Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE
I. Definisi Stroke
Stroke atau Cerebral Vasculer Accident (CVA) merupakan suatu kondisi
pecahnya pembuluh darah otak secara mendadak dengan akibat penurunan
fungsi neurologis (Hariyanto, 2015). Menurut Tarwoto (2013), stroke
merupakan suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang
mendadak, nonkonvulsif yang disebabkan karena gangguan peredaran darah
otak non traumatik. Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang
menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau
hemoragi sirkulasi saraf otak (NANDA, 2015). Stroke menurut World Health
Organisasion (WHO) adalah gangguan otak fokal ataupun global secara
mendadak yang disebabkan oleh gangguan vaskuler dan dapat menyebabkan
kematian.
Dari beberapa definisi stroke diatas dapat disimpulkan bahwa stroke
merupakan gangguan peredaran darah otak secara mendadak yang
menyebabkan penurunan fungsi neurologis, dan dapat menyerang siapa saja.
II. Etiologi Stroke
Smeltzer dan Bare (2012), penyebab stroke biasanya disebabkan oleh salah satu
kejadian dibawah ini:
1) Trombosis Serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan
oedema dan kongesti disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang
tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena
penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan trombosis otak :
a) Aterosklerosis
b) Hiperkoagulasi pada polisitemia
c) Arteritis (radang pada arteri)
d) Emboli
2) Hemoragi
Perdarahan intrakranial atau intreserebral termasuk perdarahan dalam
ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini
dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya
pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim
otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan
jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema, dan mungkin herniasi
otak.
3) Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah :
a) Hipertensi yang parah
b) Henti jantung-paru
c) Curah jantung turun akibat aritmia
4) Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah :
a) Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid
b) Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren
III. Faktor Resiko Stroke
Menurut Tarwoto (2013), ada beberapa faktor resiko terjadinya stroke, yaitu :
1) Tekanan darah tinggi atau hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko yang sering terjadi stroke. Sekitar 50-
70% kasus stroke disebabkan karena hipertensi. Penurunan diastole 5-6
mmHg dan sistole 10-12 mmHg selama 2 sampai 3 tahun akan
menurunkan resiko stroke antara 4,5-7%. Pasien dengan hipertensi yang
lama akan berpengaruh terhadap kerusakan arteri, penebalan,
arterosklerosis atau arteri dapat pecah atau ruftur.
2) Penyakit jantung
Penyakit jantung merupakan faktor penyebab yang paling kuat terjadinya
stroke iskemik. Jenis penyakit jantung yang menjadi faktor resiko stroke
diantaranya penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, gagal
jantung, gangguan irama jantung seperti pada fibrilasi atrium yang dapat
menyebabkan penurunan kardiak output, sehingga terjadi gangguan
perfusi serebral.
3) Diabetes Mellitus
Pada penyakit DM terjadi gangguan atau kerusakan vaskuler baik pada
pembuluh darah besar maupun pembuluh darah kecil karena
hiperglikemia sehingga aliran darah menjadi lambat, termasuk juga
hambatan dalam aliran darah ke otak.
4) Hiperkolesterol dan lemak
Menurut Brunner dan Suddart (2013), penelitian menunjukkan bahwa
makanan kaya lemak jenuh dan kolesterol seperti daging, telur, dan
produk susu dapat meningkatkan kadar kolesterol. Kolesterol dalam tubuh
menyebabkan aterosklerosis pada pembuluh darah otak dan terbentuknya
lemak sehingga aliran darah lambat. Disamping itu hiperkolesterol dapat
menimbulkan penyakit jantung koroner. Penelitian menunjukan angka
stroke meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol diatas 240 mg %.
5) Obesitas dan kurang aktivitas
Kelebihan berat badan atau obesitas dapat meningkatkan kadar kolesterol
total, dan meningkatkan tekanan darah. Kurang aktivitas juga dapat
meningkatkan berat badan yang menyebabkan peningkatan tekanan darah
dan kadar kolesterol, dan menjadi resiko terjadinya diabetes, yang
semuanya merupakan faktor resiko stroke.
6) Usia dan jenis kelamin
Brunner dan Suddarrt (2013), menyatakan pria lebih beresiko terkena
stroke daripada wanita, tetapi penelitian menyimpulkan justru lebih
banyak wanita yang meninggal karena stroke. Usia juga memungkinkan
seseorang terkena stroke. Makin bertambah usia resiko stroke makin
tinggi, hal ini berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.
7) Ras dan keturunan
Tarwoto (2013), menyatakan stroke lebih sering ditemukan pada orang
yang berkulit putih serta adanya riwayat keluarga yang terkena stroke
juga memungkinkan seseorang beresiko terkena stroke. Faktor genetik
yang sangat berperan antara lain penyakit hipertensi, penyakit jantung,
diabetes, dan cacat pada bentuk pembuluh darah. Gaya hidup dan pola
suatu keluarga juga mendukung resiko stroke.
8) Perokok
Merokok diyakini menjadi resiko stroke, karena dapat melukai pembuluh
darah dan mempercepat pengerasan arteri. Karbonmonoksida dalam asap
rokok mengurangi jumlah oksigen dalam darah. Asap rokok dapat
meningkatkan resiko stroke dibandingkan orang yang tidak merokok.
9) Alkohol
Minum terlalu banyak alkoho dapat meningkatkan tekanan darah, yang
meningkatkan resiko stroke. Hal ini juga meningkatkan kadar trigkiserida,
suatu bentuk kolesterol, yang bisa mengeras pada arteri.
10) Kontrasepsi oral dan terapi estrogen
Estrogen diyakini menyebabkan peningkatan pembekuan darah sehingga
beresiko terjadinya stroke.
11) Riwayat transient ischemic attack (TIA)
TIA atau disebut dengan juga ministoke, merupakan gangguan aliran
darah otak sesaat yang bersifat reversible. Pasien TIA merupakan tanda-
tanda awal terjadinya stroke dan dapat berkembang menjadi stroke
komplit sekitar 10-15%.
12) Penyempitan pembuluh darah karotis
Pembuluh darah karotis berasal dari pembuluh darah jantung yang
menuju ke otak dan dapat diraba pada leher. Penyempitan pembuluh
darah kadang tidak ada gejala dan hanya diketahui dengan pemeriksaan.
Penyempitan >50% ditemukan pada 7% pasien laki-laki dan 5% pada
pasien perempuan pada umur diatas 65 tahun. Pemberian obat-obat
aspirin dapat mengurangi insiden terjadinya stroke, namun pada beberapa
pasien dianjurkan dikerjakan carotid endarterect
IV. PATOFISIOLOGI
B. URAIAN
Ada beberapa faktor resiko terjadinya stroke antara lain hipertensi,
penyakit jantung, diabetes mellitus, kolesterol dan lemak, usia, keturunan,
merokok, gaya hidup (Tarwoto, 2013). Aterosklerosis cerebral dan
perlambatan aliran serebral menyebabkan trombus dan emboli sehingga
terjadi embolisme cerebral dan menyumbat arteri maka timbul masalah
keperawatan penurunan perfusi jaringan cerebral, karena terjadi penurunan
perfusi jaringan cerebral maka akan mengganggu aliran darah ke otak
sehingga terjadi iskemik cerebral dan terjadi penurunan O2 sehingga terjadi
gangguan perfusi jaringan .
Aneurisma, malformasi mengakibatkan perdarahan intraserebral
yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari
keseluruhan penyakit Cerebral Vasculer Accident (CVA), karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan hemiasi otak,
mengakibatkan terjadinya defisit neurologi menyebabkan kerusakan pada
saraf pada otak, yang ditandai dengan kerusakan saraf nervus XI
(Assesoris) seperti penurunan motorik anggota gerak muskuloskeletal,
kelemahan pada salah satu anggota gerak yang mengakibatkan gangguan
mobilitas fisik dan bisa menyebabkan gangguan eliminasi alvi. Dan dari
kerusakan saraf nervus VII (Fasialis), nervus IX (Glossofaringeus), nervus
XII (Hipoglosus) mengakibatkan kelemahan kontrol otot fasialis/oral
menjadi lemah yang mengakibatkan kehilangan fungsi tonus otot fasialis
yang memungkinkan kehilangan kemampuan bicara (Disatria),
mengakibatkan gangguan komunikasi verbal.
Kerusakan neurologis nervus I (Olfaktorius), nervus II (Optikus),
nervus IV (Troklearis), nervus XII (Hipoglosus) menjadi perubahan
ketajaman sensori penciuman, penglihatan, pengecap mengakibatkan
ketidakmampuan mencium, melihat dan mengecap mengakibatkan
gangguan perubahan persepsi sensori. Dan dari penurunan fungsi nervus X
(Vagus) dan nervus IX (Glossofaringeus) menjadi proses menelan tidak
efektif menimbulkan refluk mengakibatkan resiko kerusakan menelan,
refluk juga bisa menimbulkan tidak bisa menelan (disfagia) dan
menimbulkan anoreksia menjadikan masalah keperawatan gangguan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Disfungsinya nervus II (Optikus) menjadi menurunnya aliran darah ke
retina yang mengakibatkan kemampuan retina untuk menangkap
objek/bayangan menurun menjadi resiko penurunan kerusakan menelan
dan gangguan perubahan sensori. Sedangkan arteri serebri medis
mengakibatkan disfungsi nervus XI (Assesoris) menjadikan penurunan
fungsi motorik, anggota gerak muskuloskeletal mengakibatkan kegagalan
menggerakkan anggota tubuh menimbulkan masalah keperawatan
kurangnya pemenuhan perawatan diri.
V. Manisfestasi Klinis Stroke
Manisfestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena,
rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral (Tarwoto, 2013).
Pada stroke akut gejala klinis meliputi :
