Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen
pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda
dan gejala kelaian susunan saraf pusat pada anak. pada anak Infeksi sebenarnya dapat
disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status
imun hospes dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh
lebih sering daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur
dan parasit. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar:
yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meningens
atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang
terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi
dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada
durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara
anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis
(agak jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan
pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi
bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian
lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak.2

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Meningitis adalah peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meningens) termasuk
dura, arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan
oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan
kadar leukosit dalam cairan cerebrospinal (LCS).3

Gambar 1. Meningitis

2.2 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95
% terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko
tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis
kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara
penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran
pernafasan.4

Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan jenis
pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas
pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun

2
pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada
kulit hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan
lebih rentan terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.5

Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada
bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir
40% diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis.6,7

2.3. ETIOLOGI
Bakteri penyebab meningitis bervariasi menurut kelompok umur. Selama usia bulan
pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal merefleksikan flora ibu
atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan
Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena
Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H. influenzae tipe B,
Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang disebabkan oleh
H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.
Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan oleh
pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV. 5

3
Tabel 1. Etiologi Meningitis pada Anak

2.4 PATOGENESIS

Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :

1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.8

4
Gambar 2. Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap
sebagai berikut :

1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)


2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.8
Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua
tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan
masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-
tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor,
yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.8

Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:

1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan


dengan wanita. Pada neonatus sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita
berbanding 1,7 : 1

5
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita
meningitis dibanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan,
adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan
meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi
beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum,
rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada
bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta),
akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonatus. Rendahnya
IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram
negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B
dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin
menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah
terjadinya infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya
infeksi
8. Malnutrisi8

2.5. DIAGNOSIS

2.5.1 Anamnesis

 Seringkali didahului oleh infeksi saluran napas atau saluran cerna seperti demam,
batuk, pilek, diare, dan muntah.
 Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala, meningismus dengan atau tanpa
penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang, dan muntah. Hal tersebut merupakan
gejala sugestif meningitis namun bukan gejala yang khas.
 Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang dari 3
tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala berupa demam, letargi, malas
minum, dan high-pitched cry.

6
2.5.2 Pemeriksaan Fisik

 Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabilitas.


 Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang menonjol (bulging fontanelle), kaku
kuduk, atau tanda rangsang meningeal lain ( Brudzinski, Kernig), kejang, dan deficit
neurologis fokal. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak
kurang dari 1 tahun.
 Ruam: petekiae atau purpura
 Tanda- tanda peningkatan tekanan intrakranial: Pupil anisokor, spastisitas, paralisis
ekstremitas, napas tidak teratur.
 Cari tanda-tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, pneumonia).

Gambar 3. Opistotonus

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


 Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
 Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) dengan kontras atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) kepala dapat dilakukan pada kasus berat dengan
kecurigaan empiema subdural, hidrosefalus, dan abses otak.
 Pastikan diagnosis dengan pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS). 9

7
2.5.3.1 Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman.8
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis8

Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dan pada
pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada
meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal
dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi
lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu. 8

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak
ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum
diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.8

8
Gambar 4. Lumbal Pungsi

Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal


Bila tusukan jarum pungsi lumbal tepat dan LCS mengalir keluar, manometer
pengukur tekanan LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbal tersebut. LCS
dibiarkan mengalir mengisi manometer, dan tingginya cairan yang mengisi manometer
diukur dalam milimeter air. Nilai normal tekanan LCS 50-200 mm pada keadaan tenang.
Pada anak yang berontak, menangis atau batuk tekanan akan meningkat.8

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne. Pada
uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi
dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan didapatkan
warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut. Pada uji Nonne, 0,5 ml
LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan
amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat didapati cincin putih pada
perbatasan kedua cairan tersebut.8
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom. 8

9
Sel
Untuk menghitung jumlah sel, LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu 1
jam sesduah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding tabung/botol,
sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel leukosit normal pada
bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/ µl, reamaj dan dewasa 2,59 ±
1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada
pungsi traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu
abnormal. 8
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan perhatikan
supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah lama, jika jernih
berarti pungsi traumatik. 8
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan
pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di
Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3
per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan
klinis pasien dan diferensiasi sel. 8

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre,
tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2 minggu, dan
30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir rendah kadar
protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada neonatus
mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya
perdarahan-perdarahan kecil saat partus. 8

Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-
90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma
dan kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa
plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar
glukosa dalam LCS didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput
otak dan lain-lain. 8
10
Mikroorganisme

Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan pewarnaan


gram. Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya secara cepat.
Biakan LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat menentukan kuman
penyebab yang sebenarnya dan obat yang serasi. 8

Tabel 2. Kadar Normal Cairan Cerebrospinal8

Tabel. 3. Gambaran Cairan Serebrospinal pada Meningitis Berdasarkan Etiologi 2

11
Penyebab spesifik meningitis

 Pertimbangkan meningitis tuberkulosis jika:


o Demam berlangsung selama 14 hari
o Demam timbul lebih dari 7 hari dan ada anggota keluarga yang menderita TB
o Hasil foto dada menunjukkan TB
o Pasien tetap tidak sadar
o CSS tetap mempunyai jumlah sel darah putih yang tinggi (tipikal < 500 sel
darah putih per ml, sebagian besar berupa limfosit), kadar protein meningkat
(0.8–4 g/l) dan kadar gula darah rendah (< 15 mmol/liter).
 Pada pasien yang diketahui atau dicurigai menderita HIV-positif, perlu pula
dipertimbangkan adanya TB atau meningitis kriptokokal.
 Bila ada konfirmasi epidemi meningitis meningokokal dan terdapat petekie atau
purpura, yang merupakan karakteristik infeksi meningokokal, tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal dan segera berikan Kloramfenikol.9

2.5.3.2 Bacterial Meningitis Score (BMS)


Skor ini dapat digunakan untuk memprediksi apakah suatu meningitis disebabkan
oleh bakteri atau mikroorganisme lain. Skor BMS berkisar antara 0–6. Pasien berdasarkan
BMS dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu BMS < 2 yang artinya pasien memiliki
risiko rendah menderita meningitis bacterial, dan BMS ≥2 yang berarti pasien memiliki risiko
tinggi untuk menderita meningitis bakterialis.11

Tabel 4. Bacterial Meningitis Score

12
Gambar 5. Tanda Brudzinski dan Tanda Kernig

Gambar 6. Manifestasi Klinis pada Bayi / Neonatus

Gambar 7. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

13
2.6. DIAGNOSIS BANDING
 Abses otak
 Encephalitis
 Herpes Simplex
 Herpes Simplex Encephalitis
 Neoplasma
 Kejang demam
 Subarachnoid Hemorrhage1

2.7 TATA LAKSANA


Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang
diberikan. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa
tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume
cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk
menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan
perfusi jaringan yang memadai. Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai.8

2.7.1 Antibiotik

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk
neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :9

 Umur 0-7 hari


- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari
setiap 12 ajm IV.
 Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV. 9

14
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan
anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : 9

 Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis

 Usia > 3 bulan :


- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi. Durasi pemberian antibiotik disesuaikan dengan patogen penyebab, namun
umumnya sekitar 10-14 hari.9

2.7.2 Steroid

Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan steroid menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema serebral
dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak. Pilihan yang disarankan
adalah Prednison 1-2 mg/kgBB dibagi 3-4 dosis, atau Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari/IV
dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari. Injeksi diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat
pemberian antibiotik.9,10

15
2.7.3 Perawatan Penunjang
Pada anak yang tidak sadar:

 Jaga jalan napas


 Posisi miring untuk menghindari aspirasi
 Ubah posisi pasien setiap 2 jam
 Pasien harus berbaring di alas yang kering
 Perhatikan titik-titik yang tertekan.

2.7.4 Pemantauan
Pasien dengan kondisi ini harus berada dalam observasi yang sangat ketat.

 Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau
perubahan perilaku anak.
 Pantau suhu badan, denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah setiap 6 jam, selama
setidaknya dalam 48 jam pertama.
 Periksa tetesan infus secara rutin.
 Pemantauan terapi dilakukan untuk memantau efek samping penggunaan antibiotik
dosis tinggi, dilakukan pemeriksaan darah perifer serial, pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal bila ada indikasi. 9

2.7.5 Simtomatik

 Kejang , jika timbul kejang, berikan pengobatan sesuai dengan tatalaksana kejang
 Hipoglikemia, jika timbul hipoglikemia, berikan glukosa sesuai dengan
tatalaksana hipoglikemi.

