Anda di halaman 1dari 16

II TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Parkinson (PP) adalah sindroma klinis yang disebabkan lesi


degeneratif pada ganglia basal, yang biasanya muncul pada antara usia 40 dan 70
tahun. PP umunya lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 3:2. Penyebab PP kemungkinan berbagai faktor, dan beberapa
diantaranya adalah kondisi lingkungan, banyaknya penggunaan insektisida, bekerja
di lingkungan industri, dan sebagainya.1

Penyakit parkinson adalah suatu proses degeneratif yang melibatkan neuron


dopaminergik dalam substansia nigra yang merupakan daerah ganglia basalis yang
memproduksi dan menyimpan neurotransmitter dopamin. Daerah ini berada dalam
sistem ekstrapiramidal yang mengendalikan postur tubuh dan koordinasi gerakan
motorik volunter, sehingga penyakit ini karakteristiknya adalah gejala yang terdiri
dari tremor saat istirahat, bradikinesia, rigiditas, dan ketidakseimbangan postur
tubuh. Parkinsonism merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu
istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat adanya
penurunan kadar dopamin dengan penyebab apapun.2

2.1 Epidemiologi

Data The Global Burden of Disease (2015) mengindikasikan adanya


kecenderungan usia yang lebih tua pada saat terjadi kematian. Fenomena
demografik ini menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, yaitu
penyakit Alzheimer diikuti penyakit Parkinson (PP) pada peringkat kedua tersering.
Dengan meningkatnya angka harapan hidup, PP menjadi salah satu tantangan
terberat yang dihadapi dunia kesehatan.3

Insidensi penyakit Parkinson di Amerika Serikat sekitar 1 juta orang pada


tahun 2010. Sedangkan di seluruh dunia kasus mencapai 5 juta orang.
Kebanyakan individu berusia lebih dari 60 tahun dan lebih mempengaruhi pria
daripada wanita dengan rasio 3:2. Secara kasar 60.000 kasus baru didiagnosis tiap
tahun di Amerika Serikat, dan insidensnya diprediksikan akan meningkat seiring
pertambahan usia harapan hidup populasi, maka meningkat pula
neurodegeneratif.2,3

2.2 Patofisiologi

Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif


akibat kematian neuron di substansia nigra pars kompakta. Respon motorik yang
abnormal disebabkan oleh karena penurunan yang sifatnya progesif dari
neurotransmiter dopamin. Kerusakan progresif lebih dari 60% pada neuron
dopaminergik substansia nigra merupakan faktor dasar munculnya penyakit
parkinson. Ketika sel tersebut mengalami kerusakan, maka kadar dopamin menjadi
berkurang hingga di bawah nilai fisiologis. Jika jumlah neuron dopaminergik hilang
lebih dari 70 % maka gejala penyakit parkinson akan mulai muncul. Untuk
mengkompensasi berkurangnya kadar dopamin maka nukleus subtalamikus akan
over-stimulasi terhadap globus palidus internus (GPi). Kemudian GPi akan
menyebabkan inhibisi yang berlebihan terhadap thalamus. Kedua hal tersebut diatas
menyebabkan under-stimulation korteks motorik. Sehingga manifestasi nya akan
muncul secara perlahan.3

Berkurangnya neuron dopaminergik terutama di substantianigra menjadi


penyebab dari penyakit Parkinson. Dopamine merupakan salah satu
neurotransmitter utama di otak yang memainkan fungsi berbeda.terdapat 3
kelompok neuron utama yang mensintesis dopamin, yaitu substantia nigra (SN),
Area Tegmentum Ventral (VTA), dan nucleus hipotalamus, sedangkan neuron yang
lebih kecil lagi adalah bulbusolfaktorius dan retina. Neuron dari SN proyeksi ke
striatum dan merupakan jalur masif dari seluruh sistem dopaminergik otak.3

Terdapat 2 kelompok reseptor dopamine yakni D1 dan D2. Keluarga


reseptor D2 adalah D2, D3, dan D4. Ikatan dopamin ke reseptor D2 akan menekan
kaskade biokemikal postsinaptik dengan cara menginhibisi adenilsiklase.
Keluarga reseptor D1 adalah D1 dan D5. D1 akan mengaktifkan adenilsiklase
sehingga efeknya akan menguatkan sinyal transmisi postsinaps. Neuron di stiatum
yang mengandung reseptor D1 berperan dalam jalurlangsung dan berproyeksi ke
GPe. Dopamin mengaktifkanjalur langsung dan menginhibisi jalur tak langsung.4
Secara umum, terdapat 2 neuropatologis mayor pada penyakit Parkinson adalah:

1. Hilangnya pigmentasi neuron dopamine pada subtantia nigra. Dopamin


berfungsi sebagai penghantar antara 2 wilayah otak, yakni antara yakni antara
substantia nigra dan korpus striatum dan berfungsi untuk menghasikan
gerakan halus dan motorik. Ketika kadar dopamine terlalu rendah,
komunikasi antar 2 wilayah tadi menjadi tidak efektif, terjadi gangguan pada
gerakan. Semakin banyak dopamin yang hilang, maka akan semakin buruk
gejala gangguan gerakan volunteer.4

2. Lewy bodies

Ditemukannya lewy bodies dalam subtantia nigra adalah karakteristik


penyakit Parkinson. Alpha-synuclein adalah komponen struktural utama dari
Lewy bodies4.

Gambar 2.1 Gambaran Histologis untuk Lewy body pada Subtantia Nigra Pars
Kompakta
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Berdasarkan metaanalisis dari 30 faktor risiko potensial, ditemukan 11


faktor risiko yang mempengaruhi penyakit Parkinson secara bermakna, diantaranya
paparan pestisida, riwayat trauma kepala, lingkungan perkotaan, penggunaan
penyekat beta, serta pekerjaan agrikultural.3

Risiko PP bersifat multifaktorial yang diduga saling berinteraksi satu sama


lain. Sebagai contoh, paparan terhadap pestisida (1,1’-dimetil-4,4’-bipridium
diklorida) dan riwayat cedera kepala meningkatkan risiko secara sinergis.3

Etiologi penyakit parkinson belum diketahui, atau idiopatik. Terdapat


beberapa dugaan, di antaranya ialah: infeksi oleh virus yang non-konvensional
(belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan
terhadap zat toksik yang belum diketahui, serta terjadinya penuaan yang prematur
atau dipercepat Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar. Beberapa
hal yang diduga bisa menyebabkan timbulnya penyakit parkinson adalah sebagai
berikut:

1. Genetik
Komponen genetik pada penyakit Parkinson telah lama
dibicarakan, karena kebanyakan pasien memiliki penyakit sporadis dan
penelitian awal pada orang kembar memperlihatkan persamaan rata-rata
rendah dari concordance pada kembar monozigot dan dizigot. Pandangan
bahwa genetik terlibat pada beberapa bentuk penyakit Parkinson telah
diperkuat, bagaimanapun, dengan penelitian bahwa kembar monozigot
dengan onset penyakit sebelum usia 50 tahun memiliki pembawa genetik
yang sangat tinggi, lebih tinggi dari kembar dizigot dengan penyakit early-
onset2.

2. Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat
menimbulkan kerusakan mitokondria.3
b. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan
lama.3
c. Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor
predisposisi penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra.
Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia
nigra oleh infeksi Nocardia astroides.3
d. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stres oksidatif, salah
satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson.
Sebaliknya, kopi merupakan neuroprotektif.3
e. Ras
Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam.3
f. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar.3,5
g. Stress dan Depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala
motorik. Depresi dan stres dihubungkan dengan penyakit parkinson
karena pada stres dan depresi terjadi peningkatan turnover
katekolamin yang memacu stres oksidatif.3,5

2.4 Gejala Klinis


A. Manifestasi Motorik
Gejala motorik utama dari PP adalah bradikinesia, rigiditas, tremor, dan
instabilitas postural.3
1. Tremor
Gejala tremor sendiri merupakan salah satu gambaran khas PP.
Namun 30% pasien dapat tidak mengeluhkan tremor pada awal gejala
dan sekitar 25% kasus tanpa tremor selama perjalanan penyakit.
Derajat keparahan tremor tidak dikaitkan dengan progresifitas penyakit
dan tidak berhubungan dengan derajat keparahan defisit dopaminergik.
Termor seringkali terjadipada ekstremitas, lengan lebih sering
dibandingkan tungkai. Tremor pada daerah kepala biasanya merupakan
perluasan dari tremor yang melibatkan badan dan ekstremitas. 3,5
Tremor sebagian besar terjadi pada bagian distal dan lebih jelas pada
jari tangan atau kaki. Gerakan fleksi atau ekstensi jari-jari ataupun
supinasi-pronasiyang disebut “pill-rolling”. Tremor mencapai amplitude
maksimal pada saat istirahat, sehingga dikenal dengan resting tremor.
Tremor parkinson klasik memiliki frekuensi 4-6Hz bersifat intermitten.
Tremor ini sering dicetuskan dengan adanya stress atau emosi. Tremor
berkurang ketika melakukan gerakan bertujuan untuk mempertahankan
posisi tertentu. Namun, efek ini akan kembali.3
2. Rigiditas
Peningkatan tonus otot di seluruh lingkup gerak sendi (range of
movement) dan tidak bergantung dengan kecepatan otot saat digerakkan.
Rigiditas dapat ditemukan pada leher, badan, dan ekstremitas dalam
keadaan relaksasi. Pemeriksaan pergelangan tangan atau sendi siku
dengan gerakan fleksi-ekstensi merupakan salah satu deteksi adanya
rigiditas.3
Rigiditas dapat mempengaruhi postur pasien, fleksi pada sebagian
besar sendi. Termasuk vertebra, dan membentuk postur simian yang khas
pada penyakit Parkinson. Bentuk ekstrim lainnya dikenal dengan
camptocornia. Mengangkat salah satu lengan atau menggenggam salah
satu tangan dapat menyebabkan rigiditas semakin jelas pada ekstremitas
kontralateral (manuver Froment)5.
3. Akinesia
Akinesia merupakan salah satu gejala yang membuat gerakan
volunter menjadi lambat. Pasien mengalami kesulitan dalam melakukan
inisiasi gerakan, mempertahankan gerakan, dan mengubah berbagai pola
gerakan motorik. Pada tahap lanjut, akinesia terjadi pada kedua
ekstremitas dan bertambah berat. Derajat keparahan ini tidak
berhubungan dengan derajat keparahan tremor dan rigiditas. Akinesia
dapat ditemukan pada inspeksi secara umum. Pasien duduk diam dengan
ekspresi wajah normal seperti topeng (facial amimia atau “masked
face”). Gestur, komunikasi, dan gerakan pasien juga berkurang 3,5.
Akinesia dapat dinilai dengan manual agility test yang seringkali
abnormal, yaitu tangan pasien yang terkena cenderung melambat dan
mengalami penurunan amplitudo gerakan secara progresif (progressive
fatiguing) atau terhentinya gerakan atau terputus-putus (freezing).
Pemeriksaan ini berupa gerakan seperti bermain piano dengan cepat.
Pemeriksaan akinesia lain dapat berupa repetitive tapping antara ibu jari
dan jari telunjuk, atau hand movement dengan membuka dan menutup
tangan, serta rapid alternating movement dengan pronasi dan supinasi
secara bergantian.5
4. Instabilitas Postural
Pasien dapat mengalami kesulitan saat bangkit dari kursi. Posisinya
cenderung ke depan untuk meletakkan pusat gravitasi di atas kaki dan
seringkali harus dibantu menggunakan lengan. Hal ini dicoba lakukan
beberapa kali hingga berhasil berdiri dan sering kal terjatuh.3
Pada tahap awal, dapat ditemukan adanya gangguan berjalan berupa
menurunnya ayunan lengan. Tahap selanjutnya panjang langkah akan
berkurang dan kaki tidak dapat diangkat secara normal ketika melangkah,
sesuai gambaran shuffling gait. Pasien dengan penyakit Parkinson juga
dapat memodulasi frekuensi langkah dan meningkatkan irama jalan,
namun tetap berjalan lebih lambat dibandingkan normal karena
langkahnya lebih kecil.3
Pada awal tahap penyakit postur biasanya normal. Seiring
perjalanan penyakit, postur akan mengalami perubahan, sehingga leher
cenderung mengalami fleksi dan kifosis didaerah torakal. Bahu akan
mengalami aduksi. Siku, pergelangan tangan, dan jari akan mengalami
semi-fleksi. Sendi panggul dan lutut akan tertekuk secara parsial.
Berjalan dan khususnya berjalan memutar akan semakin sulit, dengan
meningkatnya kekhawatiran terhadap jatuh. Insidens jatuh pada penyakit
Parkinson meningkat seiring dengan durasi penyakit. Dalam jangka
waktu 5 tahun, individu dengan parkinsonisme mengalami cedera karena
jatuh 1, 3 kali lipat dibandingkan dengan tanpa parkinsonisme5.