1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) atau
hemiplegia (paralis) yang timbul secara mendadak.
Kelumpuhan terjadi akibat adanya kerusakan pada area motorik di korteks
bagian frontal, kerusakan ini bersifat kontralateral artinya jika terjadi
kerusakan pada hemisfer kanan maka kelumpuhan otot pada sebelah kiri.
Pasien juga akan kehilangan kontrol otot vulenter dan sensorik sehingga
pasien tidak dapat melakukan ekstensi maupun fleksi.
2) Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
Gangguan sensibilitas terjadi karena kerusakan system saraf otonom dan
gangguan saraf sensorik.
3) Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma), terjadi
akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak atau
terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia.
4) Afasia (kesulitan dalam bicara)
Afasia adalah defisit kemampuan komunikasi bicara, termasuk dalam
membaca, menulis memahami bahasa. Afaia terjadi jika terdapat kerusakan
pada area pusat bicara primer yang berada pada hemisfer kiri dan biasanya
terjadi pada stroke dengan gangguan pada arteri middle serebral kiri.
Afasia dibagi menjadi 3 yaitu :
a) Afasia motorik atau ekspresif, terjadi jika area pada area broca, yang
terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dan
kesulitan dalam mengungkapkan bicara.
b) Afasia sensorik, terjadi karena kerusakan pada area wernicke, yang
terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensorik pasien tidak mampu
menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu
mengungkapkan pembicaraan. Sehingga respon pembicaraan pasien
tidak nyambung atau koheren.
c) Afasia global, pasien dapat merespon pembicaraan baik menerima
maupun mengungkapkan pembicaraan.
5) Disartria (bicara cadel atau pelo)
Merupakan kesulitan bicara terutama dalam artikulasi sehingga ucapannya
menjadi tidak jelas. Namun demikian pasien dapat memahami
pembicaraan, menulis, mendengarkan maupun membaca. Disartria terjadi
karena kerusakan nervus kranial sehingga terjadi kelemahan otot bibir,
lidah dan laring. Pasien juga terdapat kesulitan mengunyah dan menelan.
6) Gangguan penglihatan, diplopia
Pasien dapat kehilangan penglihatan atau juga pandangan menjadi ganda,
gangguan lapang pandang pada salah satu sisi. Hal ini terjadi karena
kerusakan pada lobus temporal atau parietal yang dapat menghambat serat
saraf optic pada korteks oksipital. Gangguan penglihatan juga dapat
disebabkan karena kerusakan pada saraf kranial III, IV dan VI.
7) Disfagia
Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus kranial IX.
Selama menelan lobus didorong oleh lidah dan glottis menutup kemudian
makanan masuk ke esofagus.
8) Inkontinensia
Inkontinensia baik bowel maupun bladder sering terjadi. Hal ini terjadi
karena terganggunya saraf yang mensarafi bladder dan bowel.
9) Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala, terjadi karena peningkatan
tekanan intrakranial, edema serebri.
VI. Komplikasi Stroke
1) Fase Akut
a) Hipoksia serebral dan menurunnya aliran darah otak
Pada area otak yang infark atau terjadi kerusakan karena perdarahan maka
terjadi gangguan perfusi jaringan akibat terhambatnya aliran darah otak.
Tidak adekuatnya aliran darah dan oksigen mengakibatkan hipoksia
jaringan otak. Fungsi dari otak akan sangat tergantung pada derajat
kerusakan dan lokasinya. Aliran darah ke otak sangat tergantung pada
tekanan darah, fungsi jantung atau kardiak output, keutuhan pembuluh
darah. Sehingga pada pasien dengan stroke keadekuatan aliran darah
sangat dibutuhkan untuk menjamin perfusi jaringan yang baik untuk
menghindari terjadinya hipoksia serebral.
b) Edema serebri
Merupakan respon fisiologis terhadap adanya trauma jaringan. Edema
terjadi jika pada area yang mengalami hipoksia atau iskemik maka tubuh
akan meningkatkan aliran darah pada lokasi tersebut degan cara
vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan tekanan sehingga cairan
interstesial akan berpindah ke ekstraseluler sehingga terjadi edema
jaringan otak.
c) Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Bertambahnya massa pada otak seperti adanya perdarahan atau edema
otak akan meningkatkan tekanan intracranial yang ditandai adanya defisit
neurologi seperti adanya gangguan motorik, sesorik, nyeri kepala,
gangguan kesadaran. Peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi dapat
mengakibatkan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan.
d) Aspirasi
Pasien stroke dengan gangguan kesadaran atau koma sangat rentang
terhadap adanya aspirasi karena tidak adanya reflex batuk dan menelan.
2) Komplikasi pada masa pemulihan atau lanjut
