Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium Tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,
antara lain: Mycobacterium Tuberculosis, Mycobacterium Africanum,
Mycobacterium Bovis, Mycobacterium Leprae, dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium
selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB (Permenkes No.67 Tahun 2016).

Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB
telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Menurut laporan
WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru
dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta
kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000
orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat
(TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,
diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000
kematian/tahun (Permenkes No.67 Tahun 2016).

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,


diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka
Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan
sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi

STIKes Widya Dharma Husada


1
2

HIV diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO


diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari
kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang
(Permenkes No.67 Tahun 2016). Provinsi Banten termasuk kedalam lima
provinsi dengan kasus TB paru tertinggi yaitu Jawa Barat (0,7%), Papua
(0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Papua
Barat (0,4%) (Riskesdas kemenkes RI Tahun 2013).

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia tercantum dalam peraturan


menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2016, pada bab II
pasal 3 nomor 2 disebutkan bahwa target program penanggulangan TB
nasional yaitu eliminasi pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050.
Peran pemerintah dalam menanggulangi TB tercantum pada bab III pasal 4
nomor 1 tentang kegiatan penanggulangan TB yang berbunyi “pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan penanggulangan TB”.

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan TB


salah satunya dengan cara melakukan promosi kesehatan tentang TB pada
keluarga atau masyarakat yang terkena kontak dengan pasien TB,
mengendalikan faktor resiko dengan memberikan suntik BCG pada bayi
untuk mencegah penularan dan meningkatkan kekebalan tubuh, strategi
TOSS yaitu Temukan Obati Tuberkulosis Sampai Sembuh, serta pemberian
OAT secara gratis (TOSS TB 2016).

Kegagalan konversi yang dialami oleh pasien TB tidak hanya akibat


kesalahan dari pihak pasien tetapi kontribusi dari petugas kesehatan juga
memberikan dampak yang sangat besar. Berdasarkan International Standard
for Tuberculosis Care (ISTC) pada standar 7 disebutkan bahwa setiap
petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga
dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang
tidak patuh terhadap rejimen pengobatan (Pedoman Nasional Pengendalian
TB, 2014).

STIKes Widya Dharma Husada


3

Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan secara umum adalah segala


upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu,
kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dan batasan
ini tersirat unsur-unsur input (sasaran dan pendidik dari pendidikan),
proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain) dan
output (melakukan apa yang diharapkan). Hasil yang diharapkan dari suatu
promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan, atau perilaku
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran
dari promosi kesehatan (Notoadmojo, 2012).

Hasil penelitian Netty Panjaitan (2013) mengatakan bahwa pengetahuan


responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan mayoritas
pengetahuannya kurang baik (57,5%), setelah diberi pendidikan kesehatan
seluruh responden pengetahuannya menjadi baik (100%). Hasil uji t
berpasangan pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05), untuk mengetahui
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan responden tentang
Tuberkulosis Paru dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata
pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan
kesehatan yaitu dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t = 19,626 dan nilai p =
0,001 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan. Begitu juga sikap
responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan 100% baik. Hasil uji t
berpasangan pada taraf kepercayaan 95% diperoleh nilai rerata sikap
responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dari 7,68 menjadi
8,02 dengan nilai t = 2,876 dan p = 0,006. Secara uji statistik tidak
terdapat perubahan sikap responden secara signifikan sebelum dan
setelah pemberian pendidikan kesehatan.

Hasil penelitian Yuwana (2016) menunjukan pengaruh pendidikan kesehatan


tentang TB Paru terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap penderita
dalam pencegahan penularan. Berdasarkan hasil uji Wicoxon pengetahuan
dan sikap penderita diperoleh nilai p = value sebesar 0,000. Karena nilai p
= value lebih kecil dibandingkan dengan nilai taraf signifikansi yaitu 0,050
(0,000 < 0,050). Sehingga dapat ditarik kesimpulan ada pengaruh pendidikan

STIKes Widya Dharma Husada


4

kesehatan tentang tuberculosis paru terhadap peningkatan pengetahuan dan


sikap penderita dalam pencegahan penularan tuberculosis.

Sumber penularan penyakit TB adalah penderita TB itu sendiri. Dengan


perilaku yang tidak sehat yang meliputi: tidak menutup mulut saat batuk
walaupun hanya dengan sapu tangan, membuang dahak di sembarang tempat
dan tidak di tempat khusus yang tertutup, tidak membuka jendela
sehingga rumah kurang sinar matahari, ventilasi udara kurang baik,
lingkungan lembab, ketidakteraturan minum obat maupun kontrol dapat
menyebabkan penularan kepada orang lain (Misnadiarly dalam penelitian Ni
Putu Widari Tahun 2010).

Selama ini, sosialisasi pencegahan penularan TB dilakukan dengan metode


penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarga dengan harapan
penderita akan dapat merubah perilaku yang negatif menjadi perilaku yang
positif dengan dukungan dari keluarga sehingga penularan penyakit tidak
terjadi pada anggota keluarga yang lain. Dalam praktek keperawatan keluarga
konseling merupakan sebuah pelayanan yang bertujuan membantu penderita
atau keluarga dalam memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi.
Konseling telah terbukti efektif dalam memperbaiki perilaku pencegahan
penularan TB. Melalui pendekatan konseling diharapkan proses edukasi lebih
intens, sehingga hasil yang didapatkan tidak sebatas transfer informasi,
tetapi juga dapat merubah perilaku penderita. Dengan perubahan perilaku
tersebut, diharapkan pencegahan penularan TBC lebih berhasil dan
bertahan lama. Namun belum diketahui apakah konseling lebih
berpengaruh dari pada penyuluhan kesehatan dalam memperbaiki
perilaku pencegahan penularan TBC (Ni Putu Widari Tahun 2010).

Hasil penelitian Ni Putu Widari (2010) menunjukkan bahwa nilai rata-rata


variabel perilaku dari hasil penghitungan pengurangan antara data sebelum
dan data sesudah perlakuan maka didapat variabel perilaku mempunyai rata-
rata 3,4 yang mendapat penyuluhan kesehatan sedangkan yang mendapatkan
konseling nilai rata-rata sebesar 2,8. Sedangkan nilai t sebesar 0,67 dengan p
= 0,505 > α = 0,05. Maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang

STIKes Widya Dharma Husada


5

bermakna antara sikap subjek tentang pencegahan penularan TB yang


mendapat penyuluhan kesehatan dan konseling.

Hasil penelitian Rina Loriana (2012) bahwa efek konseling terhadap


pengetahuan, sikap, dan kepatuhan berobat penderita TB paru, sebelum dan
setelah intervensi konseling pada kelompok perlakuan dari hasil uji statistic
Wilcoxon didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang artinya intervensi
konseling berpengaruh secara bermakna terhadap pengetahuan, sikap, dan
kepatuhan berobat penderita TB paru.

