan pemeriksaan albumin.

Menurut penulis, pemeriksaan tersebut tidak ada indikasi untuk dilakukan, karena dari

klinis pasien tidak ada tanda-tanda kearah klinis kebocoran plasma seperti ditemukan

ascites, efusi pleura maupun edema, sehingga pada pasien ini tidak ada indikasi

pemeriksaan albumin. Berdasarkan guidelines WHO 2011, albuminemia ditemukan

sebagai akibat dari kebocoran plasma.9

Pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa infus D5- ½ NS. Menurut penulis,

sebaiknya jenis cairan yang diberikan pada pasien ini adalah D5-NS dengan alasan

pasien mengalami penurunan nafsu makan dan lemas sehingga membutuhkan

tambahan asupan glukosa dari luar. Selain itu, D5- ½ NS tidak termasuk dari

rekomendasi cairan yang ada di guidline WHO 2011, yang mana jenis cairan yang

direkomendasikan yaitu seperti D5-NS, D5-Ringer Asetat dan D5-RL. D5-NS

merupakan jenis cairan kristaloid hipertonik yang terdiri dari glukosa 25 gram, natrium

77 meq dan klorida 77 meq dengan osmolalitas 561 mOsmol dalam 500 mL.9,13

Kecepatan pemberian cairan intravena yang diberikan pada pasien ini adalah

sebanyak 2 cc/kgBB/jam. Hal ini tidak sesuai dengan guidelines WHO 2011. Pada

pasien dengan DHF tanpa syok, manajemen pemberian cairan yang diberikan yaitu

kebutuhan rumatan + 5 % dari defisit cairan tubuh, dengan kecepatan pemberian yaitu

5 cc/kgBB/jam. 9
Pasien diberikan terapi ranitidin. Berdasarkan studi kasus didapatkan bahwa

dari 110 pasien yang di obsevasi dengan diagnosis DHF 96 pasien diantaranya

diberikan terapi ranitidin. Namun belum ada penjelasan lebih lanjut tentang keefektifan

pemberian ranitidin ini. Ranitidin merupakan golongan H2 antagonis yang bekerja

pada sel parietal lambung untuk menghambat sekresi asam lambung. Menurut WHO

2011 penggunaan H2 anatagonis pada pasien dengan infeksi dengue digunakan jika

terdapat bukti perdarahan gastrointestinal.9 Sementara pada pasien ini tidak ditemukan

adanya perdarahan pada saluran percernaan.

Selain pemberian ranitidine, pasien juga diberikan asam traneksamat saat di

poliklinik karena keluhan epistaksis pasien. Pada beberapa kasus terdapat keterangan

penggunaan asam traneksamat untuk mengatasi perdarahan pada infeksi dengue.14

Pada kasus ini bukti perdarahan yang ditemukan adalah epistaksis. Menurut guideline

WHO 2011 jika terjadi epistaksis maka perdarahan dapat dihentikan dengan

penggunaan tampon hidung. Namun belum ditemukan pengkajian resmi terhadap

penggunaan asam traneksamat pada kasus perdarahan pasien infeksi dengue.9,14


DAFTAR PUSTAKA

1. Karyanti MR. Diagnosis dan tatalaksana terkini dengue. Divisi Infeksi dan
Pediatri tropik. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Cipto Mangun
Kusumo FKUI. 2014. Mei : 1.
2. Djunaedi D. Demam Berdarah Dengue (DBD). Penerbit Universitas
Muhammadiyah, Malang. 2006
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi DBD di Indonesia. Pusat
data dan informasi Kementrian kesehatan Republik Indonesia: 2016
4. Departemen Kesehatan RI. Data Kasus DBD Per Bulan Di Indonesia Tahun
2010, 2009 dan 2008. Diunduh
darihttp://www.penyakitmenular.infouserfilesdata-20kasus-20DBD209-
20februari-202011.pdf
5. Soedarto. Demam Berdarah Dengue:Penyakit-Penyakit Infeksi di
Indonesia.Penerbit Widya Medika. Jakarta. 1996
6. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. Geneva : World Health Organization; 2009.

7. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI editor. Buku ajar infeksi
pediatric dan tropis. Jakarta. Badan penerbit IDAI. 2008

8. World Health Organization for India. National guidelines for clinical


management of dengue fever. India: WHO. 2015; h. 3.

9. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and


control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded
edition. India: World Health Organization. 2011.
10. Rejeki S, Hadinegoro. Tatalaksana demam berdarah dengue di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. Indonesia. 2004; h. 3.
11. Center for Disease Control and Preventation. Dengue clinical case management
e-learning:tourniquet test. Avaible from :
https://www.cdc.gov/dengue/training/cme/ccm/page73112.html diakses pada
tanggal 23 November 2017
12. Bashir AB, Osman KS, Babiker AM, Ali KA. Partial tromboplastin time and
protrombin time as predictors for impaired coagulation amoung patients with
dengue virus infection in Red Sea State of Sudan. International journal of
hematological disorder. Sudan. 2015. Maret;2(1):26-7
13. Salam SH. Dasar-dasar terapi cairan dan elektrolit. Dalam: Aitkenhead, Alan
R. Textbook of Anesthesia. Fifth edition. California : Churchill
Livingstone.2007.
14. Gan VC. Dengue : Moving from current standard of care to State-of-tht-art-
treatment. Curr Treat Option Infect Dis. 2014. Juli; 6 (3) : 218

Anda mungkin juga menyukai