Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Proses menua atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk
hidup. Menjadi tua (aging) merupakan proses perubahan biologis secara terus
menerus yang dialami manusia pada semua tingkat umur dan waktu. Masa usia
lanjut memang masa yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun khususnya bagi
yang dikaruniai umur panjang, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah
menghambat proses menua agar tidak terlalu cepat, karena pada hakikatnya
dalam proses menua terjadi suatu kemunduran atau penurunan (Suardiman,
2011).
Di Indonesia jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 sebesar kurang
lebih 19 juta, usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 sebesar 23,9 juta
(9,77%), usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan
sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Dari jumlah
tersebut, pada tahun 2010, jumlah penduduk Lansia yang tinggal di perkotaan
sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar
15.612.232 (9,97%) (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
2009). Dapat kita ketahui jumlah lansia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini dipengaruhi oleh majunya pelayanan kesehatan,
menurunnya angka kematian bayi dan anak, perbaikan gizi dan sanitasi dan
meningkatnya pengawasan terhadap penyakit infeksi. Dapat di simpulkan
seiring dengan angka peningkatan orang usia lanjut, maka angka lansia yang
mengalami penurunan fungsi kognitif juga meningkat.
Penurunan kemampuan kognitif bukanlah bagian normal dari proses
penuaan. Penurunan kemampuan kognitif seringkali ditemukan, dan kadang-
kadang didahului dengan penurunan kontrol emosional, perilaku sosial, dan
bahkan motivasi (WHO, 2012). Penurunan ini akan mengakibatkan kerusakan
fungsi kognitif global yang biasanya bersifat progresif dan mempengaruhi
aktivitas kehidupan sehari-hari (Activities of Daily Living-ADL) ( Kane dan
Ouslander dalam Stanley dan Patricia, 2007 ). Sehingga dapat menurunkan
kualitas hidup lansia yang berimplikasi pada kemandirian dalam melakukan
aktivitas hidup sehari-hari (Nugroho, 2008).
Salah satu cara untuk mempertahankan fungsi kognitif pada lansia adalah
dengan cara menstimulasi otak dan di istirahatkan dengan tidur, kegiatan seperti
membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui media sebaiknya di jadikan
sebuah kebiasaan hal ini bertujuan agar otak tidak beristirahat secara terus
menerus serta permainan yang prosedurnya membutuhkan konsentrasi atau
atensi, orientasi (tempat, waktu, dan situasi) dan memori. Menurut para ahli
senam otak dari lembaga di Educational Kinesiology Amerika Serikat Paul E.
Denisson Ph.,D., meski sederhana, Brain Gym mampu meningkatkan
kemampuan kognitif Lansia. Gerakan – gerakan dalam Brain Gym digunakan
oleh para murid di Educational Kinesiology, USA. (Franc, 2012).
Berdasarkan data yang di peroleh dari puskesmas Sukaluyu, Desa
Sukamulya, pada Bulan Januari 2020, data terakhir jumlah lansia desa
Sukaluyu sebanyak 210 lansia dan khusus lanjut usia yang berusia 65 -70 tahun
sebanyak 150 orang lansia, yang terbagi dalam 12 posyandu. Berdasarkan
survei pendahuluan terhadap 10 lansia usia diatas 65 tahun yang melakukan test
Mini Mental State Examination (MMSE) didapatkan hasil, 6 lansia mengalami
Definitif Kognitif, 2 orang mengalami probable kognitif dan 2 orang lansia
tidak mengalami gangguan fungsi kognitif. Berdasarkan hasil survey
pendahuluan yang dilakukan, penurunan fungsi kognitif merupakan masalah
yang serius karena sebagian besar lansia yang melakukan tes MMSE
mengalami penurunan fungsi kognitif sehingga peneliti tertarik mengankat
masalah tentang terapi untuk mengatasi penurunan fungsi kognitif dengan judul
“ Perbedaan fungsi kognitif sebelum dan sesudah senam otak pada lansia di
Posbindu Desa Sukamulya wilayah kerja UPTD Puskesmas Sukaluyu.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan data yang di peroleh dari puskesmas Sukaluyu, Desa
Sukamulya, pada Bulan Januari 2020, data terakhir jumlah lansia desa
Sukaluyu sebanyak 210 lansia dan khusus lanjut usia yang berusia 65 -70 tahun
sebanyak 150 orang lansia, yang terbagi dalam 12 posyandu. Berdasarkan
survei pendahuluan terhadap 10 lansia usia diatas 65 tahun yang melakukan test
Mini Mental State Examination (MMSE) didapatkan hasil, 6 lansia mengalami
Definitif Kognitif, 2 orang mengalami probable kognitif dan 2 orang lansia
tidak mengalami gangguan fungsi kognitif.
1.3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ada Perbedaan
fungsi kognitif sebelum dan sesudah senam otak pada lansia di Posbindu Desa
Sukamulya wilayah kerja UPTD Puskesmas Sukaluyu.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui Perbedaan
fungsi kognitif sebelum dan sesudah senam otak pada lansia di Posbindu Desa
Sukamulya wilayah kerja UPTD Puskesmas Sukaluyu.
1.4.2. Tujuan Khusus
1.4.2.1. Dapat mengetahui distribusi frekuensi fungsi otak sebelum senam otak pada
lansia di Posbindu Desa Sukamulya wilayah kerja UPTD Puskesmas
Sukaluyu.
1.4.2.2. Dapat mngetahui distribusi frekuensi fungsi otak sesudah senam otak pada
lansia di Posbindu Desa Sukamulya, wilayah kerja UPTS Puskemas
Sukaluyu.
1.4.2.3. Dapat mengetahui distribusi Perbedaan fungsi kognitif sebelum dan sesudah
senam otak pada lansia di Posbindu Desa Sukamulya wilayah kerja UPTD
Puskesmas Sukaluyu.
1.5. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada Perbedaan fungsi kognitif
sebelum dan sesudah senam otak pada lansia di Posbindu Desa Sukamulya wilayah
kerja UPTD Puskesmas Sukaluyu.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Teoritis
Sebagai bahan literatur dalam kegiatan proses belajar mengajar mengenai
pengaruh terapi senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia.dan
Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh terapi
senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia.
1.6.2. Praktisi
Sebagai masukan untuk rumah sakit untuk meningkatkan cara – cara
meningkatkan edukasi yang efektif terhadap dalam memberikan terapi komplementer
keperawatan dalam pasien lansia
1.6.2.1 Bagi Perawat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi profesi perawat untuk
memberikan terapi komplementer pada lansia khusunya dalam senam otak
1.6.2.2. Bagi lansia
Hasil penelitian ini juga sangat berguna bagi lansia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia


(lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli, 2009).
Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO seseorang disebut lanjut usia
(elderly) jika berumur 60-69 tahun. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad
Mohammad, Guru Besar Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran
menyabutkan bahwa usia 65 tahun keatas disebut masa lanjut usia atau
senium. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikologi dari Universitas
Indonesia), lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa antara usia 65
tahun hingga tutup usia. Menurut Menurut Depkes (2011), lansia meliputi :
pra lansia kelompok usia 45-59 tahun, lansia antara 60-69 tahun, lansia
berresiko kelompok usia > 70 tahun. Kesimpulan dari pembagiaan umur
menurut beberapa ahli, bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang
telah berumur 65 tahun keatas (Nugroho, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan


Depkes RI (2003) dalam Maryam (2009) yang terdiri dari : pralansia
(presenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah
seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan
barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2.1.3 Perubahan Pada Lanjut Usia
Menua adalah proses alami yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Penuaan akan terjadi hampir pada semua sistem tubuh, namun
tidak semua sistem tubuh mengalami kemunduran fungsi pada waktu yang
sama (Nugroho, 2008). Perubahan-perubahan fisiologik dan patologik yang
terjadi akibat proses penuaan menurut Darmojo (2009) adalah sebagai berikut:

a) Perubahan sistem panca-indra antara lain terdapat pada panca indra


mengalami berbagai perubahan morfologik baik pada mata, telinga,
hidung, syaraf perasa lidah dan kulit. Perubahan yang bersifat degeneratif
ini yang bersifat anatomik fungsional, memberi manifestasi pada
morfologi berbagai organ panca-indra trsebut baik pada fungsi melihat,
mendengar, keseimbangan ataupun perasa dan peraba.
b) Sistem gastro-intestinal mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan
morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofik pada rahang,
sehingga gigi lebih mudah tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada
mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan. Perubahan morfologik akan
menyebabkan perubahan fungsional sampai perubahan patologik,
diantaranya gangguan mengunnyah dan menelan, perubahan nafsu makan
sampai pada mberbagai penyakit.
c) Sistem kardiovaskuler, walaupun tanpa ada penyakit, pada usia lanjut
jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi dan kecepatan
kontraksi. Terjadi pula penurunan yang signifikan pada jantung dan
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung. Golongan
lanjut usia sering kali tidak merasakan nyeri dibanding usia muda dan
gejala pertama infark miokard akut sering kali adalah gagal jantung,
embolus, hipotensi atau konfusio.
d) Sistem respirasi, elastisitas paru menurun, kekuatan dinding dada
meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini berakibat
menurunnya rasio ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan
pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen. Berbagai perubahan
morfologik dan fungsional tersebut mempermudah terjadinya berbagai
keadaaan patologik, di antaranya penyakit obstruktif/PPOK, penyakit
paru akut/kronis, dan keganasan paru-bronkus.
e) Sistem endokrin, pada sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi
glukosa, dengan kadar gula puasa yang normal. Selain faktor diet,
obesitas dan kurangnya olahraga serta penuaan menyebabkan terjadinya
penurunan toleransi glukosa.
f) Sistem persendian, penyakit rematik merupakan salah satu penyebab
utama terjadinya disabilitas pada usia lanjut, disamping stroke dan
penyakit kardiovaskuler. Pada sinovial sendi terjadi perubahan berupa
tidak ratanya permukaan sendi, fibrilasi dan pembentukan celah dan
lekukan di permukaan tulang rawan. Diantara penyakit sendi yang sering
di alami lansia adalah osteo-artritis, rematoid artritis gout dan pseudo-
gout, artritis mono-artikuler senilis, dan rematika polimialgia.
g) Sistem urogenital dan tekanan darah, pada usia lanjut ginjal mengalami
perubahan antara lain terjadi penebalan kapsula bowman dan gangguan
permeabilitas terhadap solut yang akan difiltrasi . Neuron secara
keseluruhan mengalami penurunan dalam jumlah (Jumlah neuron pada
akhir rentan hidup rata-rata tinggal tersisa sekitar 50% dibanding usia 30
tahun) dan mulai terlihat atrofi. Akan tetapi fungsi ginjal secara
keseluruhan dalam keadaan istirahat tidak terlihat menurun. Secara umum
pembuluh darah sedang sampai besar pada usia lanjut sudah mengalami
berbagai perubahan. Terjadi penebalan intima (akibat proses
arterosklesosis) atau tinika media yang pada akhirnya menyebabkan
kelenturan pembuluh darah tepi meningkat. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah (terutama peningkatan darah sistolik)
walaupun tekanan diastolik sering juga meningkat sebagai akibat banyak
faktor lain termsuk genetik.
h) Sistem syaraf pusat dan otonom, berat otak akan menurun sebanyak
sekitar 10% pada penuaan antara umur 30 sampai 70 tahun. Disamping
itu meningeal menebal. Pada semua sitoplasma sel juga terjadi deposit
limfusin yang sering disebut sebagai pigmen “wear and rear”. Penurunan
patologis adalah adanya degenerasi pigmen subtantia nigra, kekusutan
neurofiblier

2.1.4 Perubahan dan Konsekuensi Patologis Usia Lanjut


Padila (2013) mengatakan secara umum, menjadi tua ditandai oleh
kemunduran biologis yang terlihat pada gejala kemunduran fisik disamping
itu, juga terjadi kemunduran kognitif antara lain :
1. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik
2. Ingatan terhadap hal-hal dimasa muda lebih baik dari pada hal-hal yang
baru saja terjadi
3. Sering terjadinya disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang d). Sulit
menerima ide-ide baru
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
generatif yang berdampak pada perubahan-perubahan pada manusia, tidak
hanya perubahan fisik, tetapi juga perasaan, kognitif, sosial dan seksual.
Menurut Azizah (2010) perubahan kognitif terjadi pada perubahan daya ingat
(Memory), IQ (Intelegent quocient), kemampuan belajar, kemampuan
pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan
kinerja.

2.1.5 Fungsi kognitif pada lansia


a) Fungsi kognitif
Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, “ untuk mengetahui” atau
“untuk mengenali”) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi,
menerapkan ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010).
Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan aspek memori,
perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor. Masalah,
setiap aspek ini sendiri adalah kompleks. Memori sendiri meliputi proses
encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan
menjadi ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory.
Perhatian dapat secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan
persepsi meliputi beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek yang
didapatkan dari rangsangan indera yang berlainan (visual, auditori, perabaan,
penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi,
strategi berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek kognitif bahasa adalah
mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan pemahaman
bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemrograman dan
eksekusi motorik. Tambahan pula, semua fungsi kognitif di atas ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suasana hati (sedih atau gembira),
tingkat kewaspadaan dan tenaga, kesejahteraan fisik dan juga motivasi
(Nehlig, 2010).
b) Penyebab Penurunan Fungsi Kognitif pada lanjut usia
Terkait dengan perubahan fisik, terjadi perubahan pada sistem persarafan
lansia, yaitu berat otak menurun atau mengalami penyusutan (atropi) sebesar
10 – 20% seiring dengan penuaan, dan hal ini berkurang setiap hari. Hal ini
dikarenakan terjadinya penurunan jumlah sel otak serta terganggunya
mekanisme perbaikan sel otak (Fatimah, 2010). Otak mengalami penebalan
meningeal atrofi serebral (penurunan volume otak). Mula-mula tonjolan
dendrit di neuron hilang, di susul bengkaknya batang dendrit dan badan sel.
Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel terjadi deposit
lipofunchsin (Darmojo, 2009).
Beberapa faktor yang diperkirakan sebagai pernyebab gangguan kognitif
global adalah (1) gangguan neurotransmiter, (2) gangguan cerebral blood
flow, (3) gangguan metabolisme neuron, (4) patologi neuron dan (5)
gangguan homeostasis ion kalsium (Ca2+). Pada proses penuaan otak, terjadi
penurunan jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus temporal
superior (merupakan area yang paling cepat kehilangan neuron), girus
presentralis dan area striata. Secara patologis penurunan jumlah neuron
kolinergik akan menyebabkan berkurangnya neurotransmiter asetilklolin
sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan perilaku (Soetedjo, 2006).
Pengurangan volume dan massa otak pada penuaan yang normal tidak hanya
diakibatkan oleh hilangnya jumlah neuron, tetapi juga karena adanya
perubahan di dalam neuron: berkurangnya cabang-cabang neuron
(spina dendrit), pengurangan kerapatan sinapsis, dan merosotnya lapisan
myelin yang melapisi akson pada neuron (Nelson, 2008). Penurunan fungsi
kognitif akan menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat, yaitu
pengurangan massa otak dan pengurangan aliran darah otak. Selanjutnya akan
menyebabkan atrosit berploriferasi sehingga neurotransmitter (dopamin dan
serotonin) akan berubah. Perubahan pada neurotransmitter ini akan
meningkatkan aktivitas enzim monoaminoksidase (MAO) (Pranarka 2006).
c) Faktor risiko penurunan fungsi kognitif
Jenis kelamin, wanita lebih beresiko mengalami penurunan kognitif dari pada
laki-laki. Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen
dalam perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam
area otak yang berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti
hipokampus. Penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal dikaitkan
dengan rendahnya level estradiol dalam tubuh. Estradiol diperkirakan bersifat
neuroprotektif yaitu dapat membatasi kerusakan akibat stress oksidatif serta
sebagai pelindung sel saraf dari toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer
(Yaffe dalam Myers, 2008).
Hasil penelitian Scanlan et al (dalam Saragih, 2010) menunjukkan adanya
hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif. Hasil dari
pengukuran fungsi kognitif pada lansia yang adalah 16% pada kelompok
