1)
Wulan Agustina Setyowati, 2) Arum Pratiwi
1)
Mahasiswa Program Studi Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Mendungan, Pabelan, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57162
*Email: wulanagustina22@gmail.com
2)
Dosen Program Studi Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Mendungan, Pabelan, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57162
*Email: arum.pratiwi@ums.ac.id
ABSTRAK
Kata kunci : guided imagery, pasien gangguan jiwa, perilaku kekerasan, tingkat kegawatdaruratan.
ABSTRACT
Introduction: Mental disorders are a form of behavioral deviation that results in pathological signs and
symptoms. This results in the emergence of maladaptive responses that have an effect on the condition of
emergencies. Existing phenomena show that in handling mental disorders, nurses only apply therapeutic
communication followed by medical therapy, if patients still behave maladaptively performed restrain.
Patients in critical emergency conditions are required to provide appropriate therapy. One therapy that
can be given to patients is guided imagery relaxation. Objective: This study aims to determine the
emergency level of mental patients before and after being given guided imagery relaxation. Research
Methodology: The design of this study was one group pretest-posttest design. The study sample was 38
respondents. The samples obtained were categorized as emergency level and then measured their violent
behavior after being given guided imagery relaxation then categorized again the emergency level and
measured again the violent behavior, after that the results were analyzed by the Wilcoxon test. Results:
Based on the results of the Wilcoxon test of the emergency level of the patient, it was obtained sig 0.001,
and the results of the Wilcoxon test of the patient's violent behavior were found to be sig 0.001, then
smaller than 0.05 so that there were significant differences between the two
560
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
samples. Conclusion: There was a decrease in emergency rates in mental patients before and after
being given guided imagery relaxation therapy.
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa merupakan tanda dan tercatat 2.815 jiwa atau 69,31%.
gejala dari bentuk penyimpangan perilaku Permasalahan kasus yang sering terjadi pada
sebagai efek dari adanya distorsi emosi pasien gangguan jiwa anatara lain adalah
sehingga muncul penyimpangan dalam skizofrenia tak terinci sebanyak
berperilaku, seseorang dapat dikatakan 1.246 kasus, skizofrenia paranoid 635
gangguan jiwa apabila terdapat gangguan kasus, DMO 170 kasus, skizofrenia lainnya
mental yang meliputi gangguan emosi, 143 kasus dan yang terakhir skizofrenia
perilaku, pola pikir, perasaan, keinginan, afektif tipe manik 120 kasus.
motivasi, daya tarik diri, kemauan, dan Pada saat manusia tidak mampu
persepsi sehingga dapat menganggu dirinya beradaptasi dengan kondisi lingkungan
dalam menjalani kehidupan dimasyarakat yang ada sehingga memicu terjadinya
(Nasir, 2011). peningkatan kecemasan dan meningkatnya
Angka kejadian gangguan jiwa menurut ketegangan yang mengakibatkan
Dinas Kesehatan RI (2016) didapatkan data munculnya respon maladaptif hal ini dapat
35 juta orang mengalami depresi, 60 juta menyebabkan kondisi kegawatdaruratan.
orang mengalami bipolar, 21 juta orang Kegawatdaruratan jiwa merupakan suatu
mengalami skizofrenia dan 47,5 juta orang kondisi yang berpotensi menimbulkan efek
mengalami dimensia. Faktor biologis, serius yang dapat mengancam diri sendiri,
psikologis serta faktor sosial dengan orang lain serta lingkungan sekitar dapat
berbagai keanekaragaman penduduk, bersifat akut dan terjadi secara mendadak.
sehingga jumlah kasus gangguan jiwa kegawatdaruratan jiwa dapat mengenai diri
mengalami peningkatan, hal ini seseorang yang mencakup intrapsikis,
mengakibatkan beban negara meningkat interpersonal, biologis atau bahkan
dan produktivitas manusia menurun, pada gabungan dari beberapa faktor tersebut.
tahun 2013 angka kejadian gangguan mental Kegawatdaruratan memiliki tanda dan
emosional yang ditandai dengan cemas dan gejala khusus seperti terjadinya gangguan
depresi mencapai 14 juta orang atau setara perilaku, kognisi, afek, alam perasaan,
dengan 6% dari jumlah penduduk Indonesia persepsi, respon fisiologis, hubungan atau
yang menyerang pada usia >15 tahun, angka pola pikir, maka dari itu dalam kondisi
kejadian gangguan jiwa berat seperti kegawatdaruratan perlu diberikan
skizofrenia mencapai penanganan segera karena berpotensi
400.000 orang atau setara dengan 1,7 per menimbulkan berbagai masalah medis lain
1.000 penduduk Indonesia. Jumlah seperti menyakiti diri sendiri, bunuh diri,
kunjungan gangguan jiwa di Jawa Tengah dan munculnya kekerasan terhadap orang
pada tahun 2016 sebanyak 413.612 (Dinas lain.
Kesehatan Jateng, 2016). Menurut data Penanganan kegawatdaruratan jiwa
Rekam Medis RSJ Surakarta (2018) angka memerlukan ketepatan dalam pengkajian,
kejadian gangguan jiwa di Rumah Sakit kepastian keamanan, perhatian yang segera
Jiwa Surakarta pada tahun 2012 mencapai harus diberikan kepada klien serta perlu
5.906 jiwa atau 83,59%, tahun 2013 tercatat dilakukan pengkajian resiko tindakan
3.190 jiwa atau 76,53%, tahun 2014 tercatat kekerasan, hilang kendali, agresi, melukai
3.139 jiwa atau 77,39%, tahun 2015 tercatat diri, bunuh diri atau pembunuhan.
2.817 jiwa atau 70,63%, tahun 2016 tercatat Klasifikasi kegawatdaruratan klien
2.993 jiwa atau 75,41% sedangkan pada gangguan jiwa menjadi enam kelompok
tahun 2017 yaitu kegawatdaruratan jiwa yang bersifat
561
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
darurat, kegawatdaruratan jiwa yang ketika berada diruang akut. Salah satu terapi
bersifat gawat, masalah gangguan jiwa yang yang dapat diberikan kepada pasien adalah
berpotensi berat atau kondisi krisis, kondisi terapi relaksasi guided imagery, karena
krisis yang tidak menunjukkan bahaya terapi ini dapat menurunkan depresi dan
langsung, keadaan yang tidak menunjukkan kecemasan pasien, dapat menghilangkan
adanya bahaya langsung, masalah gangguan fobia, mengurangi trauma serta dapat
jiwa yang terjadi sebagai akibat penyakit mengurangi penyakit fisik lainnya. Terapi
fisik (O’Brien dkk, 2013). guided imagery ini merupakan suatu terapi
Berdasarkan studi pendahuluan yang dengan tehnik terapeutik yang digunakan
dilakukan peneliti terdapat jumlah penderita untuk relaksasi dengan melibatkan sensori
gangguan jiwa di ruang akut selama 3 bulan persepsi. Pelaksanaan terapi ini terapis
terakhir yaitu pada bulan Februari 56 jiwa, membimbing pasien untuk dapat merasakan
Maret 71 jiwa dan bulan April 55 jiwa, atau memvisualkan tujuan relaksasi dan
sedangkan fenomena yang ada penyembuhan (Susana dan Hendarsih,
menunjukkan bahwa dalam penanganan 2012), tetapi dalam pelaksanaan terapi ini,
gangguan jiwa, yang mana perawat hanya di RS tidak dilakukan jadwal khusus dalam
menerapkan komunikasi terapeutik pelaksanaan terapi guided imagery secara
dilanjutkan dengan terapi medis dan apabila rutin untuk pasien.
pasien masih berperilaku maladaptif Tujuan penelitian ini adalah untuk
dilakukan tindakan restrain. Padahal mengetahui tingkat kegawatdaruratan
tindakan ini dapat menyebabkan pasien pasien gangguan jiwa sebelum dan sesudah
merasa terkengkang dan beresiko diberikan terapi relaksasi guided imagery
mengalami cidera fisiologis maupun dengan menggunakan kuisioner triage code
psikologis. dan broset violence cheklist.
