PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Dosen Pengampu :
DEWI ANGGRAINI .S.IP,M.Si.
Sumber : https://nasional.kompas.com/jeo/konflik-dan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-tahun-reformasi
Isinya : Munir Said Thalib, beliau merupakan salah satu aktivis HAM di Indonesia. Sebagai aktivis HAM,
Munir banyak mengangani kasus, khususnya pada bidang Kemanusiaan dan HAM. Keberaniannya dalam
menentang ketidak adilan yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru membuat Munir tak disukai oleh
para pejabat dan petinggi negara. Munir dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah. Munir kerap
diancam oleh beberapa pihak, namun ia tetap tidak gentar. Saat perjalanannya ke Belanda untuk
melanjutkan studinya, Munir dinyatakan tewas di pesawat. Tewasnya Munir diduga karena Munir
meminum Jus Jeruk yang diduga terdapat racun didalamnya.
Sudah hampir 15 tahun, dan hingga saat ini Kasus Munir belum menemui titik terang. Pengadilan
memang sudah memvonis Pollycarpus Budihari Priyanto yang disebut sebagai pelaku pembunuhan.
Sejumlah fakta menyebutkan bahwa terdapat BIN (Badan Intelejen Negara) yang terlibat dalam kasus
ini. Namun pada Desember 2008, Deputi V BIN, Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono, yang
sebelumnya menjadi terdakwa, divonis bebas dari segala dakwaan.
Pasal yang dilanggar : Pasal 27 UUD 1945 ayat (2) dan Pasal 28 A
Solusi : Dari kasus ini, saya menyimpulkan bahwa hukum di Indonesia perlu diperkuat lagi.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan menuntaskan segala kasus yang belum
selesai hingga saat ini. Pemerintah sebaiknya membuat undang-undang yang lebih kuat lagi dan
lebih tegas lagi untuk membuat para pelaku pelanggaran HAM jera. Dan juga memberikan
ketentraman bagi rakyat Indonesia.
TRAGEDI SEMANGGI
Sumber : https://www.kompasiana.com/christoforus27750/5cdc1f4d7506572f296d3e86/kemanusiaan-di-
tragedi-semanggi?page=all & https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi
Isinya : Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang
Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan
yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui
pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para
anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik
serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan
mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan
dunia internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya
Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang
dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-
masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Pasal Yang Dilanggar : Pasal 27 UUD 1945 ayat (3), Pasal 28 C ayat (2) & Pasal 30 ayat (1).
Solusi : KPP HAM TSS juga menyatakan, “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di
dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa
pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan
fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”.
Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan
terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu. Namun, hingga saat ini Kejaksaan Agung
belum meneruskan berkas penyelidikan tersebut ke tahap penyidikan.
KONFLIK MALUKU
Sumber : https://nasional.kompas.com/jeo/konflik-dan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-tahun-reformasi
& https://nasional.kompas.com/read/2018/07/11/16203921/penyelesaian-konflik-maluku-bisa-jadi-
pembelajaran-bangsa-lain
Isinya : Konflik Maluku bermula dari peristiwa kerusuhan yang terjadi pada Selasa, 19 Januari
1999. Kerusuhan berawal dari bentrokan antar warga yang dipicu kesalahpahaman di
Batumerah, Ambon.
Bentrokan kemudian membesar menjadi kerusuhan antardesa yang penduduk mayoritasnya
berbeda agama.
Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada
18 Februari 1999, kerusuhan juga terjadi di berbagai tempat di Maluku dalam waktu yang
hampir bersamaan, dipicu sejumlah isu yang provokatif.
Kontras menyimpulkan peristiwa kerusuhan di Ambon adalah hasil proses akumulasi konflik
antarkelompok yang pada mulanya bersifat lokal. Namun, karena keterlibatan peran-peran
tertentu dari sejumlah provokator, konflik berubah menjadi kerusuhan dengan skala dan
kerusakan yang luas.
Solusi : Penyelesaian konflik Maluku tidak hanya menggunakan pendekatan keamanan semata.
Pendekatan tersebut dinilai tidak cukup untuk menyikapi konflik sosial ekonomi yang terjadi. Oleh
karena itu, berbagi pihak juga mengupayakan pendekatan kesejahteraan. Ini dikarenakan konflik
yang terjadi adalah konflik sosial ekonomi. Justru dari pembelajaran kasus Maluku ini yang paling
menonjol adalah penyelesaikan konflik bisa tercapai karena adanya pendekatan kesejahteraan.
Pendekatan kesejahteraan itu meliputi pembinaan masyarakat untuk mengembangkan "emas hijau"
dan "emas biru" Maluku. Emas hijau mengacu kepada kekayaan rempah-rempah, sementara emas
biru mengacu kepada kekayaan sumber daya kelautan di kepulauan Maluku. Maka didorong dengan
pendekatan kesejahteraan itu ternyata menghasilkan pencapaian yang luar biasa. Penting!!! kasus
Maluku ini jadi pelajaran yang sangat berharga.
KEKERASAN TERHADAP AHMADIYAH
KOMPAS.com/FITRI
Pengungsi Ahmadiyah di Lombok Timur berharap bisa pulang dan puasa di rumah sendiri.
Sumber : https://nasional.kompas.com/jeo/konflik-dan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-
tahun-reformasi
Isinya : Pelanggaran atas hak beragama dan berkeyakinan paling parah dialami jemaah
Ahmadiyah. Komnas HAM mencatat setidaknya telah terjadi pelanggaran hak asasi jemaah
Ahmadiyah di 12 daerah.
Sebagian besar pelanggaran tersebut dilegitimasi oleh peraturan daerah, seperti Peraturan
Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
di Jawa Barat dan Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penanganan JAI di
Kota Banjar.
Jemaah Ahmadiyah Indonesia menyatakan, dalam kurun 2016-2017 terdapat 11 kasus
penutupan masjid Ahmadiyah. Sebagian besar penutupan masjid justru diinisiasi oleh pemda.
Selain penutupan rumah ibadah, pelanggaran atas hak sipil juga dialami oleh 116 jemaah
Ahmadiyah yang berada di Permukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kasus terakhir adalah perusakan terhadap rumah dan properti milik jemaah Ahmadiyah di
Lombok Timur pada Mei 2018.
Solusi : 1. Masyarakat terutama umat Islam pada umumnya, harus pintar dalam menanggapi isu-isu
yang berkembang mengenai hal-hal negatif tentang adanya aliran atau kelomok yang dianggap sesat
seperti JAI.
2. Kecurigaan dan kewaspadaan memang perlu dilakukan, terutama bila menemui kelompok yang
berusaha untuk menodai agama, namun harus ada check and recheck, mengenai kebenarannya.
3. Masyarakat hendaknya mampu meredam emosi dengan tidak melakukan tindakan-tindakan anarkhis.
Hal ini perlu dilakukan, agar tercipta kerukunan dan kedamaian. Ada banyak cara yang dapat ditempuh,
seperti misalnya dialog atau diskusi keagamaan.
KERUSUHAN TOLIKARA
KOMPAS/ANTONY LEE
Bekas kios yang terbakar akibat kerusuhan di Kecamatan Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Senin (20/7/2015). Berbagai
pemangku kepentingan di Karubaga menegaskan bahwa kendati konflik diawali penolakan salat id, tetapi konflik disebabkan
faktor miskomunikasi
Sumber : https://nasional.kompas.com/jeo/konflik-dan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-
tahun-reformasi & https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2015/8/10/178/komnas-
ham-terjadi-pelanggaran-ham-pada-peristiwa-tolikara.html
Isinya : Kerusuhan di Tolikara, Papua, terjadi pada 17 Juli 2015. Peristiwa tersebut terjadi
ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berusaha membubarkan jemaah Muslim yang
tengah menjalankan shalat Idul Fitri.
Menurut imam Mushala Baitul Muttaqiem di Karubaga, Ali Mukhtar, konflik disebabkan
miskomunikasi.
Dia mengaku, pihaknya tak menerima surat edaran dari GIDI yang telah direvisi, yang meminta
pelaksanaan shalat agar dilakukan di mushala tanpa menggunakan pengeras suara. Oleh karena
itu, ia tetap menggelar shalat Id di halaman masjid.
Imbauan itu dikeluarkan pengurus GIDI karena mereka menggelar kegiatan kepemudaan
tingkat nasional di lokasi yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi shalat id.
Pasal yang dilanggar : Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 39 Tahun 1999, pasal 9 ayat (1) UU Nomor
39 tahun 1999 dan pasal 9 ayat (2), 29 ayat (1), 30 dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39
tahun 1999
Solusi : Konflik Tolikara harus diungkap secara tuntas motifnya dan siapa aktor intelektualnya.
Mereka yang terlibat dalam konflik Tolikara dan menjadi aktor intelektualnya harus diseret ke
meja hijau untuk dimintai pertanggungjawaban.
KASUS PEMBANGUNAN GEREJA DI ACEH SINGKIL
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Sejumlah rohaniawan dan perwakilan umat beragama menggelar aksi damai di depan Gedung MPR/DPR/DPD RI di Senayan,
Jakarta, Senin (8/4/2013). Mereka menyampaikan tuntutan kepada Pimpinan MPR untuk meminta jaminan kebebasan dan toleransi
dalam beribadah terhadap sesama umat beragama.
Isinya : Pada 22 April 2016, Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) menyampaikan
pengaduan terkait adanya diskriminasi dalam mendirikan gereja.
