2.1 Epidemiologi
2.2 Patofisiologi
2. Lewy bodies
Gambar 2.1 Gambaran Histologis untuk Lewy body pada Subtantia Nigra Pars
Kompakta
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
1. Genetik
Komponen genetik pada penyakit Parkinson telah lama
dibicarakan, karena kebanyakan pasien memiliki penyakit sporadis dan
penelitian awal pada orang kembar memperlihatkan persamaan rata-rata
rendah dari concordance pada kembar monozigot dan dizigot. Pandangan
bahwa genetik terlibat pada beberapa bentuk penyakit Parkinson telah
diperkuat, bagaimanapun, dengan penelitian bahwa kembar monozigot
dengan onset penyakit sebelum usia 50 tahun memiliki pembawa genetik
yang sangat tinggi, lebih tinggi dari kembar dizigot dengan penyakit early-
onset2.
2. Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat
menimbulkan kerusakan mitokondria.3
b. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan
lama.3
c. Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor
predisposisi penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra.
Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia
nigra oleh infeksi Nocardia astroides.3
d. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stres oksidatif, salah
satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson.
Sebaliknya, kopi merupakan neuroprotektif.3
e. Ras
Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam.3
f. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar.3,5
g. Stress dan Depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala
motorik. Depresi dan stres dihubungkan dengan penyakit parkinson
karena pada stres dan depresi terjadi peningkatan turnover
katekolamin yang memacu stres oksidatif.3,5
B. Manifestasi Nonmotorik
Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap tahap dari perjalanan penyakit
Parkinson yang masing-masing memiliki pola onset dan progresifitas tertentu. Oleh
karena itu dapat ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih dijumpai pada:
1) fase premotor, sebelum munculnya gejala motorik; 2) stadium awal penyakit,
dan 3) stadium lanjut penyakit. Gejala nonmotorik yang sering dijumpai pada fase
premotor adalah rapid eye movement (REM) sleep behavior disorder
(RBD), konstipasi, dan hiposmia.3
2.5 Diagnosis
Beberapa kriteria diagnosis yang dapat digunakan antara lain yaitu United
Kingdom Parkinson’s Disease Society Brain Bank.3
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Penyakit Parkinson (UK Parkinson’s Disease Society
Brain Bank).3
Kriteria lain yang sering digunakan adalah kriteria penilaian yang juga
sebaiknya dilakukan ialah stadium penyakit berdasarkan klasifikasi modified
Hoehn and Yahr.4
Tabel 2.3 Stadium penyakit Parkinson berdasarkan Modified Hoehn and Yahr.3
Pemeriksaan penunjang dilakukan ntuk membedakan dengan kelainan
degeneratif lain terutama parkinsonisme sekunder atau atipikal.3
2. Simptomatik
Terapi farmakologis saat ini masih bersifat simptomatik untuk
pasien. Karena bertujuan simptomatik sehingga klinisi berupaya
mengurangi gejala dengan dosis terkecil yang paling efektif untuk
menghindari efek yang tidak diinginkan dengan demikian terapi bersifat
individual disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien. Hingga
saat ini, obat yang dapat meningkatkan konsentrasi dopamin atau
menstimulasi reseptor dopamin yakni levodopa dan agonis dopamin masih
menjadi terapi utama untuk gejala motorik pada penyakit Parknison.
Namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Levodopa meskipun merupakan agen farmakologis yang paling
efektif dan namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi motorik.
Sementara agonis dopamine masih lebih inferior dibandingkan levodopa
serta memiliki efek samping yang lebih banyak dan lebih berat
dibandingkan levodopa, seperti gangguan kognitif, halusinasi, hipotensi
ortostatik dan ganggusan kontrol impuls.3
Meskipun demikian risiko terjadinya komplikasi gangguan
motorik lebih rendah dibandingkan levodopa. Levodopa tetap menjadi
pilihan utama. Sebaliknya pada pasien usia muda, diberikan agonis
dopamin atau inhibitor MAO-B, dan menunda pemberian levodopa hingga
agen tersebut tidak lagi memberikan kontrol yang memuaskan.3 Sebagai
alternatif, pada gejala tremor dominan dapat diberikan klozapin. Namun
sebaiknya pemberian klozapin ditunda untuk kasus yang berat dan resisten
dengan terapi lainnya., oleh karena efek samping seperti agranulositosis
dan leukopenia. Baik levodopa dan agonis dopamine secara monoterapi
atau kombinasi. Hal ini disebut juga sebagai “honeymoon period” yang
dapat berlangsung selama 3-6 tahun.3
Komplikasi motorik dapat terjadi pada periode “off” dan “on”. Pasien
Parkinson mengalami kembali gejala Parkinson pada saat kadar obat mulai
berkurang atau habis, yang disebut periode “off”. Jika kembali mengalami
perbaikan gejala motorik sebagai respon terhadap pengobatan disebut pwriode
“on”. Fluktuasi motorik dimana suatu kondisi pasien mengalami kedua kondisi
tersebut dan berbagai respon terhadap levodopa.3,5
1. Tatalaksana Farmakologis
2. Tatalaksana Bedah
A. Deep Brain Stimulation (DBS)
DBS dilakukan pad pasien Parkinson stadium lanjut dengan komplikasi
motorik berat dan tidak terkontrol dengan terapi farmakologis. Teknik ini
melibatkan implantasi elektroda yang dihubungkan dengan pulse generator dan
memodulasi aktivitas neuronal melalui stumulasi frekuensi tinggi pada area target
stimulasi tersebut menyebabkan inhibisi dan normalisasi parsial. Area target
stimulasi adalah truktur yang termasuk ke dalam loop ganglia basal- talamokortikal,
seperti nucleus subtalamikus, globus palludus interna, dan ventral intermedius
thalamus (VIM). Area terakhir terutama diindikasikan untuk gejala tremor
dominan.3
Perbandingan antara area target nukleus subtalamikus dan globus pallidus
interna menunjukkan hasil yang lebih baik pada nucleus subtalamikus dengan
perbandingan persentase perbaikan 49% vs 37% DBS nucleus subtalamikus juga
berhasil mengurangi dosis levodopa hingga 50-60% yang tidak terjadi pada DBS
dengan area target ganglia basal. Efek samping DBS pada nukleus subtalamikus
antara lain: gangguan kognitif dan episode psikosis, depresi, manik, dan perilaku
agresif.3,5
B. Operasi Ablatif
Pada umunya, tindakan ini menggunakan teknik stereotaktik untuk
menentukan target lesioning dengan modalitas beragam yakni radiosurgery, radio
frekuensi dan ultrasound. Area target lesioning yang sering dikerjakan adalah
talamus dan globus pallidus. Talamotomi terutama efektif untuk tremor namun
tidak bermanfaat untuk bradikinesia. Selain itu talamotomi juganapat mereduksi
dyskinesia yang diinduksi levodopa tetapi membutuhkan lesi yang luas. Palidotomi
tidak hanya memperbaiki gejala tremor dan rigiditas namun juga radikinesia dan
gait serta diskinesia yang diinduksi levodopa. Operasi ablatif dilakukan biasanya
pada pasien dengan kontraindikasi DBS.3
DAFTAR PUSTAKA