Pada saat pasien dalam kondisi kritis
emergency sangat memerlukan terapi
yang berada dalam triage merah
METODE (immediate) di ruang akut RSJD Surakarta.
Jumlah populasi dalam penelitian ini rata-
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
rata setiap bulannya mencapai 61 pasien.
dengan desain penelitian one group pretest
Sampel penelitian ini berjumlah 38 sampel
posttest design. Pada penelitian ini
dengan teknik purposive sampling.
partisipan diukur tingkat kegawatdaruratan
Instrumen penelitian ini menggunakan
dan perilaku kekerasannya pada awal
kuisioner tingkat kegawatadaruratan dan
sebelum intervensi (pre-test). Kemudian
penilaian broset violent cheklist yang
diberikan intervensi 4x pagi dan sore hari,
dimodifikasi oleh peneliti. Analisa data
kemudian setiap akhir pertemuan dilakukan
dalam penelitian ini adalah dengan uji
pengukuran kembali tingkat
Wilcoxon yang sebelumnya dilakukan uji
kegawatdaruratan dan perilaku
normalitas dan uji homogenitas.
kekerasannya (post-test). Populasi dalam
penelitian ini adalah pasien gangguan jiwa
562
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Berdasarkan data dari tabel 1 dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi tingkat
kegawatdaruratan pasien dengam triage code pada pre-test didapatkan nilai mean 9,5, nilai
median 9,5, std deviasi 0,51, nilai minimum 9 dan maximum 10. Setelah pasien di berikan
terapi relaksasi guided imagery selama pada post test I didapatkan nilai mean 8,9, median
9, std deviasi 0,54, minimum 8, maximum 10. Pada post test II didapatkan
nilai mean 8,1, median 8, std deviasi 0,70, minimum 7, maximum 10. Pada post test III
niali mean 7,4, median 7, std deviasi 0,68, minimum 6, maximum 10. Pada post test IV
nilai mean 6,0, median 6, std deviasi 1,00, minimum 5, maximum 8.
Berdasarkan data dari tabel 2 dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi tingkat
kegawatdaruratan pasien dengam broset violence cheklist pada pre-test didapatkan nilai
mean 4,5, nilai median 4,0, std deviasi 0,68, nilai minimum 4 dan maximum 6. Setelah
pasien di berikan terapi relaksasi guided imagery selama pada post test I didapatkan nilai
mean 3,5, median 3,0, std deviasi 0,75, minimum 3, maximum 6. Pada post test II
didapatkan nilai mean 2,8, median 3, std deviasi 0,76, minimum 2, maximum 5. Pada
post test III niali mean 2,3, median 2, std deviasi 0,63, minimum 1, maximum 4. Pada
post test IV nilai mean 1,6, median 1,5, std deviasi 0,64, minimum 1, maximum 3.
563
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
guided imagery sebanyak 4x dan post test dengan jumlah
didapatkan hasil bahwa pre test responden 38 serta nilai mean pre- test
9,50, post-test 7,66, standar deviasi
pre-test 0,507, post-test
564
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
Pembahasan
1) Tingkat Kegawatdaruratan Pasien
Distribusi frekuensi tingkat
kegawatdaruratan pasien di ruang akut
RSJD Surakarta pada awal penelitian
(pre test) didapatkan hasil bahwa pada
keseluruhan responden barada dalam
triage merah (immediate). Penelitian
Pratiwi, Jadmiko dan Widodo (2017)
menemukan bahwa 65% pasien yang
datang ke ruang emergency dengan
klasifikasi immediate. Pada dasarnya
pasien dengan kategori immediate
merupakan pasien yang berperilaku
kekerasan, menggunakan atau memiliki
senjata tajam, pasien yang melukai diri
sendiri dan mengancam untuk melukai
orang lain disekitarnya. Hal yang harus
diperhatikan untuk pasien dengan
565
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
bagi pasien dan orang-orang disekitarnya
dan tenaga kesehatan harus siap siaga
dalam pertahanan diri terhadap pasien
tersebut (Vingilis & State, 2011).
Menurut penelitian Pratiwi, Mc
Eldowney, Richardson and He (2014)
tentang Family’s Beliefs About A Family
Member With A Mental Illness In Javanese
Culture menunjukkan bahwa pasien
dengan gangguan jiwa disebabkan karena
adanya roh jahat yang telah memasuki
tubuh anggota keluarga mereka yang sakit
jiwa, selain itu kekuatan dari diri pasien
juga dipengaruhi oleh roh jahat, oleh
karena itu keluarga cenderung
mengisolasikan pasien.Tingginya tingkat
kegawatdaruratan pasien ketika masuk
rumah sakit salah satunya disebabkan
karena kondisi pasien yang sudah
mengalami depresi dan muncul sesuatu
yang mengancam dirinya sehingga pasien
berespon cemas dan marah (Yusuf dkk,
2015). Menrut penelitian yang dilakukan
oleh Listiyowati, Pratiwi dan Listyorini
(2011) didapatkan hasil bahwa adanya
hubungan antara pola asuh orang tua
dengan kecenderungan munculnya tanda
dan gejala skizofrenia pada pasien
skizofrenia di RSJD Surakarta. Hal ini
selaras dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Wuryaningsih dan Hamid, 2013)
yang menyatakan bahwa pencetus pasien
marah dan berperilaku kekerasan
disebabkan karena adanya sikap yang
memprovokasi pasien
566
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
seperti keluarga yang bersikap kasar, perilaku akibat dari distorsi emosi
keras, memukul, memarahi, membentak sehingga muncul respon yang abnormal
pasien serta ketidakpatuhan pasien (Sutejo, 2017). Menurut Keliat, dkk
dalam mengkonsumsi obat-obatan. (2011) menjelaskan bahwa gangguan
Selain itu menurut Susanti, Husni dan jiwa merupakan sindrom atau perilaku
Fitriyani (2015) penyebab utama emosi yang secara klinis berhubungan langsung
marah adalah perasaan yang terluka dan dengan distress (penderitaan) dan
adanya suatu kejadian yang buruk, menyebabkan munculnya hendaya
merasa tidak diperlakukan secara adil, (disabilitas) pada satu atau lebih dalam
merasa disakiti, mendapat perlakuan fungsi kehidupan manusia.
dihianati, dihina, diremehkan, difitnah, Terapi yang dapat diberikan pada
dan disakiti. penderita gangguan jiwa diantaranya
Apabila faktor pencetus tersebut terapi modalitas, terapi komplementer,
muncul akan membuat pasien berespon terapi farmakologi. Terapi modalitas
marah dan akhrinya pasien melakukan merupakan terapi non farmakologis yang
perilaku kekerasan, pada saat penelitian dapat dilakukan untuk memperbaiki dan
yang dilakukan di RSJD Surakarta mempertahankan sikap klien agar dapat
ditemukan pasien berada dalam kategori bersosialisai dan beradaptasi dengan
immediate yang mana kondisi ini pasien lingkungan sekitarnya, yang terdiri dari
datang dengan keadaan marah, amuk, terapi singkat, terapi tari, terapi guided
mencederai orang lain, diri sendiri dan imagery, terapi narasi, terapi bermain
pasien sangat agresif. Setelah pasien (Susana dan Hendarsih, 2012).
diberi terapi relaksasi guided imagery Pemberian terapi guided imagery
sebanyak 4x terapi pada pagi dan sore dalam penelitian ini dimaksudkan agar
hari selama kurun waktu 1 bulan dengan perilaku pasien gangguan jiwa lebih
total 38 pasien didapatkan hasil bahwa baik. Hal tersebut sebagaimana
pasien mengalami penurunan tingkat dikemukakan oleh (Sutejo, 2017) bahwa
kegawtadaruratan dengan rata- rata terapi modalitas merupakan terapi yang
pasien berada dalam triage kuning memfokuskan cara pendekatan dengan
(urgent) dengan menurunnya tingkat pasien gangguan jiwa yang bertujuan
kegawatdaruratan pasien sehingga untuk mengubah perilaku pasien
menurunn pula perilaku kekerasan pada gangguan jiwa yang tadinya berprilaku
pasien. maladaptif menjadi adaptif.
2) Perbedaan Tingkat Kegawatdaruratan Penelitian ini menunjukkan adanya
Pasien Sebelum Dan Sesudah Intervensi peningkatan perbaikan perilaku pasien
Pada hasil penelitian dengan uji gangguan setelah pemberian terapi
wilcoxon pada pre test dan post test guided imagery diantaranya adalah
setelah 4x pemberian terapi relaksasi pasien menjadi nyaman, lebih tenang
guided imagery didapatkan hasil bahwa dan mampu mengontrol perilakunya,
ada perbedaan tingkat kegawatdaruratan sehingga perilaku kekerasan pasien
pasien gangguan jiwa sebelum dan menurun. Hasil ini menunjukkan bahwa
sesudah diberikan terapi relaksasi pemberian terapi guided imagery efektif
guided imagery. Secara umum dalam meningkatan perilaku pasien
penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan jiwa dari yang maladaptif
setelah mendapatkan terapi guided menjadi lebih adaptif.
imagery, terjadi perbaikan terhadap Keefektifan terapi guided imagery
tingkat kegawatdaruratan pasien, yang disebabkan unsur-unsur dalam terapi.
artinya bahwa tingkat perilaku Penelitian Pratiwi dan Sudaryanto
kekerasan, kecemasan dan kegelisahan (2018) yang meneliti tentang tingkat
pada pasien semakin turun. penerimaan stimulasi suara pada pasien
Gangguan kejiwaan adalah tanda
dan gejala dari bentuk penyimpangan
567
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
KESIMPULAN
Tingkat kegawatdaruratan pasien gangguan jiwa di ruang akut RSJD Surakarta sebelum
pemberian terapi guided imagery berada dalam kategori immediate dengan skor kegawatan 9-
10 dan perilaku kekerasan pasien tinggi dengan skor >2. Tingkat kegawatdaruratan pasien
gangguan jiwa di ruang akut RSJD Surakarta setelah pemberian terapi guided imagery
menunjukkan adanya penurunan dengan rata-rata berada dalam kategori emergency dan urgent
dengan skor 5-8 serta skor resiko perilaku kekerasan menurun menjadi kategori sedang dengan
skor <2. Respon pasien dengan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta sebelum diberikan terapi
guided iamgery ditemukan mata melotot, pandangan sinis, raut wajah merah, tegang, menarik
diri, tubuh kaku, marah-marah dan memukul tembok. Setelah pasien diberikan terapi guided
imagery lebih tenang, nyaman, rileks, senang dan lebih terkontrol emosinya.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Jateng. (2016). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016.
Semarang: Dinkes Jateng Prov.
Dinas Kesehatan RI. (2016). Peran Kelurga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. Diakses: 04
April 2018. http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html.
Fatimah. (2017). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Jiwa Pada Klien Resiko Bunuh Diri
Dengan Intervensi Inovasi Guided Imagery Terhadap Gejala Resiko Bunuh Diri Di
Ruang Punai RSJD Atmahusada Samarinda. (Skripsi). Samarinda: Program Studi Profesi
Ners Stikes Muhammadiyah Samarinda.
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
FKUI. (2015). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Grocke, Denise & Torben Moe. (2015). Guided imagery and music (GIM) and music imagery
methods for individual and group therapy. Diakses 27 April 2018.
https://books.google.co.id/books?id=ePi5BwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=guide
d+imagery&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi2t7ygyNraAhVCQ48KHbpvBnYQ6AEIaTA
I#v=onepage&q=guided%20imagery&f=false.
Keliat, dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lemon, J. C., & Wagner, B. (2013). Exploring the mind-body connection: Therapeutic
practices and techniques. Ideas and research you can use: VISTAS 2013.
Listiyowati, E., Arum Pratiwi, S., & Listyorini, D. (2011). Hubungan Pola Asuh Keluarga
dengan Kecenderungan Munculnya Tanda dan Gejala Skizofrenia pada Pasien
569
The 9th University Research Colloqium 2019
Universitas Muhammadiyah Purworejo
570