TANAMAN MAJA
5
6
C D
A B
R
C D
A B
HO
HO β-Sitosterol
Stigmasterol
(Nalbandov 1990). Bila tidak terjadi fertilisasi maka siklus baru berikutnya akan
segera dimulai, dimana korpus luteum akan mengalami regresi dan menghilang.
Namun jika terjadi pembuahan dan kebuntingan, korpus luteum akan terus bertahan
selama masa kebuntingan. Pada kenyataannya korpus luteum merupakan kelenjar
yang menghasilkan hormon progesteron yaitu hormon essential untuk
mempertahankan kebuntingan (Frandson 1992). Berdasarkan histologi vagina, satu
siklus estrus terbagi menjadi 4 fase, yaitu fase proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi,
sedangkan fase luteal terdiri atas metestrus dan diestrus (Partodihardjo 1980).
Ovarium
Tikus memiliki sepasang ovarium di dalam rongga abdomen, di bawah ginjal.
Ovarium berbentuk bulat dengan permukaan yang berbenjol-benjol karena adanya sel-
sel folikel dan korpus luteum (Gambar 4). Ovarium diselubungi oleh selapis sel epitel
germinativum dan di bagian dalamnya terdapat tunika albugenia (Partodihardjo 1980
& Hafez 1993). Ovarium tersusun atas bagian korteks dan medulla. Bagian korteks
terdiri atas stroma yang bersifat seluler dan mengandung folikel ovarium, korpus
luteum dan sel interstitial serta pembuluh darah. Folikel terdiri atas oosit atau sel telur
yang diselubungi oleh sel folikel yang merupakan hasil diferensiasi epitel
germinativum. Folikel ovarium ada yang istirahat (primordial), dan ada yang sudah
matang yaitu folikel de Graaf. Bagian medulla terdiri atas jaringan ikat fibroelastik
yang penuh jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe.
Ovarium memiliki 2 fungsi yaitu sebagai penghasil sel telur dan penghasil
estrogen dan progesteron menurut Guyton (1996) & Lay Cock (1982). Proses
pembentukan sel telur (Oogenesis) meliputi :
1. Proliferasi oogonium
Gamet yang berasal dari sel germinal primordial bermigrasi ke gonad dengan
pergerakan amuboid melalui mesenterium dorsal ke gonad. Sel aktif bermitosis pada
betina disebut Oogonium. Oogonia akan mengakhiri proliferasi setelah beberapa hari
sebelum kelahiran (Ganong 2003).
11
2. Pertumbuhan Oosit
Pertumbuhan oosit dimulai dengan tumbuhnya ovum dan folikel secara cepat.
Ketika antrum telah terbentuk, oosit tidak tumbuh lagi dan folikel mendapat pengaruh
hormon dari hipofisis untuk melanjutkan tumbuh secara cepat. Pertumbuhan oosit
ditandai dengan akumulasi kuning telur dalam sitoplasma, perkembangan zona
pellucida, proliferasi mitosit dari epitel follikel dan jaringan di dekatnya (Hafez 2000).
Badan kutub tersebut dilepas ke rongga perivitelin dan mengalami degenerasi (Hafez
2000).
Ovar
2 Oogoniu Oogonium
Mitotic
division
Primary
oocyte
within
Primary oocyte, follicle
2 arrested in prophase
of meiosis I
(present at birth)
Completion of meiosis I Growing
and onset of meiosis II follicle
First
n Secondary oocyte,
polar
n arrested at meta-
body
phase of meiosis II
Ovulatio
Entry of Mature
sperm triggers
n
completion of
meiosis II Ruptured
follicle
Ovum
Ovulated
secondary
Corpus
Degenerating
corpus luteum
3. Perkembangan folikel
Tahap perkembangan folikel disebut fase folikuler. Fase ini dimulai dari
folikel primer. Selanjutnya sel folikel akan membelah diri untuk membentuk dinding
berlapis yang mengelilingi sel telur dan disebut folikel sekunder. Apabila sudah
terbentuk rongga (antrum) diantara sel folikel dengan sel telur, maka folikel dikatakan
sudah matang dan disebut folikel de Graaf. Folikel ini makin berkembang dan sel
jaringan stroma bertambah banyak dan berdiferensiasi membentuk teka interna dan
teka eksterna (Syahrum et al. 1994). Antrum berisi cairan dan semakin membesar
sehingga sel telur terdesak ke tepi pada sel folikel. Sel telur bertambah besar yang
dikelilingi membran granulosa, akhirnya sel folikel akan menempati seluruh tebal
korteks. Hal ini mengakibatkan penipisan dan pecahnya dinding ovarium, sehingga sel
telur yang diselubungi korona radiata dilepaskan ke dalam rongga peritoneum.
Sedangkan pada tikus sel telur akan dilepas ke ruang periovarium (Rugs 1968). Proses
13
ini disebut ovulasi. Ovulasi pada tikus terjadi secara spontan selama fase estrus
(Nalbandov 1990). Pada tikus, terdapat lebih dari satu folikel yang mengalami ovulasi
dan menghasilkan 4 – 14 sel telur, yang memungkinkan kelahiran multiple (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Proses ovulasi diawali dengan perkembangan dan pematangan sel folikel
dalam ovarium di bawah pengaruh FSH. Sel folikel yang sudah matang (folikel de
Graaf) akan mensekresi estrogen yang menyebabkan kadar estrogen dalam darah
meningkat, sehingga menekan sekresi FSH (mekanisme umpan balik negatif).
Sebaliknya estrogen yang tinggi akan memacu sekresi LH sehingga terjadi ovulasi,
setelah itu kadar estrogen dalam darah menurun (Syahrum et al. 1994). Folikel yang
telah matang akan menempati daerah korteks dan menonjol ke permukaan ovarium.
Pada permukaan yang menonjol terjadi penipisan jaringan. Cairan folikel makin
banyak dan menyebabkan tekanan hidrostatik yang menyebabkan meningkatnya
tekanan turgor jaringan. Di sisi lain kumulus ooforus mengalami desintegrasi sehingga
ovum berada dalam keadaan bebas dalam cairan. Tegangan yang memuncak diikuti
pecahnya selaput tipis ovarium pada stigma yang menyebabkan ovum lepas ke rongga
peritonium (Ferin et al.1993). Skema proses pematangan folikel ovarium dapat dilihat
pada Gambar 6 berikut :
Selanjutnya darah membeku diresorbsi dan terjadi lutenisasi sel-sel granulosa dan sel
teka, sehingga terbentuk korpus luteum (Partodihardjo 1980). Pertumbuhan korpus
luteum berlangsung melalui hipertrofi sel luteal. Pembentukan dan pertumbuhan
korpus luteum dirangsang oleh LH. Sedangkan prolaktin (luteotropik hormon)
berperan dalam memelihara fungsi korpus luteum agar tetap menghasilkan
progesteron (Nalbandov 1990). Perkembangan selanjutnya dari korpus luteum
tergantung pada terjadi tidaknya fertilisasi dan kebuntingan. Bila sel telur dibuahi dan
terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan tetap bertahan dan dikenal dengan
korpus gravidatatum (CL kebuntingan) (Partodihardjo 1980). Apabila hewan betina
tidak mengalami kebuntingan, maka korpus luteum mengalami regresi dan terjadi
pematangan folikel yang baru. Regresi korpus luteum disertai munculnya sel tenun
pengikat lemak dan struktur hialin diantara sel-sel luteum. Kondisi ini mempercepat
regresi korpus luteum sampai sel luteum tidak terdapat lagi (Nalbandov 1990). Regresi
korpus luteum berlangsung melalui kerja prostaglandin PGF2ά yang dihasilkan oleh
uterus. PGF2ά akan merangsang vasokontriksi pembuluh darah pada korpus luteum
sehingga suplai darah berkurang. Berkurangnya suplai darah menyebabkan luteolisis
sel luteal (Sammuelson et al.1978).
Uterus
Uterus tikus merupakan tipe dupleks, yang terdiri atas dua tanduk (kornus
uteri) dan satu badan yang bersatu membentuk huruf Y. Korpus uteri merupakan
bagian pendek yang berbatasan dengan vagina. Sedangkan kornus uteri merupakan
bagian uterus yang memanjang. Bagian proksimal berbatasan dengan tuba uterine,
sedangkan bagian distalnya saling mendekat yang hanya dipisahkan oleh sekat tipis
yang bermuara ke dalam lumen korpus uteri. Bagian uterus yang berbatasan langsung
dengan vagina disebut serviks uteri (Baker 1979). Bagian-bagian uterus dapat dilihat
pada gambar 7 berikut :
15
Ginjal
Ureter
Ovarium
Oviduct
Cornus Uteri kanan
Uretra
Vagina
Preputial Gland
Gland Clitoris
Liang Vagina
Gambar 7. Uterus tikus (Baker 1979).
Dinding uterus dari luar kedalam terdiri atas 3 lapisan yaitu membrana serosa,
myometrium dan endometrium. Membrana serosa merupakan lapisan terluar.
Myometrium merupakan lapisan otot yang tersusun atas pembuluh darah, limfe dan
saraf. Endometrium merupakan lapisan dinding lumen yang terdiri atas epitel, kelenjar
uterus dan tenunan pengikat. (Rugs 1968, Ross & Schreiber 1991).
Perubahan yang terjadi pada uterus selama siklus estrus disebut siklus uterus.
Selama pertumbuhan folikel terjadi juga pertumbuhan dalam endometrium. Selama
periode perkembangan korpus luteum, endometrium menyesuaikan diri untuk
menerima kehamilan. Jika sel telur tidak dibuahi maka endometrium ke keadaan
semula bersamaan dengan regresinya korpus luteum. Sedangkan jika terjadi
pembuahan, maka endometrium dipertahankan pada keadaan yang terbaik untuk
kehamilan (Sartono 1994).
Pada awal siklus estrus yaitu fase proestrus, folikel akan berkembang dan
menghasilkan hormon estrogen untuk mempertahankan pertumbuhan maupun
menyebabkan proliferasi endometrium. Dinding endometrium berangsur-angsur
mengalami hiperemia, berproliferasi dan menebal dengan cepat. Kelenjar yang pendek
menjadi bertambah panjang, dan pembuluh darah bertambah banyak (Bullock et al.
2004). Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Fase proestrus ini
merupakan periode terjadinya involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan
praovulasi folikel (Mc Donald 1989). Selain itu pada tahapan ini juga terjadi
vaskularisasi epitel vagina (Tolihere 1981). Vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen
yang semakin tinggi. Di samping itu juga terdapatnya cairan yang terkumpul di uterus
sehingga uterus sangat kontraktil (Turner & Bagnara 1976).
16
Pada fase estrus, estrogen meningkat merangsang sekresi kelenjar uterus dan
merangsang serviks untuk berkontriksi, sehingga uterus menggelembung. Pada akhir
fase ini, progesteron mulai dihasilkan oleh korpus luteum dan akan merangsang
serviks untuk relaksasi. Hal ini menandai timbulnya hasrat kawin dan kopulasi
mungkin terjadi pada tikus betina (Martin 1985). Fase ini berlangsung sekitar 12 jam
(van Tienhoven 1983, Smith & Mangkoewidjojo 1988). Ciri khas pada fase ini hewan
betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
sekresi estrogen yang tinggi (Nalbandov 1990). Estrogen dari folikel de Graaf yang
matang menyebabkan berbagai perubahan pada organ reproduksi seperti uterus
tegang, mukosa vagina tumbuh cepat disertai sekresi lendir, terdapatnya sel-sel yang
menumpuk dan menanduk. Sel-sel ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Bullock et
al. 2004 & Rugs 1968).
Saat memasuki fase metestrus (setelah ovulasi), hasrat kawin menurun. Pada
fase ini korpus luteum mulai tumbuh. Korpus luteum merupakan perubahan bentuk
dari folikel de Graaf yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi. Uterus yang
sudah berkembang mengalami oedema akibat pengaruh estrogen. Selanjutnya oleh
pengaruh progesteron, kelenjar uterus aktif mensekresikan zat yang berguna untuk
makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi (Martin 1985 &
Nelson 1983). Pembuluh darah bertambah panjang dan lebar. Apabila terjadi
implantasi, mukosa endometrium makin menggelembung akibat pengaruh hormon
estrogen dan progesteron. Mukosa endometrium menggelembung dan tempat
implantasi zigot diketahui sebagai desidua (Nelson 1983). Pada akhir fase metestrus
degenerasi epitel meningkat bahkan menghilang dan leukosit banyak terdapat pada
dinding uterus (Bullock et al. 2004). Lapisan endometrium kembali ke fase istirahat
dan dimulainya siklus baru yaitu fase diestrus. Pada fase ini hewan betina terlihat
lebih tenang dan tidak ada aktivitas kelamin (van Tienhoven 1983). Pada fase ini
korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata.
Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Tolihere 1981), selaput mukosa
vagina tipis, pucat, otot mengendur, uterus mengecil, anemik, dan agak kontraktil
(Turner & Bagnara 1976). Fase ini berlangsung sekitar 60-70 jam (van Tienhoven
17
1983). Pada preparat ulas vagina terlihat banyaknya leukosit dan sel epitel berinti
(Nalbandov 1990).
Vagina
Vagina merupakan saluran terpanjang yang terletak di bagian dorsal uretra dan
bagian ventral rectum. Pembukaan vagina terjadi tidak lama setelah ovulasi pertama
dan dipakai sebagai tanda pubertas (Hafez 2000). Perubahan karakteristik dinding
epitel vagina selama estrus dapat diketahui melalui sediaan apus vagina yang
merupakan petunjuk tahap-tahap dalam siklus estrus (Ganong 2003).
Siklus estrus merupakan cerminan bagi berbagai aktivitas yang saling
berkaitan antara hipotalamus-hipofisis-ovarium. Selama siklus estrus terjadi
perubahan baik pada organ reproduksi maupun perubahan tingkah laku seksual (Hafez
2000).
Meskipun peristiwa fisiologis yang utama pada siklus estrus terjadi pada
ovarium, tetapi peristiwa tersebut tercermin pada vagina di bawah pengaruh hormon
ovarium yaitu estrogen dan progesteron (Johnsons & Everith 1988). Perubahan siklus
vagina tikus dapat dideteksi dengan menggunakan teknik preparat apus vagina.
Gambaran perubahan yang terjadi di vagina dapat mencerminkan kejadian pada
ovarium sehingga dapat digunakan untuk menentukan fase reproduksi pada tikus
betina yang diperiksa (Sartono 1984). Apus vagina diperoleh dari sekret vagina yang
diambil dengan menggunakan cotton bud pada 1/3 proksimal vagina (Hafez 2000).
Adapun gambaran mikroskopis hasil ulas vagina berbagai fase siklus estrus tertuang
pada Tabel 1 dan Gambar 8.
18
Sel epitel
berinti
Proestrus Diestrus
Leucosit
Leucosit
Kornifikasi
Kelenjar Susu
Peristiwa fisiologis siklus estrus tikus tercermin pada siklus pertumbuhan dan
regresi kelenjar susu meskipun sedikit berbeda apabila terjadi kebuntingan
(Knobil & Neills 2006). Pada fase proestrus terlihat saluran panjang di sekitar kelenjar
susu, terutama dekat puting. Selanjutnya saluran makin membesar pada fase estrus.
Sedangkan pada fase metestrus pelebaran saluran ini menjadi berkurang dan
menghilang dan tampak kembali pada fase diestrus. Siklus kelenjar susu dirangsang
oleh hormon estrogen dan progesteron (Ganong 2003). Hormon estrogen
mempengaruhi proliferasi saluran kelenjar susu, sedangkan hormon progesteron
merangsang perkembangan lobulus.
Kopulasi
Kopulasi biasanya terjadi 3 jam pertama fase estrus. Pada fase estrus ini
estrogen mempengaruhi substrat metabolik vagina sehingga memproduksi asam yang
mudah menguap dan menyebabkan timbulnya daya tarik seks tikus betina (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Terjadinya kopulasi ditandai dengan sumbat vagina (vaginal
plug) pada liang vagina (Rugs 1968). Sumbat vagina merupakan air mani yang
menggumpal yang berasal dari sekret kelenjar prostat tikus jantan. Kondisi ini dapat
diamati kira-kira 16-48 jam setelah kopulasi (Hafez 2000).
Fertilisasi
Proses fertilisasi terjadi pada bagian ampula oviduk. Sel telur yang dilepas dari
folikel saat ovulasi dikelilingi oleh sel kumulus ooforus, korona radiata, dan zona
pellucida. Sebelum spermatozoa melakukan penetrasi terjadi pelepasan kumulus
ooforus sehingga memudahkan penetrasi spermatozoa (Syahrum et al. 1994). Zona
pellucida merupakan lapisan ekstraseluler yang mengandung asam dan enzim akrosim
yang berasal dari akrosom sperma akan membantu sperma dalam menembus zona
pellucida. Setelah berhasil menembus zona pellucida spermatozoa akan memasuki
sitoplasma ovum secara perlahan sedangkan bagian tengah dan ekornya akan tetap
tinggal di luar dan akhirnya terlepas (Hafez 2000). Sejalan dengan itu implantasi
terjadi setelah 4-5 hari sejak kopulasi (Syahrum et al. 1994 & Hafez 2000).
20
Gambar 10. Hubungan antara GnRH dan Hormon ovarium serta perubahan
reproduksi pada mamalia betina poliestrus (Nelson 1983).
Setelah ovulasi terjadi, kadar LH menurun dengan cepat, tetapi tidak kembali
ke kadar dasar, melainkan cukup untuk merangsang sel teca interna untuk membentuk
korpus luteum. Sejak terbentuknya korpus luteum, sel ini memproduksi hormon
progesteron yang berfungsi meredakan aktivitas estrogen. Kecuali oleh LH, fungsi
korpus luteum ditunjang oleh LTH. LTH berperan dalam merangsang korpus luteum
untuk memproduksi progestin. Setelah folikel de Graaf pecah, produksi estrogen turun
dengan cepat, hingga mencapai kadar dasar (kadar paling rendah dalam darah).
Penurunan ini diikuti oleh kenaikan produksi FSH secara berangsur-angsur, FSH
diperlukan oleh ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh
secara berangsur-angsur mempertinggi kadar estrogen dalam darah. Setelah kadar
estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadi rangsangan
pada uterus untuk memproduksi prostaglandin. Prostaglandin ini menyebabkan korpus
luteum beregresi dan progestin secara tajam menurun. Menurunnya progesteron dalam
darah estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga terjadilah estrus
(Partodihardjo 1980).
obatan atau zat kontrasepsi yang berupa fitosterol yang terkandung pada daun maja (β-
sitosterol dan stigmasterol). Keadaan ini menyebabkan laju fertilitas dan tingkat
kesuburan menjadi menurun.
Bahan aktif β-sitosterol dan stigmasterol tergolong steroid dan merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti ether,
etanol, kloroform, dan benzena (Harborne 1987). Steroid tumbuhan dapat bekerja
sebagai kontrasepsi dengan menekan ovulasi pada sebagian besar siklus dan
menghambat pelepasan gonadotropin (menghambat fungís ovarium) melalui
mekanisme umpan balik (Nalbandov 1990). Selain itu steroid tumbuhan umumnya
bersifat estrogenik sehingga akan mempengaruhi siklus menstruasi dan perkembangan
folikel (Farnsworth et al. 1975). Steroid ini tentunya dapat turut meningkatkan kadar
estrogenik dalam darah. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat menghambat
hipofisis dalam mensekresi hormon FSH melalui umpan balik negatif (Ganong 2003,
Johnsons & Everith 1988). Steroid tumbuhan memiliki kesamaan dengan steroid yang
dihasilkan ovarium yaitu estrogen dan progesteron. Keduanya memiliki gugus utama
berbentuk cincin siklopentana perhidrofenantrena (Tyler 1976 & Harborne 1987).
Berdasarkan sasaran aktivitas pada organ target, mekanisme zat antifertilitas
dibedakan atas :
1. Hipotalamus-hipofisis
Mekanisme kerja steroid pada hipotalamus maupun hipofisis dapat
menyebabkan aktivitas anti gonadotropin, artinya steroid tersebut akan secara
langsung menghambat sekresi FSH dan LH yang dihasilkan oleh hipotalamus maupun
hipofisis yang mengakibatkan terhambatnya produksi hormon estrogen dan
progesteron. Estrogen dan progesteron diperlukan untuk memunculkan birahi normal
pada hewan ovulator spontan, sehingga zat yang menekan gonadotropin
mengakibatkan terhambatnya ovulasi dan menekan libido (Farnsworth et al. 1975).
Selain itu juga akan menghambat induksi saraf ke hipotalamus yang mengatur sekresi
GnRH pada hewan ovulator spontan yakni akan memberikan efek antifertilitas
sebelum ovulasi (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000).
25
2. Ovarium
Mekanisme kerja zat antifertilitas terhadap ovarium dapat ditunjukkan
aktivitasnya pada penghambatan ovulasi dan steroidogenesis (Farnsworth et al. 1975
& Hafez 2000). Terhambatnya ovulasi ini sebagai akibat dari terhambatnya produksi
estrogen dan progesteron seperti berkurangnya korpus luteum yang terbentuk
berhubungan erat dengan jumlah ovum yang diovulasikan (Richards 1980). Selain itu
juga akan menyebabkan penekanan jumlah dan perkembangan folikel yang
mengakibatkan penurunan berat ovarium dan steroidogenesis (Zambrana 1971).
3. Oviduk
Mekanisme kerja zat antifertilitas dapat menyebabkan kekacauan fertilisasi dan
kegagalan implantasi serta dapat menyebabkan sel telur yang sudah dibuahi akan
mengalami regresi bila tiba terlalu dini di uterus (Farnsworth et al. 1975 & Hafez
2000).
4. Uterus
Mekanisme kerja zat antifertilitas pada uterus dapat bersifat interseptif maupun
abortivum. Keseimbangan hormon estrogen dan progesteron pada tikus sangat
diperlukan pada proses implantasi. Ada progesteron yang dilaporkan dapat
menimbulkan gangguan keseimbangan proliferasi endometrium, sehingga
mengganggu implantasi. Demikian juga antiestrogenik dapat menghambat implantasi
pada hewan yang memerlukan estrogen pada proses implantasi (Farnsworth et al.
1975 & Hafez 2000). Mekanisme lain juga dapat berupa fetus yang mati atau resorbsi
disebabkan karena terhambatnya aliran darah yang berasal dari placenta menuju fetus
baik karena kekurangan oksigen maupun sari-sari makanan (Bronsons 1966). Selain
itu resorbsi fetus dapat terjadi pada periode organogenesis yang terbukti dengan
adanya bekas tapak implantasi pada uterus, maupun fetus yang melekat di daerah
serviks akan diresorbsi sebagai benda asing oleh uterus (Rugs 1968).
5. Vagina
Mekanisme kerja zat antifertilitas di daerah vagina dapat bersifat spermisida
(Farnsworth et al. 1975). Zat antifertilitas yang bersifat spermisida dapat mencegah
terjadinya fertilisasi yang disebabkan tidak bergerak (imobilisasi) dan matinya
spermatozoa (Syahrum et al. 1994).