B. Manifestasi Nonmotorik

Studi PRIAMO (PaRkinson And nonMotor symptOms) yang melibatkan 1072


pasien dengan menggunakan kuesioner, 98,6% paien memiliki setidaknya satu
gejala motorik, terutama gejala psikiatrik, sensoris, atau gangguan tidur dan setiap
pasien memiliki rerata delapan gejala motorik. Gejala nonmotorik memiliki
spektrum yang luas dan mencakup 4 ranah (domain), yakni 10 gangguan autonomi;
2) gangguan tidur; 3) neuropsikiatrik; dan 4) gangguan sensoris4.

Tabel 2.1 Empat Ranah Gejala Nonmotorik.3

Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap tahap dari perjalanan penyakit
Parkinson yang masing-masing memiliki pola onset dan progresifitas tertentu. Oleh
karena itu dapat ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih dijumpai pada:
1) fase premotor, sebelum munculnya gejala motorik; 2) stadium awal penyakit,
dan 3) stadium lanjut penyakit. Gejala nonmotorik yang sering dijumpai pada fase
premotor adalah rapid eye movement (REM) sleep behavior disorder
(RBD), konstipasi, dan hiposmia.3

2.5 Diagnosis
Beberapa kriteria diagnosis yang dapat digunakan antara lain yaitu United
Kingdom Parkinson’s Disease Society Brain Bank.3

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Penyakit Parkinson (UK Parkinson’s Disease Society
Brain Bank).3

Kriteria lain yang sering digunakan adalah kriteria penilaian yang juga
sebaiknya dilakukan ialah stadium penyakit berdasarkan klasifikasi modified
Hoehn and Yahr.4

Tabel 2.3 Stadium penyakit Parkinson berdasarkan Modified Hoehn and Yahr.3
Pemeriksaan penunjang dilakukan ntuk membedakan dengan kelainan
degeneratif lain terutama parkinsonisme sekunder atau atipikal.3

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Untuk nenyingkirkan diagnosis banding lain, seperti parkinsonisme vaskular,
penyakit Wilson, dan sindrom parkinsonisme atipikal.
 Positron Emission Tomography (PET) dan Single-Photon Emission Computed
Tomography (SPECT).
Membantu proses visualisasi bagian pre dan pascasinaps dari proyeksi
nigrostriatalserta mendapatkan gambaran semikuantitatif jaras-jaras tersebut.
Hal ini digunakan untuk membedakan PP dengan sindrom parkinsonisme
atipikal lain atau tremor esensial.
 USG Transkranial
Untuk mengkonfirmasi gambaran hiperekoik di substansia nigra pada hampir
2/3 pasien PP dan dapat terdeteksi pada tahap awal penyakit. Namun hasil
tersebut juga dapat ditemukan pada 10% dari orang normal, sehingga
pemeriksaan ini hanya bersifat suportif.
2.6 Tatalaksana

Gambar 2.2 Gambar Algoritma Tatalaksana Parkinson4

2.7.1 Stadium Awal


A. Edukasi
Edukasi penting dijelaskan pada keluarga/caregiver pasien terkait
perjalanan klinis penyakit, tata laksana, dan perubahan gaya hidup.
Sehingga rehabilitasi pasien dapat juga dilakukan di rumah.3
B. Nonfarmakologi
Latihan regular penting untuk meningkatkan mobilitas dengan
memperbaiki pola berjalan (gait) dan menurunkan risiko jatuh,
meningkatkan ketidaknyamanan otot, mencegah sendi kaku, dan
mengurangi kecenderungan terjadinya kontraktur atau deformitas. Terapi
berbicara dan latihan menelan juga sangat bermanfaat bagi pasien.3
C. Farmakologi
1. Neuroprotektor
Umumya terapi simtomatik efektif pada stadium awal penyakit,
tetapi seiring berjalannya waktu progresifitas penyakit menyebabkan
sebagian besar pasien mengalami penyulit yang berkelanjutan. Oleh
karena itu perlu pemberian terapi bertujuan untuk memperlambat atau
menghentikan progresifitas penyakit. Beberapa agen farmakologis yang
digunakan untuk pengobatan penyakit Parkinson, juga memiliki properti
yang berpotensi sebagai neuroprotektor namun hasilnya pun masih belum
memuaskan. Agen farmakologis yang dimaksud antara lain:3
- Inhibitor MAO-B
Inhibitor MAO-B seperti selegilin dan rasagilin, kedua agen ini
memiliki cincin propargil yang memiliki efekantiapoptoptik
(neuroprotektif).
- Agonis Dopamin seperti pramipeksol
Agonis dopamin seperti pramipeksol, stimulasi pada reseptor
dopaminergik presinaps menyebabkan penurunan distribusi
dopamin endogen dan mengurangi turnover dopamin pada neuron
dopaminergik. Hal ini menjadi perdebatan mengenai potensi
neuroprotektif atau kemampuan memodifikasi penyakit dari
agonis dopamin.
- Vitamin D dan koenzim Q10 juga menjadi kandidat agen
neuroprotektif, namun studinya masih kurang memadai.

2. Simptomatik
Terapi farmakologis saat ini masih bersifat simptomatik untuk
pasien. Karena bertujuan simptomatik sehingga klinisi berupaya
mengurangi gejala dengan dosis terkecil yang paling efektif untuk
menghindari efek yang tidak diinginkan dengan demikian terapi bersifat
individual disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien. Hingga
saat ini, obat yang dapat meningkatkan konsentrasi dopamin atau
menstimulasi reseptor dopamin yakni levodopa dan agonis dopamin masih
menjadi terapi utama untuk gejala motorik pada penyakit Parknison.
Namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Levodopa meskipun merupakan agen farmakologis yang paling
efektif dan namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi motorik.
Sementara agonis dopamine masih lebih inferior dibandingkan levodopa
serta memiliki efek samping yang lebih banyak dan lebih berat
dibandingkan levodopa, seperti gangguan kognitif, halusinasi, hipotensi
ortostatik dan ganggusan kontrol impuls.3
Meskipun demikian risiko terjadinya komplikasi gangguan
motorik lebih rendah dibandingkan levodopa. Levodopa tetap menjadi
pilihan utama. Sebaliknya pada pasien usia muda, diberikan agonis
dopamin atau inhibitor MAO-B, dan menunda pemberian levodopa hingga
agen tersebut tidak lagi memberikan kontrol yang memuaskan.3 Sebagai
alternatif, pada gejala tremor dominan dapat diberikan klozapin. Namun
sebaiknya pemberian klozapin ditunda untuk kasus yang berat dan resisten
dengan terapi lainnya., oleh karena efek samping seperti agranulositosis
dan leukopenia. Baik levodopa dan agonis dopamine secara monoterapi
atau kombinasi. Hal ini disebut juga sebagai “honeymoon period” yang
dapat berlangsung selama 3-6 tahun.3

2.7.2 Stadium Lanjutan


Fokus tata laksana gejala motorik pada stadium lanjut adalah untuk
mengatasi komplikasi motorik. Pada umumnya spektrum komplikasi motorik
terbagi menjadi dua, yaitu fluktuasi motorik dan diskinesia.3,5
Tabel 2.4 Komplikasi Motorik pada Pengobatan Penyakit Parkinson.3

Komplikasi motorik dapat terjadi pada periode “off” dan “on”. Pasien
Parkinson mengalami kembali gejala Parkinson pada saat kadar obat mulai
berkurang atau habis, yang disebut periode “off”. Jika kembali mengalami
perbaikan gejala motorik sebagai respon terhadap pengobatan disebut pwriode
“on”. Fluktuasi motorik dimana suatu kondisi pasien mengalami kedua kondisi
tersebut dan berbagai respon terhadap levodopa.3,5

1. Tatalaksana Farmakologis
2. Tatalaksana Bedah
A. Deep Brain Stimulation (DBS)
DBS dilakukan pad pasien Parkinson stadium lanjut dengan komplikasi
motorik berat dan tidak terkontrol dengan terapi farmakologis. Teknik ini
melibatkan implantasi elektroda yang dihubungkan dengan pulse generator dan
memodulasi aktivitas neuronal melalui stumulasi frekuensi tinggi pada area target
stimulasi tersebut menyebabkan inhibisi dan normalisasi parsial. Area target
stimulasi adalah truktur yang termasuk ke dalam loop ganglia basal- talamokortikal,
seperti nucleus subtalamikus, globus palludus interna, dan ventral intermedius
thalamus (VIM). Area terakhir terutama diindikasikan untuk gejala tremor
dominan.3
Perbandingan antara area target nukleus subtalamikus dan globus pallidus
interna menunjukkan hasil yang lebih baik pada nucleus subtalamikus dengan
perbandingan persentase perbaikan 49% vs 37% DBS nucleus subtalamikus juga
berhasil mengurangi dosis levodopa hingga 50-60% yang tidak terjadi pada DBS
dengan area target ganglia basal. Efek samping DBS pada nukleus subtalamikus
antara lain: gangguan kognitif dan episode psikosis, depresi, manik, dan perilaku
agresif.3,5
B. Operasi Ablatif
Pada umunya, tindakan ini menggunakan teknik stereotaktik untuk
menentukan target lesioning dengan modalitas beragam yakni radiosurgery, radio
frekuensi dan ultrasound. Area target lesioning yang sering dikerjakan adalah
talamus dan globus pallidus. Talamotomi terutama efektif untuk tremor namun
tidak bermanfaat untuk bradikinesia. Selain itu talamotomi juganapat mereduksi
dyskinesia yang diinduksi levodopa tetapi membutuhkan lesi yang luas. Palidotomi
tidak hanya memperbaiki gejala tremor dan rigiditas namun juga radikinesia dan
gait serta diskinesia yang diinduksi levodopa. Operasi ablatif dilakukan biasanya
pada pasien dengan kontraindikasi DBS.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Basjiruddin A. Profil penyakit Parkinson di Sumatera Barat. Maj. Kedok.


Unibraw. Vol XVIII, No. 1, April 2002.

2. Kowalak JP. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC. 2012.
3. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Ajar Neurologi. Edisi pertama. Jakarta: Departemen Neurologi FKUI
RSCM. 2017.
4. Gunawan, G. Parkinson dan terapi stem cell. MNJ, Vol.03, No.01, Januari
2017.
5. Jankovic, J. Parkinson dease and movement disorder. 6th ed. Philadelphia.
Wolters Kluwer. 2015

Anda mungkin juga menyukai