umur 65-69 tahun, 21% pada 70-74 tahun, 30% pada 75-79 tahun,
dan 44% pada 80 tahun keatas.
2.1.6 Pengukuran Fungsi Kognitif Menggunakan MMSE (Mini Mental Status
Examination)
1. Tujuan
Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi
bertujuan untuk pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu
atau dua pertanyaan. Mental State Examination ( MMSE ) adalah tes
skrining yang paling umum digunakan untuk penilaian fungsi kognitif.
Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan pemeriksaan mental
mini yang cukup populer, diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE
digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada
seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang
berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon
terhadap pengobatan (Turana, 2004).Sejalan dengan banyaknya
penggunaan tes ini selama bertahun- tahun, kegunaan utama MMSE
berubah menjadi suatu media untuk mendeteksi dan mengikuti
perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan kelainan
neurodegeneratif. (Kusumoputro, 2004).

2. Gambaran
MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin
yang dikelompokkan menjadi 7 kategori : orientasi terhadap tempat
(negara, provinsi,kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu
(tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan
cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7,
dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik),
mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah diulang
sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda, mengulang kalimat,
membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan
mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar).
Skor MMSE diberikan berdasarkan jumlah item yang benar sempurna;
skor yang makin rendah mengindikasikan performance yang buruk dan
gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 0-30
(performance sempurna). MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan
fungsi kognitif dan dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang
sederhana untuk penapisan adanya gangguan fungsi kognitif. Instrumen
ini direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian kognitif global
oleh American Academy of Neurology (AAN). Kusumoputro (2004).

2.2 Senam Otak

2.2.1 Pengertian Senam Otak

Senam otak atau brain gym adalah serangkaian latihan berbasis


gerakan tubuh sederhana. Gerakan itu dibuat untuk merangsang otak kiri dan
kanan (dimensi lateralitas). Meringankan atau merelaksasi belakang otak dan
bagian depan otak (dimensi pemfokusan). Merangsang sistem yang terkait
dengan perasaan/emosional, yakni otak tengah (limbis) serta otak besar
(dimensi pemusatan). Sebagai pemula, Anda bisa melakukannya lewat
gerakan sederhana sambil melakukan kegiatan sehari-hari (Dennison 2008).
Menurut ahli senam otak dari lembaga Educational Kinesology Amerika
Serikat Paul E. Dennison, meski sederhana, brain gym mampu memudahkan
kegiatan belajar dan melakukan penyesuaian terhadap ketegangan, tantangan,
dan tuntutan hidup sehari hari. Pakar peneliti otak inilah yang pertama kali
memperkenalkan metode terapi ini di Amerika (Franc, 2012). manfaat yaitu
berupa: (1) Stress emosional berkurang dan pikiran lebih jernih; (2) Hubungan
antar manusia dan suasana belajar/kerja lebih relaks dan senang; (3)
Kemampuan berbahasa dan daya ingat meningkat; (4) Orang menjadi lebih
bersemangat, lebih kreatif, dan efisien; (5) Orang merasa lebih sehat karena
stress berkurang; dan (6) Prestasi belajar dan bekerja meningkat.
Brain Gym bermanfaat pula untuk melatih fungsi keseimbangan
dengan merangsang beberapa bagian otak yang mengaturnya. Seperti
dijelaskan Paul E. Dennison, otak manusia seperti halogram, terdiri dari tiga
dimensi dengan bagian- bagian yang saling berhubungan sebagai satu
kesatuan. Akan tetapi, otak manusia juga spesifik tugasnya di mana ketiga
dimensi tersebut dalam aplikasi gerakan Brain Gym disebut dengan istilah
dimensi Lateralitas, dimensi Pemfokusan serta dimensi Pemusatan. Fungsi
gerakan Brain Gym yang terkait dengan 3 dimensi otak tersebut adalah untuk
(1) menstimulasi dimensi lateralitas; (2) meringankan dimensi pemfokusan;
dan (3) merelaksasikan dimensi Pemusatan (Dennison & Dennison, 2008).
2.2.2 Mekanisme Kerja Brain Gym

Gerakan-gerakan brain gym atau senam otak adalah suatu sentuhan


yang bisa merangsang kerja dan berfungsinya otak secara optimal.
Mengaktifkan kemampuan otak kanan dan kiri, sehingga kerjasama antara
belahan otak kanan dan kiri bisa terjalin. Brain gym dapat dilakukan oleh
orang lanjut usia (lansia). Pada umumnya, lansia mengalami penurunan
kemampuan otak dan tubuh. Penurunan inilah yang membuat lansia mudah
sakit, tidak kreatif, tidak biasa bekerja lagi dan mundurnya fungsi kognitif.
Meski demikian, penurunan ini bisa diperbaiki dengan brain gym. Karena
brain gym tidak saja akan memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak,
tetapi juga gerakan-gerakan yang bisa merangsang kerja dan berfungsinya
otak secara optimal. Mengaktifkan kemampuan otak kanan dan kiri, sehingga
kerjasama antara belahan otak kanan dan kiri bisa terjalin. Melakukan brain
gym secara rutin dapat meningkatkan kualitas hidup lansia. Dennison (2008).
Senam otak mempunyai perinsip dasar agar otak tetap bugar dan
mencegah penurunan fungsi kognitif serta mempunyai tujuan utama untuk
mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan.
Melakukan senam otak diharapkan fungsi kognitif pada lansia dapat lebih
baik. Mekanisme yang menjelaskan hubungan antara aktifitas fisik dengan
fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga dan mengatur vaskularisasi ke
otak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar lipoprotein,
meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi jaringan
otak yang kuat, efek langsung terhadap otak yaitu memelihara sruktur saraf
dan meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris (Markam,
2006).
Latihan senam otak akan dapat membantu menyeimbangkan fungsi
otak. Baik itu otak kanan dan otak kiri (dimensi lateralitas), otak belakang/
batang otak dan otak depan/frontal lobes (dimensi pemfokusan) serta sistem
limbis (misbrain) dan otak besar/cerebral cortex (dimensi pemusatan),
Neuroplastis gerakan atau kegiatan yang tidak lazim, tidak biasa dilakukan
dan bukan merupakan kegiatan rutin akan membentuk sinapsis baru dalam
hubungan antar sel saraf. dalam senam otak terdapat gerakan-gerakan
terkoordinasi yang dapat menstimulasi kerja otak sehingga lebih aktif
(Dennison, 2008).
2.2.3 Gerakan Senam Otak
Gerakan senam otak Brain gym juga sangat praktis, karena bisa dilakukan
di mana saja, kapan saja oleh siapa saja termasuk bayi. Porsi latihan yang
tepat adalah sekitar 10-15 menit. Menurut (France ,2012), menyatakan
beberapa gerakan dasar senam otak yang dapat dilatih diantaranya adalah:
a) Gerakan Silang (Cross Crawl)
Menggerakkan tangan kanan bersamaan dengan kaki kiri dan kaki kiri
dengan tangan kanan. Bergerak ke depan, ke samping, ke belakang, atau
jalan di tempat. Saat menyeberang garis tengah sebaiknya tangan
menyentuh lutut yang berlawanan. Fungsinya untuk
meningkatkan koordinasi kiri/kanan, memperbaiki pernafasan, stamina,
koordinasi dan kesadaran tentang ruang dan gerak serta memperbaiki
pendengaran dan penglihatan.
b) Gerakan Tidur (Lazy 8)
Gerakan dengan membuat angka delapan tidur di udara, tangan
mengepal dan jari jempol ke atas, dimulai dengan menggerakkan
kepalan ke sebelah kiri atas dan membentuk angka delapan tidur. Diikuti
dengan gerakan mata melihat ke ujung jari jempol. Buatlah angka 8
tidur 3 kali setiap tangan dan dilanjutkan 3 kali dengan kedua tangan.
Fungsinya untuk melepaskan ketegangan mata, tengkuk, dan bahu pada
waktu memusatkan perhatian, meningkatkan kedalaman persepsi,
pemusatan, keseimbangan dan koordinasi.
c) Gerakan Burung Hantu (The Owl)
Urutlah otot bahu kiri dan kanan. Tarik napas saat kepala berada di
posisi tengah, kemudian embuskan napas ke samping atau ke otot yang
tegang sambil relaks. Ulangi gerakan dengan tangan kiri. Fungsinya
melepaskan ketegangan tengkuk dan bahu yang timbul karena stress.
Menyeimbangkan otot leher dan tengkuk (Mengurangi sikap tubuh yang
terlalu condong ke depan). Menegakkan kepala , membantu mengurangi
kebiasaan memiringkan kepala atau bersandar pada siku.
d) Gerakan Mengaktifkan Tangan (The Active Arm)
Luruskan satu tangan ke atas, tangan yang lain ke samping kuping
memegang tangan yang ke atas. Buang napas pelan, sementara otot-otot
diaktifkan dengan mendorong tangan keempat jurusan (depan, belakang,
dalam dan luar), sementara tangan yang satu menahan dorongan tsb.
Fungsinya meningkatkan fokus dan konsentrasi tanpa fokus berlebihan.
Pernafasan lebih lancar dan sikap lebih santai. Peningkatan energi pada
tangan dan jari.
e) Gerakan Lambaian Kaki (The Footflex) Gerakan Pasang Telinga (The
Tinking Cap)
Pijit daun telinga pelan-pelan, dari atas sampai ke bawah 3x sampai
dengan 5x. Fungsinya menjadikan energi dan nafas lebih baik. Otot
wajah, lidah dan rahang relaks. Fokus perhatian meningkat.
Keseimbangan lebih baik.
f) Kait relaks (Hook-Ups)
Pertama, letakkan kaki kiri di atas kaki kanan, dan tangan kiri di atas
tangan kanan dengan posisi jempol ke bawa, jari-jari kedua tangan saling
menggenggam, kemudian tarik kedua tangan ke arah pusat dan terus ke
depan dada. Tutuplah mata dan pada saat menarik napas lidah
ditempelkan di langit-langit mulut dan dilepaskan lagi pada saat
menghembuskan napas. Tahap kedua, buka silangan kaki, dan ujung-
ujung jari kedua tangan saling bersentuhan secara halus, di dada atau
dipangkuan, sambil bernapas dalam 1 menit lagi Fungsinya untuk
meningkatkan keseimbangan dan koordinasi. Perasaan nyaman terhadap
lingkungan sekitar (Mengurangi kepekaan yang berlebihan). Pernafasan
lebih dalam ( France, 2012).
2.2 Kerangka Teori

Penurunan
Lanjut Usia Proses Menua
Sistem
Syaraf

- Atrofi Serebrum
- Neural Loss
- Kematian Dendrite Penurunan
- Penurunan Kemampua
keefektifan n Kognitif
sistem
neurotransmiter

Mekanisme Brain Gym

Memperlancar Kadar Produksi Merangsang otak


aliran darah dan Lipoprotein Endotelial Nitric untuk
oksigen ke otak meningkat oxide meningkat merangsang
Neurotransmiter

Merangsang otak
secara maksimal

Koordinasi Otak kanan dan


kiri baik

Peningkatan
kemampuan
kognitif
Gambar I. Kerangka Teori

Sumber : modifikasi dari Soetedjo, 2006, Pranarka 2006 dan


Nelson, 2008
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Desain penelitian pada esesiensinya merupakan wadah untuk menjawab
pertanyaan penelitian atau untuk menguji kesahihan hipotesis (Sudigdo
2014).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
eksperimental, sering pula disebut studi intervensional adalah salah satu
rancangan penelitian yang dipergunakan untuk mencari hubungan sebab
akibat (cause-effect relationship). (Sastoasmoro 2014). Rancangan
penelitian yang digunakan dalam penelitian iniadalah penelitian quasi
eksperimental dengan rancangan The one group pretest-posttest design.
Penelitian quasi eksperimentall adalah penelitian yang menguji coba suatu
intervensi pada sekelompok subjek dengan atai tanpa kelompok
pembanding namun tidak dilakukan randomisasi untuk memasukan subjek
kedalam kelompok perlakukan atau control. Desain The one group pretest-
posttest design without control, peneliti hanya memerlukan intervensi pada
satu kelompok tanpa pembanding. Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara
membandungkan nilai post test dengan pretest (Dharma, 2011) rancangan
desain pre and post test without control.

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian


Sumber Dharma, 2011:95
Keterangan :
R : Responden penelitian semua mendapat perlakuan/intervensi
O1 : Pre test Sebelum Perlakuan
O2 : Post test sesudah perlakuan
X1 : uji coba/ intervensi pada kelompok perlakuan sesuai produksi
3.2. Kerangka Konsep/ Penelitian
Kerangka konsep dibuat dalam bentuk diagram yang menunjukanjenis
serta hubungan antar- variable yang diteliti dan variable lainnya yang terkait.
(Sudigdo Sastroasmo, Edisi Ke 5, 2014 ). Karena tidak semua variable akan
diukur dalam penelitian yang direncanakan, pada diagram perlu digambarkan
pula batas batas lingkup penelitian. Diagram kerangka konsep harus
menunjukan keterkaitan antar variable kerangka konsep disusun dengan baik
dapat memberikan informasi yang jelas dan akan memepermudah pemilihan
desain penelitian.
Perlakuan

Lansia

Sebelum diberikan fungsi Sesudah diberikan funsi


kognitif senam otak kognitif senam otak

Gambar 3.2 Kerangka Konsep


Keterangan :
: Variable yang diteliti
: Perlakuan
: Pengaruh variable

3.3. Variabel Penelitian


Variabel adalah sebuah konsep yang dapat dibedakan menjadi dua,
yakni bersifat kuantitatif dan kualitatif (Hidayat, 2011), sedangkan menurut
Sudigdo Sastroasmoro mengemukakan bahwa variabel merupakan karakteristik
subjek penelitian yang berubah dari satu subjek ke subjek lainnya.
3.3.1 Variabel bebas (Independent variabel)
Variabel bebas itu sendiri mempunyai makna variabel yang menjadi sebab
perubahan (hidayat, 2011). Variabel bebas Variabel independen adalah variabel
yang berhubungan atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (variabel terikat. Variabel independen dalam penelitian ini adalah
sebelum diberikan fungsi kognitif senam otak
3.3.2 Variabel terikat (dependen variabel)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
efek dari variabel bebas. Variabel dependen adalah merupakan variabel yang
menghubungkan atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah sesudah diberikan sesudah diberikan fungsi
kognitif senam otak.

3.4. Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan
ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana
variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2011).
Table 3.4
Definisi Operasional
No Variable Definisi oprasional Cara ukur Alat ukur Kategori Skala
1 Sebelum Sebelum diberikan kognitif Observasi
diberikan senam otak pada lansia di
kognitif POSBINDU desa
senam otak sukamulya UPTD
Puskesmas Sukaluyu
2 Sedudah Sesudah diberikan kognitif Terapi Media
diberikan senam otak pada lansia di senam otak audio
kognitif POSBINDU desa yang
senam otak Sukamulya UPTD dilakukan
Puskesmas Sukaluyu sebanyak
12 kali
dalam 1
bulan
3.5. Populasi dan Sampel Penelitian
3.5.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah subjek yang memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi terbagi dua yaitu populasi target dan
populasi terjangkau (Accible Population). Populasi adalah Wilayah generalisasi
yang: Obyek/Subyek yang mempunyai kualitasa dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Menurut Isgiyanto populasi adalah semua nilai yang mungkin, baik hasil
menghitung atau mengukur, kualitatif atau kuantitatif mengenai karakteristik
tertentu. Dalam penelitian ini adalah lansia yang ada di POSBINDU desa
Sukamulya UPTD Puskesmas Sukaluyu sebanyak 45 Orang
3.5.2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,2003). Sampel adalah
bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi tersebut. Bila
populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada
populasi ,misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti
dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasinya. Apa yang dipelajari
dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk
itu sampel yang dambil dari populasi haarusbetul-betul repersentatif. (Sugiyono.
Metode Penelitian kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta : 2009),
lansia yang ada di POSBINDU desa Sukamulya UPTD Puskesmas Sukaluyu
sebanyak 45 Orang.
3.5.1.1 Kriteria inklusi
Yaitu karakteristik umum subjek penelitian untuk mengurangi bias hasil
penelitian, khususnya jika terhadap variabel-variabel kontrol yang ternyata
mempunyai pengaruh terhadap variabel yang kita teliti (Nursalam, 2008). Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalah :

(1) Lansia yang ada di Posbindu Desa Sukamulya


(2) Bersedia menjadi responden
(2) Lansia yang melakukan senam otak 12x dalam satu bulan
3.5.1.2 Kriteria eklusi
Adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2008).

1) Lansia yang mengalami gangguan kognitif


2) Lansia yang menolak menjadi responden
3) Lansia yang tidak dapat diajak berkomunikasi

3.5.2 Sampling
Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan
dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili
keseluruhan populasi yang ada ( Hidayat, 2011). Dalam penelitian ini sampling
menggunakan accidental sampling pengambilan sampling didasarkan pada
kenyataan bahwa mereka kebetulan muncul ( Hidayat,2011 ),
3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
a. Data primer yaitu dengan menggunakan data yang diperoleh dari responden
Data ini dikumpulkan dan digunakan oleh peneliti Pengumpulan data
dalam penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Prosedur perizinan yang dilakukan oleh peneliti adalah :
a. Peneliti meminta surat izin penelitian dari Prodi Keperawatan STIKes Rajawali
Bandung untuk UPTD Puskesmas Sukaluyu
b. Peneliti datang ke UPTD Puskesmas Sukaluyu dan responden untuk
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.
c. Peneliti melakukan penelitian dengan pedoman dan langkah-langkah yang
sudah direncanakan.
Lalu dilanjutkan dengan:
a. Melakukan informed consent dengan memberikan penjelasan maksud dan
tujuan penelitian serta meminta kesediaan mengisi lembar observasi yang telah
disediakan.
b. Meminta responden untuk mengisi lembar persetujuan
c. Meminta responden untuk mengisi lembar observasi skala nyeri di dampingi
peneliti agar dapat memberikan penjelasan terhadap hal yang kurang jelas dan
dimengerti.
d. Mengambil lembar observasi diambil setelah responden mengisi lembar
observasi, setelah itu peneliti memeriksa kembali jawaban yang telah diisi oleh
responden.
e. Peneliti mengakhiri pertemuan.
3.6.2 Instrumen Penelitian
3.6.2.1 Instrumen
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur
fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini
disebut variabel penelitian (Rahayu, 2010). Dalam penelitian ini data yang
dikumpulkan adalah data sekunder dari kuesioner dan observasi, dimana dalam
koesioner tersebut sudah terdapat pertanyaan-pertanyaan tertutup dan sudah
terdapat acuan lembar observasi.
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya
lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah
diolah. (Sugiyono. Metode Penelitian kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta : 2009). Alat ukur atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah media audio senam otak.
3.6.3 Prosedur penelitian
3.6.3.1 Tahap persiapan :
Melakukan studi pendahuluan dengan membagikan kuisoner data pribadi
dan data Riwayat penyakit, merumuskan masalah, menyususn proposal penelitian
dan seminar proposal penelitian.
3.6.3.2 Tahap pelaksanaan :

1. Menentukan sampel penelitian


2. Mengumpulkan data sekunder responden di Posbindu desa
sukamulya
3. Perlakuan senam otak selama 10 menit dilakukan 3X dalam satu
minggu.
4. Hari pertama dilakukan penjelasan (kontrak kegiatan)Pengukuran
sebelum dan sesudah dilakukan senam otak
5. Mengumpulkan data primer yaitu dengan mengisi lembar
6. pengamatan yang akan diisi oleh peneliti pada responden yang
7. memenuhi kriteria inklusif.
8. Tindak lanjut dari pengumpulan data baik sekunder maupun primer
adalah melakukan pengecekan data, apakah data sudah sesuai.
9. Data yang sudah lengkap selanjutnya dilakukan seleksi, kemudian
data diolah menggunakan komputer.
10. Menganalisis hasil berdasarkan data yang diperoleh.
11. Membuat laporan penelitian

3.6.3.3 Tahap akhir :


Peneliti melakukan penyusunan laporan penelitian, penyajian hasil
penelitian, sidang hasil laporan penelitian dan melakukan penggandaan hasil
penelitian.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan data
3.7.1.1 Mengedit (editing)
Editing merupakan usaha untuk memeriksa kembali kebenaran data
yang didapat. Editing dapat dilakukan saat tahap pengumpulan data atau setelah
data terkumpul. Setelah kuisoner diisi dan diambil kembali oleh peneliti kemudian
peneliti melakukan editing yaitu memeriksa kembali kebenaran data yang didapat.
3.7.1.2 Pengkodean data (coding)
Peneliti melakukan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri dari beberapa kategori. Kemudian peneliti memberikan kode
angka terhadap data dimana data tersebut mengklasifikasikan jawaban responden.
Pengkodean dilakukan pada kedua variabel, pada variabel independen
Pengkodean dilakukan supaya menjelaskan hasil distribusi pada saat uji statistik.
3.7.1.3 Entry data
Merupakan kegiatan memasukkan data yang telah terkumpul ke dalam
database computer, yang kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau
dengan membuat tabel kotigensi.
3.7.1.4 Melakukan teknik analisis
Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dianalisis (Hidayat Alimul AA, 2011).
3.7.2 Analisa data
3.7.2.1 Analisis Univariat
Menurut Budiharto (2008),analisis univariat diperlukan
untumenjelaskan atau mendeskripsikan distribusi data pada variabel
independent dan variabel dependen. Analisis univariat adalah analisis satu
variabel.
3.7.2.2 Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi (Notoatmojo 2012). Analisis bivariate yang di
gunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Uji Marginal Homogeneity
termasuk uji statistik nonparametrik. Uji ini dilakukan untuk tes dua sampel
yang saling berhubungan dan merupakan perluasan dari uji
McNemar.Penggunaan uji ini untuk melihat apakah terdapat perbedaan atau
perubahan antara dua peristiwa sebelum dan sesudahnya. Kategori data
yaitu data kategori multinominal lebih dari 2 x 2.
3.8 Etika Penelitian
3.8.1 Informed Consent (Persetujuan)
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan informed consent tersebut
diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan
untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti
maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.
3.8.2 Anonymity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberika jaminan
dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan
kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3.8.3 Confidentialy (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti,
hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Hidayat,
2011).
3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.9.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Posbindu Desa Sukamulya UPTD
Puskesmas Sukaluyu Kabupaten Cianjur.
3.9.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan bulan Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai