PENDAHULUAN
0
sebesar 6,1%. (Suwento, 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa gangguan
pendengaran masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat.
Saat ini sudah tersedia teknik penanganan gangguan pendengaran
yang baru dan lebih baik. Penanganan gangguan pendengaran yang efektif telah
terbukti menghasilkan efek positif terhadap kualitas hidup. Dimana pada
penyandang hambatan pendengaran untuk berkomunikasi dengan orang lain,
mengalami permasalahan dalam hal memahami karena keterbatasan dari fungsi
dengarnya. Untuk membantunya agar dapat berkomunikasi dengan orang lain,
terdapat penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu, dengan menggunakan
hearing aid atau alat bantu dengar. Hearing aid merupakan suatu alat elektronik
yang berfungsi memperkuat dan merubah suara. Berdasarkan jenis hantaran
suaranya, ABD dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu ABD Jenis hantaran
udara dan ABD Jenis hantaran tulang, dimana ABD jenis hantaran tulang terbagi
menjadi ABD hantaran tulang konvensional dan ABD hantaran tulang BAHA
(Bone Anchored Hearing Aid).
Bone Anchored Hearing Aid (BAHA) adalah alat yang ditanamkan secara
bedah untuk membantu orang-orang dengan gangguan pendengaran. Prnsp kerja
BAHA menggantikan fungsi Telinga Tengah untuk menstimulasi koklea dengan
cara mentransmisikan gelombang suara ke telinga dalam (koklea) dengan
menggunakan getaran tulang tengkorak tempat alat BAHA (implan titanium)
tersebut ditanam. Setelah koklea menerima sinyal suara, informasi tersebut diubah
menjadi sinyal saraf dan dipindahkan ke otak, di mana ia dianggap sebagai suara.
BAHA pertamakali diperkenalkan oleh Tjellstrom tahun 1977 di Swedia,
BAHA telah berkembang dari suatu program uji coba menjadi penerapan klinis
yang rutin dilakukan. Pada awalnya pemasangan BAHA terutama diindikasikan
untuk kasus Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Tetapi saat ini BAHA
banyak dijadikan pilihan rehabilitasi pendengaran pada pasien deformitas telinga
kongenital. Tak hanya itu, sejalan dengan perkembangan teknologi, indikasi
pemasangan BAHA mengalami perkembangan termasuk diantaranya untuk tuli
sensorineural berat unilateral, tuli konduksi berat unilateral. Secara umum pasien-
pasien yang menggunakan BAHA menunjukkan respon yang memuaskan. Jumlah
pemakai BAHA diseluruh dunia saat ini diperkirakan mencapai lebih dari 70.000
1
orang. Sistem ini jauh lebih efesien dibanding dengan sistem konduksi transkutan
pada ABD hantaran tulang konvensional, dengan tingkat efesiensi mencapai 15
dB. Walawpun hasil dari pemasangan BAHA mempunyai performa komunikasi
yang lebih baik serta berkurangnya biaya untuk pengobatan selanjutnya pasca
pemasangan BAHA. Diindonesia sendiri tidak semua rumah sakit dapat
melakukan tidakan pemasangan BAHA serta biaya yang relatif mahal.
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan penulisan ini adalah untuk
memahami lebih lanjut mengenai Alat Bantu Dengar khususnya ABD hantaran
tulang BAHA (Bone Anchored Hearing Aid) yang mana diuraikan dalam refarat
ini.
2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN
2.1 Anatomi
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis
auditorius eksternus, dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti
cakram yang dinamakan membrana timpani (gendang telinga). Telinga
terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus
melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago,
kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus
membantu pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang
kanalis auditorius eksternus.
3
terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.
Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam
kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi
substansi seperti lilin yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri
telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga.
Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan
perlindungan bagi kulit.
4
Gambar 3. Tulang-tulang Pendengaran, Kanal semisirkularis, dan
Potongan Koklea
5
2.1.3. Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal.
Organ untuk pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis
semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus
koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi.
Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint.
Ketiga kanalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk
sudut 90 derajat satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan
dengan keseimbangan. Organ ahir reseptor ini distimulasi oleh perubahan
kecepatan arah dan gerakan seseorang.
Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5
cm dengan dua setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir
untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di dalam lulang labirin,
namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin membranosa terendam dalam
cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan
cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis.
