Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomen tetesan lilin,
Auspitz, dan Köbner. Psoriasis vulgaris berarti psoriasis yang biasa, karena ada
psoriasis yang lain contohnya psoriasis pustulosa. Bagi para klinisi, psoriasis sangat
penting untuk diketahui karena cukup sering ditemukan dan mempunyai
penatalaksanaan yang merawat lesi di kulit.(1,2)

II. ETIOLOGI
Penyebab psoriasis tidak diketahui, tetapi faktor genetik berperan dalam
penyakit ini. Bila orang tuanya tidak menderita psoriasis risiko mendapatkan
psoriasis 12%, sedangkan jika salah satu orang tuanya menderita psoriasis maka
resikonya mencapai 34-39%.(1)
Faktor imunologik juga berperan, defek genetik pada psoriasis dapat
diekspresikan pada salah satu dari 3 sel, yakni limfosit T, sel penyaji
antigen(dermal), atau keratinosit.(1)
Berbagai faktor pencetus juga terdapat pada psoriasis, diantaranya adalah
faktor genetik, obesitas, konsumsi alkohol, merokok, stress psikis, infeksi, trauma,
endokrin, gangguan metabolik, obat (glukokortikoid sistemik, lithium, obat anti
malaria, interferon, dan beta adrenergik blocker). Stres psikis juga merupakan
faktor pencetus utama, dan faktor endokrin rupanya memiliki peranan
mempengaruhi perjalanan penyakit.(1)

III. PATOGENESIS
Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronik, dengan dasar genetik yang
kuat, terkarakterisasi oleh alterasi kompleks dalam pertumbuhan epidermal dan
diferensiasi dan berbagai biokimia, system imun, dan kelainan vaskuler, dan

9
hubungannya degan fungsi system saraf yang sayangnya kurang dimengerti. Asal
penyebabnya masih belum diketahui. Berdasarkan sejarah, psoriasis diakui secara
luas merupakan gangguan primer dari keratinosit. Semenjak adanya penemuan
bahwa imunosupresan cyclosporine A (CsA) sel T spesifik sangatlah aktif terhadap
psoriasis, penelitian mulai terfokus kepada sel T dan system imun. Tidak hanya itu,
jumlah bukti menunjukkan bahwa keratinosit adalah bagian integral dari respon
imun kutaneus di psoriasis.(4)
Kelainan pada psoriasis adalah perubahan kinetik sel keratinosit dengan
pemendekan siklus sel menjadi 31-36 jam, sedangkan normalnya 28 hari untuk
memproduksi sel-sel epidermis. Epidermis dan dermis berperan sebagai suatu
sistem yang terintegrasi, perubahan yang jelas pada lapisan germinativum
epidermis dan perubahan inflamasi dalam dermis, memicu perubahan pada
epidermis. Psoriasis juga sering dikatakan sebagai penyakit kelainan sel imun
dimana sel T menjadi aktif. Ada banyak CD8+ sel T pada lesi psoriasis di sekitar
pembuluh darah dermal atas dan spektrum sitokin merupakan respon TH1. Lesi
psoriasis dianggap sebagai respon imunautoreaktif berkelanjutan.(5)

IV. DIAGNOSIS
Terdapat 2 tipe, yang pertama yaitu; eruptif, tipe berinflamasi dengan
berbagai lesi kulit yang kecil (gutata atau nummular) dan tendensi yang lebih besar
terhadap resolusi spontan, secara relatif memang jarang ditemukan (<2.0% dari
semua psoriasis).(5)

10
Gambar 1. Psoriasis vulgaris; lesi primer berbatas tegas, kemerahan atau papula merah
muda-salmon berdinding kendur berbentuk lamellar. (5)

Kedua yaitu psoriasis stabil kronik (plak). Kebanyakan dari pasien dengan
lesi indolen kronik muncul dalam berbulan-bulan bahkan tahunan, dan berubah
secara lambat.(5)

Gambar 2. Tampak plak eritematous psoriasis dengan skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih
seperti mika.(5)

Pruritus dapat muncul dalam banyak kasus psoriasis, terutama pada kulit
kepala dan area kelamin. Lesi yang sering ditemukan pada psoriasis yang klasik
adalah papul eritema bebatas tegas dengan dinding perak-keputihan. Memiliki
bentuk lamellar, kendur dan mudah diangkat dengan menggaruknya. Apabila
dindingnya diangkat maka akan terlihat penampakan dari Auspitz sign.(5)
Pada psoriasis terdapat fenomena yang khas yaitu fenomena tetesan lilin
dimana bila lesi yang berbentuk skuama dikerok maka skuama akan berubah warna
menjadi putih yang disebabkan oleh karena perubahan indeks bias. Auspitz sign
ialah bila skuama yang berlapis-lapis dikerok akan timbul bintik-bintik pendarahan
yang disebabkan papilomatosis yaitu papilla dermis yang memanjang tetapi bila
kerokan tersebut diteruskan maka akan tampak pendarahan yang merata. Fenomena

11
kobner ialah bila kulit penderita psoriasis terkena trauma misalnya garukan maka
akan muncul kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis.1

Gambar 3. Auspitz sign. Sebelum dinding diangkat(A) dan sesudah dinding diangkat(B)

Lesi psoriasis vulgaris berupa plak eritematous, berbatas tegas, simetris,


kering, tebal dengan ukuran yang beragam serta dilapisi oleh skuama tebal berlapis-
lapis dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Keluhan yang dirasakan
adalah gatal ringan. Bentuk kelainan dapat bervariasi: lentikuler, numular atau
plakat dapat berkonfluensi.(1)
Psoriasis dapat terbentuk di lokasi trauma fisik (garukan, terbakar sinar
matahari, atau operasi) yang disebut isomorfik atau fenomena Köbner. Terjadinya
pruritus sangat bervariasi, meskipun psoriasis dapat mempengaruhi semua
permukaan kulit tetapi tetap terdapat predileksi pada area tertentu dan harus
diperiksa pada semua pasien yang dicurigai mengalami psoriasis. Daerah tersebut
diantaranya siku, lutut, kulit kepala, gluteal dan kuku. Penyakit ini biasanya lebih
banyak pada bagian ekstensor daripada permukaan fleksor yang mengenai telapak
tangan, telapak kaki, dan wajah.(1,4,5)

12
Gambar 4. Predileksi lokasi psoriasis.5

Gambar 5. Fenomena Köbner.3

13
Gambar 4. Gambaran histopatologi Psoriasis vulgaris.(2)

Eritematous, dengan plak jelas dalam ukuran dan bentuk yang berbeda
adalah ciri khas dari psoriasis. Meskipun terdapat tempat predileksi tertentu seperti
siku, lutut, dan area sacral, lesi juga dapat menutupi kulit secara keseluruhan.(2)
Gambaran histopatologi dikenal melalui penebalan epidermis,
parakeratosis, pemanjangan pembuluh darah dan infiltrate selular yang bercampur.
Sel T CD3+ (Gambar E, 3,3’-diaminobenzidine and hematoxylin) dan sel T CD8+
(Gambar F, 3,3’-diaminobenzidine dan hematoxylin) terlihat disekitar kapiler
dermis dan di dalam epidermis. CD11c+ sel dendritic (Gambar G, 3,3’-
diaminobenzidine dan hematoxylin) banyakn ditemukan di dermis bagian atas. (2)
Tingkat mitosis dari keratinosit basal meningkat bila dibandingkan dengan
kulit normal. Hasil yang Nampak, terlihat penebalan epidermis (akantosis), dengan
rete ridge memanjang; dalam kombinasi dengan infiltrate radang dermis, berperan

14
dalam ketebalan tesi,yang menghasilkan tebal atau tipisnya plak psoriasis. Infiltrat
radang kebanyakan terdiri atas sel dendritik, makrofag, dan sel T di dalam dermis
dan neutrofil dengan beberapa sel T di epidermis. Warna kemerahan dari lesi
merupakan pengaruh dari peningkatan jumlah kapiler melengkung yang mencapai
permukaan kulit melewati epitelium yang tipis. Terdapat pula peningkatan mitosis
fibroblast, dan sel endotel.(2,5)
Pada tes serologi terlihat peningkatan titer antistreptolisin di psoriasis gutata
akut dengan infeksi streptococcus. Peningkatan psoriasis dapat dikaitkan dengan
infeksi HIV. Serum asam urat meningkat pada 50% pasien, biasanya berhubungan
dengan perkembangan penyakit; terdapat peningkatan resiko pada artritis gout.
Tingkat asam urat menurun bila terapi efektif. Pada tes kultur tenggorokan
dilakukan pada infeksi streptokokus grup A Betha-hemolitik.(5)

V. DIAGNOSIS BANDING
Karakteristik yang sudah ditentukan biasanya cukup untuk memungkinkan
diagnosis yang akan dibuat, tetapi tak diragukan mungkin timbul dalam kasus
atipikal di lokasi tertentu dimana psoriasis sulit untuk didiagnosis karena
berdampingan dengan penyakit lain.(1)

Tinea corporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin). Kebanyakan disebabkan oleh T.rubrum. Kelainan yang dilihat
dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong berbatas tegas terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang vesikel dan papul di tepi, serta daerah tengahnya biasanya
lebih tenang. Terdapat lesi annular ‘ring worm’ atau serpiginous plaque dengan
berbatas eritema aktif. Terdapat juga tinea crporis dengan gambaran lesi polisiklik,
dimana menunjukkan beberapa plak eritema polisiklik merah dengan batas yang
meninggi. Sedangkan ada juga bentuk psoriasiform, yang mirip dengan psoriasis.
Muncul terutama pada penderita yang mengalami imunosupresif.(6,7)

15
Gambar 5. Tinea corporis. (A) Anular ‘ring worm’. (B) Polisiklik. (C) Psoriasiform. (7)

Pitiriasis Rubra Pilaris


Gejala klinis yang muncul eritema dan skuama pada wajah dan kulit kepala
umumnya terlihat lebih dahulu. Kemudian terjadi penebebalan di telapak tangan
dan kaki. Papul folikular keratotik dikelilingi oleh eritema umumnya terdapat
dibagian dorsum jari tangan, siku, dan pergelangan tangan. Kelainan tersebut
menyerang kebagian lain termasuk badan. Kelainan kuliot berbatas tegas seling
terlihat pulau-pulau kulit normal. Eritema dan skuama meluas ke seluruh
permukaan kulit. Hyperkeratosis, parakeratosis disekeliling folikel, akantosis yang
tidak teratur lapisan basal mengalami degenerasi mencair.(8)

Gambar 6. Pitiriasis rubra pilaris generalisata (A) merah-oranye, scaling dermatitis, pulau-pulau
kulit normal lebih terlihat pada gambar (B).(9)

16
Dermatitis numularis
Gambaran klinis yang khas berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau
agak lonjong berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel. Biasanya
mudah pecah sehingga basah (oozing). Pada penyakit ini biasanya penderita
mengeluh sangat gatal pada lesi. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3-
1,0cm) kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau meluas ke samping,
membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam, eritematosa, sedikit
edematosa, dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecahterjadi eksudasi,
kemudian mongering menjadi krusta kekuningan. Ukuran garis tengah lesi dapat
mencapai 5 cm. Penyembuhan lesi dimulai dari tengah sehingga terkesan
menyerupai dermatomikosis. Lesi lama berupa likenifikasi dan skuama.(10,11)

Dermatitis numularis cenderung hilang timbul, adapula yang terus


menerus, kecuali dalam periode pengobatan. Bila terjadi kambuhan umumnya
timbul pada tempat semula. Lesi dapat pula terjadi pada tempat yang mengalami
trauma (fenomena Kobner).(10)

Gambar 7. Dermatitis numularis menunjukkan


erosi pinpoint dan crusting.(11)

Gambar 8. Dermatitis numularis dengan


plak berkrusta.(11)

17
Dermatitis seboroik
Gambaran klinis yang khas pada dermatitis seboroik ialah skuama yang
berminyak dan kekuningan atau macula kering berwarna putih, papula
denganukuran yang bervariasi (5-20mm) dan berlokasi di tempat-tempat yang
seboroik. Psoriasis berbeda dengan dermatitis seboroik karena terdapat skuama
yang berlapis-lapis berwarna putih seperti mika disertai tanda tetesan lilin dan
Auspitz. Tempat predileksinya juga berbeda. Dermatitis seboroik biasanya pada
alis, sudut nasolabial, telinga, daerah sternum dan fleksor. Sedangkan psoriasis
banyak terdapat pada daerah-daerah ekstensor, yaitu siku, lutut dan scalp.(1)

Gambar 9. Dermatitis seboroik, eritema dan kuning-oranye scaling anular di dahi, pipi, lipatan
nasolabial.(12)

18
VI. PENATALAKSANAAN
Topikal
Terapi-terapi topikal yang digunakan untuk penatalaksanaan psoriasis
meliputi preparat ter, kortikosteroid topikal, antralin, calcipotriol, derivat vitamin
D topikal dan analog vitamin A, imunomodulator topikal (takrolimus dan
pimekrolimus), dan keratolitik (seperti asam salisilat). Terapi-terapi tersebut
merupakan pilihan untuk penderita-penderita dengan psoriasis plak yang terbatas
atau menyerang kurang dari 20% luas permukaan tubuh.Terapi topikal digunakan
secara tunggal atau kombinasi dengan agen topikal lainnya atau dengan
fototerapi.(1)

a) Preparat ter
Obat topical yang biasa digunakan adalah preparat ter, memiliki efek sebagai
antiradang. Preparat ter dibagi menjadi 3 yaitui; fosil (misalnya iktiol), kayu
(misalnya oleum kadini dan oleum ruski), dan batubara (misalnya liantral dan likuor
karbonis detergens). Preparat fosil dinilai kurang efektif dan yang dinilai efektif
adalah preparat ter dari kayu dan batubara. Ter dari batubara lebih efektif
dibandingkan ter dari kayu dengan kemungkinan memberikan iritasi yang lebih
besar.(1)
Pada psoriasis yang menahun digunakan ter dari batubara karena lebih kuat
dan memberikan iritasi sedikit. Ter dari kayu digunakan pada psoriasis akut dan
tidak diberikan ter dari batubara karena di khawatirkan akan menjadi iritasi dan
eritriderma.(1)

b) Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal memberikan hasil yang baik. Potensi dan vehikulum
bergantung pada lokasinya. Pada scalp, muka dan daerah lipatan digunakan krim,
di tempat lain digunakan salep kortikosteroid potensi kuat. Pada daerah muka,
lipatan, dan genitalia eksterna dipilih potensi sedang. Bila diberikan potensi kuat
pada muka dapat member efek samping di antaranya teleangiektasis, sedangkan
dilipatan berupa striae atrofikans. Pada batang tubuh dan ekstremitas digunakan

19
salap dengan potensi kuat atau sangat kuat bergantung lama penyakit. Jika telah
terjadi perbaikan potensinya dan frekuensinya dikurangi.(1,13)

c) Antralin
Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya ialah mewarnai kulit dan
pakaian. Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8% dalam pasta, salap, atau
krim. Lama pemakaian hanya ¼-½ jam sehari sekali untuk mencegah iritasi.
Penyembuhan dalam 3 minggu.(1)

d) Kalsipotriol
Kalsipotriol merupakan sintetik dari vitamin D, yang mempengaruhi proses
diffensiasi keratinosit pada saat regulasi epidermal beresponsif terhadap kalsium.
Preparatnya berupa salep atau krim. Sangat efektif pada penanganan tipe plak dan
skalp psosiaris. Sedangkan kombinasi terapi dengan steroid potensi tinggi dapat
menghasilkan hasil yang lebih baik dan lebih sedikit efek samping.(1,5)

e) Tazaroten
Tazaroten merupakan molekul retinoid asetelinik topical generasi ketiga,
efeknya menghambat proliferasi dan normalisasi dari differensiasi keratinosit dan
menghambat inflamasi. Indikasinya diberikan pada psoriasis sedang sampai berat,
dan terutama diberikan pada daerah badan. Pemikiran yang diketahui adalah untuk
mengikatkan asam retinoic ke target molekul yang sebenarnya tidak diketahui.
Tersedia gel 0,05% dan 0,1% juga krim. Bila digunakan secara monoterapi akan
muncul iritasi local. Pengobatan lebih baik bila menyertakan pengobatan dengan
glukokortikoid atau fototerapi UVB. (1,4)

f) Emolien
Efek emolien adalah melembutkan permukaan tubuh selain lipatan, juga
pada ekstremitas atas dan bawah. Biasanya digunakan salep dengan bahan dasar
vaselin, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi

20
bahan aktif. Emolien yang lain adalah lanolin dan minyak mineral. Jadi emolien
sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis.(1)

Sistemik
a. Metotreksat
Metotreksat adalah antagonis asam folat yang menghambat dihydrofolat
reductase. Sintesis DNA terhambat setelah pemakaian metotreksat akibat
penurunan tiamin dan purin. Metotreksat menekan reproduksi sel epidermal,
sebagai anti inflamasi dan immunosupresif sehingga kontraindikasi pada pasien
dengan infeksi sistemik. Metrotreksat sangat efektif untuk pengobatan penyakit
psoriasis plak kronik dan juga mengindikasikan untuk penatalaksanaan jangka
panjang dari keadaan psoriasis yang berat, termasuk psoriasis eritroderma dan
pustular psoiriasis. Metotreksat biasanya dipakai bila pengobatan topikal dan
fototerapi tidak berhasil.(1,4)

b. Etretinat dan Asitretin


Etrinat merupakan retinoid aromatic, digunakan bagi psoriasis yang sukar
disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Cara kerjanya
belum diketahui pasti. Pada psoriasis obat tersebut mengurangi proliferasi sel
epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal.(1)
Dosisnya bervariasi; pada bulan pertama diberikan 1mg/kgBB, jika belum
terjadi perbaikan dosisnya dapat dinaikkan menjadi 1½ mg/kgBB. Efek
sampingnya sangat banyak diantaranya pada kulit; selaput lendir pada mulut, mata,
hidung kering: peninggian lipid darah; gangguan fungsi hepar; hyperostosis; dan
terotogenik.(1)
Asitretin merupakan metabolit aktif etretinat utama. Efek samping dan
manfaatnya serupa dengan etretinat. Kelebihannya, waktu paruh eliminasinya
hanya 2 hari, dibandingkan dengan etretinat yang lebih dari 100 hari. Dosis
penggunaan dilaporkan 25mg perhari dengan dosis penggunaan rata-rata 20-50mg
perhari.(1)

21
c. Siklosporin
Efeknya ialah imunosupresif. Dosis umumnya adalah 6 mg/kg/hari untuk
pasien dengan keadaan stabil tanpa faktor komorbid. Bersifat nefrotoksik dan
hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan
dapat terjadi kekambuhan.(1)

Fototerapi
Seperti diketahui bahwa sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat
mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik
untuk mengobati psoriasis ialah dengan penyinaran secara alamiah, tetapi sayang
tidak dapat diukur dan jika berlebihan malah akan memperparah psoriasis. Karena
itu digunakan sinar ultraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang disebut UVA.
Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri maupun dikombinasikan dengan
psoralen (8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersamaan
dengan preparat ter yang dikenal dengan pengobatan cara Goeckerman.(1)
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek yang
sinergik. Mula-mula 10-20mg psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian dilakukan
penyinaran. Terdapat bermacam-macam bagan, diantaranya 4x seminggu.
Penyembuhan mencapai 93% setelah pengobatan 3-4 minggu, setelah itu dilakukan
terapi pemeliharaan (maintenance) seminggu sekali atau dijarangkan untuk
mencegah rekuren. PUVA juga dapat digunakan untuk eritroderma psoriatic dan
psoriasis pustulosa. Beberapa penyelidik mengatakan pada pemakaian yang lama
kemungkinan terjadi kanker kulit.(1)
Terdapat juga penggunaan UVB untuk pengobatan psoriasis tipe plak, gutata,
pustular, dan eritroderma. Pada tipe plak dan gutata dikombinasi dengan salep
likuor karbonis detergens 5-7% yang dioleskan sehari dua kali. Sebelum disinar
dicuci dahulu. Dosis UVB pertama 12-23m J menurut tipe kulit, kemudian
dinaikkan berangsur-angsur. Setiap kali dinaikkan sebagai 15% dari dosis
sebelumnya. Diberikan seminggu tiga kali. Target pengobatan adalah pengurangan
75% skor PASI (psoriasis area and severity index). Hasil baik yang dicapai pada
73,3% kasus, terutama tipe plak.(1)

22
Pengobatan cara Goeckerman awalnya pada tahun 1925 menggunakan
kombinasi ter berasal dari batu bara dan sinar ultraviolet. Kemudian terdapat
banyak modifikasi mengenai ter dan sinar tersebut. Yang pertama digunakan adalah
crude coal tar yang bersifat fotosensitif. Lama pengobatan 4-6 minggu,
penyembuhan terjadi setelah 3 minggu. Ternyata ditemukan bahwa UVB lebih
efektif daripada UVA.(1,4)

VII. PROGNOSIS
Prognosis baik jika mendapat terapi yang efektif namun angka kekambuhan
dan perbaikan spontan tidak dapat diduga sebelumnya. Jarang dilaporkan kematian
pada kasus ini. Meskipun tidak menyebabkan kematian, psoriasis bersifat kronis
dan residif.(1,3)

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Psoriasis Vulgaris merupakan penyakit autoimun, bersifat kronik


dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai dengan fenomenon tetesan
lilin, Auspitz, dan Kobner.1,2 Pada Pasien ini didapatkan dari anamnesis terdapat
bercak – bercak kemerahan yang meninggi yang disertai sisik tebal dan berlapis –
lapis, dan pasien juga pernah mengalamin penyakit yang sama jadi kemungkinan
penyakit pasien ini bersifat residif, dari hasil pemeriksaan penunjang nya dilakukan
fenomena tetesan lilin dengan menggoreskan penggaris pada lesi primer lalu
tampak skuama putih seperti lilin yang digores, pemeriksaan auspitz dengan cara
lesi primer dikerok dengan penggaris , hingga skuama berlapis – lapis tersebut habis
lalu akan tampak bintik – bintik perdarahan, dan tidak dilakukan pemeriksan
Kobner.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner
(isomorfik) kedua fenomena yang disebutkan lebih dahulu dianggap khas,
sedangkan fenomena kobner tidak khas, hanya kira – kira 47 % yang positif dan
didapatkan pula penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenils.
Secara epidemiologi dua kelompok usia yang terbanyak adalah pada usia
antara 20 – 30 tahun dan yang lebih sedikit pada usia antara 50 – 60 tahun.8 Insiden
pada orang kulit putih lebih tinggi daripada penduduk kulit berwarna. Faktor-faktor
lain yang diduga menimbulkan penyakit ini antara lain genetik, imunologik, dan
beberapa faktor pencetus lainnya seperti stres psikik, infeksi lokal, truma, gangguan
metabolik, obat, juga alkohol dan merokok.2,3,4Pada kasus ini usia Tn. S 52 tahun
merupakan faktor dalam insiden tertinggi dan dari anmnesis didapatkan bahwa Tn.
S mengeluhkan banyak pikiran dan merupakan perokok aktif ini bisa menjadi faktor
pencetus terjadinya psoriasis vulgaris. Dalam keluarga pasien tidak ada yang
memiliki keluhan yang sama seperti yang dialami oleh pasien, berdasarkan teori
faktor genetik dan imunologik turut berperan dalam etipatogenesis psoriasis. Bila
orang tua tidak menderita psoriasis resiko menederita 12%, sedangkan jika salah

24
satu menderita psoriasis resiko mencapai 34 – 39%. Defek genetik pada psoriasis
dapat diekspresikan pada salah satu dari tiga jenis sel yaitu limfosit T, sel penyaji
antigen (dermal) atau keratinosit.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Dermatosis Eritoskuamosa. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah


S editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 8th ed. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p.189-95.

2. Nestle FO, Kaplan DH, Barker J. Mechanisms of Disease Psoriasis. N Engl


J Med.2009;361:496-509.

3. Krueger JG, and Bowcock A. Psoriasis pathophysiology: current concepts


of pathogenesis. Ann Rheum Dis. 2005; 64: ii30-6.

4. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York. McGrawHill;2012.p.309-47

5. Wolff K and Johnson RA. Psoriasis. In: Fitzpatrick's Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology.6th ed. New York. McGrawHill: 2009. p.
53-71.

6. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S editors. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. 8th ed. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 2012.p.94-5.

7. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York.
McGrawHill;2012.p.3254.

8. Natahusada EC. Pitiriasis Rubra Pilaris. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah


S editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 8th ed. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p.281.

9. Gerharz DB, Ruzicka T. Pityriasis Rubra Pilaris. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York.
McGrawHill;2012.p.416-19.

10. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S


editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 8th ed. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2012.p.148-50.

11. Burgin S. Nummular Eczema, Lichen Simplex Chronicus and Prurigo


Nodularis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,
Wolff K editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed.

26
New York. McGrawHill;2012.p.284-8

12. Wolff K and Johnson RA. Disorder Presenting in the Skin and Mucous
Membranes. In: Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology.6th ed. New York. McGrawHill: 2009. p. 48-50.

13. Setiawati S, Kadir D, Dewiyanti W, Sungowati NK. Psoriasis Vulgaris


Treater with Topical Corticosteroid. IJDV. 2012; 1:66-72.

27

Anda mungkin juga menyukai