2.8. PROGNOSIS
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai
prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat

16
menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang
resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. 1,9
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan,
tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens
sequele meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera
dikerjakan setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Gejala sisa lain seperti
retardasi mental, epilepsi, kebutaan, spastisitas, dan hidrosefalus. Pemeriksaan penunjang lain
dan konsultasi ke departemen terkait disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9

2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi dini :

 Syok septik, termasuk DIC  Septic arthritis


 Koma  Efusi pericardial
 Kejang (30-40% pada anak)  Anemia hemolitik1,2
 Edema serebri

Komplikasi lanjut :

 Gangguan pendengaran
 Disfungsi saraf kranial
 Kejang multipel
 Paralisis fokal
 Efusi subdural
 Hidrocephalus
 Defisit intelektual
 Ataksia
 Buta
 Waterhouse-Friderichsen
syndrome
 Gangren periferal1,2

17
BAB 3
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : An. WS
Usia : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Aek Tangga, Kecamatan Garoga
Pendidikan :-
Orang tua
Nama ayah : Tn. M Nama ayah : Ny. L

Usia : 39 thn Usia : 37 thn

Agama : Kristen Agama : Kristen

Alamat : Garoga Alamat : Garoga

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : PNS

II. ANAMNESIS
 Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS. Penurunan kesadaran terjadi perlahan-lahan.
Sejak ± 5 hari SMRS, penderita mengalami demam tinggi, hilang timbul disertai batuk
(+), pilek (-). Penderita juga mengalami BAB cair, frekuensi 3x/hari, lebih banyak air
daripada ampas, ada lendir, dan tidak ada darah. Riwayat kejang (+), frekuensi 3x/24
jam, kejang pada tangan kanan dan mulut, lama ± 5 menit, setelah kejang pasien tidak
sadar.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat menderita sakit yang sama sebelumnya (-)
- Riwayat luka di kulit (-), riwayat keluar cairan dari telinga (-), riwayat gigi berlubang
(-)
- Riwayat batuk berulang (-)
- Riwayat kontak dengan penderita TB (-)

18
 Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat sakit yang sama dalam keluarga disangkal

 Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

Masa kehamilan : Cukup bulan

Partus : Spontan, anak ke-4

Ditolong oleh : Bidan

Tanggal : 08 Agustus 2016

Berat badan lahir : 3000 gram

Panjang badan lahir : 50 cm

Keadaan saat lahir : Langsung menangis

 Riwayat Makan

ASI : Lahir – 6 bulan

Bubur susu : 6 bulan – 1 tahun

Nasi biasa : 1 tahun – sekarang

 Riwayat Perkembangan

Berbalik : 3 bulan

Tengkurap : 4 bulan

Merangkak : 6 bulan

Duduk : 7 bulan

Berdiri : 9 bulan

Berjalan : 1 tahun

Berbicara : 1 tahun (beberapa suku kata)

Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal

 Riwayat Imunisasi

19
BCG : 1 kali, usia 1 bulan (scar positif)

DPT :-

Polio : 2 kali

Hepatitis B :-

Campak :-

Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

 Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Ayah penderita berumur 39
tahun, pendidikan SMA dan bekerja sebagai wiraswasta. Ibu penderita berumur 35 tahun,
pendidikan S1 dan bekerja sebagai PNS. Secara ekonomi, keluarga penderita tergolong
tingkat ekonomi menengah ke atas.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Pasien tampak sakit berat
Tanda vital :
o Sensorium : Somnolen, GCS 8 (E2V4M2)
o HR 110x/ menit, denyut kuat, isi cukup
o RR 26x/menit, regular.
o Temp 39,8 C

Status gizi :
BB : 15 kg
Kesan Gizi Baik

 Status Generalisata
Kepala : deformitas (-), rambut hitam tersebar merata, wajah simetris
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL
+/+
Telinga : sekret -/-

20
Hidung : cavum nasi lapang, konka edema (-), hiperemis (-), sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : KGB TTM
Thorax : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Jantung = bunyi jantung I & II regular, Gallop (-), mur-mur (-)
Pulmo
o Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
o Auskultasi : suara nafas vesikular +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen :
o Inspeksi : Supel, datar
o Palpasi : turgor kulit baik, NT (-), Hepar teraba ½, ½ L tidak tampak membesar
o Perkusi : timpani diseluruh lapang abdomen
o Auskultasi : bising usus (+) Normal

Ektremitas : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-

 Status Neurologis
o Kesadaran : GCS = 8 E = 2, M = 4, V = 2
o Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (+), kernig (+), Brudzinski I, II (+)
o Nervus kranialis
 N. I = tidak dapat dinilai
 N II = tidak dapat dinilai
 N III, IV, VI = kesan parese (-)
 N VII = kesan parese (-)
 N VIII = tidak dapat dinilai
 N IX,X = uvula ditengah, arkus faring simetris
 N XI = tidak dapat dinilai
 N XII = tidak dapat dinilai
o Tonus : normotonus
o Sensorik = sulit dinilai
o Autonom = sulit dinilai
o Refleks fisiologi +2/+2
o Refleks patologis = Babinski -/-, chadoks -/-, offenheim -/-, gordon -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

21
Hasil laboratorium 23/3/2019
Darah Rutin Nilai rujukan
Hemoglobin 13.5 14-17.4 g/dL
Hematokrit 40.3 30-54 %
Leukosit 24.7 4.5-10 ribu/uL
Trombosit 287 150-450 ribu/uL
Eritrosit 4.95 4.2-5.4 juta/uL
KGDs 83 < 200 mg/dL
Elektrolit
Na 131.75 136-145 mmol/L
K 3.87 3.5-5.1 mmol/L
Cl 95.78 97-111 mmol/L

V. RESUME
Anamnesis : demam (+),kejang (+), muntah (+), BAB mencret (+)  saat ini (-)
Pemeriksaan Fisik : kesadaran GCS 8, Kaku kuduk (+), kernig (+), Brudzinski I, II (+), nervus
kranialis: kesan parese (-), tonus: baik
Pemeriksaan Penunjang : leukositosis dan gangguan keseimbangan elektrolit

VI. DIAGNOSIS KERJA


Meningitis bakterialis

VII. DIAGNOSIS BANDING


Meningitis TB
Ensefalitis

VIII. PENATALAKSANAAN
 O2 2 liter/menit nasal kanul
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inf. Paracetamol 200 mg IV
 Inj. Ceftriaxone 750 mg IV
 Inj. Dexamethasone 2 mg IV

22
 Inj. Ranitidin 15 mg IV

IX. PROGNOSIS
Ad vitam = Dubia ad bonam
Ad fungsionam = Dubia ad bonam
Ad sanationam = Dubia ad malam

23
BAB 4
FOLLOW UP

Tanggal S O A P

23/3/2019 Penurunan Sens : E2M4V2 Meningitis - Head Up 300


kesadaran Bakterialis - IVFD NaCl 0,9% cor
HR : 100 x/i
(+), Demam 300cc dalam 1 jam,
(+), Kejang RR : 20 x/i dilanjutkan IVFD D5%
(+) NaCl 0,45% 30 gtt/i
T : 390C
mikro
Leher : kaku - Inj. Meropenem 600
kuduk (+) mg/12 jam
- Loading dose Phenytoin
Thorax : retraksi
200 mg dalam 50 cc Nacl
(-)
0,9% habis dalam 1 jam
Ekstremitas : - Maintenance Phenytoin
40 mg dalam 50 cc NaCl
Bridzinski I,II
0,9% habis dalam 1 jam
(+)
- Inj. Dexamethason 2mg/6
jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Manitol 30 cc/ 8 jam
- Inj. Furosemid 15 mg/ 12
jam
- Diet Sonde via NGT 50
cc/3 jam
- Rawat ICU

24/3/2019 Penurunan Sens : E2M4V2 Meningitis - IVFD D5% NaCl 0,45%


kesadaran 30 gtt/i mikro
HR : 88 x/i
(+),Kejang - Inj. Meropenem 600
(+) RR : 20 x/i mg/12 jam
- Phenytoin 40 mg dalam
T : 370C
50 cc NaCl 0,9% habis

24
Leher : kaku dalam 1 jam
kuduk (+) - Loading dose
Phenobarbital 300 mg
Thorax : retraksi
dalam 50 cc NaCl 0,9%
(-)
habis dalam 1 jam
Ekstremitas : - Maintenance
Phenobarbital 40 mg
Bridzinski I,II
dalam 50 cc NaCl 0,9%
(+)
habis dalam 1 jam/ 12
jam (selang-seling
dengan Phenytoin)
- Inj. Dexamethason 2mg/6
jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Manitol 30 cc/ 8 jam
- Inj. Furosemid 15 mg/ 12
jam
- Diet Sonde via NGT 50
cc/3 jam

25/3/2019 Demam (-), Sens : E4M4V4 Meningitis - Head Up 300


- IVFD D5% NaCl 0,45%
Kejang (-) HR : 98 x/i
30 gtt/i mikro
Penurunan RR : 20 x/i - Inj. Meropenem 600
kesadaran mg/12 jam
T : 37,30C
- Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
Leher : kaku jam
kuduk (+) - Phenytoin 40 mg dalam
50 cc NaCl 0,9% habis
Thorax : retraksi
dalam 1 jam / 12 jam
(-)
- Phenobarbital 40 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam 1 jam/ 12
jam (selang-seling
dengan Phenytoin)
25
- Inj. Dexamethason 2mg/6
jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Manitol 30 cc/ 12
jam
- Inj. Furosemid 15 mg/ 12
jam
- Diet Sonde via NGT 80
cc/3 jam

26/3/2019 Demam (-), Sens : E4M4V5 Meningitis - Head Up 300


s/d Kejang (-), Bakterialis - IVFD D5% NaCl 0,45%
HR: 132
27/3/2019 Kesadaran 30 gtt/i mikro
x/menit, RR: 28
menurun - Inj. Meropenem 600
x/menit,
(+) mg/12 jam
T: 36,8 ºC. - Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
jam
- Phenytoin 40 mg dalam
50 cc NaCl 0,9% habis
dalam 1 jam / 12 jam
- Phenobarbital 40 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam 1 jam/ 12
jam (selang-seling
dengan Phenytoin)
- Inj. Dexamethason 2mg/6
jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam
- Diet Sonde via NGT 80
cc/3 jam

26
28/3/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis - IVFD NaCl 0,9% 40 gtt/i
kejang (-), Bakterialis mikro
HR: 92 x/menit,
sadar (+) - Inj. Meropenem 600
RR: 22 x/menit,
mg/12 jam
T: 36,8 ºC. - Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
jam
- Phenobarbital 28 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam 1 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/
8 jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam
- Phenytoin 2 x 30 mg
- Aff NGT
- Diet MII
- Pindah ruangan biasa

29/3/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis - IVFD NaCl 0,9% 40 gtt/i
s/d kejang (-), mikro
HR: 96 x/menit,
31/3/2019 sadar (+) - Inj. Meropenem 600
RR: 22 x/menit,
mg/12 jam
T: 37,2 ºC. - Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
jam
- Phenobarbital 28 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam 1 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/
8 jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam

27
- Phenytoin 2 x 30 mg

1/4/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis - IVFD NaCl 0,9% 40 gtt/i
s/d kejang (-), Bakterialis mikro
HR : 90 x/i
2/4/2019 - Inj. Meropenem 600
RR : 20 x/i mg/12 jam
- Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
T : 37,00C
jam
Leher : kaku - Phenobarbital 20 mg
kuduk (+) dalam 50 cc NaCl 0,9%
berkurang habis dalam 1 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/
12 jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam
- Phenytoin 2 x 30 mg

3/4/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis Pasien PAPS


kejang (-) Bakterialis
HR : 94 x/i

RR : 22 x/i

T : 36,50C

Leher : kaku
kuduk (+)
berkurang

28
BAB 5

DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
Faktor Resiko Pada kasus :
 Usia ( 1 bulan – 5 tahun)  Usia 2 tahun
 Jenis Kelamin ( laki-laki : perempuan = 1,7 : 1)  Laki-laki
 Malnutrisi
 Keadaan Imunocompromised
Diagnosis : Pada kasus :
Anamnesis  Demam,
 Seringkali didahului oleh infeksi saluran
 Batuk
napas atau saluran cerna seperti demam,
 Penurunan kesadaran
batuk, pilek, diare, dan muntah.
 Kejang
 Gejala meningitis adalah demam, nyeri  Tanda rangsang meningeal :
kepala, meningismus dengan atau tanpa Kernig (+), Brudzinski I,II (+),
penurunan kesadaran, letargi, malaise, Kaku kuduk (+).
kejang, dan muntah. Hal tersebut  Leukositosis
merupakan gejala sugestif meningitis
namun bukan gejala yang khas.

Pemeriksaan Fisik
 Gangguan kesadaran dapat berupa
penurunan kesadaran atau iritabilitas.
 Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar
yang menonjol (bulging fontanelle), kaku
kuduk, atau tanda rangsang meningeal lain
( Brudzinski, Kernig), kejang, dan deficit
neurologis fokal. Tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada
anak kurang dari 1 tahun.
 Ruam: petekiae atau purpura
 Tanda- tanda peningkatan tekanan
intrakranial: Pupil anisokor, spastisitas,
paralisis ekstremitas, napas tidak teratur.

29
 Cari tanda-tanda infeksi di tempat lain
(infeksi THT, sepsis, pneumonia).

Pemeriksaan Penunjang

 Darah perifer lengkap dan kultur darah.


Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika
ada indikasi.
 Pemeriksaan Computed Tomography (CT-
Scan) dengan kontras atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) kepala dapat
dilakukan pada kasus berat dengan
kecurigaan empiema subdural,
hidrosefalus, dan abses otak.
 Pastikan diagnosis dengan pungsi lumbal
dan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS).

Tatalaksana Pada kasus :


 Antibiotik - IVFD D5% NaCl 0,45% 30 gtt/i
Usia > 3 bulan :
mikro
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari
- Inj. Meropenem 600 mg/12 jam
IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8 jam
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV
- Phenytoin 40 mg dalam 50 cc
dibagi 2 dosis, atau
NaCl 0,9% habis dalam 1 jam /
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari
12 jam
IV dibagi dalam 4 dosis +
- Phenobarbital 40 mg dalam 50
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari
cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam/
dibagi dalam 4 dosis
12 jam (selang-seling dengan
 Steroid
Phenytoin)
Prednison 1-2 mg/kgBB dibagi 3-4 dosis,
- Inj. Dexamethason 2mg/6 jam
atau Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari/IV
- Inj. Paracetamol 150 mg/ 6 jam
dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari
- Inj. Manitol 30 cc/ 12 jam
 Pemantauan - Inj. Furosemid 15 mg/ 12 jam
- Jaga jalan napas - Diet Sonde via NGT 80 cc/3 jam
- Posisi miring untuk menghindari

30
aspirasi
- Ubah posisi pasien setiap 2 jam
- Pasien harus berbaring di alas yang
kering
- Perhatikan titik-titik yang tertekan.
 Kejang , jika timbul kejang, berikan
pengobatan sesuai dengan tatalaksana
kejang
 Hipoglikemia, jika timbul
hipoglikemia, berikan glukosa sesuai
dengan tatalaksana hipoglikemi.

31
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Pasien anak WS, usia 2 tahun didiagnosis dengan meningitis bakterial. Diagnosa meningitis
purulenta ini dibuat dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Pasien mendapat terapi meningitis empiris akibat tidak dapatnya dilakukan Pungsi Lumbal
dan Kultur CSS.

6.2 SARAN

1. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa Pungsi Lumbal dan Kultur CSS
untuk mengetahui secara pasti patogen penyebab.
2. Perlu dilakukan anamnesa ulang yang lebih teliti lagi pada keluarga pasien apakah terdapat
riwayat kontak dengan penderita TB di lingkungan sekitar tempat tinggal pasien.
3. Pada pasien ini juga perlu dilakukan pemantauan berat badan setiap hari serta kebutuhan
gizinya agar tidak lebih memperburuk keadaan umumnya.

32
33
34
DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta


2. Mardjono M., Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
3. Schwartz W. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. EGC. Jakarta
4. Hull D., Johnston D. 2008. Dasar-Dasar Pediatri. Edisi 3. EGC. Jakarta
5. Harsono,dkk. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
6. Mansjoer A, Suprohaita, Waedhani I, dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius. Jakarta.
7. Price S. Wilson L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6
Volume 2. EGC. Jakarta.
8. Davey P. 2006. At a Glance Medicine. Erlangga. Jakarta.
9. Pudjiaji, A.H, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.
10. Hospital Care For Children. 2016. Meningitis. Dapat diakses via
http://www.ichrc.org/651-meningitis-diagnosis-dan-penyebab

35

Anda mungkin juga menyukai