Anda di halaman 1dari 14

VIROLOGI TEORI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS

Di susun Oleh:
Kelompok 3
1. Nurlaila Rohmatullah 151615653
2. Rahmawati Kusumawardhani 151615628
3. Risa Nurulaeli 151615623
4. Rizki Naufal Hidayah 151615622
5. Zaenal Arifin 151615635
6. Angga Kusumah 141515581
7. Anis Yulinar 151615596
8. Asshof Syahidullah 151615637
9. Atiyah 151615587

YAYASAN AN NASHER
AKADEMI ANALIS KESEHATAN AN NASHER CIREBON
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaaikan makalah Virologi tentang “Isolasi dan Identifikasi Virus”.
Makalah Virologi ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terimkasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan maklah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menydari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi sususnan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala sarana dan kritik pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah Virologi ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Virologi tentang Isolasi dan
Identifikasi ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi pembaca.

Cirebon, 05 April 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1

1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 1

1.4 Manfaat Penulisan .................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Isolsi ......................................................................................... 2

2.2 Identifikasi Virus ...................................................................... 3

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan ............................................................................... 10


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Newcastle disease biasa dikenal sebagai penyakit tetelo, merupakan
penyakit unggas, khususnya ayam bersifat sangat mudah menular, akut serta
menimbulkan gejala gangguan pencernaan, pernafasan dan syaraf. Penyakit
tersebut disebabkan oleh virus tetelo, genus Paramixovirus, keluarga
Paramixoviridae. Virus tetelo merupakan virus RNA yang mempunyai
genom single stranded (SS) dengan polaritas negatif. Paramixovirus
berbentuk sangat pleomorfik, antara bentuk membulat sampai filamen serta
berdiameter 100 sampai 150 nµ. Rdari membran permukaan sel. Pada amplop
tersebut menempel spike glikoprotein hemaglutinin (H/HA) dan
neuraminidase (N/NA). Spike tersebut mempunyai peran dalam
hemaglutinasi eritrosit dan proses elusi (Alexander, 1991; Alexander, 2003;
Allan et al., 1978; Fenner et al., 1993), dan merupakan salah satu sifat virus
tetelo yang dapat digunakan dalam karakterisasi biologi virus tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana purifikasi dan partikel virus ?
2. Bagaimana identifikasi partikel sebagai virus ?
3. Bagaimana isolasi virus ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana purifikasi dan partikel virus.
2. Untuk mengetahui bagaimana identifikasi partikel sebagai virus.
3. Untuk mengetahui bagaimana isolasi virus.
1.4 Manfaat Penulisan
Sebagai tambahan pengetahuan tentang mata kuliah virologi yaitu
tentang isolasi dan identifikasi virus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Isolasi

Isolasi virus merupakan pendekatan yang paling menentukan, namun teknik


yang ada saat ni membutuhkan tngkat keahlian teknis dan perlengkapan yang
relative tinggi. Uji serologi cukup mudah dan lebih cepat dilakukan.

Virus adalah parasit obligat intrasel, karenanya tidak dapat berkembangbiak


didalam medium hati. Ada tiga cara mengembangkan virus, yaitu :

1. Invitro
2. Inovo
3. Invivo
Invitro ditanam pada sel yang ditumbuhkan dalam bentuk potongan organ
(biakan organ), potongan kecil jaringan (biakan jarngan), sel-sel yang telah
dilepaskan dari pengikatnya (biakan sel). Biakan organ dan biakan jaringan
hanya dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa minggu tergangggu pada
jenis biakan. Karenanya biakan sel dibagi dalam atas :
1. Biakan sel primer
Sel diambil dalam keadaan segar dari binatang. Sel demikian mampu
secara terbatas membelah dan selanjutnya mati, misalnya biakan primer
yang berasal dari ginjal monyet. Proses dimulai saat pelepasan sel-sel dari
alat alat tubuh dengan mengocok sepotong jaringan didalam larutan tripsin.
Sel yang didalam dalam suspense ini dibiakan dalam larutan perbenihan
tertentu. Sel- sel akan tumbuh melekat pada dinding tabung membentuk
selapis jaringan sel yang siap digunakan pembiakan virus. Sel dapat
dipindah biakan dengan membuat suspense baru dan disebarkan ke tabung
lain sehingga menjadi biakan sekunder. Sebagai contoh monyet akan
menghasilkan sel-sel jenis epitel.
Virus yang dibiakan didalam sel biakan jaringan dapat menimbulkan
ESP (efeksipatogenik), seperti perubahan bentuk sel menjadi bulat,
perubahan pada inti sel, kemungkinan pembentukan jisim atau sel sinsitia
dan juga sel-sel akan lepas dari dinding tabung. Infeksi selanjutnya akan
menyerang sel sekitarnya, dan bila ditempat tersebut ada banyak sel yang
terlepas maka akan tampak lubang yang disebut pelaque.
2. Biakan Sekunder
Merupakan kumpulan jenis satu sel yang mampu membelah kira-kira 100
kali sebelum mati.
3. Biakan Terusan
Merupakan sel yang mampu membelah secara tak terbatas.
Kromosomnya sudah bersifat poliploid dan aneuploid dapat berasal dari sel
tumor ganas, ataupun sel diploid yang mengalami transformasi.
Cara pembiakan invitro sendiri bermanfaat sebagai :
1. Isolasi primer virus dari bahan klinis. Untuk ini dipilih sel yang
mempunyai kepekaan tinggi mudah dan cepat menimbulkan ESP.
2. Pembuatan vaksin, untuk ini dipilih sel yang mampu menghasilkan
virus dalam jumlah yang besar.
3. Penyelidikan biokimiawi, biasanya dipilih biakan selterusan dalam
bentuk suspense.
Adapun perkembangan biakan virus dapat dikenal melalui :
1. Timbulnya efeksipatogenik.
Efeksipatogenik adalah perubahan morfologis yang terjadi akibat
infeksi oleh virus sitopatogenik. Perubahan morpologis dari sel dapat
berupa piknosis, karioreksis, plasmolysis, pembentukan sel raksasa dan
pembentukan sel gusa. Timbulnya ESP dan jenis perubahannya dapat
berbeda-beda tergantung jenis virus. Sebagai contoh, adenovirus
menimbulkan kelompok sel-sel yang bulat, morbili, para influenza
cenderung menimbulkan sel raksasa. Untuk melihat perubahan
dilakukan pewarnaan.

2. Hambatan Metabolisme
Dalam metabolismenya sel membentuk asam. Jika sel diinfeksi oleh
virus, maka berbagai tingkatan akan terjadi hambatan metabolisme,
termasuk pembentukan asam. Dengan memakai indicator tertentu
perubahan ini dapat dikenal. Tes hambatan metabolisme ini sudah diuji
oleh beberapa contoh seperti, adenovirus,arbovirus, echovirus, hesped
simplek dll.
Invivo juga sering digunakan dilaboratorium. Sebagai contoh, telur
merupakan perbandiingan virus yang sudah stelir dan embrio telur yang
tumbuh didalam nya tidak membentuk zat anti yang dapat menggangu
pertumbuhan virus. Karena telur merupakan sumber sel hidup yang
relative murah untuk isolasi virus. Cara pertama menyuntikan bahan
kedalam tubuh amnion telor embrio sepuluh sampai limabelas hari cara
ini terutama berguna untuk isolasi virus influenza dan virus parotitis
Karena virus ini tumbuh didalam sel-sel epitel paru-paru embrio yang
sedang berkembang. Adanya perkembangan biak virus dkenal dengan
reaksi hemaglutinasi.
Invivo, suspense yang di infeksikan pada binatang percobaan.
Mencit baru lahr misalnya digunakan viru-virus golongan arbovirus,
coxsacqievirus. Adanya pertumbuhan virus dikenal oleh timbulnya
gejala gejala yang kha atau adanya perubahan patologis lain.
2.2 Identifikasi virus
Bila suatu sifat-sifat partikel sudah diperoleh, beberapa kriteria berikut
harus diperhatikan
1. Partikel hanya dapat diperoleh dari sel atau jaringan yang terinfeksi
2. Partikel yang dperoleh dari berbagai sumber identic tanpa memandang
asal sel tempat virus tumbuh
3. Tingkat aktifitas infekstif dari sediaan bervariasa sebanding jumlah
partikel yang ada
4. Destruksi partikel fisik yang dsebabkan oleh tindakan fisik atau
kimiawi dsertai jilagnya aktfitas virus.
5. Sifat tertentu partikel dan nfektifitas harus terbukti identic, missal
perilaku sedimentasi nya pada ultra sentrifugasi dan kurva stabilitas PH
nya.
6. Partkel harus mampu menyebabkan penyakit yang khas secara invivo
(jika percobaan seperti mudah dilakukan)
7. Masuknya partikel Dallam biakan jaringan harus menyebabkan
produksi progeny dengan sifat biologi dan atigenik.

Newcastle disease biasa dikenal sebagai penyakit tetelo, merupakan


penyakit ungags, khususnya ayam berifat sangat mudah menular, akut serta
menimbulkan gejala gangguan pencernaa, pernafasan dan saraf. Penyakit
tersebut disebabkan virus tetelo, genus paramixovirus, keluarga
paramixoviridae. Virus tetelo merupakan virus RNA yang mempunyai
genom singlestrandeed (ss) dengan polaritas negative. Paramixovirus
membentuk sangat pleomorvik antara bentuk membulat sampai filament
serta berdiameter 100-150 nu. Nukleokapsid bersimetri helix dan dikelilingi
oleh amplop yang berasal dari membrane permukan sel. Pada amplop
tersebut menempel spike glikoprotein hemaglutinin (H/HA) dan
neuraminidase (N/NA). spike tersebut mempunyai peran dalam
hemaglutinasi eritrosit dan proses elusi (alexander, 1991; alexander, 2003;
allan et all.,1978;venner et all.,1993), dan merupakan salah satu virus tetelo
yang dapat digunakan dalam karakterisasi biologi virus tersebut.

Hemaglutinin virus tetelo mempuyai kemampuan berikatan secara spesifik


dengan reseptor asam sialat yang terdapat dalam membrane plasma sel
darah merah (SDM) ayam, disamping SDM unggas, juga mengaglutiasi
eritrosit marmot dan manusia. Beberapa strain tertentu mempunyai
kemampuan mengaglutinasi SDM mamalia, yaitu sapi, kuda, domba, dan
babi (alexateteloer 2003), tikus putih, kelinci, dan kucing (chu,1948). Sifat
tersebut dapat digunakan sebagai penanda strain virus tetelo meskipun tidak
mempengaruhi perbedaan dalam uji serologi. Proses hemaglutinasi terjadi
karena SDM yang dicampur dengan virus tetlo dalam proporsi yang
seimbang. Koteteloisi tersebut dapat terjadi karena adanya kecocokan virus
dengan reseptor yang terdapat pada permukaan SDM. Beberapa factor yang
mempengaruhi uji HA tersebut, antara lain: konsentrasi SDM berkisar 1%,
pelarut mengandung elektrolt (0,85% nacl) dan partikel virus mencapai 105-
106/ml suspense (NRC,1971). Virus tetelo yang memerlhatkan uji HA
positif dapat dihambat oleh antibody spesifik yang dihassilkan oleh
hemaglutinin virus tetelo. Aktvitass hambatan hemaglutinasi tersebut dapat
digunakan sebagai dasar yang memungkinkan identifkasi virus tetelo
(alexander,2003).

Hemaglutinat yang terbentuk pada Ha positif dapat terurai kembali oleh


aktivitas enzim neuraminidase. Proses tersebut diamakan elusi. Stabilitas
hemaglutinat diantara virus tetelo bervariasi, beberapa tsrain virus tetelo
menunjukan elusi cepat kurang dari 24 jam tetapi beberapa strain
menunjukan elusi lambat, yaitu lebih dari 24 jam (spalatin et all.,1970).
Menurut Ezeibe dan Endeip (2005) waktu elus beberapa virus tetelo
bervariasi. Virus patotipe felogenik mempunyai waktu elusi dari 84-189
menit, sedangkan virus mesogenik mempunyai waktu elusi antara 43-78
menit. Virus yang termasuk lentogenik dalam penelitian tersebut dipakai
strain Lasota mempunyai waktu elusi 20-45 menit. Proses elusi virus tetelo
dapat meningkatkan pada suhu 37oC, tetapi dapat tertunda apabila
ditemukan pada suhu 4oC (Chu 1948).

Vius tetelo apabila dipanaskan pada suhu 56oC dalam periode waktu
tertentu dapat kehilangan kemapuan untuk dapat melakukan hemaglutinasi
SDM, karena hemaglutinin rusak. Stabilitas hemaglutinin pada pemanasan
tersebut berbeda-beda diantara strain. Strain virus tetelo dikatakan resisten
apabila hemaglutinin tidak rusak oleh pemanasan suhu 56oC selama 30
menit, sedangkan dikatakan sensitive jika hemaglutinasi rusak oleh
pemanasan tersebut. Pemanasan 70oC selama 30 menit dapat
menghilangkan kemampuan hemaglutinasi virus tetelo (Chu 1948).
Isolasi virus tetelo dapat dilakukan secara in ovo menggunakan telur
berembrio umur 9-12 hari specipic pathogen free atau setidaknya bebas
antibody terhadap virus tetelo. Sejauh ini inokulasi ditempatkan pada ruang
allantois dianggap yang paling peka, meskipun inokulasi pada ruang amnion
maupun pada yolk sac pertumbuhan virus dapat dipertimbangkan (alexander
1989). Pertumbuhan viru dapat menyebabkan kematian embrio, meskipun
antara strain virus tetelo juga bervariasi. Kematian embrio akibat infeksi
virus tetelo tersebut dapat dipakai sebagai evaluasi virulensi virus. Virus
yang dikenal dengan chic embrio virulence. Virus tetelo dikatakan virulen
jika dapat menyebabkan kematian embrio dalam 48 jam, moderat jka
mampu menyebabkan kematian 50% embrio dalam waktu 48 jam. Virus
tersebut dikatakan kurang virulen jka tidak menyebabkan kematian embrio
dalam waktu 48 jam. Alexander 2003 membedakanj virus tetelo sebagai
patotipe felogenik, mesogenik dn lentogenik berdasarkan kemampuan
menyebabkan kematian embrio ayam berturut-turut kurang dar 60 jam,
antara 60-90 jam dan diatas 90 jam. Kemampuan menyebabkan kematian
embrio tersebut juga dipakai untuk mengira patogensitas virus pada ayam.

Pertumbuhan virus tetelo dalam caran allantois diketahui dengan melihat


kemampuan hemaglutinasi eritrosit. Identifikasi secara serologi
menggunakan serum anti spesifik terhadap virus tetelo dengan uji
hemaglutinasi inhibisi (HI) (Alexander, 1989; venner,1993). Diagnosis
yang dewasa ini banyak diikembangkan adalah dengan metode referse
transcriptase polymerase chain (rt/pcr). Cairan allantois yang
memperlihatkan hasil uji HA dan HI positif tersebut, dapat di preparasi
RNA virus target dan selanjutnya dapat di amplifikasi dengan metode rt/pcr.
Secara umum identifikasi molekuler ditunjukan pada gen F (Fusi) yang
merupakan precursor glioko protein yang berperan dalam cleafage untuk
proses fusi sel (alexander 2003). Senstifitas diagnosis rt-pcr bervariasi pada
berbagai tingkatan kasus klinis penyakit tetelo, yaitu 37,44%-91,30%
(creelan et all : 2002).
Gejala klinik akibat infeksi virus tetelodapat bervariasi tergantung
patotipevirus, kepekaan inang dan factor pendukung lainnya. Penyakit tetelo
tipe asiatik yang dikenal sebagai feryvirulent tetelo dapat menyebabkan
kematian tinggi mencapai 100% pada unggas yang peka (Alexande, 2003)
dan oleh sebab itu dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup nyata
di sector usaha peternakan unggas di Indonesia. Pada ayam kampong yang
dikenal mempunyai resistensi yang tinggi terhadap berbagai ungaspun,
infeksi virus tetelo dapt menyebabkan kematian menyampai lebih 50%
populasi pertahun (folitse et al., 1998).

Sejauh ini usaha penanggulangan penyakit tetelo tersebut dilakukan


dengan vaksinasi dan ddukung dengan praktek management yang optimal.
Vaksinasi tetelo dilakukan dengan cara pemberian vaksin aktif dan inaktif
pada berbagai tingkatan umur ayam. Meskipun beberbagai usaha telah
dilakukan dalam rangka penanggulanagan penyakit tersebut, namun tidak
bisa dipungkiri bahwa sampai saat ini kasus tetelo masih bayak ditemukan
di lapangan. Kasus tetelo tersebut ddapat muncul pada suatu peternakan
yang telah menjalani vaksinasi dengan baik maupun pada peternakan ayam
kampong yang belum melakukan program vaksinansi tetelo. Kondisi
tersebut meberikan suatu alasan bahwa masih banyak permasalahan
dlapangan, sehingga dapat terjadi kasus penyakit tetelo. Beberapa sebab
yang mungkin terkait munculnya kasus tersebut adalah terkait munculnya
kasus tersebut adalah menyangkut masalah tatalaksana peternakan, kualitas
vaksin yang bervariasi, serta variasi patotipe virus yag bersirkulasi
dilapangan. Lebih dari itu telah muncul dugaan adanya virus tetelo yang
berbeda dar yang selama ini dkenali, meskipun untuk tau hal tersebut harus
dlakukan karakterisasi lebih lanjut secara molekuler.

Penelitiaan ini dimaksudkan untuk melakukan isolasi dan identifikas


serologi pada kasus terdiagnosa peyakit tetelo pada peternakan ayam,
petelur, ayam pada pedaging dan ayam kampong. Isolat viru yang diperoleh
kemudian ditentukan sfat fiknya, yaitu kecepatan elusi hemaglutinat dan
stabiltas hemaglutinin pada suhu 560 C, sedangkan sifat bolog virus
dtentukan dengan melihat kemampuan virus tetelo tersebut dalam
menimbulkan hemaglutinasi pada eritrosit kuda, sapi, domba.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Banyak virus yang telah dapat dibiakkan dalam biakan jaringan atau
dalam telur berembrio dengan keadaan lingkungan yang dapat dikendalikan
secara ketat. Walaupun demikian pertumbuhan virus pada hewan percobaan
masih tetap digunakan untuk isolasi primer virus tertentu dan untuk
penelitian patogenitas virus dan onkogenesis virus. Pertumbuhan virus
dalam cairan alantois ditentukan dengan uji hemaglutinasi (HA) dan
hemaglutinasi inhibisi (HI). Prosedur isolasi, identifikasi serologis tersebut
maupun determinasi HA pada beberapa spesies mamalia mengacu metode
Beard (1989) dan Senne (1989). Stabilitas hemaglutinin pada pemanasan
berhubungan dengan virulensi virus tetelo. Untuk mengidentifikasi isolat
virus sebagai virulen atau avirulen salah satu cara adalah berdasarkan pada
uji MDT. Metode yang digunakan berdasarkan Adi et al. (2010). Uji MDT
sudah umum digunakan untuk mengklasifikasi strain virus ND dalam
kelompok sebagai berikut: velogenic (highly virulent, MDT<60 jam),
mesogenik (moderately virulent, 60-90 jam), dan lentogenik (avirulent,
MDT>90 jam).

Anda mungkin juga menyukai