Anda di halaman 1dari 24

Infeksi, Patogenesis Virus, Bakteriofag

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
pada Mata Kuliah Genetika Mikrobia

Oleh Kelompok 7
Muhamad Ra’if Ramdan NIM. 191710020
Mapri Khatul Janah NIM. 1808016009

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2021 M/1443 H

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini dengan
tepat waktu yang berjudul “Infeksi, Patogenesis Virus, Bakteriofag” diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi dan manfaat kepada kita semua tentang
“Infeksi, Patogenesis Virus, Bakteriofag”. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, 12 November 2021


Penulis,

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 01
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 01
B. Perumusan Masalah ................................................................. 02
C. Tujuan Penulisan Makalah ...................................................... 02
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 03
A. Infeksi Virus ............................................................................ 03
B. Patogenesis Virus .................................................................... 08
C. Bakteriofag .............................................................................. 13

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 19


A. Simpulan .................................................................................. 19
B. Saran ........................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Baik infeksi bakteri maupun infeksi virus, keduanya sama-sama
disebabkan oleh mikroba. Seperti namanya, infeksi bakteri adalah infeksi
yang disebabkan oleh bakteri, dan infeksi virus adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus. Terkadang, kedua infeksi ini mempunyai tanda-tanda
yang sama pada orang yang terkena infeksi tersebut, seperti batuk-batuk,
demam, hidung berair, diare, radang, muntah, dan lemas. Akan tetapi, bakteri
dan virus adalah dua mikroba yang berbeda dan cara pengobatan untuk kedua
jenis infeksi tersebut sama sekali berbeda.
Bakteri adalah mikroba yang termasuk keluarga Prokaryotes. Bakteri
memiliki dinding sel yang tipis tapi keras, dan membran yang seperti karet
melindungi cairan di dalam sel tersebut. Bakteri dapat berkembang biak
sendiri, yaitu dengan cara pembelahan. Hasil penelitian fosil-fosil
menyatakan bahwa bakteri sudah ada sejak 3,5 miliar tahun yang lalu. Bakteri
dapat hidup di berbagai keadaan lingkungan, termasuk lingkungan-
lingkungan yang ekstrem, seperti lingkungan yang sangat panas atau sangat
dingin, di lingkungan yang mengandung radioaktif, dan di dalam tubuh
manusia.
Virus adalah mikroba yang tidak bisa hidup tanpa menempel pada
inangnya. Virus baru bisa berkembang biak bila menempel dengan makhluk
hidup lain. Ukuran virus juga jauh lebih kecil daripada bakteri. Setiap virus
memiliki material genetik, antara RNA atau DNA. Biasanya, virus akan
menempel di suatu sel dan mengambil alih sel tersebut untuk
mengembangbiakkan virus-virus lain sampai akhirnya sel tersebut mati. Atau
pada kasus lain, virus mengubah sel normal menjadi sel yang berbahaya
untuk kesehatan.
Sebagian besar virus bisa menyebabkan penyakit berbanding terbalik
dengan bakteri. Virus juga “pemilih”, alias menyerang sel tertentu secara

1
2

spesifik. Misalnya, virus-virus tertentu menyerang sel pada pankreas, sistem


pernapasan, dan darah. Pada kasus tertentu, virus juga menyerang bakteri.
Durasi tanda-tanda terinfeksi virus biasanya terjadi sebentar tetapi akut,
sedangkan tanda-tanda terinfeksi bakteri biasanya terjadi selama 10-14 hari
secara terus-menerus. Kalau memang diperlukan, dokter biasanya meminta
untuk tes darah atau tes urine untuk mengkonfimasi diagnosis, atau
melakukan tes kultur untuk mengidentifikasi tipe bakteri atau virus yang
menginfeksi (Staf Pengajar FKUI, 1994).
Virus dapat berkembang biak dalam sel bakteri, sel hewan dan tumbuhan.
Untuk menjelaskan perkembangbiakan virus biasanya digunakan contoh virus
yang menyerang bakteri (bakteriofaga). Misalnya virus yang berkembang
biak pada bakteri Escherichia coli. Perkembangbiakan bakteriofaga
membentuk suatu daur. Bakteriofag adalah virus yang menginfeksi bakteri
yang terdiri dari asam nukleat dan diselubungi oleh protein. Bakteriofag
berbeda dengan infeksi virus pada sel vertebrata, dimana seluruh virus
diambil oleh sel, dan asam nukleatnya dilepaskan secara intraseluler (Harvey
et al, 2013).
B. Perumusan Masalah
1. Apa itu infeksi dan patogenesis virus dan bakteriofag?
2. Bagaimana mekanisme infeksi dan patogenesis virus dan bakteriofag?
3. Apa saja macam-macam infeksi dan patogenesis virus dan bakteriofag?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui infeksi dan patogenesis virus dan bakteriofag.
2. Untuk mengetahui mekanisme infeksi dan patogenesis virus dan
bakteriofag.
3. Untuk mengetahui berbagai macam infeksi dan patogenesis virus dan
bakteriofag.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Infeksi Virus


Pengertian Infeksi virus adalah masuknya virus kedalam tubuh inang
(manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan termasuk bakteri) melalui siklus lisis
dan lisogenik sampai timbul gejala sakit. Virus dapat menginfeksi inangnya
dan menyebabkan berbagai akibat bagi inangnya. Ada yang berbahaya,
namun juga ada yang dapat ditangani oleh sel imun dalam tubuh sehingga
akibat yang dihasilkan tidak terlalu besar. Infeksi akut merupakan infeksi
yang berlangsung dalam jangka waktu cepat namun dapat juga berakibat
fatal. Infeksi kronis merupakan infeksi virus yang berkepanjangan sehingga
ada risiko gejala penyakit muncul kembali.
Virus harus menggunakan proses sel untuk bereplikasi. Siklus replikasi
virus dapat menghasilkan perubahan biokimia dan struktural yang dramatis
pada sel inang, yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Perubahan ini, yang
disebut efek cytopathic (menyebabkan kerusakan sel), dapat mengubah fungsi
sel atau bahkan menghancurkan sel. Beberapa sel yang terinfeksi, seperti sel
yang terinfeksi oleh virus flu yang dikenal sebagai rhinovirus, dapat mati
karena lisis (meledak) atau apoptosis (“bunuh diri sel”), melepaskan semua
virion progeni sekaligus.
Gejala-gejala penyakit virus merupakan hasil dari respon imun terhadap
virus, yang berusaha untuk mengendalikan dan menghilangkan virus dari
tubuh dan dari kerusakan sel yang disebabkan oleh virus. Selama proses awal,
sel tidak mengalami lisis dan tidak segera terbunuh. Namun, kerusakan pada
sel-sel yang terinfeksi virus dapat membuat sel-sel tidak berfungsi normal,
meskipun sel-sel tersebut tetap hidup selama jangka waktu tertentu.
Kebanyakan infeksi virus yang produktif mengikuti langkah-langkah serupa
dalam siklus replikasi virus: penempelan, penetrasi, uncoating, replikasi,
perakitan, dan pelepasan.

3
4

1. Penempelan: Sebuah virus menempel pada reseptor spesifik pada selaput


sel induk melalui protein perlekatan dalam kapsid atau melalui
glikoprotein yang tertanam dalam amplop virus. Kekhususan interaksi ini
menentukan host (dan sel-sel dalam host) yang dapat terinfeksi oleh virus
tertentu.
2. Penetrasi: Asam nukleat bakteriofag memasuki sel host, meninggalkan
kapsid di luar sel. Virus tumbuhan dan hewan dapat masuk melalui
proses endositosis, di mana membran sel mengelilingi dan menelan
seluruh virus. Beberapa virus yang diselimuti masuk ke dalam sel ketika
amplop virus menyatu dengan membran sel. Begitu berada di dalam sel,
kapsid virus terdegradasi dan asam nukleat virus dilepaskan, yang
kemudian siap untuk replikasi dan transkripsi.
3. Replikasi dan Perakitan (Assembly): Mekanisme replikasi tergantung pada
genom virus. Virus DNA biasanya menggunakan protein sel host dan
enzim untuk membuat DNA tambahan yang ditranskripsi ke messenger
RNA (mRNA), yang kemudian digunakan untuk mengarahkan sintesis
protein. Virus RNA biasanya menggunakan inti RNA sebagai template
untuk sintesis RNA genom virus dan mRNA. Virus mRNA mengarahkan
sel host untuk mensintesis enzim virus dan protein kapsid, dan untuk
merakit virion baru. Tentu saja, ada pengecualian untuk pola ini. Jika sel
inang tidak menyediakan enzim yang diperlukan untuk replikasi virus,
gen virus menyediakan informasi untuk mengarahkan sintesis protein
yang hilang. Retrovirus, seperti HIV, memiliki genom RNA yang harus
ditranskripsikan balik menjadi DNA, yang kemudian dimasukkan ke
dalam genom sel inang.
Untuk mengubah RNA menjadi DNA, retrovirus harus mengandung gen
yang mengodekan reverse transcriptase, enzim spesifik virus, yang
mentranskripsikan template RNA ke DNA. Transkripsi terbalik tidak
pernah terjadi pada sel host yang tidak terinfeksi; enzim yang dibutuhkan
(reverse transcriptase), hanya berasal dari ekspresi gen virus dalam sel
inang yang terinfeksi. Fakta bahwa HIV menghasilkan beberapa enzim
5

sendiri tidak ditemukan di host telah memungkinkan para peneliti untuk


mengembangkan obat yang menghambat enzim-enzim ini. Obat-obatan
ini, termasuk inhibitor reverse transcriptase AZT, menghambat replikasi
HIV dengan mengurangi aktivitas enzim tanpa memengaruhi
metabolisme host. Pendekatan ini telah mengarah pada pengembangan
berbagai obat yang digunakan untuk mengobati HIV dan telah efektif
dalam mengurangi jumlah virion infeksius (salinan RNA virus) dalam
darah ke tingkat yang tidak terdeteksi pada banyak orang yang terinfeksi
HIV.
4. Pelepasan (Release): Tahap terakhir replikasi virus adalah pelepasan virion
baru yang diproduksi di organisme host. Mereka kemudian dapat
menginfeksi sel yang berdekatan dan mengulangi siklus replikasi.

Gambar 2. 1 Siklus Replikasi Virus

a) Model Infeksi Virus


Secara umum, virus menginfeksi sel manusia dengan 2 cara, yaitu
dengan cara:
1. Cytocydal: Infeksi virus yang terjadi dengan cara membunuh sel inangnya;
2. Cytopathic: Infeksi virus yang terjadi tidak dengan cara membunuh sel
inangnya, tetapi hanya menyebabkan kerusakan pada sel inangnya.
Ketika virus menginfeksi sel manusia, maka pada sel yang diinfeksi
terjadi beberapa kemungkinan, yaitu:
6

1. Lytic Infection: Pada lytic infection, virus membunuh sel inangnya dengan
cara melisis atau memecah sel inang. Ketika sel inangnya lisis, partikel-
partikel virus yang baru dibentuk akan dibebaskan.
2. Persistent infection: Infeksi virus jenis ini dapat bertahan selama beberapa
tahun, menghasilkan partikel virus baru tanpa membunuh sel inang.
Partikel virus baru dikeluarkan dari dalam sel inang dengan cara
membentuk vesikel-vesikel, sehingga dapat melewati membran sel inang.
Proses ini hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada membrane sel
inang, tetapi tidak membunuhnya.
3. Latent infection. Pada Latent infection, virus hidup di dalam sel inang,
tanpa memproduksi partikel virus baru. Pada infeksi jenis ini, tidak ada
kerusakan yang terjadi pada sel inang, akan tetapi ada beberapa
rangsangan yang dapat mengaktifkan virus tersebut, sehingga
menyebabkan terjadinya lytic infection.
4. Cancer-causing infection. Pada latent infection, pengaktifan virus juga bisa
menyebabkan terjadinya perubahan pada sel yang terinfeksi menjadi sel
kanker. Virus ini disebut juga virus oncogenic (penyebab kanker).

Gambar 2. 2 Penginfeksian Virus


7

b) Prinsip-Prinsip Infeksi Virus


Proses dasar infeksi virus adalah sildus replikatif virus. Respons seluler
terhadap infeksi tersebut dapat berkisar dari efek yang tidak terlihat pada
sitopatologi disertai kematian sel sampai dengan hiperplasia atau kanker.
Penyakit virus adalah suatu abnormalitas berbahaya yang disebabkan oleh
infeksi virus pada organisme pejamu. Penyakit klinis pada seorang pejamu
terdiri dari tanda dan gejala yang jelas. Sindrom terdiri dari sekelompok tanda
dan gejala yang spesifik. Infeksi virus yang tidak menyebabkan gejala apapun
pada pejamu disebut asimtomatik (subklinis). Pada kenyataannya, sebagian
besar infeksi virus tidak menyebabkan penyakit.

Gambar 2. 3 Prinsip- Prinsip Infeksi Virus


Prinsip-prinsip penting menyangkut infeksi virus adalah sebagai
berikut:
1. Banyak infeksi virus bersifat subklinis;
2. Infeksi yang sama dapat disebabkan oleh berbagai virus;
3. Virus yang sama dapat menyebabkan berbagai infeksi;
4. Infeksi yang diakibatkan tidak berhubungan dengan morfologi virus; dan
5. Keluaran pada kasus apapun ditentukan oleh faktor virus, pejamu, dan
dipengaruhi oleh gen masing-masing.
Patogenesis virus adalah proses yang terjadi ketika virus menginfeksi
pejamu. Patogenesis penyakit adalah suatu bagian dari kejadian selama
infeksi yang menyebabkan manifestasi penyakit pada pejamu. Sebuah virus
8

bersifat patogenik terhadap pejamu tertentu jika dapat menginfeksi dan


menyebabkan tanda-tanda penyakit pada pejamu tersebut. Sebuah strain virus
tertentu lebih virulen dibanding strain lainnya jika ia secara umum
menyebabkan penyakit yang lebih berat pada pejamu yang peka. Virulensi
virus pada hewan yang tidak mengalami luka (intak) sebaiknya tidak
dikacaukan dengan sitopatogenisitas untuk sel yang dikultur; virus sangat
sitosidal secara in vitro, mungkin tidak berbahaya secara in vivo dan
sebaliknya, virus nonsitosidal mungkin menyebabkan penyakit berat
(Madigan, 2011).

B. Patogenesis Penyakit Virus


Untuk dapat menyebabkan penyakit, virus harus masuk ke dalam tubuh
pejamu, berkontak dengan sel yang rentan, bereplikasi, dan menyebabkan
kerusakan sel. Pemahaman terhadap mekanisme patogenesis virus pada
tingkat molekuler diperlukan untuk merancang strategi antivirus yang efektif
dan spesifik. Banyak pengetahuan kita tentang patogenesis virus berdasarkan
pada model hewan, karena sistem tersebut dapat secara mudah dimanipulasi
dan dipelajari. Langkah-langkah spesifik yang terlibat dalam patogenesis
virus adalah sebagai berikut virus masuk ke dalam sel, replikasi virus primer,
penyebaran virus, kerusakan seluler, respons imun pejamu, pemusnahan virus
atau terjadinya infeksi persisten, dan pelepasan virus.
Agar terjadi infeksi pada pejamu, virus pertama kali harus menempel
dan masuk ke salah satu sel di permukaan tubuh kulit, saluran pernapasan,
saluran urogenital, atau konjungtiva. Sebagian besar virus masuk ke
pejamunya melalui mukosa saluran pernapasan atau gastrointestinal .
Pengecualian terutama pada virus yang langsung dimasukkan ke aliran darah
olehjarum (hepatitis B, human immunodeficiency virus (HIV), melalui
transfusi darah, atau melaui vektor serangga (arbovirus). Virus biasanya
bereplikasi di port d’entree, Beberapa seperti virus influenza (infeksi
pernapasan) dan norovirus (infeksi gastrointestinal), menyebabkan penyakit
di port d’entree dan biasanya tidak mengalami sistemik lebih lanjut. Virus
9

tersebut menyebar secara lokal melalui permukaan epitel, tetapi tidak terdapat
penyebaran ke tempat yang jauh. (CDC, 1998).
Pejamu dapat meninggal atau sembuh dari infeksi virus. Mekanisme
pemulihan mencakup baik respons imun alami maupun adaptif. Interferon
(INF) dan sitokin lainnya, imunitas humoral dan yang diperantarai sel, dan
faktor pertahanan pejamu lainnya mungkin ikut terlibat. Kepentingan relatif
masing-masing komponen berbeda sesuai dengan virus dan penyakitnya.
Protein tersandi virus berperan sebagai target bagi respons imun. Sel
terinfeksi virus dapat dilisiskan oleh limfosit T sitotoksik akibat pengenalan
polipeptida virus pada permukaan sel. Imunitas humoral melindungi pejamu
dari reinfeksi oleh virus yang sama. Antibodi penetral langsung menyerang
protein kapsid sehingga menghambat inisiasi infeksi virus, barangkali pada
tahap penempelan, masuk, atau pelepasan selubung. Antibodi IgA sekretori
penting untuk melindungi pejamu dari infeksi virus yang melalui saluran
pernapasan dan pencernaan.
Karakteristik khusus virus tertentu dapat berpengaruh besar terhadap
respons imun pejamu. Beberapa virus menginfeksi dan merusak sel sistem
imun. Contoh yang paling dramatis adalah retrovirus manusia penyebab
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) yang menginfeksi limfosit T
dan merusak kemampuannya untuk berfungsi.
Efek samping berbahaya lainnya dari respons imun adalah
perkembangan autoantibodi. Jika sebuah antigen menimbulkan antibodi yang
secara kebetulan dikenali determinan antigenik pada protein seluler di
jaringan normal, maka kerusakan seluler atau kehilangan fungsi vang tidak
berhubungan dengan infeksi virus dapat terjadi. Saat itu besarnya masalah
potensial ini pada manusia belum diketahui. (Madigan, 2011).

1. Perbandingan Patogenesis Penyakit Virus


Patogenesis mousepox, sebuah penyakit kulit, dan poliomielitis
manusia, sebuah penyakit sistem saraf pusat. Kedua virus bermultiplikasi di
port d’entree sebelum menyebar secara sistemik ke organ target. Pada
10

mousepox, virus masuk ke dalam tubuh melalui abrasi kecil pada kulit dan
bermultiplikasi di sel epidermis. Pada saat yang bersamaan, virus tersebut
dibawa oleh pembuluh limfe menuju kelenjar limfe regional, tempat
multiplikasi juga terjadi. Beberapa partikel virus yang memasuki sirkulasi
darah melalui pembuluh limfe eferen ditangkap oleh makrofag hati dan limpa.
Virus bermultiplikasi dengan cepat pada kedua organ tersebut. Setelah
pelepasan dari hati dan limpa, virus bergerak mengikuti peredaran darah dan
menempatkan diri pada lapisan epidermis basal kulit, di sel konjungtiva, dan
di dekat folikel limfe usus. Virus terkadang juga menempatkan diri pada sel
epitel ginjal, paru, kelenjar submaksila, dan pankreas. Lesi primer terbentuk
di port d’entree virus. Lesi primer tampak sebagai pembengkakan
terlokalisasi yang bertambah besar dengan cepat, menjadi edematous, ulkus,
lalu terbentuk jaringan perut. Selanjutnya terjadi ruam generalisata yang
berperan melepaskan sejumlah besar virus ke lingkungan.
Pada poliomielitis, virus masuk melalui saluran pencernaan,
bermultiplikasi di tempat awal implantasi virus (tonsil, Plak Peyer) atau
kelenjar limfe yang ada pada jaringan tersebut, dan mulai tampak pada
tenggorokan dan feses. Penyebaran virus sekunder terjadi melalui aliran darah
ke jaringan peka lainnya secara spesifik, kelenjar limfe lain dan sistem saraf
pusat. Dalam sistem saraf pusat, virus menyebar sepanjang serabut saraf. Jika
terjadi multiplikasi tingkat tinggi bersamaan dengan penyebaran virus melalui
sistem saraf pusat maka terjadi kerusakan neuron motorik dan paralisis.
Pelepasan virus ke lingkungan tidak bergantung pada penyebaran virus
sekunder ke sistem saraf pusat. Penyebaran ke sistem saraf pusat lebih mudah
dicegah dengan adanya antibodi yang dipicu oleh infeksi sebelumnya atau
vaksinasi.
11

Gambar 2. 4 Proses Patogenesis Virus


2. Persistensi Virus: Infeksi Virus Kronik Dan Laten
Infeksi bersifat akut saat virus pertama kali menginfeksi pejamu yang
rentan. Infeksi virus biasanya sembuh sendiri. Namun, terkadang, virus
menetap dalam jangka waktu lama di tubuh pejamu. Interaksi virus-pejamu
dalam jangka waktu panjang dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Infeksi
kronik (juga disebut infeksi persisten) adalah infeksi yang replikasi virusnya
dapat dideteksi secara terus-menerus, biasanya dalam kadar rendah; dapat
ringan atau tanpa gejala klinis yang jelas. Infeksi laten adalah infeksi yang
virusnya menetap tetapi tidak terlihat (tersembunyi atau samar) pada sebagian
besar periode waktu saat tidak ada virus baru yang dihasilkan.Virus infeksius
dapat dihilangkan selama masa pergolakan intermiten penyakit klinis.
Sekuens virus dapat dideteksi oleh teknik molekuler pada jaringan yang
mengandung infeksi laten. Infeksi yang tidak terlihat atau subklinis adalah
infeksi yang tidak memperlihatkan tanda yang jelas akan kehadirannya.
Infeksi kronik yang terjadi akibat sejumlah virus dan persistensinya
dalam kasus tertentu bergantung pejamu ketika terinfeksi. Pada manusia,
contohnya infeksi virus rubella dan cytomegalovirus yang didapati
kandungan secara khas menyebabkan persistensi virus waktu yang terbatas,
12

kemungkinan karena kapasitas logik yang bereaksi terhadap infeksi mulai


berkembang seiring pertumbuhan bayi. Bayi yang terinfeksi hepatitis B
biasanya bersifat persisten (karier kronik), sebagian besar karier bersifat
asimtomatik. Pada infeksi kronik virus RNA, populasi virus sering
mengalami banyak perubahan genetik dan antigenik.
Herpesvirus secara khas menimbulkan infeksi laten, Herpesvirus
simpleks memasuki ganglia sensorik dan menetap selama fase non infeksius.
Saat lesi yang mengandung virus infeksius tampak pada lokasi perifer (mis,
vesikel demam), dapat terjadi reaktivasi periodik. Virus cacar air (varicella-
zoster) juga menjadi bersifat laten di ganglia sensorik. Rekurensi jarang dan
terjadi beberapa tahunkemudian, biasanya mengikuti distribusi saraf perifer
(zoster). Anggota famili herpesvirus lainnya juga menimbulkan infeksi laten,
termasuk cytomegalovirus dan virus Epstein-Barr. semuanya dapat
direaktivasi dengan adanya imunosupresi. Maka dari itu, reaktivasi infeksi
herpesvirus dapat merupakan komplikasi serius bagi orang-orang yang
mendapatkan terapi imunosupresan.

Gambar 2. 5 Penginfeksian Virus


Infeksi virus persisten kemungkinan berperan jauh dalam penyakit
manusia. Infeksi virus persisten berhubungan dengan jenis kanker tertentu
pada manusia serta penyakit degeneratif yang progresif pada sistem saraf
pusat manusia.
13

Ensefalopati spongiform adalah sekelompok infeksi sistem saraf pusat


yang kronik, progresif, fatal yang disebabkan oleh agen non konvensional,
dapat ditularkan yang disebut prion. Prion dianggap bukan virus. Contoh
paling baik dari jenis infeksi 'lambat" ini adalah ensefalopati spongiform pada
domba dan sapi ternak, kuru dan penyakit Creutzfeldt-Jakob yang terjadi pada
manusia.

Gambar 2. 6 Infeksi Ensefalopati spongiform

C. Bakteriofag
Bakteriofag (atau yang umum dikenal sebagai phage atau faga) adalah
kelompok virus yang menginfeksi bakteri. Bakteriofag dapat ditemukan pada
semua jenis lingkungan selama inang bakterinya masih ada. Bakteriofag
mengandung materi genetik dalam bentuk DNA maupun RNA. Sebagian
besar bakteriofag memiliki bagian ekor untuk berikatan terhadap reseptor
spesifik seperti karbohidrat, protein, dan lipopolisakarida yang ada pada
permukaan bakteri. Bakteriofag kemudian menginjeksikan asam nukleatnya
ke dalam sel inang untuk mengambil alih materi genetik dan menciptakan
partikel faga yang baru dengan jumlah yang bervariasi (Wiranto, 2021).
14

Gambar 2. 7 Morfologi Beberapa Bakteriofag. A. Myovirus, B.


Siphovirus, C. Podovirus, D. Microvirus, E. Tectivirus, F. Levivirus, G.
Inovirus, H. Plectovirus, I. Plasmavirus (Sumber: Ackermann, 2012)

Faga dibagi menjadi 2 berdasarkan siklusnya yaitu faga litik dan faga
lisogenik. Faga litik adalah faga yang menginjeksikan genomnya ke dalam
inang dan mengambil alih sistem metabolik dari inang untuk menciptakan
progeni virus yang baru. Progeni ini dilepaskan dari dalam sel dengan
menggunakan enzim litik yang dihasilkan faga. Faga lisogenik adalah faga
yang mengintegrasikan materi genetiknya ke dalam genom dari inang
membentuk plasmid linier atau sirkuler dalam sitoplasma inang. Materi
genetik ini bereplikasi di dalam sel hingga siklus litik diinduksi (Wiranto,
2021).
15

Siklus dan Mekanisme Bakteriofaga dalam Menginfeksi Sel Bakteri Inang


(Sumber: Batinovic et al., 2019)
1. Fase Litik
a) Fase adsorbsi (penempelan), pada fase ini, awalnya ditandai dengan
adanya ujung ekor menempel atau melekat pada dinding sel bekteri.
Penempelan tersebut dapat terjadi apabila serabut dan ekor virus
melekat pada dinding sel bakteri. Virus menempel hanya pada tempat-
tempat khusus, yakni pada permukaan dinding sel bakteri yang
memiliki protein khusus yang dapat ditempeli protein virus.
Menempelnya protein virus pada protein dinding sel bakteri itu sangat
khas, mirip kunci dan gembok. Virus dapat menempel pada sel-sel
tertentu yang diinginkan karena memiliki reseptor pada ujung-ujung
serabut ekor. Setelah menempel, virus mengeluarkan enzim lisozim
(enzim penghancur) sehingga terbentuk lubang pada dinding bakteri
atau inang.
b) Fase injeksi (penetrasi), selubung (seludang) sel berkontraksi yang
mendorong inti ekor ke dalam sel melalui dinding dan membran sel,
kemudian virus tersebut menginjeksikan DNA ke dalam sel bakteri.
Namun demikian, seludang protein yang membentuk kepala dan ekor
fage tetap tertinggal di luar sel. Setelah menginjeksi kemudian akan
terlepas dan tidak berfungsi lagi.
- Penetrasi sel inang oleh bakteriofaga
16

- Seludang ekor memendek intinya menembus ke dalam sel, dalam


DNA virus disuntikkan ke dalam sel
- Fase sintesis, DNA virus yang telah diinjeksikan yang
mengandung enzim lisozim ke dalam akan menghancurkan DNA
bakteri, sehingga DNA virus yang berperan mengambil alih
kehidupan.Kemudian DNA virus mereplikasi diri berulang-ulang
dengan cara menggandakan diri dalam jumlah yang banyak,
selanjutnya melakukan sintesis protein dari ribosom bakteri yang
akan diubah manjadi bagian-bagian kapsid seperti kepala, ekor,
dan serabut ekor.
- Fase perakitan, bagian-bagian kapsid kepala, ekor, dan rambut ekor
yang mula-mula terpisah selanjutnya dirakit menjadi kapsid virus
kemudian DNA virus masuk ke dalamnya, maka terbentuklah
tubuh virus yang utuh.
- Fase litik, ketika perakitan telah selesai yang ditandai dengan
terbentuknya tubuh virus baru yang utuh. Virus ini telah
mengambil alih perlengkapan metabolik sel inang bakteri
(Suprobowati, 2018).
2. Fase Lisogenik
a) Fase penggabungan, karena DNA bakteri terinfeksi DNA virus,
hal tersebut akan mengakibatkan benang ganda berpilin DNA
bakteri menjadi putus, selanjutnya DNA virus menyisip di antara
putusan dan menggabung dengan benang bakteri. Dengan
demikian, bakteri yang terinfeksi akan memiliki DNA virus.
b) Fase pembelahan, karena terjadi penggabungan, maka DNA virus
menjadi satu dengan DNA bakteri dan DNA virus menjadi tidak
aktif disebut profage. Dengan demikian, jika DNA bakteri
melakukan replikasi, maka DNA virus yang tidak aktif (profage)
juga ikut melakukan replikasi. Misalnya, apabila DNA bakteri
membelah diri terbentuk dua sel bakteri, maka DNA virus juga
identik membelah diri menjadi dua seperti DNA bakteri, begitu
17

seterusnya.Dengan demikian jumlah profage DNA virus akan


mengikuti jumlah sel bakteri inangnya.
c) Fase sintesis, dalam keadaan tertentu jika DNA virus yang tidak
aktif (profage) terkena zat kimiatertentu atau terkena radiasi tinggi,
maka DNA virus akan menjadi aktif kemudian
menghancurkanDNA bakteri dan memisahkan diri. Selanjutnya,
DNA virus tersebut mensintesis protein sel bakteri(inangnya)
untuk digunakan sebagai kapsid bagi virus-virus baru dan
sekaligus melakukan replikasi diri menjadi banyak.
d) Fase perakitan: kapsid-kapsid dirakit menjadi kapsid virus yang
utuh, yang berfungsi sebagai selubung virus. Kapsid baru virus
terbentuk. Selanjutnya, DNA hasil replikasi masuk ke dalamnya
guna membentuk virus-virus baru.
e) Fase litik, fase ini sama dengan daur litik. Setelah terbentuk
bakteri virus baru terjadilah lisis sel. Virus-virus yang, terbentuk
berhamburankeluar sel bakteri guna menyerang bakteri baru.
Dalam daur selanjutnya virus dapat mengalami daur litik atau
lisogenik, demikian seterusnya (Suprobowati, 2018).

Faga memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri, sehingga


pemanfaatannya sebagai alternatif terapi antibiotik dapat dipertimbangkan.
Namun, hal yang menarik dari faga adalah spesifisitas dari kemampuannya,
yaitu kemampuannya untuk hanya membunuh patogen yang dikenalinya. Hal
ini tentunya dapat menghindari masalah utama dari terapi antibiotik seperti
eliminasi seluruh mikrobioma dan munculnya bakteri resisten. Selain itu, faga
hanya bereplikasi di dalam bakteri target dan tidak menginfeksi sel mamalia.
Proses isolasi dan identifikasi faga juga membutuhkan waktu yang singkat bila
dibandingkan dengan penemuan antibiotik baru sebagai pengendali bakteri
pathogen (Wiranto, 2021).
Seiring dengan bakteri bermutasi dan berevolusi menjadi resisten, faga
juga dapat melakukan hal yang sama. Mekanisme resistensi bakteri terhadap
18

faga bervariasi, mulai dari alterasi reseptor pada dinding sel, produksi matriks
eksopolisakarida, produksi inhibitor yang bekerja pada situs pengikatan faga,
hingga produksi enzim intrasel untuk degradasi DNA faga dalam sel bakteri.
Untuk melawan resistensi ini, faga mempunyai mekanisme – mekanisme
tertentu seperti alterasi ekor untuk mengenali reseptor baru, produksi enzim
hidrolisis untuk degradasi eksopolisakarida, inaktivasi inhibitor, hingga
modifikasi DNA faga untuk menghindari rekognisi sel bakteri. Interaksi faga
dengan inangnya membentuk suatu sistem evolusi yang dikenal dengan
koevolusi (Koskella & Brockhurst, 2014; Brockhurst et al., 2017; Golkar et
al., 2014).
Agar dapat menahan/resisten terhadap infeksi faga, maka bakteri
mengembangkan beberapa bentuk pertahanan:
1. Memproduksi enzim restriksi (restriction endonuclease enzymes).
Enzim ini mampu memotong bagian tertentu basa asam nukleat
sehingga susunan asam nukleat tersebut akan terdegradasi. Misalnya
enzim EcoR1 yang diproduksi oleh E. coli mampu memotong untaian
asam nukleat sbb:
----GAATTC----
----CTTAAG---- , dipotong menjadi
----G AATTC----
----CTTAA G----
2. Menambahkan gugus metil (CH3) pada genom faga sehingga genom
faga tersebut tidak berfungsi dengan normal. Misalnya metilasi pada
gugus adenin.
------GAATTC------
------CTTAAG------
D. Pencegahan dan Penanganan Infeksi Virus
Sebagian besar penyakit yang menyerang manusia disebabkan oleh virus.
Sebelum penyakit itu timbul, alangkah baiknya kita mencegahnya. Terkadang
timbul geja-gejala yang mengiringi terjadinya infeksi virus. pencegahannya
dapat dilakukan dengan cara pemberian vaksin, sedangkan pengobatannya
19

dengan pemberian interferon dan kemoterapi antivirus. Cara mencegah dan


pengobatan penyakit yang di sebabkan oleh virus:
1. Menjaga system imun dengan pola makan yang baik, perbanyak minum air
putih, perbanyak konsumsi vitamin, dan menjaga pola hidup sehat selain
itu juga dengan pemberian vaksin.
2. Untuk tanaman, dapat menggunakan zat kimia.
3. Untuk hewan, dengan memberikan vaksin, menjaga kebersihan dan
makanan hewan yang digunakan (Sridianti.com, 2021).
20

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Infeksi virus adalah masuknya virus kedalam tubuh inang (manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan termasuk bakteri) melalui siklus lisis dan lisogenik
sampai timbul gejala sakit. Virus menginfeksi sel manusia dengan dua cara
yaitu Cytocydal dan Cytopathic. Patogenesis penyakit adalah suatu bagian dari
kejadian selama infeksi yang menyebabkan manifestasi penyakit pada pejamu.
Sebuah virus bersifat patogenik terhadap pejamu tertentu jika dapat
menginfeksi dan menyebabkan tanda-tanda penyakit pada pejamu tersebut.
Virus juga dapat menyerang bakteri yang disebut dengan Bakteriofag,
bakteriofag menginfeksi bakteri dengan dua fase yaitu fase litik dan fase
lisogeneik. Untuk mengobati dan mencegah infeksi virus dapat dilakukan
dengan cara pemberian vaksin, sedangkan pengobatannya dengan pemberian
interferon dan kemoterapi antivirus.
B. Saran
Pada saran yang bertujuan menganalisis kurang dan lebihnya makalah ini
untuk kedepannya mungkin akan lebih berhati-hati dalam membaca bacaan
dari berbagai sumber sebagai referensi yang kami gunakan, kami selalu
menerima kritik dan berbagai saran yang diajukan pada pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ackermann HW. 2012. Bacteriophage Electron Microscopy. Advances in Virus


Research. Elsevier Inc. pp. 1-32.
Batinovic S, Wassef F, Knowler SA, Rice DTF, Stanton CR, Rose J, Tucci J,
Nittami T, Vinh A, Drummond GR, Sobey CG, Chan HT, Seviour RJ,
Petrovski S, Franks AE. 2019. Bacteriophages in Natural and Artificial
Environment. Pathogens. 8: 100.
Brockhurst MA, Koskella B, Zhang QG. 2017. Bacteria-Phage Antagonistic
Coevolution and the Implications for Phage Therapy. Bacteriophages:
Biology, Technology, Therapy. 1-21.
Connie, Mahon., Donald., & C. Lehman. 2015. Microbiology Diagnostic.5 th ed.
Saunders Elsevier inc.
Edi, Wiranto. 2021. Isolasi dan Uji Antagonistik Bakteriofaga sebagai Agen
Pengendali Hayati Bakteri Patogen Brevundimonas vesicularis.
SKRIPSI. Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera
Utara Medan.
Harvey., Cornelissa, C. N., Fisher, B. D.. 2013. Microbiology Third Edition.
China: Wolters Health Lippincott William & Wilkins.
Joegijantoro, R. 2019. Penyakit Infeksi. Malang: Intimedia.
Madigan, M. T., Martinko, J. M., Stahl, D. A., & Clark, D. P. 2011. Brock Biologi
of Microorganism 13 Ed.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.
Suprobowati, O. D., & Kurniati, I. 2018. Virologi. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
htttp://www.sridianti.com/pencegahan-dan-pengobatan-infeksi-virus.html Diakses
pada 9 November 2021 pukul 20.32 WIB.

21

Anda mungkin juga menyukai