Ketua Forcidas Boas Tumangger mengatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak bisa
mengakomodasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh kelompok umat Nasrani,
terkait pemberian izin pembangunan rumah ibadah.
Boas menuturkan, sebelum maupun sesudah peristiwa pembakaran gereja HKI pada
13 Oktober 2015, izin pembangunan gereja dipersulit. Padahal, seluruh persyaratan
yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Tahun 2007 tentang Izin Pendirian Rumah
Ibadah telah dipenuhi.
Selain soal perizinan tempat ibadah, Boas juga mengadu mengenai pendidikan di Aceh
Singkil yang belum bebas dari praktik diskriminasi.
Menurut dia, sudah berpuluh-puluh tahun semua Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten
Aceh Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Padahal, pelajaran agama menjadi
satu syarat bagi kelulusan siswa.
Pasal yang dilanggar : Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang No. 39/1999
Solusi : Diadakan pertemuan konsultasi yang diharapkan ada pemahaman yang sama mengenai
aturan pendirian rumah ibadah sesuai Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Kepala Dearah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadah. Bahwa persyaratan warga pendukung adalah penduduk setempat dalam
satu Kelurahan, dapat diperluas sampai satu Kecamatan. Tidak dipersyaratkan warga penduduk
berasal dari agama yang berbeda, tetapi tidak boleh tumpang tindih dengan data warga pengguna.
KONFLIK SAMPIT
Isinya : Konflik antar-etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, bermula dari bentrokan yang terjadi
pada 18 Februari 2001, antara warga suku Dayak dan suku Madura sebagai pendatang.
Peristiwa kemudian meluas ke seluruh provinsi ini, termasuk di ibu kotanya, Palangkaraya.
Diduga, konflik antar-etnis tersebut dipicu oleh persaingan di bidang ekonomi.
Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Sampit. Namun, KPP HAM itu
menyatakan tak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus Sampit.
Namun, pernyataan tersebut kemudian dibantah Kontras yang saat itu masih dipimpin aktivis
HAM Munir. Menurut Kontras, tak sulit mencari bukti adanya pelanggaran HAM dalam konflik
ini. Misalnya, pengungsian paksa yang dilakukan pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga dianggap melakukan pembiaran. Padahal, pemerintah telah
mendapat peringatan dari Yayasan Al Miftah bahwa konflik berpotensi menimbulkan banyak
korban jiwa.
Antropolog Belanda Gerry van Klinken memprediksi korban tewas mencapai 500 orang hingga
lebih dari 1.000 orang. Selain itu, konflik juga menyebabkan lebih dari 25.000 orang
meninggalkan rumahnya untuk mengungsi.
KONFLIK POSO
KOMPAS/SIDIK PRAMONO
Kerinduan untuk kembali ke tempat asal membuat para pengungsi asal Poso rela berdesak-desakan untuk mempersiapkan kembali
rumah-rumah mereka yang rusak dan ditinggalkan selama konflik.
Sumber : https://nasional.kompas.com/jeo/konflik-dan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-tahun-
reformasi
Isinya : Konflik yang terjadi antara kelompok Muslim dengan kelompok Kristen ini terjadi dalam
beberapa fase sepanjang akhir 1998 hingga 2001.
Secara umum Human Right Watch mencatat, konflik menjadi besar akibat ketidakmampuan
otoritas hukum dan keamanan dalam mengatasi konflik-konflik kecil. Selain itu, faktor politik
dan kondisi ekonomi ikut memperparah situasi.
Sejumlah rekonsiliasi pun dilakukan untuk meredakan konflik. Upaya itu kemudian menemui
hasil dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001.
Selain rekonsiliasi, Deklarasi Malino juga menyepakati rehabilitasi sosial, pemulangan
pengungsi, serta sejumlah program yang mendukung normalisasi kehidupan warga Poso.
Belum diketahui secara pasti jumlah korban akibat Konflik Poso. Namun, dikutip dari
dokumentasi Kompas, pasca-Deklarasi Malino pemerintah menyiapkan anggaran Rp 100 miliar
sebagai santunan atas korban tewas yang diprediksi mencapai 1.000 orang.
Sumber : https://nasional.kompas.com/jeo/konflik-dan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-tahun-
reformasi & https://www.kompasiana.com/farrasranap/54f5e06ba33311726f8b4575/pelanggaran-
ham-pada-tragedi-trisakti-1998
Isinya : Pelanggaran HAM kembali terjadi saat aparat keamanan bersikap represif dalam
menangani demonstrasi mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dan ratusan mahasiswa lain terluka akibat
tembakan dengan menggunakan peluru tajam.
Sehari setelahnya, muncul tragedi lain, yaitu Kerusuhan 13–15 Mei 1998.
Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan,
penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis Tionghoa.