PENDAHULUAN
Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen
pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda
dan gejala kelaian susunan saraf pusat pada anak. pada anak Infeksi sebenarnya dapat
disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status
imun hospes dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh
lebih sering daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur
dan parasit. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar:
yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meningens
atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang
terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi
dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada
durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara
anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis
(agak jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan
pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi
bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian
lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak.2
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Meningitis adalah peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meningens) termasuk
dura, arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan
oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan
kadar leukosit dalam cairan cerebrospinal (LCS).3
Gambar 1. Meningitis
2.2 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95
% terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko
tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis
kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara
penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran
pernafasan.4
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan jenis
pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas
pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun
2
pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada
kulit hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan
lebih rentan terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.5
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada
bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir
40% diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis.6,7
2.3. ETIOLOGI
Bakteri penyebab meningitis bervariasi menurut kelompok umur. Selama usia bulan
pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal merefleksikan flora ibu
atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan
Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena
Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H. influenzae tipe B,
Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang disebabkan oleh
H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.
Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan oleh
pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV. 5
3
Tabel 1. Etiologi Meningitis pada Anak
2.4 PATOGENESIS
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena:
Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.8
4
Gambar 2. Patogenesis Meningitis Bakterial
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap
sebagai berikut :
5
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita
meningitis dibanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan,
adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan
meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi
beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum,
rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada
bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta),
akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonatus. Rendahnya
IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram
negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B
dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin
menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah
terjadinya infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya
infeksi
8. Malnutrisi8
2.5. DIAGNOSIS
2.5.1 Anamnesis
Seringkali didahului oleh infeksi saluran napas atau saluran cerna seperti demam,
batuk, pilek, diare, dan muntah.
Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala, meningismus dengan atau tanpa
penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang, dan muntah. Hal tersebut merupakan
gejala sugestif meningitis namun bukan gejala yang khas.
Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang dari 3
tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala berupa demam, letargi, malas
minum, dan high-pitched cry.
6
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Gambar 3. Opistotonus
7
2.5.3.1 Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman.8
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis8
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dan pada
pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada
meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal
dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi
lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu. 8
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak
ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum
diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.8
8
Gambar 4. Lumbal Pungsi
Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne. Pada
uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi
dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan didapatkan
warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut. Pada uji Nonne, 0,5 ml
LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan
amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat didapati cincin putih pada
perbatasan kedua cairan tersebut.8
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom. 8
9
Sel
Untuk menghitung jumlah sel, LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu 1
jam sesduah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding tabung/botol,
sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel leukosit normal pada
bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/ µl, reamaj dan dewasa 2,59 ±
1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada
pungsi traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu
abnormal. 8
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan perhatikan
supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah lama, jika jernih
berarti pungsi traumatik. 8
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan
pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di
Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3
per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan
klinis pasien dan diferensiasi sel. 8
Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre,
tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2 minggu, dan
30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir rendah kadar
protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada neonatus
mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya
perdarahan-perdarahan kecil saat partus. 8
Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-
90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma
dan kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa
plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar
glukosa dalam LCS didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput
otak dan lain-lain. 8
10
Mikroorganisme
11
Penyebab spesifik meningitis
12
Gambar 5. Tanda Brudzinski dan Tanda Kernig
13
2.6. DIAGNOSIS BANDING
Abses otak
Encephalitis
Herpes Simplex
Herpes Simplex Encephalitis
Neoplasma
Kejang demam
Subarachnoid Hemorrhage1
2.7.1 Antibiotik
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk
neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :9
14
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan
anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : 9
Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
2.7.2 Steroid
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan steroid menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema serebral
dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak. Pilihan yang disarankan
adalah Prednison 1-2 mg/kgBB dibagi 3-4 dosis, atau Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari/IV
dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari. Injeksi diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat
pemberian antibiotik.9,10
15
2.7.3 Perawatan Penunjang
Pada anak yang tidak sadar:
2.7.4 Pemantauan
Pasien dengan kondisi ini harus berada dalam observasi yang sangat ketat.
Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau
perubahan perilaku anak.
Pantau suhu badan, denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah setiap 6 jam, selama
setidaknya dalam 48 jam pertama.
Periksa tetesan infus secara rutin.
Pemantauan terapi dilakukan untuk memantau efek samping penggunaan antibiotik
dosis tinggi, dilakukan pemeriksaan darah perifer serial, pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal bila ada indikasi. 9
2.7.5 Simtomatik
Kejang , jika timbul kejang, berikan pengobatan sesuai dengan tatalaksana kejang
Hipoglikemia, jika timbul hipoglikemia, berikan glukosa sesuai dengan
tatalaksana hipoglikemi.
2.8. PROGNOSIS
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai
prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat
16
menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang
resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. 1,9
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan,
tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens
sequele meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera
dikerjakan setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Gejala sisa lain seperti
retardasi mental, epilepsi, kebutaan, spastisitas, dan hidrosefalus. Pemeriksaan penunjang lain
dan konsultasi ke departemen terkait disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi dini :
Komplikasi lanjut :
Gangguan pendengaran
Disfungsi saraf kranial
Kejang multipel
Paralisis fokal
Efusi subdural
Hidrocephalus
Defisit intelektual
Ataksia
Buta
Waterhouse-Friderichsen
syndrome
Gangren periferal1,2
17
BAB 3
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : An. WS
Usia : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Aek Tangga, Kecamatan Garoga
Pendidikan :-
Orang tua
Nama ayah : Tn. M Nama ayah : Ny. L
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS. Penurunan kesadaran terjadi perlahan-lahan.
Sejak ± 5 hari SMRS, penderita mengalami demam tinggi, hilang timbul disertai batuk
(+), pilek (-). Penderita juga mengalami BAB cair, frekuensi 3x/hari, lebih banyak air
daripada ampas, ada lendir, dan tidak ada darah. Riwayat kejang (+), frekuensi 3x/24
jam, kejang pada tangan kanan dan mulut, lama ± 5 menit, setelah kejang pasien tidak
sadar.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat menderita sakit yang sama sebelumnya (-)
- Riwayat luka di kulit (-), riwayat keluar cairan dari telinga (-), riwayat gigi berlubang
(-)
- Riwayat batuk berulang (-)
- Riwayat kontak dengan penderita TB (-)
18
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat Makan
Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Merangkak : 6 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun
Riwayat Imunisasi
19
BCG : 1 kali, usia 1 bulan (scar positif)
DPT :-
Polio : 2 kali
Hepatitis B :-
Campak :-
Status gizi :
BB : 15 kg
Kesan Gizi Baik
Status Generalisata
Kepala : deformitas (-), rambut hitam tersebar merata, wajah simetris
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL
+/+
Telinga : sekret -/-
20
Hidung : cavum nasi lapang, konka edema (-), hiperemis (-), sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : KGB TTM
Thorax : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Jantung = bunyi jantung I & II regular, Gallop (-), mur-mur (-)
Pulmo
o Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
o Auskultasi : suara nafas vesikular +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen :
o Inspeksi : Supel, datar
o Palpasi : turgor kulit baik, NT (-), Hepar teraba ½, ½ L tidak tampak membesar
o Perkusi : timpani diseluruh lapang abdomen
o Auskultasi : bising usus (+) Normal
Status Neurologis
o Kesadaran : GCS = 8 E = 2, M = 4, V = 2
o Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (+), kernig (+), Brudzinski I, II (+)
o Nervus kranialis
N. I = tidak dapat dinilai
N II = tidak dapat dinilai
N III, IV, VI = kesan parese (-)
N VII = kesan parese (-)
N VIII = tidak dapat dinilai
N IX,X = uvula ditengah, arkus faring simetris
N XI = tidak dapat dinilai
N XII = tidak dapat dinilai
o Tonus : normotonus
o Sensorik = sulit dinilai
o Autonom = sulit dinilai
o Refleks fisiologi +2/+2
o Refleks patologis = Babinski -/-, chadoks -/-, offenheim -/-, gordon -/-
21
Hasil laboratorium 23/3/2019
Darah Rutin Nilai rujukan
Hemoglobin 13.5 14-17.4 g/dL
Hematokrit 40.3 30-54 %
Leukosit 24.7 4.5-10 ribu/uL
Trombosit 287 150-450 ribu/uL
Eritrosit 4.95 4.2-5.4 juta/uL
KGDs 83 < 200 mg/dL
Elektrolit
Na 131.75 136-145 mmol/L
K 3.87 3.5-5.1 mmol/L
Cl 95.78 97-111 mmol/L
V. RESUME
Anamnesis : demam (+),kejang (+), muntah (+), BAB mencret (+) saat ini (-)
Pemeriksaan Fisik : kesadaran GCS 8, Kaku kuduk (+), kernig (+), Brudzinski I, II (+), nervus
kranialis: kesan parese (-), tonus: baik
Pemeriksaan Penunjang : leukositosis dan gangguan keseimbangan elektrolit
VIII. PENATALAKSANAAN
O2 2 liter/menit nasal kanul
IVFD RL 20 gtt/i
Inf. Paracetamol 200 mg IV
Inj. Ceftriaxone 750 mg IV
Inj. Dexamethasone 2 mg IV
22
Inj. Ranitidin 15 mg IV
IX. PROGNOSIS
Ad vitam = Dubia ad bonam
Ad fungsionam = Dubia ad bonam
Ad sanationam = Dubia ad malam
23
BAB 4
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
24
Leher : kaku dalam 1 jam
kuduk (+) - Loading dose
Phenobarbital 300 mg
Thorax : retraksi
dalam 50 cc NaCl 0,9%
(-)
habis dalam 1 jam
Ekstremitas : - Maintenance
Phenobarbital 40 mg
Bridzinski I,II
dalam 50 cc NaCl 0,9%
(+)
habis dalam 1 jam/ 12
jam (selang-seling
dengan Phenytoin)
- Inj. Dexamethason 2mg/6
jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Manitol 30 cc/ 8 jam
- Inj. Furosemid 15 mg/ 12
jam
- Diet Sonde via NGT 50
cc/3 jam
26
28/3/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis - IVFD NaCl 0,9% 40 gtt/i
kejang (-), Bakterialis mikro
HR: 92 x/menit,
sadar (+) - Inj. Meropenem 600
RR: 22 x/menit,
mg/12 jam
T: 36,8 ºC. - Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
jam
- Phenobarbital 28 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam 1 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/
8 jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam
- Phenytoin 2 x 30 mg
- Aff NGT
- Diet MII
- Pindah ruangan biasa
29/3/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis - IVFD NaCl 0,9% 40 gtt/i
s/d kejang (-), mikro
HR: 96 x/menit,
31/3/2019 sadar (+) - Inj. Meropenem 600
RR: 22 x/menit,
mg/12 jam
T: 37,2 ºC. - Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
jam
- Phenobarbital 28 mg
dalam 50 cc NaCl 0,9%
habis dalam 1 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/
8 jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam
27
- Phenytoin 2 x 30 mg
1/4/2019 Demam (-), Sens : E4M6V5 Meningitis - IVFD NaCl 0,9% 40 gtt/i
s/d kejang (-), Bakterialis mikro
HR : 90 x/i
2/4/2019 - Inj. Meropenem 600
RR : 20 x/i mg/12 jam
- Inj. Cefotaxim 1 gr/ 8
T : 37,00C
jam
Leher : kaku - Phenobarbital 20 mg
kuduk (+) dalam 50 cc NaCl 0,9%
berkurang habis dalam 1 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/
12 jam
- Inj. Paracetamol 150 mg/
6 jam
- Inj. Ranitidin 20 mg/12
jam
- Phenytoin 2 x 30 mg
RR : 22 x/i
T : 36,50C
Leher : kaku
kuduk (+)
berkurang
28
BAB 5
DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
Faktor Resiko Pada kasus :
Usia ( 1 bulan – 5 tahun) Usia 2 tahun
Jenis Kelamin ( laki-laki : perempuan = 1,7 : 1) Laki-laki
Malnutrisi
Keadaan Imunocompromised
Diagnosis : Pada kasus :
Anamnesis Demam,
Seringkali didahului oleh infeksi saluran
Batuk
napas atau saluran cerna seperti demam,
Penurunan kesadaran
batuk, pilek, diare, dan muntah.
Kejang
Gejala meningitis adalah demam, nyeri Tanda rangsang meningeal :
kepala, meningismus dengan atau tanpa Kernig (+), Brudzinski I,II (+),
penurunan kesadaran, letargi, malaise, Kaku kuduk (+).
kejang, dan muntah. Hal tersebut Leukositosis
merupakan gejala sugestif meningitis
namun bukan gejala yang khas.
Pemeriksaan Fisik
Gangguan kesadaran dapat berupa
penurunan kesadaran atau iritabilitas.
Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar
yang menonjol (bulging fontanelle), kaku
kuduk, atau tanda rangsang meningeal lain
( Brudzinski, Kernig), kejang, dan deficit
neurologis fokal. Tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada
anak kurang dari 1 tahun.
Ruam: petekiae atau purpura
Tanda- tanda peningkatan tekanan
intrakranial: Pupil anisokor, spastisitas,
paralisis ekstremitas, napas tidak teratur.
29
Cari tanda-tanda infeksi di tempat lain
(infeksi THT, sepsis, pneumonia).
Pemeriksaan Penunjang
30
aspirasi
- Ubah posisi pasien setiap 2 jam
- Pasien harus berbaring di alas yang
kering
- Perhatikan titik-titik yang tertekan.
Kejang , jika timbul kejang, berikan
pengobatan sesuai dengan tatalaksana
kejang
Hipoglikemia, jika timbul
hipoglikemia, berikan glukosa sesuai
dengan tatalaksana hipoglikemi.
31
BAB 6
6.1. KESIMPULAN
1. Pasien anak WS, usia 2 tahun didiagnosis dengan meningitis bakterial. Diagnosa meningitis
purulenta ini dibuat dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Pasien mendapat terapi meningitis empiris akibat tidak dapatnya dilakukan Pungsi Lumbal
dan Kultur CSS.
6.2 SARAN
1. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa Pungsi Lumbal dan Kultur CSS
untuk mengetahui secara pasti patogen penyebab.
2. Perlu dilakukan anamnesa ulang yang lebih teliti lagi pada keluarga pasien apakah terdapat
riwayat kontak dengan penderita TB di lingkungan sekitar tempat tinggal pasien.
3. Pada pasien ini juga perlu dilakukan pemantauan berat badan setiap hari serta kebutuhan
gizinya agar tidak lebih memperburuk keadaan umumnya.
32
33
34
DAFTAR PUSTAKA
35