Pendidikan kesehatan yang dilakukan di RSUD Malingping Kabupaten


Lebak dengan metode penyuluhan kesehatan dianggap belum berhasil
merubah perilaku penderita TB, dari data yang diperoleh masih banyak
penderita TB berulang. Pada tahun 2015 terdapat 46 penderita TB
diantaranya 30 penderita TB kasus baru dan 16 penderita lainya merupakan
TB berulang dan tahun 2016 yang lalu didapatkan 41 pasien TB diantaranya
20 penderita TB kasus baru dan 21 penderita lainya merupakan TB berulang
berulang. Berdasarkan hasil wawancara dengan 5 orang pasien TB paru yang
sedang melakukan kontrol ulang di poli penyakit dalam ada 3 dari 5 pasien
mengatakan tidak tahu tentang apa penyakit TB paru. Sedangkan 2 dari 5
pasien TB paru menjawab tahu pengertian penyakit TB paru tetapi tidak
mengetahui tanda dan gejala serta pencegahnya, mereka masih enggan
menggunakan masker dan tidak menutup mulut ketika sedang batuk.

Berdasarkan latar belakang tersebut, pendidikan kesehatan yang dilakukan di


RSUD Malingping Kabupaten Lebak dengan metode penyuluhan secara
kelompok dianggap belum berhasil untuk merubah perilaku penderita TB,
dan juga belum pernah dilakukakan penelitian tentang efektifitas pendidikan
kesehatan pada pasien TB paru, sehingga penulis tertarik untuk meneliti
mengenai efekktifitas pendidikan kesehatan dengan metode konseling
terhadap perubahan perilaku pasien TB paru di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2020.

STIKes Widya Dharma Husada


6

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, pendidikan kesehatan yang dilakukan di


RSUD Malingping Kabupaten Lebak dengan metode penyuluhan secara
kelompok dianggap belum berhasil untuk merubah perilaku penderita TB.
Hasil wawancara dengan 5 orang pasien TB paru yang sedang melakukan
kontrol ulang di poli penyakit dalam ada 3 dari 5 pasien mengatakan tidak
tahu tentang apa penyakit TB paru. Sedangkan 2 dari 5 pasien TB paru
menjawab tahu pengertian penyakit TB paru tetapi tidak mengetahui tanda
dan gejala serta pencegahnya, mereka masih enggan menggunakan masker
dan tidak menutup mulut ketika sedang batuk. Dari data tersebut, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah efekktifitas pendidikan
kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB
paru di RSUD Malingping Kabupaten Lebak tahun 2020.

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana efektifitas
pendidikan kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan
perilaku pasien TB Paru di RSUD Malingping Tahun 2020.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2020 sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode konseling
b. Diketahuinya perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2020 sesudah dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode konseling
c. Diketahuinya efektifitas sebelum dan sesudah pemberian pendidikan
kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku
pasien TB Paru di RSUD Malingping Tahun 2020

STIKes Widya Dharma Husada


7

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Rumah Sakit


Hasil peneltian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam penggunaan
pendidikan kesehatan dengan metode konseling dapat merubah perilaku
pasien TB paru. Sehingga perawat dapat mengembangkan penggunaan
metode konseling dalam merubah perilaku pasien TB paru.

2. Bagi peneliti
Peneliti mendapatkan pengalaman dalam melakukan penelitian dan hasil
dari penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi pendidikan
Memberi masukan pada institusi pendidikan mengenai efektifitas
pendidikan kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan
perilaku pasien TB Paru. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

E. RUANG LINGKUP

1. Ruang Lingkup Materi


Berdasarkan latar belakang bahwa sebagian pasien TB Paru RSUD
Malingping datang kembali karena karena putus obat atau karena muncul
kembali penyakitnya. Karena hal tersebut maka perlu dilakukan
pendidikan kesehatan dengan metode konseling karena metode ini
dirasakan dapat memberikan memberikan perubahan perilaku pada
pasien TB Paru.

2. Ruang Lingkup Responden


Untuk Mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode
konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2018, maka dilakukan penelitian pada pasien TB Paru
di RSUD Malingping yang datang keruang rawat inap dan Poliklinik
penyakit dalam dengan cara mengisi lembar kuesioner.

STIKes Widya Dharma Husada


8

3. Ruang Lingkup Waktu


Waktu penelitian ini dilaksanakan pada 1 Desember 2019 sampai dengan
29 Februari 2020.

4. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini tentang “Efektifitas Pendidikan Kesehatan
Metode Konseling Terhadap Perubahan Sikap Pasien TB Paru Di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak Tahun 2020”. Objek dalam penelitian ini
adalah pasien TB yang berkunjung ke RSUD Malingping. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui efektifitas dari pendidikan kesehatan dengan
metode konseling di RSUD Malingping Kabupaten Lebak. Metode dalam
penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan metode quasi
experiment. Tehnik yang digunakan dengan cara membandingkan
penilaian pre test dan post test pendidikan kesehatan dengan metode
konseling pada pasien TB.

STIKes Widya Dharma Husada


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERKULOSIS

1. Pengertian TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang di sebabkan oleh
kuman Mycobacterium Tuberculosis. Terdapat beberapa jenis spesies
Mycobacterium, antara lain: Mycobacterium Tuberculosis,
Mycobacterium Africanum, Mycobacterium Bovis, Mycobacterium
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai
MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.

Secara umum sifat kuman Mycobacterium Tuberculosis antara lain


adalah sebagai berikut:
a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6
mikron.
b. Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl
Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop.
c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.
d. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
e. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra
violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar
kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu.

9 STIKes Widya Dharma Husada


10

f. Kuman dapat bersifat dorman.

2. Tanda Dan Gejala TB


Penderita yang mengalami keluhan atau gejala klinis disebut terduga
pasien TB. Terduga TB biasanya akan merasakan gejala utama berupa
batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih dengan gejala tambahan
berupa:
a. Gejala Respiratorik :
1) Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkhus. Batuk terjadi
untuk membuang atau mengeluarkan produksi radang yang
dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan
sputum)
2) Sesak napas terjadi karena infiltrasi radang sudah mencapai
setengah paru-paru
3) Nyeri dada timbul jika infiltrasi radang sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis
b. Gejala Sistemik :
1) Malaise ditemukan berupa nafsu makan menurun, penurunan
berat badan, berkeringat pada malam hari walaupun tanpa
kegiatan, sakit kepala, nyeri otot badan lemah dan lesu.
2) Demam subfebris, febris (40-41°C) yang berulang lebih dari
sebulan.

3. Penularan TB
a. Sumber Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang
mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila
seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak
yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500
Mycobacterium Tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat
mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 Mycobacterium

STIKes Widya Dharma Husada


11

Tuberculosis. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4


tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia,
sebagai berikut:
1) Paparan
a) Jumlah kasus menular di masyarakat.
b) Peluang kontak dengan kasus menular.
c) Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
d) Intensitas batuk sumber penularan.
e) Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
f) Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2) Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu
setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja
kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat
dapat aktif kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum penyembuhan lesi
3) Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
a) Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup
b) Lamanya waktu sejak terinfeksi
c) Usia seseorang yang terinfeksi
d) Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan
daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV
AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan
berkembangnya TB Aktif (sakit TB).
e) Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%
diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang
dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB
dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV,

STIKes Widya Dharma Husada


12

dengan demikian penularan TB di masyarakat akan


meningkat pula.
4) Meninggal dunia
a) Akibat dari keterlambatan diagnosis
b) Pengobatan tidak adekuat.
c) Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta.
d) Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan
HIV positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian
disebabkan oleh TB.

4. Penatalaksanaan TB
a. Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan dilakukan untuk mengurangi resiko terjangkit virus
Tuberkulosis. Pencegahan dilakukan oleh semua tingkat kesehatan,
baik tenaga kesehatan, penderita, maupun masyarakat sekitar
penderita.
1) Pencegahan oleh petugas kesehatan
Memberikan vaksin imunisasi BCG secara rutin kepada balita,
tujuannya untuk mecegah terjadinya kasus infeksi TB yang
lebih berat. Melakukan upaya tempo (temukan pasien, pisahkan
secara aman, dan obati secara tepat) untuk mencegah pajanan
kuman TB kepada petugas kesehatan. Menggunakan masker
khusus dengan efisiensi tinggi yaitu N95 atau FFP2 (health care
particular respirator) untuk melindungi dari partikel < 5 mikron
yang dibawa melalui udara, menggunakan sarung tangan, lalu
mencuci tangan setelah kontak dengan pasien TB.
2) Pencegahan dilakukan pasien TB
a) Tidak bepergian ke manapun selama beberapa minggu
menjalani pengobatan, sebagai usaha pencegahan TB agar
tidak menular

STIKes Widya Dharma Husada


13

b) Sifat kuman (bakteri) TB adalah memiliki kemampuan


menyebar lebih mudah di dalam ruangan tertutup, sehingga
penderita TB perlu berada di ruangan dengan sirkulasi udara
yang baik dengan memperhatikan ventilasi udara. Buka
jendela jika ventilasi ruangan untuk sirkulasi udara kurang,
agar udara segar dapat masuk dan menggantikan udara yang
ada di dalam ruangan atau kamar tidur.
c) Menghindari udara dingin dan berusaha agar selalu
terpancar sinar matahari.
d) Selalu menggunakan masker. Hal ini merupakan langkah
pencegahan TB secara efektif dan buanglah masker yang
telah digunakan pada tempat yang aman dan tepat dari
kemungkinan terjadinya penularan TB ke lingkungan
sekitar.
e) Jangan meludah sembarang tempat, meludah hendaknya
pada wadah atau tempat tertentu yang sudah diberi
desinfektan atau air sabun.
f) Tidak menggunakan barang atau alat bersama. Semua
barang yang digunakan penderita TB harus terpisah dan
tidak boleh digunakan oleh orang lain baik keluarga maupun
teman.
g) Mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak kadar
karbohidrat dan protein tinggi.
3) Pencegahan untuk keluarga
Pencegahan penularan TB Paru keluarga sangat berperan
penting, karena salah satu tugas dari keluarga adalah melakukan
perawatan bagi anggota keluarga yang sakit dan mencegah
penularan pada anggota keluarga yang sehat. Pencegahan yang
dilakukan keluarga meliputi :
a) Keluarga harus memiliki pengetahuan tentang penyakit TB
Paru berupa penyebab TB Paru dan gejala TB Paru

STIKes Widya Dharma Husada


14

b) Keluarga memiliki pengetahuan tentang cara penularan TB


Paru yaitu melalui batuk langsung, makanan, pemakaian
barang bersama, percikan dahak penderita TB Paru, dan
kebiasaan merokok.
c) Melakukan tindakan yang dapat mencegah penularan
penyakit TB Paru dalam keluarga seperti memisahkan
makanan dengan penderita TB Paru, memisahkan alat
makanan dengan penderita TB Paru, mengurangi kontak
aktif dengan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru
saat batuk, menghindari penularan melalui dahak penderita
TB Paru dengan mengingatkan pasien untuk tidak
membuang dahak sembarangan.
d) Membuka jendela rumah untuk membunuh kuman TB
e) Menjemur kasur pasien TB Paru untuk membunuh kuman
TB yang tertinggal pada kasur
f) Mengingatkan penderita TB untuk menutup mulut saat
batuk
g) Menyediakan tempat khusus untuk membuang dahak bagi
penderita TB Paru
h) Imunisasi BCG pada balita dirumah
4) Pencegahan untuk masyarakat
a) Mengurangi kontak secara aktif pada penderita TB Paru saat
batuk, bersin, atau teratwa.
b) Menjaga standar hidup yang baik, dengan mengonsumsi
makanan bergizi, menjagalingkungan sehat, dan menjaga
kebugaran tubuh dengan berolahraga.

5. Pengobatan TB
Pengobatan TB adalah pengobatan jangka panjang, biasanya selama 6-9
bulan dengan paling sedikit 3 macam obat. Pengobatan simtomatik
diberikan untuk meredakan batuk, menghentikan perdarahan dan
keluhan lainnya, sedangkan pengobatan suportif diberikan untuk
meningkatkan kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh penderita.

STIKes Widya Dharma Husada


15

a. Klasifikasi pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


1) Pasien baru
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah penah menelan OAT namun kurang dari
1 bulan.
2) Pasien yang pernah diobati
Pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan
atau lebih, yang diklasifikasikan menjadi :
a) Pasien kambuh
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, dan saat pemeriksaan bakteriologis atau klinis
terdiganosis TB
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up
d) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

b. Hasil Pengobatan Pasien TB


1) Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan
pemeriksaan dahak ulang (follow up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan.
2) Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak ada hasil pemeriksaan dahak ulang pada akhir
pengobatan.

STIKes Widya Dharma Husada


16

3) Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan,
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh
hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT.
4) Meninggal
Pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
5) Putus berobat (lost to follow-up)
Pasien yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
6) Pindah (transfer out)
Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan
(register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
7) Tidak Dievaluasi
8) Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.

c. Tahapan Pengobatan TB
1) Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Pengobatan pada tahap ini
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan pada
tahap awal diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu.
2) Tahap lanjut
Pengobatan pada tahap ini bertujuan untuk membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

STIKes Widya Dharma Husada


17

kekambuhan. Diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4


bulan, diminum sebanyak 48 kali.

b. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Tabel 2.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakteriosidal Neuropati perifer,
Psikosis toksik,
Gangguan fungsi hati,
Kejang
Rifampisin (R) Bakteriosidal Flu syndrome, Gangguan
gastrointestinal, Urine
berwarna merah,
Gangguan fungsi hati,
Trombositopeni, Demam,
Skin rash, Sesak nafas,
Anemia, hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakteriosidal Gangguan gastrointes
tinal, Gangguan fungsi
hati, Gout artritis
Streptomisin (S) Bakteriosidal Nyeri di tempat suntikan,
Gangguan keseimbangan
dan pendengaran,
Renjatan anafilatik,
Anemia, agranulositosis,
Trombositopeni
Ethambutol (E) Bakteriosidal Gangguan penglihatan,
Buta warna Neuritiss
perifer
Sumber : Kemenkes RI, 2014

c. Penatalaksanaan efek samping obat


Secara umum efek samping yang terjadi pada pasien berupa efek
samping ringan dan efek samping berat. Efek samping ini
disebabkan oleh konsumsi obat anti tuberculosis. Pada pasien
dengan efek samping ringan tetap dilanjutkan pengobatan dan
diberikan petunjuk cara mengatasi efek samping tersebut atau
pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.

STIKes Widya Dharma Husada


18

Efek samping ringan obat anti tuberkulosis adalah sebagai berikut :


1) Tidak nafsu makan, mual, dan sakit perut
Keluhan tidak nafsu makan, mual, dan sakit perut disebabkan
oleh penggunaan obat jenis H, R, dan Z. Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan tersebut adalah
dengan meminum OAT sebelum tidur. Jika keluhan masih ada
dapat diminum dengan sedikit makanan. Jika keluhan bertambah
berat disertai muntah segera rujuk ke dokter.
2) Nyeri sendi
Nyeri sendi dapat terjadi karena penggunaan jenis obat Z. Hal
ini dapat diatasi dengan aspirin, parasetamol, atau obat anti
radang non steroid. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
dengan berolahraga seperti senam, lari kecil, atau berjalan.
3) Kesemutan sampai dengan rasa terbakar di telapak kaki atau
tangan
Keluhan ini disebabkan jenis obat H. Kesemutan dapat diatasi
dengan pemberian vitamin B6 50-75 mg per hari.
4) Warna kemerahan pada urin
Warna merah pada urine disebabkan jenis obat R. Hal ini tidak
berbahaya dan tidak perlu diberi obat penawar tetapi perlu
pejelasan yang jelas kepada pasien
5) Flu sindrom
Flu sindrom seperti demam, menggigil, lemas, sakit kepala dan
nyeri tulang, disebabkan karena jenis obat R dengan dosis
intermiten. Untuk mengatasi efek samping, dosis pemberian R
diubah dari intermiten menjadi setiap hari.

Efek samping berat pada obat anti tuberkulosis adalah


sebagai berikut :
a) Bercak kemerahan pada kulit (rash)
Pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada
penyebab lain, maka diberikan pengobatan simtomatis
dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan OAT

STIKes Widya Dharma Husada


19

tetap dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Jika pasien


mengeluh gatal dan terjadi rash, OAT dihentikan, rujuk
kepada dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan.Kemudian dilakukan “Drug Challenging”,OAT
diberikan kembali setelah reaksi dapat teratasi. Pemberian
OAT secara bertahap satu persatu mulai dari dosis yang
paling kecil, dosis ditingkatkan dalam waktu 3 hari.Apabila
tidak terjadi reaksi, ditambahkan 1 macam OAT. Jika timbul
reaksi setelah diberikan OAT tertentu, menunjukkan bahwa
OAT tersebut adalah penyebab reaksi pada kulit. Pengobatan
dapat dilakukan tanpa menggunakan OAT tersebut.
b) Gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan
Gangguan terjadi disebabkan oleh jenis obat S. OAT jenis S
lalu dihentikan untuk mengatasi gangguan pendengaran dan
keseimbangan, pengobatan dilanjutkan tanpa OAT S.
c) Gangguan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi hati dapat diketahui melalui
pemeriksaan : SGOT, SGPT, dan bilirubin untuk
mengetahui penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan. Pengobatan dilakukan sampai fungsi hati
membaik dan keluhan mual, sakit perut, ikterus, dan lemas
telah hilang, dan pemeriksaan palpasi hati sudah tidak
teraba. Gangguan fungsi hati terjadi karena jenis OAT H, R,
dan Z. Maka konsumsi OAT yang bersifat hepatotoksik
dihentikan.

B. PENDIDIKAN KESEHATAN

1. Pengertian Pendidikan Kesehatan


Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan. secara umum adalah
segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik
individu, kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa

STIKes Widya Dharma Husada


20

yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dan


batasan ini tersirat unsure-unsur input (sasaran dan pendidik dari
pendidikan), proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi
orang lain) dan output (melakukan apa yang diharapkan). Hasil yang
diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan adalah
perilaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang kondusif oleh sasaran dari promosi kesehatan.
(Notoadmojo, 2012)

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan


Promosi kesehatan mempengaruhi 3 faktor penyebab terbentuknya
perilaku tersebut Green dalam (Notoadmojo, 2012) yaitu :
a. Promosi kesehatan dalam faktor-faktor predisposisi
Promosi kesehatan bertujuan untuk mengunggah kesadaran,
memberikan atau meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
pemeliharaan dan penigkatan kesehatan bagi dirinya sendiri,
keluarganya maupun masyarakatnya. Disamping itu, dalam
konteks promosi kesehatan juga memberikan pengertian tentang
tradisi, kepercayaan masyarakat dan sebagainya, baik yang
merugikan maupun yang menguntungkan kesehatan. Bentuk
promosi ini dilakukan dengan penyuluhan kesehatan, pameran
kesehatan, iklan-iklan layanan kesehatan, billboard, dan
sebagainya.
b. Promosi kesehatan dalam faktor-faktor enabling (penguat)
Bentuk promosi kesehatan ini dilakukan agar masyarakat dapat
memberdayakan masyarakat agar mampu mengadakan sarana dan
prasarana kesehatan dengan cara memberikan kemampuan dengan
cara bantuan teknik, memberikan arahan, dan cara-cara mencari
dana untuk pengadaan sarana dan prasarana.
c. Promosi kesehatan dalam faktor reinforcing (pemungkin)
Promosi kesehatan pada faktor ini bermaksud untuk mengadakan
pelatihan bagi tokoh agama, tokoh masyarakat, dan petugas
kesehatan sendiri dengan tujuan agar sikap dan perilaku petugas

STIKes Widya Dharma Husada


21

dapat menjadi teladan, contoh atau acuan bagi masyarakat tentang


hidup sehat.

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan


Beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pendidikan kesehatan
dapat mencapai sasaran (Saragih, 2010) yaitu :
a. Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap
informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang
menerima informasi yang didapatnya.
b. Tingkat Sosial Ekonomi
Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin mudah
pula dalam menerima informasi baru.
c. Adat Istiadat
Masyarakat kita masih sangat menghargai dan menganggap adat
istiadat sebagai sesuatu yang tidak boleh diabaikan.
d. Kepercayaan Masyarakat
Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh
orang-orang yang sudah mereka kenal, karena sudah ada
kepercayaan masyarakat dengan penyampai informasi.
e. Ketersediaan waktu di masyarakat
Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat
aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat
dalam penyuluhan.

4. Metode Pendidikan Kesehatan


Menurut Notoadmojo (2012), berdasarkan pendekatan sasaran yang
ingin dicapai, penggolongan metode pendidikan ada 3 (tiga) yaitu:
a. Metode berdasarkan pendekatan perorangan
Metode ini bersifat individual dan biasanya digunakan untuk
membina perilaku baru, atau membina seorang yang mulai tertarik
pada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Dasar digunakannya
pendekatan individual ini karena setiap orang mempunyai masalah

STIKes Widya Dharma Husada


22

atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan


atau perilaku baru tersebut. Ada 2 bentuk pendekatannya yaitu :
1) Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and Counceling)
Dengan cara ini kontak antara klien dan petugas lebih intensif.
Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat diteliti dan
dibantu penyelesaiannya. Akhirnya klien tersebut dengan
sukarela, berdasarkan kesadaran, dan penuh pengertian akan
menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku).
2) Wawancar
Cara ini digunakan untuk menggali informasi mengapa ia tidak
atau belum menerima perubahan, apakah ia tertarik atau tidak
terhadap perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang
sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian
dan kesadaran yang kuat.
b. Metode berdasarkan pendekatan kelompok
Penyuluh berhubungan dengan sasaran secara kelompok. Dalam
penyampaian promosi kesehatan dengan metode ini kita perlu
mempertimbangkan besarnya kelompok sasaran serta tingkat
pendidikan formal dari sasaran. Ada 2 jenis tergantung besarnya
kelompok, yaitu :
1) Kelompok besar
2) Kelompok kecil
c. Metode berdasarkan pendekatan massa
Metode pendekatan massa ini cocok untuk mengkomunikasikan
pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat.
Sehingga sasaran dari metode ini bersifat umum, dalam arti tidak
membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
social ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya, sehingga
pesan-pesan kesehatan yang ingin disampaikan harus dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa.

STIKes Widya Dharma Husada


23

5. Media Pendidikan
Media sebagai alat bantu menyampaikan pesan-pesan kesehatan. Alat-
alat bantu tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut (Notoadmojo,
2012) :
a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan
b. Mencapai sasaran yang lebih banyak
c. Membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam pemahaman
d. Menstimulasi sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan –pesan
yang diterima oran lain
e. Mempermudah penyampaian bahan atau informasi kesehatan
f. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran/ masyarakat
g. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih
mendalami, dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik
h. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh

Dengan kata lain media ini memiliki beberapa tujuan yaitu :


a. Tujuan yang akan dicapai
1) Menanamkan pengetahuan/pengertian, pendapat dan konsep-
konsep
2) Mengubah sikap dan persepsi
3) Menanamkan perilaku/kebiasaan yang baru
b. Tujuan penggunaan alat bantu
1) Sebagai alat bantu dalam latihan/penataran/pendidikan
2) Untuk menimbulkan perhatian terhadap suatu masalah
3) Untuk mengingatkan suatu pesan/informasi
4) Untuk menjelaskan fakta-fakta, prosedur, tindakan

Ada beberapa bentuk media penyuluhan antara lain (Notoadmojo,


2012) :
a. Berdasarkan stimulasi indra
1) Alat bantu lihat (visual aid) yang berguna dalam membantu
menstimulasi indra penglihatan

STIKes Widya Dharma Husada


24

2) Alat bantu dengar (audio aids) yaitu alat yang dapat membantu
untuk menstimulasi indra pendengar pada waktu penyampaian
bahan pendidikan/pengajaran
3) Alat bantu lihat-dengar (audio visual aids)
b. Berdasarkan pembuatannya dan penggunaannya
1) Alat peraga atau media yang rumit, seperti film, film strip, slide,
dan sebagainya yang memerlukan listrik dan proyektor
2) Alat peraga sederhana, yang mudah dibuat sendiri dengan bahan
– bahan setempat
c. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur media kesehatan
1) Media Cetak
a) Leaflet
Merupakan bentuk penyampaian informasi kesehatan
melalui lembaran yang dilipat. Keuntungan menggunakan
media ini antara lain : sasaran dapat menyesuaikan dan
belajar mandiri serta praktis karena mengurangi kebutuhan
mencatat, sasaran dapat melihat isinya disaat santai dan
sangat ekonomis, berbagai informasi dapat diberikan atau
dibaca oleh anggota kelompok sasaran, sehingga bisa
didiskusikan, dapat memberikan informasi yang detail yang
mana tidak diberikan secara lisan, mudah dibuat,
diperbanyak dan diperbaiki serta mudah disesuaikan dengan
kelompok sasaran. Sementara itu ada beberapa kelemahan
dari leaflet yaitu : tidak cocok untuk sasaran individu per
individu, tidak tahan lama dan mudah hilang, leaflet akan
menjadi percuma jika sasaran tidak diikutsertakan secara
aktif, serta perlu proses penggandaan yang baik. (Lucie,
2010)

b) Booklet
Booklet adalah suatu media untuk menyampaikan pesan-
pesan kesehatan dalam bentuk tulisan dan gambar. Booklet
sebagai saluran, alat bantu, sarana dan sumber daya

STIKes Widya Dharma Husada


25

pendukungnya untuk menyampaikan pesan harus


menyesuaikan dengan isi materi yang akan disampaikan.

Menurut Kemm dan Close dalam Aini (2010) booklet


memiliki beberapa kelebihan yaitu:
1) Dapat dipelajari setiap saat, karena disain berbentuk
buku.
2) Memuat informasi relatif lebih banyak dibandingkan
dengan poster.

Menurut Ewles dalam Aini (2010), media booklet memiliki


keunggulan sebagai berikut :
1) Klien dapat menyesuaikan dari belajar mandiri.
2) Pengguna dapat melihat isinya pada saat santai.
3) Informasi dapat dibagi dengan keluarga dan teman.
4) Mudah dibuat, diperbanyak dan diperbaiki serta mudah
disesuaikan.
5) Mengurangi kebutuhan mencatat.
6) Dapat dibuat secara sederhana dengan biaya relatif
murah.
7) Awet
8) Daya tampung lebih luas
9) Dapat diarahkan pada segmen tertentu.

Manfaat booklet sebagai media komunikasi pendidikan


kesehatan adalah :
1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
2) Membantu di dalam mengatasi banyak hambatan.
3) Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih
banyak dan cepat.
4) Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan
pesan-pesan yang diterima kepada orang lain.
5) Mempermudah penyampaian bahasa pendidikan.

STIKes Widya Dharma Husada


26

6) Mempermudah penemuan informasi oleh sasaran


pendidikan.
7) Mendorong keinginan orang untuk mengetahui lalu
mendalami dan akhirnya mendapatkan pengertian yang
lebih baik.
8) Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh.

c) Flyer (selembaran)
d) Flip chart (lembar balik)
Media penyampaian pesan atau informasi kesehatan dalam
bentuk buku di mana tiap lembar berisi gambar peragaan
dan lembaran baliknya berisi kalimat sebagai pesan
kesehatan yang berkaitan dengan gambar. Keunggulan
menggunakan media ini antara lain : mudah dibawa, dapat
dilipat maupun digulung, murah dan efisien, dan tidak perlu
peralatan yang rumit. Sedangkan kelemahannya yaitu terlalu
kecil untuk sasaran yang berjumlah relatif besar, mudah
robek dan tercabik. (Lucie, 2010)

e) Rubrik (tulisan – tulisan surat kabar), poster, dan foto

2) Media Elektronik
a) Video dan film strip
Keunggulan penyuluhan dengan media ini adalah dapat
memberikan realita yang mungkin sulit direkam kembali
oleh mata dan pikiran sasaran, dapat memicu diskusi
mengenai sikap dan perilaku, efektif untuk sasaran yang
jumlahnya relatif penting dapat diulang kembali, mudah
digunakan dan tidak memerlukan ruangan yang gelap.
Sementara kelemahan media ini yaitu memerlukan
sambungan listrik, peralatannya beresiko untuk rusak, perlu
adanya kesesuaian antara kaset dengan alat pemutar,
membutuhkan ahli profesional agar gambar mempunyai

STIKes Widya Dharma Husada


27

makna dalam sisi artistik maupun materi, serta


membutuhkan banyak biaya. (Lucie, 2010)
b) Slide
Keunggulan media ini yaitu dapat memberikan berbagai
realita walaupun terbatas, cocok untuk sasaran yang
jumlahnya relatif besar, dan pembuatannya relatif murah,
serta peralatannya cukup ringkas dan mudah digunakan.
Sedangkan kelemahannya memerlukan sambungan listrik,
peralatannya beresiko mudah rusak dan memerlukan
ruangan sedikit lebih gelap. (Lucie, 2010)

C. KONSEP KONSELING

1. Pengertian Konseling
Berikut ini pengertian konseling menurut beberapa ahli:
a) proses interaksi anatara dua orang individu (konselor dan klien),
dalam suasana profesional, yang berfungsi dan bertujuan untuk
memudahkan perubahan tingkah laku klien (Prayitno dan Amti, cit
Pepinsky. 2008).
b) Bentuk hubungan antara dua orang, yaitu klien yang dibantuk untuk
lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya
sendiri dan lingkungannya (Yusuf dan Nurihsan,2010).

2. Tujuan Konseling

Tujuan konseling secara umum adalah membantu individu


mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan
dan predisposisi yang dimilikinya, serta sesuai dengan tuntutan positif
lingkungannya. Secara khusus tujuan konseling berkaitan langsung
dengan individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas
permasalahannya. Oleh karena itu, tujuan khusus konseling untuk
masing-masing individu bersifat unik pula. (Prayitno dan Amti, 2008).

STIKes Widya Dharma Husada


28

3. Metode dan Proses Konseling


Metode konseling sangat beragam. Menurut Karasu, terdapat lebih dari
empat ratus model konseling dan psikotherapi (Mc Leod, 2008). Secara
umum terdapat tiga pendekatan inti, yaitu psikodinamik, kognitif-
behavorial, dan humanistik. Terdapat pula keragaman dalam parktik
konseling. Ada yang melakukan dengan bertatapan muka, dalam group,
dengan pasangan dan keluarga, lewat telepon, dan bahkan melalui
materi tertulis, seperti buku dan panduan mandiri (Mc Leod; 2008).
Pemilihan metode konseling ditentukan oleh masing-masing konselor
yang disesuaikan dengan tujuan konseling.

4. Proses Konseling
Dalam praktik dokter keluarga, proses konseling dapatr digambarkan
sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga tahapan:

Tahap 1 : Membangun hubungan


Tahap yang pertama dari konseling adalah membangun hubungan.
Penting bahwa waktu di korbankan di dalan membangun hubungan ini.
Untuk membuat hal ini mungkin koselor harus siap dan berkeinginan
mengindahkan atau memperhatikan klien. Pada tahap ini diperlukan
keterampilan mendengarkan dengan seksama dan mencoba untuk
memahami perasaan dan pemikiran klien. Tujuannya untuk memberi
perhatian pada klien dan mengembangkan hubungan yang mendukung
konseling.

Tahap 2 : Mengeksplorasi dan Memahami


Pada fase ini, konselor masuk lebih jauh kedalam dunia klien. Untuk
melakukan ini, konselor harus berusaha untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang klien. Hal ini dicapai dengan menerapkan
ketrampilan menyelidik, pemberian informasi, klarifikasi untuk
meyakinkan arti dari pesan pesan dan perasaan yang disampaikan klien.
Tujuan dari fase ini membuat klien mampu mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang dirinya, keadaannya dan masalah yang dihadapi.

STIKes Widya Dharma Husada


29

Konselor juga harus membantu klien dan memotifasi untuk terlibat


dalam diskusi rasional untuk memecahkan masalahnya.

Tahap 3 : Diskusi Rasional


Tujuan dari diskusi rasional adalah membantu klien memandang
masalahnya dengan cara yang sehat dan masuk akal. Hal ini secara
umum terbagi menjadi tiga fase, yaitu : pernyataan masalah dan
penatalaksanaan, penentuan sasaran pengobatan dan implementasinya,
serta evaluasi yang meliputi:
a) Pernyataan masalah dan penatalaksaan
Tidak mudah mendefinisikan masalah. Petugas dihadapakan dengan
keluhan yang jenisnya sangat beragam dan kompleks. Misalnya pada
dihadapi penyakit kronis atau rasa sedih karena di tinggal orang
yang dicintai.
b) Penentuan sasaran pengobatan dan implementasinya
Pada tahap ini dirumuskan pemecahan masalah dengan jelas dan
spesifik sesuai yang diharapkan pasien yang mungkin diterapkan.
Konselor dan klien dapat juga bernegosisi untuk memodifikasi
harapan yang tidak relealitis, dan mengarahkannya pada tujuan yang
saling menguntungkan dan dapat di sepakati. Setelah tujuan terapi
jelas, langkah selanjutnya adalah membuat kontrak terapi. Selama
fase ini konselor melibatkan klien untuk mengesplorasi cara-cara
baru dalam befikir dan bersikap untuk mencapai tujuan terapi yang
telah dibuat. Klien sering membuat perubahan yang substansif pada
fase ini.
c) Penutupan dan evaluasi
Mengakhiri pertemuan dengan pasien dan konselor mengevaluasi
dan memberikan penilaian akan perkembangan pasien

5. Mengubah Perilaku dengan Konseling


Prochaska dan Di Clemente mengidentifikasi empat tahap dalam proses
perubahan perilaku sehat (Gan, dkk; 2008) :
a) Prekontemplasi yaitu ketika seseorang tidak tertarik dan tidak
berpikir tentang perubahan

STIKes Widya Dharma Husada


30

b) Kontemplasi yaitu ketika seseorang memiliki kesadaran yang serius


untuk melakukan perubahan perilaku
c) Aksi
d) Pemeliharaan

D. PERILAKU

1. Definisi Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara,
menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku
manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar
(Notoatmodjo, 2003). Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.

2. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut.
Secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu :
a) Perilaku Pasif (respons internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu
dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap
belum ada tindakan yang nyata.
b) Perilaku Aktif (respons eksternal)
Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang
dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.

3. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan dan lingkungan. Respon atau reaksi organisme dapat

STIKes Widya Dharma Husada


31

berbentuk pasif (respons yang masih tertutup) dan aktif (respons


terbuka, tindakan yang nyata atau practice/psychomotor).
Menurut Notoatmodjo (2003), rangsangan yang terkait dengan perilaku
kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan.

4. Perilaku Terhadap Sakit Dan Penyakit


Perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan
penyakit yang bersifat respons internal (berasal dari dalam dirinya)
maupun eksternal (dari luar dirinya), baik respons pasif (pengetahuan,
persepsi, dan sikap), maupun aktif (praktik) yang dilakukan sehubungan
dengan sakit dan penyakit. Perilaku seseorang terhadap sakit dan
penyakit sesuai dengan tingkatan-tingkatan pemberian pelayanan
kesehatan yang menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan pencegahan
penyakit, yaitu:
a) Perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan (health promotion
behavior)
b) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)
c) Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)
d) Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior)

5. Perilaku Pencegahan Penyakit


Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai
reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Pada
manusia khususnya dan pada berbagai spesies hewan umumnya
memang terdapat bentuk-bentuk perilaku instinktif (species–specific
behavior) yang didasari oleh kodrat untuk mempertahankan kehidupan.
Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah
sifat diferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan
lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang
berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama.

STIKes Widya Dharma Husada


32

Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi


perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan
beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada 3 hal yaitu :
a) Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh
sikap yang spesifik terhadap sesuatu.
b) Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh
norma-norma subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita
mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat.
c) Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma–norma subjektif
membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Secara sederhana, teori ini mengatakanbahwa seseorang akan


melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif
dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.
Dalam teori perilaku terencana keyakinan–keyakinan berpengaruh pada
sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma–norma subjektif dan pada
kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan
menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan
apakah perilaku yang bersangkutan dilakukan atau tidak (Azwar, 2007).

Menurut Green dalam buku Notoatmodjo (2003), menganalisis bahwa


perilaku manusia dari tingkatan kesehatan. Kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku
(behaviour causer) dan faktor dari luar perilaku (non behaviour
causer). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari
3 faktor yaitu :
a) Faktor–faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya.
b) Faktor–faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana kesehatan misalnya Puskesmas, obat-obatan,
alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.

STIKes Widya Dharma Husada


33

c) Faktor–faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud


dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain,
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Di simpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang


kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan
sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping
itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan
terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku. Menurut Leavel dan Clark yang disebut
pencegahan adalah segala kegiatan yang dilakukan baik langsung
maupun tidak langsung untuk mencegah suatu masalah kesehatan atau
penyakit. Pencegahan berhubungan dengan masalah kesehatan atau
penyakit yang spesifik dan meliputi perilaku menghindar (Notoatmodjo,
2007).

STIKes Widya Dharma Husada


34

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Konsep merupakan abstrak yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal


khusus, oleh karena konsep merupakan abstrak, maka konsep tidak dapat
langsung di amati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati dan diukur
melalui kontruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Variabel
adalah symbol atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan dari
konsep dan variabel merupakan suatu yang bervariasi (Notoatmodjo, 2010).
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur dengan penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan teori yang telah di jelaskan pada tinjauan pustaka dan uraian
latar belakang maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas
pendidikan kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku
pasien TB Paru di RSUD Malingping Tahun 2020. Dari uraian tersebut,
skematik kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Pendidikan Kesehatan
Perilaku Pasien TB Paru
dengan Metode Konseling

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

34 STIKes Widya Dharma Husada


35

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Definisi
No Variabel Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Pendidikan Kegiatan - - -
Kesehatan menyampaikan
dengan informasi
Metode dengan metode
Konseling konseling yang
berisi tentang
penyakit TB
Paru
2. Perilaku Suatu hal yang Kuesioner Nilai minimal Numerik
Pasien TB sering dilakukan 17 dan nilai
Paru atau sudah maksimal 68
menjadi
kebiasaan pasien
TB Paru
terhadap TB
Paru yang
dideritanya dan
lingkungan
sekitar
rumahnya

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah alternatif dugaan jawaban sementara yang dibuat oleh


peneliti bagi problematika yang diajukan dalan sebuah penelitian (Arikunto,
2010).
Adapun hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Adakah pengaruh efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode
konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2020

STIKes Widya Dharma Husada


36

2. Tidak ada pengaruh efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode


konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2020

STIKes Widya Dharma Husada


37

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Desain penelitian ini digunakan untuk menguji efektifitas pendidikan


kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB
Paru di RSUD Malingping Tahun 2020. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif, dengan menggunakan metode quasi experimen design dengan
rancangan pre and post test without control. Pada metode ini peneliti hanya
melakukan intervensi pada satu kelompok tanpa kelompok pembanding.
Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandingkan nilai pre test
dengan post test (Dharma, 2011). Bentuk rancangan metode ini adalah
sebagai berikut:

Pre Test Perlakuan Post Test


01 X 02

Gambar 4.1 Desain Penelitian

Keterangan :
01 = Perilaku pasien TB Paru di RSUD Malingping sebelum dilakukan
intervensi pendidikan kesehatan dengan metode konseling
X = Intervensi pendidikan kesehatan dengan metode konseling
02 = Perilaku pasien TB Paru di RSUD Malingping sesudah dilakukan
intervensi pendidikan kesehatan dengan metode konseling

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di RSUD Malingping dan waktu penelitian


ini dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 2019 sampai dengan 29 Februari
2020.

37 STIKes Widya Dharma Husada


38

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
populasi adalah seluruh kesatuan kasus yang menjadikan peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian (Polit & Beck, 2012). Populasi dalam
penelitian ini adalah Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang
berkunjung ke RSUD Malingping yang berdiagnosa medis TB Paru
kasus berulang. Adapun jumlah kasus tersebut dari bulan Januari sampai
dengan bulan Oktober 2019 sebanyak 27 responden.

2. Sampel
Sampel adalah bagian atau jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada populasi, misal karena keterbatasan
dana, tenaga dan waktu, maka peneliti akan mengambil sampel dari
populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan
diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari
populasi harus betul-betul representative ( Sugiyono, 2014).

Teknik pengambilan sampel merupakan suatu proses seleksi sampel yang


digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah
sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2012).
Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
metode accidental sampling. Dimana responden diambil dari pasien yang
ada pada waktu penelitian.

D. Instrumen Penelitian

Instrument pada penelitian ini menggunakan kuisioner. Kuisioner untuk


mengukur perilaku yaitu terdiri dari 20 pertanyaan dengan bentuk skala likert,
dimana pertanyaan favorable bila jawaban selalu nilai 4, sering diberi nilai 3,
kadang-kadang diberi nilai 2 dan tidak pernah diberi nilai 1. Sedangkan untuk
pertanya unfavorable bila jawaban tidak pernah diberi nilai 4, jawaban

STIKes Widya Dharma Husada


39

kadang-kadang diberi nilai 3, jawaban sering diberi nilai 2, dan selalu diberi
niali 1.

E. Uji Coba Instrument Penelitian

Untuk mengetahui keabsahan alat ukur maka dilakukan uji instrumen


penelitian yaitu uji validitas dan reliabilitas.
1. Validitas
Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada
objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti
(Notoadmodjo, 2010). Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan
alat ukur ini benar – benar mengukur apa yang diukur. Tehnik korelasi
yang digunakan adalah korelasi pearson product moment yang
dirumuskan sebagai berikut :
N (∑XY) – (∑X)(∑Y)
R=
{N∑X² - (∑X)²} x {N∑Y² - (∑Y) ²}

Keterangan :
R : Koefisien Koreklasi
N : Jumlah responden
∑X : Jumlah jawaban responden untuk instrumen ke X
∑Y : Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen
∑X² : Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen yang
dikuadratkan
∑Y² : Jumlah jawaban responden untuk instrumen ke X yang
dikuadratkan

Keputusan uji validitas :


Bila r hitung > r tabel maka Ho ditolak artinya variabel valid, dan bila r
hitung < r tabel maka Ho gagal ditolak artinya variabel tidak valid

Untuk mengetahui apakah nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan itu


signifikan, maka perlu dilihat pada r table. Dikatakan valid jika r hitung

STIKes Widya Dharma Husada


40

lebih besar dari r tabel dan dikatakan tidak valid jika r hitung lebih kecil
dari r tabel (Hastono, 2002).

Uji validitas menggunakan sistem komputerisasi pengolahan data.


Instrumen yang diuji terdiri dari 20 pernyataan perilaku.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada tanggal 19-20 Januari 2018
di RSUD Adjidarmo Lebak, pada pasien Tb Paru di Poliklinik Paru
sebanyak 10 orang. Karena menurut Notoatmodjo (2010), bahwa
responden yang digunakan untuk uji coba sebaiknya harus memiliki ciri-
ciri responden dari tempat dimana penelitian itu dilaksanakan.

Hasil uji validitas untuk instrumen penelitian tentang perilaku yaitu dari
20 item pertanyaan terdapat 3 item pertanyaan (nomor 13,16,20) yang
kurang dari r tabel (0,632) artinya 3 item pertanyaan tersebut tidak valid
dan sisanya (17 pertanyaan) lebih besar dari r tabel (0,632). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa 17 pertanyaan valid, adapun nilai r hitung
terendah pada instrumen tentang perilaku yaitu (0,408) dan r hitung
tertingginya (0,967).

2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoadmodjo, 2010).
Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan one shot atau sekali ukur perhitungan dilakukan dengan
system komputer. Suatu instrumen dikatakan reliabel bila r α ≥ r tabel,
dan dikatakan tidak reliabel bila r α < r tabel. Langkah-langkah yang
digunakan antara lain menggunakan kuesioner kepada sejumlah
responden, kemudian dihitung validitas masing-masing pertanyaannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang valid dihitung, sedangkan yang tidak valid
dibuang. Pertanyaan yang sudah valid dilakukan uji reliabilitas dengan

STIKes Widya Dharma Husada


41

cara membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil, nilai r hasil adalah
nilai alpha yang terletak di akhir output (Hastono, 2002).
Hasil uji reliabilitas untuk pertanyaan perilaku didapatkan nilai
Cronbach’s Alpha sebesar 0,967. Kemudian nilai tersebut dibandingkan
dengan nilai r tabel (0,632). Dari perbandingan nilai tersebut didapatkan
nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari r tabel maka dapat disimpulkan
instrument tersebut reliable. Nilai Cronbach’s Alpha tersebut juga bisa
dibandingkan dengan ketentuan menurut Nunnaly (1967) dalam Santoso,
S (2014). Nunnally (1967) mengatakan batas minimal reliabilitas
menggunakan Cronbach Alpha adalah 0,6. Perbandingan nilai
Cronbach’s Alpha pada pertanyaan perilaku lebih besar dari 0,6 maka
dapat disimpulkan instrument tersebut reliable. Selanjutnya instrumen
tersebut dapat digunakan untuk instrumen penelitian.

F. Prosedur dan Pengumpulan data


1. Tahap administratif
a) Peneliti akan mengurus proses administrasi untuk melakukan
pengumpulan data, setelah dinyatakan lulus ujian proposal penelitian
dan mendapat persetujuan dari pembimbing dan penguji
b) Peneliti mengajukan ijin di STIKes Faletehan Serang dan selanjutnya
ijin penelitian kepada Direktur RSUD Malingping
c) Setelah mendapatkan kedua ijin diatas peneliti akan melakukan
koordinasi dengan kepala bidang keperawatan, kepala bidang
pendidikan dan penelitian RSUD serta Kepala Ruang Rawat Inap dan
poliklinik penyakit dalam yang akan digunakan sebagai tempat
penelitian serta berbagai pihak yang terkait dengan penelitian.

2. Tahap pelaksanaan atau prosedur klinis


a) Peneliti melakukan pertemuan dengan Kepala Ruang Rawat Inap,
poliklinik penyakit dalam RSUD Malingping dan Puskesmas di
wilayah Malingping untuk mengidentifikasi pasien TB Paru

STIKes Widya Dharma Husada


42

b) Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian kepada


responden. Apabila responden tidak keberatan dan bersedia, respoden
diminta untuk menandatangani informed consent.
c) Peneliti melakukan pre test dengan instrument kuisioner setelah
menandatangani informed consent.
d) Setelah itu, peneliti akan memberikan pendidikan kesehatan dengan
metode konseling tentang TB Paru serta perawatannya
e) Peneliti melakukan post test dengan instrumen kuisioner pada saat
kontrol ulang sekitar 1 atau 2 minggu berikutnya.
f) Peneliti melakukan pertemuan dengan kepala ruangan rawat inap dan
perawat poliklinik dan tim keperawatan dan menyampaikan hasil
penelitian sementara sekaligus membicarakan rencana tindak lanjut
g) Setelah selesai rangkaian program penelitian maka peneliti melakukan
terminasi dan memberikan ungkapan terimakasih

G. Pengelolaan dan Analisis Data

1. Pengelolaan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu editing, coding, entering, tabulating, cleaning dan analyzing
dengan penjelasan berikut:
a) Editing dilakukan dengan memeriksa kembali data yang telah
diperoleh, melakukan pemeriksaan kelengkapan data, jika masih ada
yang kurang maka data akan dilengkapi dan jika ada kekeliruan akan
diperbaiki. Pada tahap ini peneliti memastikan bahwa instrumen
sudah lengkap dan diisi dengan benar.
b) Coding, Peneliti memberi kode pada data menjadi bentuk angka
untuk memudahkan proses analisis data.
c) Entering dilakukan dengan memasukkan data ke dalam komputer
untuk dilakukan analisa data.
d) Tabulating yaitu mengelompokan data kedalam kategori yang telah
ditentukan dan dilakukan tabulasi. Proses tabulasi data meliputi

STIKes Widya Dharma Husada


43

mempersiapkan tabel dan kolom dan baris yang telah disusun cermat
sesuai kebutuhan, menghitung banyaknya frekuensi untuk tiap
kategori jawaban, menyusun distribusi dan tabel frekuensi dengan
tujuan agar data dapat tersusun rapih, mudah untuk dibaca dan
dianalisis.
e) Cleaning merupakan proses pembersihan data. Data yang telah
dimasukkan kedalam program komputer diperiksa kembali
kebenarannya dengan cara melihat missing, variasi dan
konsistensinya data.
f) Anayizing dilakukan dengan menganalisis data yang didapat dan
melakukan interprestasi data.

2. Analisis Data
a) Analisis univariat
Peneliti menggunakan analisis deskriptif (frekuensi dan presentase)
untuk mendeskripsikan variabel yang diteliti dengan menggunakan
uji analisis deskriptif. Analisis univariat penelitian ini yaitu
mengenai perilaku. Tujuan analisa univariate ini untuk melihat
kelayakan data dan mengetahui gambaran atau deskripsi dari
variabel penelitian Dalam analisis ini data disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik dari
tiap variabel.

b) Analisis Bivariat
Tahap analisis berikutnya adalah analisis bivariat untuk mengetahui
interaksi dua variabel yaitu perubahan perilaku pasien Tb Paru di
RSUD Malingping sebelum dan sesudah pemberian pendidikan
kesehatan dengan metode konseling serta membuktikan hipotesis
penelitian. Sebelum melakukan analisis bivariat, peneliti melakukan
uji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov
untuk sampel besar dan uji shapiro-wilk untuk sampel kecil. Dengan
nilai kemaknaan p > 0,005 maka disimpulkan data berdistribusi
normal. Berdasarkan distribusi normal dengan Central Limit Theory,
sample penelitian disebut besar jika subjek yang diteliti lebih dari

STIKes Widya Dharma Husada


44

atau sama dengan 30 responden dan disebut sampel kecil jika subjek
dibawah 30 responden (Saryono dan Anggraeni, 2013).
Analisa data yang digunakan untuk menentukan uji statistik yang
dipakai adalah nilai pretest dan posttest, dilakukan uji t test
berpasangan untuk data berdistribusi normal, apabila data tidak
berdistribusi normal dapat dilakukan transformasi data, jika variabel
hasil transformasi tidak berdistribusi normal maka dipilih uji
Wilcoxon.

H. Alur Penelitian

Identifikasi pasien Tb Paru di Ruang rawat inap dan poliklinik RSUD


Malingping

Menentukan sample dengan teknik accidental sampling

Informed consnt pada pasien

Bersedia dan memenuhi kriteria

Pengisian kuesioner sebelum pendidikan kesehatan dengan metode


konseling (pretest)

Melakukan pendidikan kesehatan dengan metode konseling

Pengisian kuesioner setelah 2 minggu intervensi (posttest)

Pengolahan dan analisa data

Uji Normalitas Shapiro Wilk

Normal dengan uji t Tidak normal dengan uji


berpasangan wilcoxon

STIKes Widya Dharma Husada

Anda mungkin juga menyukai