Anda di halaman 1dari 8

TUGAS KE NU-AN

TEORI MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

KELOMPOK 1
M.FAIZAL IVANDANI
WANDA AYU LESTARI
FIGA ZEOLITA WIBOWO
DIMYATIN MUNAWAROH
ANNISA ALFI NURILMI

SMA DARUT TAQWA


SENGONAGUNG PURWOSARI PASURUAN
TAHUN AJARAN 2019-2020
7 Teori Masuknya Islam di Indonesia

Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Para sejarawan
memperkirakan agama Islam mulai masuk Nusantara pada sekitar abad 7 hingga abad ke 13.
Proses Islamisasi di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang hingga akhirnya
ajaran Islam bisa diterima dan kini menjadi agama bagi mayoritas masyarakat di Indonesia.
Ada beberapa teori terkait awal mula Islam masuk ke wilayah Indonesia. Dirangkum dari
berbagai sumber, berikut teori-teori masuknya Islam ke Nusantara:

1. Teori Gujarat

Teori ini dikemukakan oleh G.W.J. Drewes dan dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori
ini mengatakan masuknya Islam ke Indonesia berasal dari suatu daerah di anak benua India,
yakni Gujarat. Menurut Drewes, pendapat ini didasarkan pada kesamaan masyarakat Muslim
bermadzhab Syafi'i yang menetap di Gujarat dengan orang-orang Gujarat yang datang dan
kemudian menetap di Indonesia. Sedangkan menurut Snouck Hurgronje, ketika komunitas
Muslim di Gujarat telah kuat dan mengakar, maka sebagian di antara mereka mulai
melebarkan sayap ke wilayah-wilayah di sekitarnya, termasuk hingga ke wilayah Indonesia.

Proses masuknya Islam di Indonesia dilakukan melalui jalur perdagangan yang dilakukan
oleh para Dzuriyyat Rosul (keturunan Nabi). Oleh karenanya para pendakwah dari Gujarat itu
banyak yang dipanggil dengan gelar Sayyid atau Syarif, yaitu panggilan untuk orang-orang
tertentu (terhormat) yang masih memiliki garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Para
pedagang dari Gujarat ini masuk ke Indonesia dengan berlayar melewati selat Malaka pada
sekitar abad ke 13, melalui kontak pedagang dan kerajaan Samudra Pasai yang menguasai
selat Malaka saat itu.

Teori ini juga diperkuat dengan bukti penemuan batu nisan makam Sultan Malik As-Saleh,
Sultan Samudra Pasai, pada tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Selain itu ada juga
catatan dari Marcopolo yang mengatakan bahwa di Perlak saat itu banyak dijumpai pedagang
dari Muslim India, dan penduduk Perlak juga banyak yang sudah memeluk Islam. Meskipun
begitu, teori ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan dari teori Gujarat adalah bahwa
masyarakat Muslim di Samudra Pasai adalah menganut mazhab Syafii, sementara masyarakat
Muslim Gujarat lebih banyak menganut mazhab Hanafi. Selain itu, saat terjadinya islamisasi
di Samudra Pasai, Gujarat diperkirakan masih merupakan Kerajaan Hindu.
2. Teori Bengal (Benggali/Bangladesh)

Teori ini dikemukakan oleh S. Q. Fatimi. Menurut teori ini, Islam datang dari Bengal ke
Indonesia pada sekitar abad ke 11. Teori ini didasarkan pada banyaknya tokoh terkemuka di
Pasai yang merupakan keturunan dari Benggali. Menurut teori ini, keberadaan makam Sultan
Pasai, Malik As Shaleh dan juga batu nisan Fatimah di Leran Gresik juga menjadi bukti
masuknya Islam dari Bengal ke Nusantara. Jadi menurut teori ini, mengaitkan keberadaan
batu nisan yang ada di Pasai dengan Gujarat adalah keliru.

Menurut S. Q. Fatimi, bentuk dan gaya batu nisan Malik al-Saleh berbeda sepenuhnya
dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di
Nusantara. Fatimi berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan
yang terdapat di Bengal. Oleh karenanya, batu nisan itu hampir dipastikan berasal dari
Bengal. Seperti halnya teori pertama, kelemahan teori ini juga berkenaan dengan adanya
perbedaan madzhab yang dianut kaum muslim Nusantara (Syafi’i) dan mazhab yang
dipegang oleh kaum muslimin Bengal (Hanafi).

3. Teori Malabar

Teori ini dikemukakan oleh Thomas W. Arnold dan Morisson. Teori ini menyatakan bahwa
Islam datang ke Indonesia berasal Colomander dan Malabar. Islam diperkirakan datang ke
Indonesia dibawa oleh para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
Teori ini dikuatkan dengan kesamaan madzhab Muslim di wilayah-wilayah Colomander dan
Malabar dengan yang dianut oleh masyarakat Nusantara. Menurut Morisson, Islam tidak
mungkin datang dari Gujarat, karena secara politis pada waktu itu belum memungkinkan
Gujarat menjadi sumber penyebaran dan pusat perdagangan yang menghubungkan antara
wilayah Nusantara dengan wilayah Timur Tengah.

Menurut Morisson, meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di Pasai atau Gresik bisa jadi
berasal dari Gujarat, atau dari Bengal, hal itu tidak lantas berarti Islam juga datang dari sana.
Menurut Morisson, tidak mungkin Islam telah masuk ke Samudra Pasai pada abad 13, karena
saat itu Gujarat sendiri masih merupakan kerajaan Hindu. Baru pada tahun 699/1298,
Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan muslim. Berdasar pertimbangan ini, Morisson
pun mengemukakan pendapatnya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat,
melainkan dibawa oleh para penyebar Muslim dari pantai Coromandel dan Malabar.

4. Teori Persia

Teori dikemukakan oleh Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut mereka,
Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh Muslim Syiah Persia pada abad ke 7 M. Teori ini
didukung oleh beberapa bukti, di antaranya yaitu adanya peringatan 10 Muharram (Asyura)
atas wafatnya Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung oleh Muslim Syiah Iran.
Selain itu, kesamaan ajaran sufi dan bentuk seni kaligrafi pada beberapa batu nisan di
nusantara dengan yang ada di Persia juga semakin mendukung teori ini.

Namun teori ini juga memiliki kelemahan. Bila dikatakan bahwa Islam masuk pada abad ke
7, maka kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman Khalifah Umayyah yang
berada di Damaskus, Baghdad, Mekkah, dan Madinah. Jadi tidak memungkinkan bagi ulama
Persia untuk menyokong penyebaran Islam secara besar-besaran ke Nusantara.
5. Teori Arab atau Makkah

Menurut teori ini, Islam datang dari sumbernya langsung, yaitu Arab. Teori ini banyak dianut
oleh para sejarawan yang intens dengan kajian Islam di Asia Tenggara, di antaranya Van
Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, Buya Hamka, Naquib al-Attas, Keyzer, M. Yunus
Jamil, dan Crawfurd. Teori ini meyakini bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7
Masehi. Penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para musafir dari Arab yang memiliki
semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh belahan dunia.

Teori ini didukung bukti bahwa pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera
sudah terdapat perkampungan Islam (Arab). Hal ini juga didukung dengan berita China yang
mengatakan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad
ke-4. Bukti berikutnya adalah kesamaan madzhab yang dianut penduduk muslim Samudra
Pasai (Syafi'i) dengan mazhab Syafi'i yang banyak dianut Muslim Mekkah. Sejarawan yang
mendukung teori ini juga menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam,
jadi masuknya Islam ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan
besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

6. Teori China

Teori China dicetuskan oleh Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby. Menurut teori ini,
Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh perantau Muslim China yang datang ke Nusantara.
Dasar dari teori ini di antaranya yaitu fakta adanya perpindahan orang-orang Muslim China
dari Kanton ke Asia Tenggara, khususnya Palembang pada tahun 879 M. Selain itu juga
adanya Catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pertama
kali diduduki oleh para pedagang dari China. Bukti lainnya menurut pendapat ini adalah
Adanya masjid tua beraksitektur China di Jawa, Raja pertama Demak (Raden Patah) yang
berasal dari keturunan China, dan Gelar raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah
China.

7. Teori Maritim

Teori ini dikemukakan oleh sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch. Teori ini menyatakan
bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kemampuan umat Islam
dalam menjelajah samudera. Teori ini tidak menjelaskan darimana asal Islam yang
berkembang di Indonesia, namun yang jelas menurut teori ini, masuknya Islam di Indonesia
terjadi di sekitar abad ke-7 Masehi.

Dari kesemua teori-teori di atas, secara umum para sejarawan mengakui bahwa sejarah awal
masuknya Islam di Indonesia masih belum jelas. Artinya, karena minimnya informasi yang
dapat dipercaya, rumusan yang pasti tentang kapan, dari mana, oleh siapa dan bagaimana
masuknya Islam ke Indonesia belum ada kesepakatan. Meskipun begitu, secara umum para
sejarawan menyatakan bahwa Islam sampai ke Indonesia kemungkinan besar melalui kontak
perdagangan yang sudah terjalin bahkan sebelum adanya agama Islam.
Islam Masuk Ke Tanah Jawa
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya
makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau
1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya,
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di
samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu
tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman,
di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun
1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.

1. Masyarakat Jawa Sebelum Islam Datang

a. Jawa Pra Hindu-Budha


Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam
sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut
oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah
memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang
Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata,
masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.

Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya.
Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya
dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.

b. Jawa Masa Hindu-Budha


Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya
Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme
setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi
juga berpengaruh terhadap sistem agama.

Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka
untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik,
maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau
serba memuat).

Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan
terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini
Onghokham menyatakan:

Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman
Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa
rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat.
Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar
pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban
pada masa itu.

Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha, kerajaan-kerajaan itu
adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan industri salah
satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses integrasi bangsa.
Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara lain seni musik,
seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan
pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.

2. Peranan Wali Songo dan Metode Pendekatannya


Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Wali Songo sangat besar dalam
mendirikan kerajaan Islam di Jawa.

Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah
orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan
pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat
sultan.

Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau
susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada
abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
Sunan Drajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar
Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban,
Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di
Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara
menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura,
Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni
bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak
antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa,
dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.

Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah
dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara
para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan
pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan
jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu,
para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.

3. Islam Di Jawa Paska Wali Songo


Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan
dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh
nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu
besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung
bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai terangkat yang
pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat berkembang luas
sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik murid-muridnya. Salah
satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok
desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para
Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya
adalah tradisi Wayang Kulit.

Anda mungkin juga menyukai