a) Komplikasi yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan biasanya
terjadi akibat immobilisasi seperti pneumonia, dekubitus, kontraktur,
thrombosis vena dalam, atropi, inkontinensia urin dan bowel.
b) Kejang, terjadi akibat kerusakan atau gangguan pada aktivitas listrik otak.
c) Nyeri kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala tension, nyeri kepala
cluster.
d) Malnutrisi, karena intake yang adekuat.
VII. Pemeriksaan Penunjang Stroke
Menurut Tarwoto (2013), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pederita stroke yaitu pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium.
1) Radiologi
a) Computerized Tomografi Scaning (CT Scan) : Mengetahui area infark,
edema, hematoma, struktur dan sistem ventrikel otak.
b) Elektro Encephalografi (EEG) : Mengidentifikasi masalah didasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Menunjukkan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena.
d) Angio Serebral : Membantu menetukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau
ruptur.
e) Sinar X tengkorak : Mengetahui adanya klasifikasi karotis interna pada
trombosis cerebral.
f) Pungsi Lumbal : Menunjukkan adanya tekanan normal, jika tekanan
meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik
subarachnoid atau perdarahan intrkranial. Kontraindikasi pada
peningkatan tekanan intrkranial.
g) Elektro Kardigram : Mengetahui adanya kelainan jantung yang juga
menjadi faktor penyebab.
2) Laboratorium
a) Lumbal fungsi : pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokhrom) sewwaktu hari-hari pertama.
b) Pemeriksaan darah rutin : glukosa, elektrolit, ureum kreatinin.
c) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg didalam serum dan
kemudian berangsur-angsur turun kembali.
d) Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
VIII. Penatalaksanaan Stroke
1. Penatalaksanaan
a) Pada fase akut
(1) Terapi cairan, pada fase akut stroke beresiko terjadinya dehidrasi
karena penurunan kesadaran atau mengalami disfagia. Terapi cairan
ini penting untuk mempertahankan sikulasi darah dan tekanan darah.
The American Heart Association sudah menganjurkan normal saline
50 ml/jam selama jam-jam pertama dari stroke iskemik akut. Segera
setelah hemodinamik stabil, terapi cairan rumatan bisa siberikan
sebagai KAEN 3B/KAEN 3A. Kedua larutan ini lebih baik pada
dehidrasi hipertonik serta memenuhi kebutuhan homeostasis kalium
dan natrium. Setelah fase akut stroke, larutan bisa diberikan untuk
memelihara homeostasis elektrolit, khususnya kalium dan natrium.
(2) Terapi oksigen, pasien stroke iskemik dan hemoragik mengalami
gangguan aliran darah ke otak. Sehingga kebutuhan oksigen sangat
penting untuk mengurangi hipoksia dan juga untuk mempertahankan
metabolisme otak. Pertahankan jalan nafas, pemberian oksigen,
penggunaan ventilator merupakan tindakan yang dapat dilakukan
sesuai hasil pemeriksaan analisa gas darah atau oksimetri.
(3) Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan
intrakranial biasanya disebabkan karena edema serebri, oleh karena itu
pengurangan edema penting dilakukan misalnya dengan pemberian
manitol, kontrol atau pengendalian tekanan darah.
(4) Monitor fungsi pernapasan : Analisa Gas Darah.
(5) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG.
(6) Evaluasi status cairan dan elektrolit.
(7) Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan, dan cegah
resiko injuri.
(8) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
(9) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung dan
pemberian makanan.
Monitor tanda-tanda neurologi spserti tingkat kesadaran, keadaan
pupil, fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial dan refleks.
b) Fase rehabiltasi
(1) Pertahankan nutrisi yang adekuat
(2) Program managemen bladder dan bowel
(3) Pertahankan integritas kulit
(4) Pertahankan komunikasi yang efektif
(5) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
(6) Persiapan pasien pulang
(7) Mempertahankan keseimbangan tubuh dengan rentang gerak sendi
(ROM)
2. Pembedahan
Dilakukan jika serebrum diameter lebih dari 3 cm atau volume lebih dari
50 ml untuk dekompresi atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal
bila ada hidosefalus obstruktif akut.
3. Terapi obat-obatan
Terapi pengobatan tergantung dari jenis stroke.
a) Stroke iskemik
(1) Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-
plasminogen)
(2) Pemberian obat-obatan jantung seperti digoksin pada aritmia jantung
atau alfa beta, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan
hipertensi.
b) Stroke haemoragik
(1) Antihipertensi : Katropil, antagonis kalisium
(2) Diuretik : Manitol 20%, furosemide
(3) Antikonvulsan : Fenitoin

IX. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisa dan interpretasi data
yang diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosa keperawatan
memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata
(aktual) dan kemungkinan akan terjadi (potensial) dimana pemecahannya
dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat.
Menurut Brunner & suddart (2013), diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul pada pada stroke, adalah :
1) Perubahan perfusi jaringan cerebral b/d perdarahan intrakranial, gangguan
aliran darah, penurunan suplai O2 ke jaringan serebri (Muttaqin, 2008).
DS: Pasien mengatakan nyeri kepala
DO: Perubahan status mental, perubahan respons motorik, perubahan
reaksi pupil, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas,
paralisis, ketidaknormalan dalam berbicara, dan hasil CT Scan MRI adanya
edema serebri, perdarahan, herniasi.
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d penurunan reflek batuk
DS: Pasien mengatakan sesak atau sulit bernafas (dispnea).
DO: Suara napas tambahan (misalnya: rale, crakle, ronki dan mengi),
perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan, batuk tidak ada atau tidak
efektif, kesulitan untuk berbicara, penurunan suara napas, dan gelisah.
3) Gangguan mobilitas fisik b/d hemiplegia/hemiparese
DS: Pasien mengatakan lemas, tidak mampu menggerakkan tangan dan
kaki sebelah.
DO: Pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan ADL, kebutuhan ADL
dibantu, adanya hemiplegia/hemiparese, pergerakan dan ambulasi dibantu,
tonus otot kurang, kekuatan otot kurang.
4) Gangguan komunikasi verbal b/d penurunan sirkulasi serebral
DS: -
DO: Tidak ada kontak mata, kesulitan mengungkapkan pikiran secara
verbal (misalnya afasia, disfasia, appraksia, dan disleksia), kesulitan dalam
megolah kata-kata atau kalimat (misalnya: afonia, dislalia, dan disatria),
tidak atau tidak dapat berbicara, dispnea, ketidakmampuan dalam
mengungkapkan atau kesulitan dalam menggunakan ekspresi tubuh atau
wajah, dan bicara pelo.
5) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot mengunyah
dan menelan
DS: Pasien mengatakan tidak mampu makan sendiri karena kelumpuhan
atau kelemahan ekstremitas atau gangguan mental seperti bingung dan
disorientasi.
DO: kelemahan pada salah satu sisi mulut dengan meneteskan saliva terus
menerus, selalu batuk bila makan peroral, sulit menelan
6) Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular
DS: Pasien mengatakan belum mandi selama di rumah sakit
DO: Pasien terlihat kotor, kumal berbau tidak enak dan pakaian tidak
diganti.
7) Gangguan konsep diri b/d perubahan persepsi
DS: Pasien mengatakan malu dan sedih dengan kondisinya, tidak berguna,
dan depresi; mungkin menolak dalam aktivitas rehabilitasi; mungkin sering
menangis.
DO: Klien tampak malu, terlihat melamun, raut wajah tampak muram,
terlihat terdiam.
2.5.4 Intervensi Keperawatan
Menurut Mahyar et al. (2011), intervensi keperawatan adalah panduan untuk
perilaku spesifik yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan
perawat. Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas.
Pengelompokan seperti bagaimana, kapan, dimana, frekuensi, dan besarnya,
menunjukkan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: mandiri (dilakukan oleh perawat) dan kolaboratif
(yang dilakukan bersama dengan pemberi perawatan lainnya). Perencanaan
keperawatan melibatkan pasien dan keluarga untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Intervensi dibuat untuk pasien secara individual.
Intervensi keperawatan pasien stroke yaitu:
1) Perubahan perfusi jaringan cerebral b/d perdarahan intrakranial, gangguan
aliran darah, penurunan suplai O2 ke jaringan serebri
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam perfusi jaringan
dapat tercapai secara optimal dengan kriteria hasil:
a) Px tidak gelisah.
b) Tidak ada nyeri kepala, mual, dan kejang.
c) GCS 4-5-6.
d) Pupil isokor.
e) Reflek cahaya (+).
f) TTV normal.
Tabel 2.7 Intervensi keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral (Brunner & Suddart,
2013)
Intervensi Rasional
a) Berikan penjelasan kepada a) Keluarga lebih berpartisipasi
keluarga tentang sebab dalam proses penyembuhan
peningkatan TIK
b) Baringkan klien (bed rest total)
b) Perubahan intrakranial akan dapat
dengan posisi terlentang
menyebabkan resiko untuk
terjadinya herniasi otak
c) Monitor tanda-tanda neurologis c) Dapat mengurangi kerusakan otak
dengan GCS berlanjut
d) Monitor TTV d) Mengetahui setiap perubahan
pada px
e) Berikan posisi lebih tinggi 15-300 e) Mengurangi tekanan arteri
dengan letak jantung
f) Anjurkan px untuk menghindari f) Dapat meningkatkan tekanan
batuk dan mengejan berlebihan intrakranial
g) Ciptakan lingkungan yang tenang g) Rangsang aktivitas yang
dan batasi pengunjung meningkat dapat meningkatkan
kenaikan TIK
h) Kolaborasi dengan tim medis h) Memperbaiki sel yang masih
dalam pemberian obat variabel
neuroprotector

2) Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d penurunan reflek batuk.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam px mampu
meningkatkan keefektifan jalan nafas dengan kriteria hasil:
a) Bunyi nafas bersih.
b) Ronchi tidak terdengar.
c) Klien dapat melaksanakan batuk efektif.
d) RR 16-24 x/mnt.

Tabel 2.8 Intervensi bersihan jalan nafas tidak efektif (Brunner & Suddart, 2013)
Intervensi Rasional
a) Kaji keadaan jalan nafas a) obstruksi mungkin dapat
disebabkan oleh akumulasi sekret,
sisa cairan mukus, perdarahan,
bronkospasme, dan/atau posisi
trakeostomi/selang endotrakeal
b) Evaluasi pergerakan dada dan yang berubah
auskultasi suara napas pada kedua b) pergerakan dada yang simetris
paru (bilateral). dengan suara napas yang keluar
dari paru-paru menendakan jalan
napas tidak tergannggu
c) membebaskan jalan napas dan
c) Lakukan suction jika diperlukan membuat hiperventilasi
d) mengatur pengeluaran sekret dan
d) Atur/ubah posisi secara teratur ventilasi segmen paru-paru,
(tiap 2 jam). mengurangi resiko ateletaksis
e) membantu mengencerkan secret,
mempermudah pengeluaran
e) Berikan minum hangat jika
sekret
keadaan memungkinkan.
f) pengetahuan yang diharapkan
akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana
f) Jelaskan klien tentang kegunaan terapeutik
batuk yang efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret di
saluran pernapasan

3) Gangguan mobilitas fisik b/d hemiplegia/hemiparese.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam klien mampu
melaksanakan aktivitas fisik sesuai kemampuannya dengan kriteria hasil:
a) Tidak terjadi kotraksi sendi.
b) Bertambahnya kekuatan otot.
c) Px menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas fisik.
d) Mempertahankan kekuatan/fungsi tubuh secara optimal.
e) Mempertahankan integritas kulit.

Tabel 2.10 Intervensi gangguan mobilitas fisik (Brunner & Suddart, 2013)
Intervensi Rasional
a) Kaji kemampuan motorik. a) Mengidentifikasi kekuatan otot,
kelemahan motorik
b) Latihan ROM meningkatkan
b) Ajarkan px untuk melakukan ROM. massa tonus otot, perbaikan
fungsi jantung, dan pernafasan
c) Menurunkan resiko terjadinya
c) Ubah posisi tiap 2 jam.
iskemi jaringan akibat sirkulasi
darah dengan ada pada daerah
yang tertekan.
d) Daerah yang tertekan mudah
sekali
terjadi trauma
e) Gerakan aktif memperbaiki/
memberikan massa, tonus, dan
d) Observasi daerah yang tertekan, kekuatan otot serta memperbaiki
termasuk warna, edema, atau tanda fungsi jantung dan pernafasan.
lain gangguan sirkulasi.
e) Ajarkan px untuk mengikuti latihan
gerak aktif pada ekstremitas yang f) Mencegah TIK.
tidak sakit

f) Tinggikan kepala dan tangan

4) Gangguan komunikasi verbal b/d penurunan sirkulasi serebral.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam proses komunikasi px dapat
berfungsi optimal dengan kriteria hasil sebagai berikut:
a) Terciptanya komunikasi dimana kebutuhan px dapat tercapai.
b) Px mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal/isyarat.
Tabel 2.10 Intervensi gangguan komunikasi verbal Brunner & Suddart, 2013)
Intervensi Rasional

a) Kaji kemampuan komunikasi adanya a) Mengidentifikasi masalah


gangguan bahasa dan bicara. komunikasi karena gangguan bicara
atau gangguan bahasa.
b) Ciptakan lingkungan penerimaan dan b) Pertahakan kontak mata dengan
privasi pasien saat berkomunikasi.
˗ Jangan terburu-buru
˗ Bicara dengan perlahan dan
intonasi normal
˗ Kurangi bising lingkungan
- Jangan paksa px untuk
berkomunikasi
c) Gunakan kata-kata sederhana secara
bertahap dengan bahasa tubuh. c) Memudahkan penerimaan px
d) Berikan respon terhadap perilaku non
verbal.
d) Menunjukkan adanya respon dan
rasa empati terhadap gangguan
bicara px.

e) Ajarkan teknik untuk memperbaiki e) Dengan membaiknya bicara, percaya


bicara diri akan meningkat dan
˗ Instruksikan px untuk bicara lambat meningkatkan motivasi untuk
dan dalam kalimat pendek memperbaiki bicara.
˗ Pada awal pertanyaan gunakan
pertanyaan dengan jawaban “ya”
atau “ tidak”
˗ Dorong px untuk berbagi perasaan
dan keprihatinannya.

5) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot mengunyah dan


menelan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam kebutuhan nutrisi px
dapat terpenuhi dengan kriteria hasil:
a) BB dapat dipertahankan.
b) Hb dan albumin dalam batas normal.
Tabel 2.11 Intevensi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (Brunner & Suddart, 2013)
Intervensi Rasional

a) Tentukan kemampuan px dalam a) Menetapkan jenis makanan yang


mengunyah dan menelan. akan diberikan.
b) Lakukan posisi kepala lebih tinggi pada b) Agar px mudah menelan
waktu selama dan sesudah makan.
c) Berikan makanan sedikit tapi sering
dan dalam keadaan hangat. c) Meningkatkan nafsu makan
d) Kolaborasi degan tim medis dalam
pemberian cairan dan NGT. d) Memenuhi kebutuhan nutrisi px.

6) Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam terjadi peningkatan
perilaku dalam perawatan diri dengan kriteria hasil:
a) Klien menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri.
b) Klien mampu melakukan aktivitas merawat diri sesuai dengan kemampuan.

Tabel 2.12 Intervensi defisit perawatan diri (Brunner & Suddart, 2013)
Intervensi Rasional

a) Jelaskan tentang pentingnya perawatan a) Memotivasi px untuk melakukan


diri. perawatan diri.
b) Memandikan px 2x sehari. b) Membersihkann kotoran yang dapat
menyebabkan infeksi.
c) Membersihkan mulut dan
c) Lakukan perawatan oral hygiene. memberikan rasa nyaman
d) Agar keluarga berpartisipasi dalam
merawat px.
d) Jelaskan dan libatkan keluarga dalam
tindakan keperawatan.

7) Gangguan konsep diri b/d perubahan persepsi.


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam px dapat
menunjukkan citra tubuh positif dengan kriteria hasil:
a) Citra tubuh positif.
b) Mampu mengidentifikasi kekuatan personal.
c) Mempertahankan interaksi sosial.
Tabel 2.13 Intervensi gangguan konsep diri (Brunner & Suddart, 2013)
Intervensi Rasional

a) Monitor frekuensi mengkritik dirinya a) Menunjukkan tanda terjadinya


b) Jelaskan tentang pengobatan, gangguan citra tubuh negatif.
perawatan, kemajuan dan prognosis b) Membantu meningkatkan citra
penyakit. tubuh.

c) Dorong klien mengungkapkan c) Membantu dalam menyelesaikan


perasaannya. masalah yang klien rasakan.
d) Identifikasi arti pengurangan melalui d) Membangun citra tubuh yang positif.
pemakaian alat bantu
DAFTAR PUSTAKA

Alimul,A. (2008). Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.

Arif Muttaqin, (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner & Suddart, (2013). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi
12. Jakarta: EGC.

Hariyanto, A dan Sulistyowati, R. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


dengan Diagnosis Nanda Internasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

Pinzon, Rizaldy dan Laksimi Asanti, (2012). Awas Stroke! Pengertian, Gejala,
Tindakan, Perawatan dan Pencegahan. Jogjakarta: CV Andi Offiset.

Tarwoto, (2013). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:


CV Sagung Seto.

Tarwoto, Ratna Aryani, dan Wartonah, (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk
Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai