Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH

PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN

Disusun Oleh :

Nama : Wahyu Mustafa Kusuma

Kelas : I A / 32

Prodi : Pendidikan Teknik Mesin

Dosen Pengampu :

Arif Bintoro Johan, M. Pd.

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA

YOGYAKARTA

2015
ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

A. Aliran Klasik dan Gerakan Baru dalam Pendidikan

Pemikiran-pemikiran yang telah dimulai pada zaman Yunani Kuno, dan dengan
kontribusi berbagai bagian dunia lainnya, akhirnya berkembang dengan pesat di Eropa
dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, baik aliran klasik maupun gerakan baru dalam
pendidikan pada umumnya berasal dari kedua landasan itu. Pemikiran-pemikiran itu
tersebar keseluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan berbagi cara. Penyebaran itu
menyebabkan pemikiran dari kedua kawasan itu pada umumnya menjadi acuan dalam
penetapan kebijakan di bidang pendidikan di berbagai negara.

Aliran-aliran klasik yang meliputi aliran-aliran empirisme, nativisme, naturalisme,


dan konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-
pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu
mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis
sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa
pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki
anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan
tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara
kedua kutub tersebut, yang dapat dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran
dalam pendidikan.

Terdapat beberapa gagasan dalam pendidikan yang pengaruhnya masih terasa


sampai kini, yakni gerakan-gerakan pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat
perhatian, sekolah kerja, dan pengajaran proyek. Gerakan-gerakan tersebut mendapat
reaksi yang berbeda-beda di berbagai negara, namun terdapat beberapa asas yang
mendasarinya yang diterima secara luas. Gerakan-gerakan ini sangat mempengaruhi
cara-cara guru dalam mengelola kegiatan belajar di sekolah. Oleh karena itu, gerakan-
gerakan itu dapat dikaji untuk memperkuat wawasan dan pengetahuan tentang
pengajaran. Seperti telah dikemukakan bahwa pengajaran merupakan pilar penting dari
kegiatan pendidikan di sekolah, utamanya kalau dilakukan pengajaran yang sekaligus
mendidik.

a. Aliran Empirisme

Aliran empirisme bertolak dari Loacken Tradition yang mementingkan stimulasi


eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak
tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Menurut
pandangan empirisme pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebab
pendidik dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima
oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu yang sesuai
dengan tujuan pendidikan. Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya
mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan
kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan. Tokoh
perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1704-1932)
yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas
putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan
berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan
empirisme pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik dapat
menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diteriama oleh anak sebagai
pengalaman-pengalaman. Pengalaman itu tentunya yang sesuai dengan tujuan
pendidikan.

b. Aliran Nativisme

Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan


dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan
oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh
terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantung pada
pembawaan. Schopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini
maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri. Ditekankan bahwa
“yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang
tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak sendiri. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab
lingkungan tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut
pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia
akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak itu pembawaannya baik maka dia akan
menjadi baik. Pembawaan baik dan buruk ini tidak diubah oleh kekuatan dari luar.

Meskipun dalam kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya
(secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi
pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.

c. Aliran Naturalisme

Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan itu baik, dan akan
menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan, dia juga berpendapat bahwa
pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan yang baik
anak itu. Aliran ini berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak
pada alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Yang dilaksanakan
adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi
rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan.

J. J. Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba
dibuat-buat sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat
kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas. Ia mengusulkan perlunya
permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannnya,
kemampuannya, dan kecenderungannya. Pendidikan, harus dijauhkan dalam
perkembangan anak karena hal itu berarti dapat menjauhkan anak dari segala hal yang
bersifat dibuat-buat dan dapat membawa anak kembali ke alam untuk mempertahankan
segala yang baik.

d. Aliran Konvergensi

Perintis aliran ini adalah William Stern, seorang ahli pendidikan bangsa Jerman
yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan
baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses
perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun lingkungan sama-sama
mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak
akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan dari lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat
menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak
terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu. Sebagai contoh, hakikat
kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata, adalah hasil konvergensi. Pada
anak menusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak
belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik
dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-
mula menggunakan bahasa lingkungannya. William Stern berpendapat bahwa hasil
pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan.

Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi artinya memusatkan kesatu
titik.

- Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.


- Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada
anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah
berkembangnya potensi yang kurang baik.
- Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
MAKNA ASAS-ASAS POKOK DALAM PENDIDIKAN

1. Asas Tut Wuri Handayani

Asas tut wuri handayani, yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya
merupakan salah satu dari “Asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional
Tamansiswa. Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari Sistem
Among dari perguruan itu. Asas atau semboyan tut wuri handayani yang
dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara itu mendapat tanggapan positif. Dengan
ditambahkan dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tuladha dan
Ing Madya Mangun Karsa.

Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yakni:

- Ing ngarsa sung tuladha (jika didepan menjadi contoh)


- Ing madya mangun karsa (jika ditengah membangkitkan kehendak, semangat,
dan motivasi)
- Tut wuri handayani (jika dibelakang mengikuti dengan awas)

Asas tut wuri handayani merupakan asas yang menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam
perikehidupan umum. Dari asas ini pulalah lahir “Sistem Among”, di mana guru
memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang
dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus
menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala
sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri
tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri
dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya.

Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada
hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur
perintah, paksaan, atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi
kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik
setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Ing ngarsa sung
tuladha (di depan memberi contoh) adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak
maupun pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa (di tengah membangkitkan
kehendak) diterapkan pada situasi yang kurang bergairah atau ragu-ragu untuk
mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat
motivasi. Ketiga semboyan tersebut satu kesatuan asas (ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi asas penting dalam
pendidikan di Indonesia.

2. Asas Belajar Sepanjang Hayat

Asas belajar sepanjang hayat ( life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi
lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hidup
adalah sebuah konsep baru yang signifikan. UNESCO Institute for Education
menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang
harus:

- Meliputi seluruh hidup setiap individu.


- Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan
secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat
meningkatkan kondisi hidupnya.
- Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap individu.
- Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
- Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi.

Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di sekolah


seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta
didik dengan efisien dan efektif, dan serentak dengan itu, meningkatkan kemauan dan
kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari
pendidikan sekolah, masalahnya adalah bagaimana merancang suatu program belajar-
mengajar sehingga mendorong terwujudnya belajar sepanjang hayat, dengan kata lain,
terbentuk manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar.

Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus


dirancang dan diimplimentasikan dengan memperhatikan dua dimensi:

a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Di samping keterkaitan


dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan
kehidupan peserta didik di masa depan.
b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.

Perancangan dan Implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu


akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di
sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang
tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan
masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu
masyarakat yang gemar belajar (learning society). Dengan kata lain, akan terwujudlah
gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang tercemin di dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia.

3. Asas Kemandirian dalam Belajar

Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat
kaitannya dengan asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada
prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri
dalam belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar, sedini mungkin dikembangkan dalam
kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru
selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam
peran utama sebagai fasilitor dan motivator, disamping peran-peran lain: informator,
organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan
mengatur sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta didik berinteraksi
dengan sumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator, guru mengupayakan
timbulnya prakarsa pesera didik untuk memanfaatkan sumber belajar itu.
Pengembangan kemandirian dalam belajar ini seyogyanya dimulai dalam kegiatan
intrakurikuler, yang dikembangkan dan dimantapkan selanjutnya dalam kokurikuler dan
ekstrakurikuler. Atau, untuk latar perguruan tinggi dimulai dalam tatap muka,
dikembangkan dan dimantapkan dalam kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri.
Kegiatan tatap muka intrakurikuler terutama berfungsi membentuk konsep-konsep dasar
dan cara pemanfaatan berbagai sumber belajar, yang akan menjadi dasar pengembangan
kemandirian dalam belajar di dalam bentuk-bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri.

Terdapat beberapa strategi belajar-mengajar yang dapat memberi peluang


pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa Aktif (CBSA) merupakan
salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut mengambil
prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam belajar mengajar di sekolah,
umpamanya melalui lembaga kerja. Di samping itu, beberapa jenis kegiatan belajar
mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemandirian dalam belajar itu,
seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan sebagainya.
Keseluruhan upaya itu akan dapat terlaksana dengan semestinya apabila setiap lembaga
pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang
memadai. Dengan dukungan PSB itu kemandirian dalam belajar akan lebih
dimantapkan dan dikembangkan.
REFERENSI

http://arafah127.blogspot.co.id/p/aliran-aliran-pendidikan.html

Sjafei, Muhammad. 1970. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Yayasan Proklamasi


CSIS.

Cropley, A.j. (Ed). 1979. Lifelong Education: A Stocktaking. Hamburg: UNESCO


Institute for Education.

Hameyer, U.. 1979. School Curriculum in the Context of Lifelong Learning. Hamburg:
UNESCO Institute for Education.

Raka Joni,et. Al. 1985.Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti
Depdikbud.
MENGIDENTIFIKASI TIGA BUAH CONTOH MASALAH AKTUAL
PENDIDIKAN

1. Masalah Pemerataan Pendidikan

Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan


dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan
sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pendidikan timbul
apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat
ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas
pendidikan yang tersedia.

Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-


anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki
bekal dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka
dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber
belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun
konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap
pembangunan.

Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan
pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpertisipasi dalam
pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai
diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan. Khususnya untuk pendidikan
formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki
fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan.
Pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan
kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus
dengan seksama.
2. Masalah Mutu Pendidikan

Masalah mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan tidak sesuai


dengan apa yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh
lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem
sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut turun ke lapangan kerja penilaian dilakukan
oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes untuk kerja
(performance test). Lazimnya sesudah itu masih dilakukan pelatihan/pemagangan bagi
calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja di lapangan.

Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Jika tujuan
pendidikan nasional dijadikan kriteria, maka pertanyaannya adalah: Apakah keluaran
dari suatu sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, dan berkarya.
Dengan kata lain apakah keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Hasil
belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika
proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang
bermutu. Jika terjadi hasil belajar yang tidak optimal menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Ini
berarti bahwa pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletak pada masalah
pemrosesan pendidikan.

Selanjutnya kelancaran pemrosesan pendidikan ditunjang oleh komponen


pendidikan yang terdiri dari peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana
pembelajaran, bahkan juga masyarakat sekitar. Seberapa besar dukungan tersebut
diberikan oleh komponen pendidikan, sangat tergantung kepada kualitas komponen dan
kerja samanya serta mobilitas komponen yang mengarah kepada pencapaian tujuan.
Sebagai contoh, misalnya komponen sarana pembelajaran yang lengkap tetapi tidak
didukung oleh guru-guru yang terampil maka sumbangan sarana tersebut pada
pencapaian tujuan tidak akan optimal. Umumnya kondisi mutu pendidikan di seluruh
tanah air menunjukan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih
rendah daripada daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan
bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis
dan jenjangnya di seluruh pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan
mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.

3. Masalah Pendapatan (gaji) Guru

Guru merupakan elemen yang sangat penting dalam membentuk kepribadian dan
pola pikir anak bangsa, sehingga guru dikenal sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Dengan demikian guru seharusnya menjadi prioritas pertama bagi pemerintah, tetapi
kenyataannya guru masih dipandang sebelah mata. Dalam gaji, antara guru yang sudah
menjadi PNS dan yang masih honorer sangatlah berbeda. Guru hanya menerima gaji
yang tak cukup banyak, seharusnya gaji guru disamakan dengan gaji anggota dewan. Itu
merupakan hadiah yang setimpal dengan beban yang ditanggung oleh guru tersebut.
Tapi dengan gaji rasanya tak cukup, harus dibarengi dengan tunjangan-tunjangan
lainnya. Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh
pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan
pendidik. Namun kenyataannya masalah kesejahteraan guru belum mendapat perhatian
besar dari pemerintah. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Guru sebagai tenaga kependidikan
juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Guru
merupakan pondasi awal membangun negeri.
SOLUSI UNTUK MENGATASI MASALAH-MASALAH AKTUAL
PENDIDIKAN

1. Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan

Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan inovatif.

Cara konvensional antara lain:

a. Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres atau ruangan belajar.


b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan
sore).

Cara inovatif antara lain:

a. Sistem Pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru).


b. SD kecil pada daerah terpencil.
c. Sistem Guru Kunjung.
d. SMP Terbuka.
e. Kejar Paket A dan B.
f. Belajar Jarak Jauh, seperti Universitas Terbuka.

2. Pemacahan Masalah Mutu Pendidikan

Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki


kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendidikan bersasaran
pada perbaikan kualitas komponen pendidikan (utamanya komponen masukan mentah
untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi, dan komponen masukan instrumental)
serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada gilirannya
diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar
peserta didik, yang akhirnya dapat meningkatkan hasil pendidikan.

Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal
yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan manajemen sebagai berikut:

a. Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut, misalnya


berupa pelatihan, penataran, seminar, dan kegiatan-kegiatan kelompok.
b. Penyempurnaan kurikulum, misalnya dengan memberi materi yang lebih
esensial dan mengandung muatan lokal, metode yang menantang, dan
menggairahkan belajar, dan melaksanakan evaluasi.
c. Pengembangan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk
belajar.
d. Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran, dan
peralatan laboraturium.
e. Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
f. Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:

1. Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan.


2. Supervisi dan monitoring pendidikan oleh penilik dan pengawas.
3. Sistem ujian nasional.
4. Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu
lembaga.

3. Pemecahan Masalah Pendapatan Guru

Pendapatan (gaji) dapat digunakan sebagai tolak ukur kesejahteraan seseorang. Guru
merupakan orang yang melakukan perencanaan, pelaksana, dan sebagai evalusi dalam
proses pembelajaran. Figur manusia yang menempati posisi dan memegang peran
penting dalam pendidikan. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat
dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar. Kinerja
seorang guru akan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya pendapatan yang
diperolehnya. Untuk mengatasi ini harusnya dalam hal ini pemerintah berperan untuk
mengatasi kesejahteraan guru, antara lain:

a. Mengangkat guru-guru honorer untuk menjadi PNS.


b. Meningkatkan tunjangan-tunjangan untuk guru.

Dari ketiga macam masalah-masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan


teratasi jika pendidikan:

1. Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya: Semua warga


negara yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
2. Dapat mencapai hasil yang bermutu, artinya: Perencanaan, pemrosesan
pendidikan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3. Dapat memberikan input yang baik kepada siswa, karena guru telah
mendapatkan kesejahtaraan dari pendapatan yang diperolehnya.
REFERENSI

http://bagoes1st.blogspot.co.id/2013/12/pengantar-pendidikan-tugas-pengantar.html

Ditjen Dikti, Depdikbud. 1992. Pengembangan dan inovasi kurikulum. Jakarta:


Depdikbud.

Depdikbud. 1989. UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,


Beserta Penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai