PENDAHULUAN
1
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : 19 Oktober 1978
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Berokan Rt 1/ 6, Bawen Kab. Semarang
Pekerjaan : Swasta
No. RM : 109xxx
Tanggal Operasi : 24 Agustus 2016
II. ANAMNESIS
Anamnese dilakukan secara autoanamnese pada tanggal 23 Agustus 2016
Keluhan Utama : Nyeri pada bahu kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bahu kanan. Nyeri dirasakan
setelah pasien terjatuh saat mengejar angkutan umum. Saat kejadian lengan
kanan pasien terbentur pada bahu jalan. Pasien sadar saat kecelakaan
berlangsung. Nyeri terasa tajam pada bahu kanan. Nyeri bertambah jika
digerakkan. Pasien tidak merasakan nyeri kepala (-), sesak (-), nyeri dada (-),
nyeri perut (-) mual muntah (-), penurunan kesadaran setelah kecelakaan (-),
pasien kemudian dibawa ke RSUD Ambarawa untuk mendapatkan pelayanan
lebih lanjut.
2
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
3
b) Mata
Konjungtiva palpebra anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+)
c) Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), gangguan fungsi
pendengaran(-/-)
d) Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-),septum deviasi
(-/-), konka hiperemis (-/-)
e) Mulut
Bibir kering (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),
Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
f) Leher
Simetris, trachea di tengah, pembesaran KGB (-), tiroid (normal),
nyeri tekan(-)
g) Thorax
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada Ø Lateral >Antero Ø Lateral >Antero
posterior posterior
Hemitorak Simetris Simetris
Dinamis Simetris Simetris
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Nyeri tekan (-) (-)
Pelebaran ICS (-) (-)
Arcus Costa Normal Normal
3. Perkusi
Sonor diseluruh Sonor di seluruh
lapang paru lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan Vesikuler Vesikuler
Wheezing(-), ronki (-) Wheezing(-), ronki (-)
Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada Dalam batas normal Dalam batas normal
4
Hemitorak Simetris Simetris
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Nyeri tekan (-) (-)
Pelebaran ICS (-) (-)
3. Perkusi
Suara lapang Sonor di seluruh Sonor di seluruh
paru lapang paru lapang paru
Peranjakan paru Sulit dinilai Sulit dinilai
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Wheezing(-), ronki (-) Wheezing(-), ronki (-)
SD : vesikuler SD : vesikuler
ST : ronki (-), wheezing (-) ST : ronki (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas atas : ICS II parasternal sinsitra
Pinggang jantung : ICS III parasternal sinsitra
Batas kanan bawah : ICS V lin.sternalis dextra
Kiri bawah : ICS V linea midclavicula
sinistra 1 cm kearah medial
konfigurasi jantung : dalam batas normal
Auskultasi : reguler
Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)
h) Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di
5
sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal, bruit hepar (-), bruit aorta
abdominalis(-), bruit A.Renalis dextra (-), bruit
A.Renalis sinistra(-), bruit A.Iliaca dextra (-), bruit
A.iliaca sinistra (-).
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, pekak sisi (+)
normal, pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, ginjal tidak teraba.
i) Ekstremitas
Akral dingin (-), edema (-), sianosis (-) pada, jejas (+) pada area
clavicula dextra.
6. Status lokalis
Clavicula dextra
Inspeksi : perdarahan (-), hematom (-), edema (-), rotasi (-), tampak
diskontinuitas jaringan lunak (+), deformitas (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+), krepitasi tidak disengaja (+),
sensibilitas (+), hangat (+)
Gerakan : ROM fleksi, ektensi, dan abduksi regio brachium
terbatas karena nyeri (+)
6
MCH 31,40 Pg 27-32
MCHC 33,33 g/dl 32-37
Trombosit 274 103/ul 150-400
Diff count :
Limfosit absolute 1,4 103/ul 1,0-4,5
Monosit absolute 0,5 103/ul 0,2-1
Granulosit 10.0 (H) 103/ul 2-4
Kimia klinik :
Glukosa sewaktu 114 (H) Mg/dl 74-106
SGOT 20 g/dl 0-50
SGPT 13 IU/L 0-50
UREUM 19,6 Mg/dl 10-50
Kreatinin 0,95 Mg/dl 0,62-1,1
b. Rontgen
Foto AP dan lateral : Fracture tertutup pada os clavicula 1/3 tengah dextra.
V. ASSESMENT
Diagnosa : Close Fraktur Os Clavicula 1/3 Tengah Dextra.
7
VI. STATUS ANESTESI
1) PRE OPERASI
a. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri bahu kanan
b. Pemeriksaan Fisik
1. Airway : Clear, mallampati I, thyromentale distance >3 jari
2. Breathing : Spontan, RR : 19 x/menit, suara dasar vesikuler
3. Circulation : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 76 x/menit regular
4. Dissability : GCS 15 (E4M6V5), compos mentis
5. Exposure : jejas pada bahu kanan
c. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen : Tampak Fraktur Clavicula 1/3 Tengah Dextra
d. Diagnosa : Close Fraktur Os Clavicula 1/3 Tengah Dextra
Kesimpulan ASA II
Sikap Informed consent anestesi dan puasa 12 jam
2) OPERASI
Tindakan operasi : ORIF
a. Mulai anastesi : Tanggal 24 Agustus 2016 pukul 11.30 WIB
b. Jenis anestesi : GA (General Anestesi)
c. Induksi : Propofol 12 mg, Phentanyl 0,1 mg
d. Premedikasi : Ondancetron 4 mg
Ranitidine 25 mg
e. Mantenance : O2 3 Liter/ menit
RL 500 ml
f. Pemantaian vital sign
Vital sign 11.30 11.45 12.00 12.15
TD 100/60 120/60 120/60 110/60
mmHg
mmHg mmHg mmHg
Nadi 60x/ menit 85 x/ menit 91 x/ menit 100 x/ menit
RR 20 x/ menit 20 x/ menit 22x/ menit 21x/ menit
Saturasi 100% 100% 99% 100%
g. Analgesik : Ketorolac 30 mg/ 1 ml
h. Selesai operasi : Tanggal 24 Agustus 2016 pukul 12.15
3) POST OPERASI
1. Awasi keadaan umum dan tanda-tanda vital sampai stabil.
2. 2 jam post operasi tidak mual, tidak muntah.
3. Infus RL 20 tpm.
4. Tirah baring 24 jam tanpa bantal, boleh miring kekanan dan kekiri
5. Terapi lain sesuai dokter spesialis bedah Orthopedi.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fracture
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Kekuatan dan sudut pandang
dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur
lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap
melibatkan seluruh ketebalan tulang.
1. Anatomi Clavicula
Dalam anatomi manusia, tulang selangka atau clavicula adalah tulang
yang membentuk bahu dan menghubungkan lengan atas pada batang tubuh.
Clavicula berbentuk kurva-ganda dan memanjang. Ini adalah satu-satunya
tulang yang memanjang horizontal dalam tubuh. Terletak di atas tulang rusuk
pertama. Pada ujung medial, clavicula bersendi pada manubrium dari sternum
(tulang dada) pada sendi sternoclavicularis. Pada bagian ujung lateral
bersendi dengan acromion dari scapula (tulang belikat) dengan sendi
acromioclavicularis. Pada wanita, clavicula lebih pendek, tipis, kurang
melengkung, dan permukaannya lebih halus.
9
Sebagai pengganjal untuk menjauhkan anggota gerak atas dari bagian dada
supaya lengan dapat bergerak leluasa.
Meneruskan goncangan dari anggota gerak atas ke kerangka tubuh
(aksial).
Permukaan inferior
Ligamentum conoideum (bagian medial dari ligamentum
coracoclaviculare) pada tuberculum conoideum
Ligamentum trapzoideum (bagian lateral dari ligamentum
coracoclaviculare pada linea trapezoidea
Batas anterior:
Otot pectoralis mayor
Otot deltoideus
Otot sternocleidomastoid
Otot sternohyoideus
Otot trapezius
10
Gambar 3.2 : clavicula muscle an ligament ( Atlas of Netter )
Perkembangan
Clavicula adalah tulang pertama yang mengalami proses
pengerasan osifikasi selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6.
Clavicula juga yang merupakan tulang terakhir yang menyelesaikan proses
pengerasan yakni pada usia 21 tahun.
2. Fraktur Clavicula
Fraktur clavicula dapat terjadi sebagai akibat trauma langsung atau
gaya tak langsung yang dihantarkan melalui bahu. Kebanyakan fraktur
klavikula dijumpai pada separuh bagian distal, biasanya pada pertemuan 1/3
tengah dan 1/3 distal. Kira-kira 2/3 fraktur klavikula terjadi pada anak-anak.
Fraktur klavikula pada waktu lahir berkisar di antara greenstick sampai
perpindahan komplet dan harus dibedakan dengan dari pseudoartrosis
kongenital.
Karena fiksasi relatif dari fragmen medial dan beratnya ekstremitas
superior, frakmen distal pindah ke bawah, kedepan dan ke arah garis tengah.
Foto rentgen anteroposterior harus selalu dibuat, tetapi proyeksi oblik
kadang-kadang lebih berguna. Meskipun cedera pada pleksus brakhialis atau
arteri subklavia tidak sering terjadi, komplikasi seperti itu biasanya dapat
diperlihatkan pada pemeriksaan fisik.
11
3. Klasifikasi Fraktur Clavicula
a) Fraktur mid klavikula ( Fraktur 1/3 tengah klavikula)
Paling banyak ditemui
Terjadi medial ligament korako-klavikula ( antara medial dan 1/3
lateral)
B. Anestesi Umum
1. Pengertian anastesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
12
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai
tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan
keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup
(resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun.
3. Pembagian Anastesi
a. Anastesi Umum
13
Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Cara
pemberian anastesi umum:
1) Parenteral (intramuscular/intravena)
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anastesi.
2) Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan
singkat.
3) Anastesi Inhalasi
Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui
udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (dengan O 2 ) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung
dari tekanan parsialnya.
b. Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4
stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
1) Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini
2) Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
3) Stadium III
14
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4
plana yaitu:
a) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak,
pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai
menurun).
b) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang
sehingga dikerjakan intubasi.
c) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot
lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
d) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya
hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat
menurun).
4) Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
c. Mallampati
15
Dalam anestesi, skor Mallampati, juga Mallampati klasifikasi,
digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan
dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu didasarkan pada
visibilitas dasar uvula, pilar faucial.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade :
Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas
Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring
tidak terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat
General Anestesi
Anestesi secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Beberapa tipe anestesi adalah:
• Anestesi umum adalah hilangnya kesadaran total
• Anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan
sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran
• Anestesi regional adalah hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari
tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya.
16
3. Relaksasi
Obat Premedikasi
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama
untuk mengurangi efek bronchial dan cardial yang berasal dari perangsangan
parasimpatis, baik akibat obat atau anestesi maupun tindakan lain dalam operasi.
Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah
timbulnya laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada
perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini
tidak digunakan untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada
penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung
khususnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg
untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.
c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan
pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme,
konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas 2-4 mg.
17
Obat Induksi
1. Tracrium 20 mg (Atracurium) : nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-
45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kalilipat pada suhu 250 C, kecepatan efek
kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Antikolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08
mg/kgBB) atau obat antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus
dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin
dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3
mg/kgBB pada dewasa.
2. Recofol 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter
recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan
cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan
1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron
yangdihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yangbekerja cepat
yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis
sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yangberumur diatas 55 tahun dosis
untuk induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untik
pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus
intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih
lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada
pasien dengan ASA III-IVdosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.
Maintenance
18
1. N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai
O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti
halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan
cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia
difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10
menit.Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu
60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan
perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O
sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum,
obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.
2. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana
yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama
dengan oksigen atau nitrousokside 70% oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer
yang khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan
mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada
nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan
inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien
menggigil.
Intubasi
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum
dilakukan induksi sebaiknya disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat:
S= Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
19
T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)
A= Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring(nasofaring) yang
digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidaksadar agar lidah tidak menymbat jalan
napas
T= Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C= Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S= Suction Penyedot lendir dan ludah
20
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang
telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,
oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bias menggunakan
bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam
keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,
lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan
selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangankiri dan balon
dengan tangan kanan.
21
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan
dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan
akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan
pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan
melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.
Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas.
Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dandaun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa
difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan
ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada denganstetoskop,
diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada
aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan
tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti
ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila
terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster
akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi
dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
22
23
BAB IV
ANALISIS KASUS
24
ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan
dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah
sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk,
muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya
tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai
resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai
sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih
teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya
penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu
memberikan obat antikolinesterase.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-
10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5
pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
25
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. 2007
5. Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). Kapita Selekta
26