Labirin membranosa tersusun atas utrikulus, akulus, dan kanalis
semisirkularis, duktus koklearis, dan organan Corti. Labirin membranosa
memegang cairan yang dina¬makan endolimfe. Terdapat keseimbangan
yang sangat tepat antara perilimfe danendolimfe dalam telinga dalam;
banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu.
Percepatan angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di
dalam kanalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin membranosa.
Akibatnya terja¬di aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vesti-
bular nervus kranialis VIII ke otak.
Perubahan posisi kepala dan percepatan linear merangsang sel-sel
rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan
dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis VIII. Di dalam kanalis auditorius
internus, nervus koklearis (akus-dk), yang muncul dari koklea, bergabung
dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis,
utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII).
Yang bergabung dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus
6
adalah nervus fasialis (nervus kranialis VII). Kanalis auditorius internus
membawa nervus tersebut dan asupan darah ke batang otak.
Fisiologi fungsional jendela oval dan bulat memegang peran yang
penting. Jendela oval dibatasi olehj anulare fieksibel dari stapes dan
membran yang sangat lentur, memungkinkan gerakan penting,dan
berlawanan selama stimulasi bunyi, getaran stapes menerima impuls dari
membrana timpani bulat yang membuka pada sisi berlawanan duktus
koklearis dilindungi dari gelombang bunyi oleh menbran timpani yang
utuh, jadi memungkinkan gerakan cairan telinga dalam oleh stimulasi
gelombang suara. pada membran timpani utuh yang normal, suara
merangsang jendela oval dulu, dan terjadi jedai sebelum efek terminal
stimulasi mencapai jendela bulat. namun waktu jeda akan berubah bila ada
perforasi pada membran timpani yang cukup besar yang memungkinkan
gelombang bunyi merangsang kedua jendela oval dan bulat bersamaan. Ini
mengakibatkan hilangnya jeda dan menghambat gerakan maksimal
motilitas cairan telinga dalam dan rangsangan terhadap sel-sel rambut pada
organ Corti. Akibatnya terjadi penurunan kemampuan pendengaran.(1,4)
Gelombang bunyi dihantarkan oleh membrana timpani ke osikuius
telinga tengah yang akan dipindahkan ke koklea, organ pendengaran, yang
terletak dalam labirin di telinga dalam. Osikel yang penting, stapes, yang
menggo dan memulai getaran (gelombang) dalam cairan yang berada
dalam telinga dalam. Gelombang cairan ini, pada gilirannya,
mengakibatkan terjadinya gerakan membrana basilaris yang akan
merangsang sel-sel rambut organ Corti, dalam koklea, bergerak seperti
gelombang. Gerakan membrana akan menimbulkan arus listrik yang akan
merangsang berbagai daerah koklea. Sel rambut akan memulai impuls
saraf yang telah dikode dan kemudian dihantarkan ke korteks auditorius
dalam otak, dan kernudian didekode menjadi pesan bunyi.
7
Gambar 4. Organ Corti
2.2 Fisiologi
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran
timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimf pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimf, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
8
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter
ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.
9
BAB III
GANGGUAN PENDENGARAN
3.1 Definisi
Berdasarkan WHO, gangguan pendengaran adalah salah satu dari enam
kontributor penyakit yang menjadi beban di negara industri bersama dengan
penyakit jantung iskemik, depresi, penyakit Alzheimer. Gangguan pendengaran
menjadi masalah terpenting yang ada di masyarakat luas, karena bukan hanya
pada populasi orang tua saja, namun pada populasi dewasa mudapun terjadi.
Secara terminologi, gangguan pendengaran diartikan sebagai penurunan
kemampuan untuk mendengar pada cakupan yang luas, tingkatannya dapat mulai
dari gangguan pendengaran secara subyektif sampai tuli total. Gangguan
pendengaran dapat disebabkan akibat gangguan konduksi suara ke telinga bagian
dalam, presepsi suara oleh sel sensori pada telinga, atau proses suara pada saraf
koklear, saluran pendengaran, pusat pendengaran di organ corti. Gangguan
pendengaran merupakan simptom dari banyak penyakit yang mempunyai efek
pada organ-organ pendengaran. Gangguan pendengaran dapat bersifat komplit
maupun parsial yang dapat unilateral maupun bilateral
10
mengulangi apa yang belum didengarnya secara jelas, kesalahan dalam menjawab
pertanyaan yang salah didengar, dan berbicara dengan suara yang sangat keras
(Zahnert, 2011). Akibatnya dengan keadaan yang seperti ini akan menimbulkan
individu tersebut menjauh dari aktivitas normal sehari-hari atau bahkan dapat
menyebabkan paranoid (Kemkes, 2011).
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi gangguan pendengaran berdasarkan audiometri nada murni
menurut WHO. Klasifikasi umum yang biasanya dipakai dalam klinis
berdasarkan pengukuran audiometri nada murni adalah tuli konduktif, tuli
sensorineural, dan tuli campuran
11
Ada tiga gangguan pendengaran, yaitu gangguan pendengaran konduktif,
gangguan pendengaran sensorineural dan gangguan pendengaran campuran atau
kombinasi
1. Tuli Konduktif
Individu dengan umur dewasa muda, dapat menderita gangguan
pendengaran baik sebagian maupun total. Tuli konduktif atau gangguan
pendengaran konduktif disebabkan dengan adanya obstruksi atau
gangguan mekanik pada telinga bagian luar atau telinga bagian dalam
(Punnoose, 2012). Selain karena obstruksi pada telinga bagian luar, tuli
konduktif dapat disebabkan oleh terkumpulnya cairan serumen atau terjadi
atresia pada kanal telinga. Apabila terdapat atresia di kedua meatus
akustikus eksterna pada bayi baru lahir, maka diperlukan alat bantu
pendengaran pada dua sampai tiga bulan pertama bayi lahir agar
perkembangan dari pendengaran maupun percakapan dapat berjalan
normal
Sedangkan akibat adanya obstruksi pada telinga bagian luar atau
bagian tengah transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga
bagian dalam secara efektif. Pada gangguan pendengaran konduktif yang
murni atau tanpa komplikasi, biasanya tidak terdapat kerusakan pada
telinga bagian dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran N.VIII
(Supramaniam, 2011). Gangguan pendengaran ini dapat menyebabkan
hingga 60 dB hilangnya pendengaran
2. Tuli Sensorineural
Tuli sensorineural dapat diartikan sebagai gangguan pendengaran
akibat disfungsi pada koklea; gangguan pendengaran saraf akibat disfungsi
pada saraf koklea; dan gangguan saraf pusat dapat disebabkan oleh
disfungsi dari jalan pendengaran pusat atau korteks pendengaran. Tuli
sensorineural dapat disimpulkan dengan gangguan pendengaran yang
diakibatkan oleh disfungsi kombinasi koklea dan sarafnya (Zahnert, 2011).
3. Tuli Campuran/Kombinasi
Gangguan pendengaran jenis ini merupakan kombinasi dari
gangguan pendengaran tipe konduktif dan tipe sensorineural. Gejala yang
12
timbul juga merupakan campuran dari gejala yang ada pada kedua jenis
pendengaran diatas. Tanda-tanda gangguan pendengaran tipe sensorineural
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atau otoskopi. Pasien dengan
gangguan pendengaran jenis ini tidak dapat mendengar suara bisik pada
jarak lima meter dan sulit mendengar suara baik dengan nada rendah
maupun tinggi dalam pemeriksaan tes bisik
13
Berikan perintah yang sederhana dan jelas. Jelaskan bahwa akan
terdegar serangkaian bunyi yang akan terdengar pada sebelah telinga.
Pasien harus memberikan tanda dengan mengangkat tangannya, menekan
tombol atau mengatakan “ya” setiap terdengar bunyi bagaimanapun
lemahnya.
c. Pemasangan earphone atau bone conductor
Lepaskan dahulu kacamata atau giwang, regangkan headband,
pasangkan di kepalanya dengan benar, earphone kanan ditelinga kanan
kemudian kencangkan sehingga terasa nyaman. Perhatikan membrane
earphone tepat di depan liang telinga di kedua sisi.
d. Seleksi telinga
Mulailah dengan telinga yang sehat dahulu.
e. Urutan frekuensi
Prosedur dasar pemeriksaan ini adalah,
a) dimulai dengan signal nada yang sering didengar (familiarization),
b) pengukuran ambang pendengaran.
Dua cara menentukan nada familiarization:
1. Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil, lalu
secara bertahap meningkatkan oktaf lebih tinggi hingga terdengar.
2. Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika terdengar, lakukan
pemeriksaan ambang pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal di
tinggkatkan intensitas bunyi hingga 50 dB, dengan menaikkan tiap 10
dB hingga tedengar. Familiarization tidak selalu dilakukan pada setiap
kasus. Terutama pada kasus forensic atau pasien dengan riwayat
ketulian.
Interpretasi Audiogram
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut
konduksi tulang (BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis,
baik AC maupun BC, maka akan didapatkan didalam audiogram.
1. Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk
hantaran udara maupun hantaran tulang tercatrat sebesar 0 dB. Pada
14
anakpun keadaan ideal seperti ini sulit tercapai terutama pada frekuensi
rendah bila terdapat bunyi lingkungan (ambient noise). Pada keadaan tes
yang baik, audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250, 500 Hz 0
dB pada 1000, 2000,4000, 10000 Hz pada 8000 Hz dapat dianggap
normal
15
yang menyebabkan gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenitalm
fiksasi karena trauma, dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan
menyebabkan peninggian amabang hantaran udara dengan hantaran
tulang normal. Gap antara hantran tulang dengan hantaran udara
menunjukkan beratnya ketulian konduktif.
Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi.
Eksarsebasi dan remisi sering terjadi pada penyakit telinga tenga
terutama otitis media serosa. Pada orang tua sering mengeluhkan
pendengaran anaknya bertambah bila sedang pilek, sesudah berenang
atau sedang tumbuh gigi. dapat juga saat perubahan pada musim tertentu
karena alergi.
Penurunan Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada
pasien otitis media. Selama koklea normal, gangguan pendengaran
maksimum tidak melebihi 60 dB. Konfigurasi audiogram pada tuli
konduktif biasanya menunjukkan pendengaran lebih pada frekuensi
rendah. Dapat pula berbentuk audiogram yang datar
16
bila terdapat gangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat
pendengaran termasuk kelainan yang terdapat didalam batang otak.2
Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral)
biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni,
namun tetap terdapat gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada
koklea terjadi karenadua cara, pertama sel rambut didalam koklea rusak,
kedua karena stereosilia dapat hancur. Proses ini dapat terjadi
karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa terpapar bising yang lama,
dapat pula terjadi kongenital. Istilah retrokoklea digunakan untuk sistem
pendengaran sesudah koklea, tetapi tidak termasuk korteks serebri (pusat
pendengaran), maka yang termasuk adalah N.VIII dan batang otak.
Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis
tuli koklea atau retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus.
Pada ketulian Meniere, pendengaran terutama berkurang pada frekuensi
tinggi. Tuli sensorineural karena presbikusis dan tuli suara keras
biasanya terjadi pada nada dengan frekuensi tinggi.
Apabila tingkat konduksi udara normal, hantaran tulang harusnya
normal pula. Bila konduksi udara dan konduksi tulang keduaduannya
abnormal dan pada level yang sama, maka pastilahnya masalah terletak
pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga tengah normal
17
4. Gangguan Dengar Campuran
Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan
serumen yang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan
gangguan fungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran karena
sumbatan konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang
disebabkan oleh komponen konduktif.
Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal
sebagai “jarak udara-tulang” atau “air-bone gap”. Jarak udara-tulang
merupakan suatu ukuran dari komponen konduktif dari suatu gangguan
pendengaran. Level hantaran udara menunjukkan tingkat patologi
koklea, kadang disebut sebagai “cochlear reserve” atau cabang koklea.
18
BAB IV
BONE ANCHORED HEARING AID
19
Gambar 11. BAHA pada dewasa
20
Gambar 6. Model BAHA pada anak anak
a. Prosesor suara: Alat bantu dengar elektronik yang bisa dilepas dengan skrup
yang dapat dipasang pada penyangga. Pengguna menyalakan dan mematikan
prosesor suara seperti yang diperlukan, misalnya untuk mencuci rambut atau
berenang.
21
b. Abutment: Merupakan dari bahan titanium sebagai penghubung, seperti topi
terbalik, ukuranya kecil. Abutment menembus permukaan kulit kepala dan
dibentuk untuk menahan pemasangan implan dari prosesor suara. Abutment
dapat dibuka dari implan untuk pemeliharaan atau penggantian oleh ahli
audiologi spesialis.
c. Fixture (atau implan): Sekrup titanium kecil, panjang empat milimeter,
ditanamkan ke tulang di belakang telinga. Implan ini permanen, tidak
disesuaikan atau dilepas, tertanam kuat pada tulang melalui proses
osseointegrasi.
Sistem ini bekerja dengan mengambil suara dari luar dan
mentransmisikannya ke telinga bagian dalam melalui tulang. Implan titanium
dipasang selama prosedur bedah kecil dan seiring waktu akan terintegrasi
dengan tulang telinga bagian belakang. Alat pendengaran mentransmisikan
getaran suara melalui implan titanium ke tengkorak dan telinga bagian dalam,
di mana pendengaran terjadi.
22
4.3 Indikasi BAHA
23
4. 4. Mekanisme BAHA
24
auditori eksternal. Untuk teknik satu tahap dan dua tahap, dermatom yang
digunakan untuk menaikkan flap kulit. Sebuah inchision dibuat untuk periosteum,
dimana jaringan tersebut akan dihapus. Dengan menggunakan bor pada kecepatan
lambat 2500 RPM, dengan irigasi berlebihan dan membersihkan sering, dibuatlah
lubang dengan ukuran 3 sampai 4 mm yang kemudian melebar dan countersunk.
Sekrup ditempatkan. untuk operasi dua tahap, bahwa penutup ditempatkan di atas
sekrup lalu dimasukkan dan flap ditutup, Semua rambut dihilangkan pada lokasi
dermatom. Karena ketipisan graf, tidak akan ada pertumbuhan rambut waktu di
lokasi tersebut. Lipatan kulit dijahit kembali di atas sekrup.
Jika prosedur pada satu tahap, sayatan kecil dibuat di tengah flap kulit
untuk melewati abutment. Abutment adalah tempat diaman tutup penyembuhan
diterapkan. Satu minggu pascaoperasi, tutup penyembuhan dihapus. Tempat
tersebut harus dibersihkan setiap hari dengan salep dan sikat gigi lembut. Setelah
osseointegration telah terjadi, biasanya 3 sampai 6 bulan pascaoperasi, prosesor
suara eksternal dapat disertakan.
25
Gambar 13. Pemasangan BAHA
26
BAB V
KESIMPULAN
Alat Bantu Dengar adalah Alat suatu perangkat elektronik yang berguna untuk
memperkeras (mengamplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga, sehingga si
pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada di sekitarnya
Bone Anchored Hearing Aid (BAHA) adalah sistem implan bedah untuk
pengobatan gangguan pendengaran. Sistem ini ditanamkan secara operasi dan
memungkinkan suara dilakukan melalui tulang daripada melalui telinga tengah dengan
proses yang dikenal sebagai konduksi tulang langsung
Pada umumnya, Prinsip kerjanya yaitu lempeng titanium menerima rangsang
dari luar kemudian diolah di prosessor dan dilanjutkan ke telinga bagian dalam melalui
tulang.
Indikasi BAHA untuk merehabilitasi orang dengan gangguan pendengaran
konduktif dan campuran, Single-sided sensorineural deafness, termasuk orang dengan
infeksi kronis pada saluran telinga, tidak memiliki atau saluran telinga yang sangat
sempit akibat malformasi, infeksi, atau pembedahan telinga bawaan
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Gauri Mankekar, Payal Bhattacharya Chitranshi, MV Kirtane Hearing with
Bone-anchored Hearing Aid (BAHA) Otorhinolaryngology Clinics: An
International Journal, May-August 2010;2(2):125-131
2. Moller, Aage R. 2006. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders of the
Auditory System Second Edition. California: Academic Press
3. Thomas R. et al. 2006. Otolaryngology: Basic Science and Clinical Review.
New York: Thieme Medical Publishers.
4. Yetter, Carol J. 2015. A Hearing Aid Primer. WROCC Outreach Site. Western
Oregon University.
5. Rahman, Sukri. Dkk. 2012. NeuropatiAuditori. JurnalKesehatanAndalas.
6. Snow, James B Jr. 2002. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery. London: BC Decker
7. Menner, Albert L. 2003. A Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme Medical
Publishers.
8. American Academy of Audiology. 2001. Hearing Aids. Mclean VA: NIH
Publication
9. FDA Consumer Health Information. 2009. A New Online Guide to Hearing
Aids.
10. Swartz, Mark H. 1995. BukuAjarDiagnostikFisik. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran EGC
11. Kimball, Suzanne H. et al. 2013. Hearing Aids (www.medscape.com)
diaksestanggal13 Mei 2016.
28