Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

TANAMAN MAJA

Sebaran dan Aspek Historik Tanaman Maja


Maja atau bilwa, bael, Bengal quince, shirpal, bael fruits adalah sebutan lain
bagi spesies Aegle marmelos(L.) Correa, sebagaimana disebutkan di India (Ghermandi
2002). Tanaman ini berasal dari India, namun sekarang banyak tersebar di Srilanka,
Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand dan sebagian besar Asia Tenggara (Gambar
1).

Ket : menunjukkan wilayah penyebaran tanaman maja


Gambar 1. Peta penyebaran tanaman maja.

Tanaman maja juga tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, karena iklim


yang cocok untuk tanaman ini sehingga dapat tumbuh dengan baik. Tanaman maja
banyak ditemukan di dataran rendah, dataran tinggi, bahkan di tanah berkapur seperti
di Pulau Jawa (Banten, Bogor, Yogyakarta, Jawa Timur dan Madura), Pulau Sumatera
(Aceh, Palembang, Bukit tinggi), Pulau Sulawesi (Makasar), Kepulauan Maluku dan
NTT (Sumba Timur). Keberadaan tanaman ini tercatat sejak jaman kerajaan
Majapahit, sebagaimana terbukti adanya berbagai nama daerah yang diawali dengan
kata maja yang menunjukkan keterkaitan dengan keberadaan tanaman ini di berbagai
daerah. Tanaman ini dikenal sebagai maja (Sunda), brenuk atau maos (Jawa), bila
paek (Madura), wabiila (Sumba Timur), dilok (Timor) (Hariana 2002).

5
6

Karakteristik Tanaman Maja


Tanaman maja dapat tumbuh subur di atas tanah dengan pH 5 – 8. Di India
tumbuhan ini dapat tumbuh subur pada lahan dimana tanaman buah lain tidak dapat
bertahan di sana, bahkan menurut Singh & Malik (2000) dinyatakan bahwa tanaman
ini dapat tumbuh di tanah rawa, alkali, bahkan pada tanah berbatu kapur di Florida
Selatan. Tanaman ini dapat mencapai ketinggian 13 m dan buahnya dapat dipanen jika
sudah berwarna hijau kekuningan. Karakteristik tanaman maja antara lain daun
berbentuk memanjang, tulang daun menyirip, susunan daun berkarang, percabangan
besar. Satu pohon dapat menghasilkan 800 buah, dan dapat dipanen satu kali dalam
setahun. Dalam 1 musim panen rata-rata 150-200 buah berukuran besar (1-3 kg). Buah
maja rasanya manis, harum, dan tajam ditenggorokan. Bunganya bertipe berumah dua,
kelopak bunganya kecil, dengan 5 mahkota dan bagian luar berbentuk bulat, lonjong,
dagingnya beraroma khas dan berlendir (Anonim 2006).

Gambar 2. Foto Tanaman maja (koleksi pribadi)

Klasifikasi Tanaman Maja ( Aegle marmelos. Corr )


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Angiospermae
Klas : Magnolliopsida
Ordo : Sapindales/ Rutaceales
Famili : Rutaceae
Genus : Aegle
Spesies : Aegle marmelos ( L.) Correa. (Corner 1969)
7
Kandungan Kimia Tanaman Maja
Tanaman maja baik berupa akar, batang, daun, buah maupun biji banyak
digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pengobatan tradisional seperti demam,
sembelit, disentri, diare, hepatitis, TBC, radang selaput lendir hidung, gangguan otak,
gangguan hati, gatal-gatal (kudis, borok, bisul, eksim), anti inflamasi, gangguan
pendengaran, gangguan urinaria, dan abortiva (Kapoor 1990, Singh & Malik 2000).
Akar tanaman maja mengandung bahan : epoxyaurapten, 4-methoxy-1- methyl-
2-quinolon, 4-sitosten-3-one, 7-o-methylmarmin, aurapten, kumarin,
decursinol, dictamin, imperatorin, integriquinolon, lupeol, marmesin, marmin,
marginal, scopoletin, skimmianin, umbelliferon, xanthotoxin, γ fagarin (Anonim
2006). Sedangkan pada batang terkandung bahan-bahan : fagarine, marmin, 4-epi-
lyoniresinol,3-ά-O-β-D-glucopyranoside, 6-hydroxy-1-methoxymethylanthraquinon
dictamine, magnesium, marmasin, silicone, β sitosterol. Selain mengandung bahan
seperti tersebut di atas, pada daun dapat diekstraksi bahan lain seperti : minyak
essensial, pellandrene, aegelin, rutacin, p-cymene, cíñeole, cuminaldehyd, d-
limonene, marmelosin, N-2-ethoxy-2-phenyl- ethylcinnamid, p-cymene, rutin,
skimmianin, tannin, β sitosterol- β-d-glukosid, dan γ-sitosterol. Demikian juga pada
buah mengandung bahan seperti : aegelin, aegelenin, alanin, alloimperatorin, methyl
ether ά-amirin, arginin, asam aspartat, boron, kalsium, karoten, chlorin, cis linalol
oxida, cuprum, cystine, dictamin, d-ά pellandrene, asam glutamic, glisin, histidin,
imperatorin, ferrum, isoamil asetat, isoleusin, asam linoleat, asam linolenat, lysin,
magnesium, mangaan, marmelosin, marmelid, marmelin, marmesin, methionin,
niasin, asam palmitat, o-isopentinylharfordinol, o-methylharford, pectin, phenyl
alanin, pospor, polisakarida, potasium, proantocyanidin, prolin, psoralen, riboflavin,
scoparon, scopoletin, serin, skimmin, sodium, asam stearat, tannin, asam tartat,
thiamin, threonin, thyrosin, umbelliferon, valin, vinyl-butanoat, xanthotoxol, seng, β-
amyrin, β-karoten, β-sitosterol, γ-fagarin (Anonim 2006).
Bahan kimia Aegelin (C18 H18 O4), β-sitosterol dan Stigmasterol (C29 H50 O)
(Joy et al. 2001) berdasarkan hasil analisa fitokimia Riyanto dan Mawardi (2000)
tergolong ke dalam steroid. Bahan aktif yang berupa sitosterol pada daun maja
memiliki kerangka dasar berbentuk gugus atom triterpen seperti cincin steroid, yakni
8

sistem cincin siklopentana perhidrofenantren yang tersusun dari rangkaian 4 cincin


yakni 3 cincin berbentuk segienam (A, B, C) dan cincin segilima (D). Adapun
persamaan struktur kimia fitosterol daun maja dan steroid estrogen serta progesteron
dapat dilihat pada Gambar 3. Steroid pada tumbuhan (fitosterol) akan memberikan
efek anti implantasi maupun estrogenik (Partodiharjo 1980). Fitosterol ini memberikan
rasa pahit pada daun maja.

C D

A B

R
C D
A B

HO
HO β-Sitosterol
Stigmasterol

Gambar 3. Struktur kimia steroid progesteron, estrogen (Estriol, β-Estradiol),


β-sitosterol dan stigmasterol (Guyton 1996 & Harborne 1987).

BIOLOGI UMUM TIKUS


Tikus putih (Rattus norvegicus), merupakan jenis hewan yang sering
dipergunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian biologis maupun biomedis
baik secara in-vitro maupun in-vivo. Tikus putih atau tikus albino merupakan hasil
perkawinan secara selektif sehingga memiliki karakter yang stabil. Ada beberapa galur
atau varietas tikus antara lain : galur Sprague-dawley memiliki kepala kecil dan ekor
lebih panjang dibandingkan dengan badannya, galur Wistar ditandai dengan kepala
besar dan ekornya lebih pendek, serta galur long evans memiliki ukuran tubuh lebih
kecil dengan kepala dan tubuh bagian depan berwarna hitam (Baker 1979). Sebagai
hewan percobaan, tikus memerlukan ruangan yang cukup cahaya, sirkulasi udara yang
9
baik, suhu yang cocok, sehingga dapat bergerak bebas dalam kandang, serta
membutuhkan makanan yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Tikus betina mencapai usia dewasa kelamin setelah berumur 8 minggu,
dengan berat badan berkisar antara 200 – 300gr. Pada umur tersebut tikus sudah siap
untuk dikawinkan. Periode kebuntingan berkisar antara 21 – 22 hari. Masa
produktifnya cukup panjang yaitu pada umur 2 – 14 bulan. Selama periode tersebut
tikus mampu melahirkan lebih dari 10 kali kelahiran dan jumlah anak yang dilahirkan
rata-rata 9 ekor bahkan mencapai 12 ekor per kelahiran (Malole & Pramono 1989).
Jumlah anak tikus pada kebuntingan pertama umumnya lebih sedikit daripada
kebuntingan ke 5 – 7 (masa yang stabil) (Fox 2007).
Tikus termasuk hewan poliestrus. Tikus memiliki post partum estrus dalam
waktu 48 jam sesudah partus (melahirkan). Perkawinannya sering terjadi pada malam
hari. Untuk mengetahui terjadinya perkawinan dapat dilihat dari sumbat vagina atau
vaginal plug guna memeriksa ada tidaknya spermatozoa setelah terjadi kopulasi
(Malole & Pramono 1989).

Siklus Reproduksi Tikus Betina


Siklus reproduksi hewan mamalia betina melibatkan berbagai organ reproduksi
yaitu ovarium, uterus, vagina, dan kelenjar mammae. Setiap organ tersebut mengalami
siklus yang teratur dan berlangsung secara sinkron. Hal ini berarti siklus yang satu
menjadi indikasi siklus yang lain. Siklus tersebut meliputi siklus ovarium, siklus
uterus, siklus vagina, siklus estrus dan siklus kelenjar susu (Bullock et al. 2004).
Siklus estrus merupakan sederetan proses perubahan kegiatan fisiologis pada
organ-organ reproduksi dari awal berahi hingga berulang kembali ke berahi
berikutnya. Berahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan
untuk kopulasi (Partodihardjo 1980). Pada tikus siklus estrus ini berlangsung 4 – 5
hari (Malole & Pramono 1989). Siklus estrus dibedakan dalam 2 tingkatan, yaitu fase
folikuler dan fase luteal. Fase folikuler merupakan fase perkembangan folikel sampai
pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal merupakan fase
setelah ovulasi yaitu periode sekresi progesteron dan fase terbentuknya corpus luteum
10

(Nalbandov 1990). Bila tidak terjadi fertilisasi maka siklus baru berikutnya akan
segera dimulai, dimana korpus luteum akan mengalami regresi dan menghilang.
Namun jika terjadi pembuahan dan kebuntingan, korpus luteum akan terus bertahan
selama masa kebuntingan. Pada kenyataannya korpus luteum merupakan kelenjar
yang menghasilkan hormon progesteron yaitu hormon essential untuk
mempertahankan kebuntingan (Frandson 1992). Berdasarkan histologi vagina, satu
siklus estrus terbagi menjadi 4 fase, yaitu fase proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi,
sedangkan fase luteal terdiri atas metestrus dan diestrus (Partodihardjo 1980).

Ovarium
Tikus memiliki sepasang ovarium di dalam rongga abdomen, di bawah ginjal.
Ovarium berbentuk bulat dengan permukaan yang berbenjol-benjol karena adanya sel-
sel folikel dan korpus luteum (Gambar 4). Ovarium diselubungi oleh selapis sel epitel
germinativum dan di bagian dalamnya terdapat tunika albugenia (Partodihardjo 1980
& Hafez 1993). Ovarium tersusun atas bagian korteks dan medulla. Bagian korteks
terdiri atas stroma yang bersifat seluler dan mengandung folikel ovarium, korpus
luteum dan sel interstitial serta pembuluh darah. Folikel terdiri atas oosit atau sel telur
yang diselubungi oleh sel folikel yang merupakan hasil diferensiasi epitel
germinativum. Folikel ovarium ada yang istirahat (primordial), dan ada yang sudah
matang yaitu folikel de Graaf. Bagian medulla terdiri atas jaringan ikat fibroelastik
yang penuh jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe.
Ovarium memiliki 2 fungsi yaitu sebagai penghasil sel telur dan penghasil
estrogen dan progesteron menurut Guyton (1996) & Lay Cock (1982). Proses
pembentukan sel telur (Oogenesis) meliputi :
1. Proliferasi oogonium
Gamet yang berasal dari sel germinal primordial bermigrasi ke gonad dengan
pergerakan amuboid melalui mesenterium dorsal ke gonad. Sel aktif bermitosis pada
betina disebut Oogonium. Oogonia akan mengakhiri proliferasi setelah beberapa hari
sebelum kelahiran (Ganong 2003).
11

2. Pertumbuhan Oosit
Pertumbuhan oosit dimulai dengan tumbuhnya ovum dan folikel secara cepat.
Ketika antrum telah terbentuk, oosit tidak tumbuh lagi dan folikel mendapat pengaruh
hormon dari hipofisis untuk melanjutkan tumbuh secara cepat. Pertumbuhan oosit
ditandai dengan akumulasi kuning telur dalam sitoplasma, perkembangan zona
pellucida, proliferasi mitosit dari epitel follikel dan jaringan di dekatnya (Hafez 2000).

Gambar 4. Ovarium, corpus luteum dan perkembangan folikel


(Syahrum et al. 1994)

Oosit dikelilingi lapisan sel folikel granulosa. Oosit 1 mengalami meiosis 1


dan terjadi pada stadium akhir fetus. Oosit dilapisi beberapa lapis sel folikel yang
disebut folikel primordial. Bila sel yang mengitari oosit ini lengkap maka disebut
folikel primer. Pada proses ini oosit mengalami pembelahan meiosis 2 kali. Pada
pembelahan meiosis 1, oosit primer menghasilkan 2 sel anak yaitu oosit sekunder dan
badan kutub I yang masing-masing memiliki ½ perangkat kromosom (n) dari
induknya 2n. Sedangkan pada pembelahan meiosis II, oosit sekunder menghasilkan 2
sel anak yaitu ootid dan badan kutub II. dan badan kutub I menghasilkan badan kutub
III dan badan kutub IV. Masing-masing sel anak memiliki seperangkat kromosom.
12

Badan kutub tersebut dilepas ke rongga perivitelin dan mengalami degenerasi (Hafez
2000).
Ovar

Primary germ cell in


Differentiati

2 Oogoniu Oogonium

Mitotic
division
Primary
oocyte
within
Primary oocyte, follicle
2 arrested in prophase
of meiosis I
(present at birth)
Completion of meiosis I Growing
and onset of meiosis II follicle
First
n Secondary oocyte,
polar
n arrested at meta-
body
phase of meiosis II

Ovulatio

Entry of Mature
sperm triggers
n
completion of
meiosis II Ruptured
follicle
Ovum

Ovulated
secondary

Corpus

Degenerating
corpus luteum

Gambar 5. Proses pembentukan sel telur (Oogenesis)


(Campbell et al. 2004).

3. Perkembangan folikel
Tahap perkembangan folikel disebut fase folikuler. Fase ini dimulai dari
folikel primer. Selanjutnya sel folikel akan membelah diri untuk membentuk dinding
berlapis yang mengelilingi sel telur dan disebut folikel sekunder. Apabila sudah
terbentuk rongga (antrum) diantara sel folikel dengan sel telur, maka folikel dikatakan
sudah matang dan disebut folikel de Graaf. Folikel ini makin berkembang dan sel
jaringan stroma bertambah banyak dan berdiferensiasi membentuk teka interna dan
teka eksterna (Syahrum et al. 1994). Antrum berisi cairan dan semakin membesar
sehingga sel telur terdesak ke tepi pada sel folikel. Sel telur bertambah besar yang
dikelilingi membran granulosa, akhirnya sel folikel akan menempati seluruh tebal
korteks. Hal ini mengakibatkan penipisan dan pecahnya dinding ovarium, sehingga sel
telur yang diselubungi korona radiata dilepaskan ke dalam rongga peritoneum.
Sedangkan pada tikus sel telur akan dilepas ke ruang periovarium (Rugs 1968). Proses
13

ini disebut ovulasi. Ovulasi pada tikus terjadi secara spontan selama fase estrus
(Nalbandov 1990). Pada tikus, terdapat lebih dari satu folikel yang mengalami ovulasi
dan menghasilkan 4 – 14 sel telur, yang memungkinkan kelahiran multiple (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Proses ovulasi diawali dengan perkembangan dan pematangan sel folikel
dalam ovarium di bawah pengaruh FSH. Sel folikel yang sudah matang (folikel de
Graaf) akan mensekresi estrogen yang menyebabkan kadar estrogen dalam darah
meningkat, sehingga menekan sekresi FSH (mekanisme umpan balik negatif).
Sebaliknya estrogen yang tinggi akan memacu sekresi LH sehingga terjadi ovulasi,
setelah itu kadar estrogen dalam darah menurun (Syahrum et al. 1994). Folikel yang
telah matang akan menempati daerah korteks dan menonjol ke permukaan ovarium.
Pada permukaan yang menonjol terjadi penipisan jaringan. Cairan folikel makin
banyak dan menyebabkan tekanan hidrostatik yang menyebabkan meningkatnya
tekanan turgor jaringan. Di sisi lain kumulus ooforus mengalami desintegrasi sehingga
ovum berada dalam keadaan bebas dalam cairan. Tegangan yang memuncak diikuti
pecahnya selaput tipis ovarium pada stigma yang menyebabkan ovum lepas ke rongga
peritonium (Ferin et al.1993). Skema proses pematangan folikel ovarium dapat dilihat
pada Gambar 6 berikut :

Gambar 6. Ovarium tikus dengan tingkat perkembangan sel folikel


(Hafez 1993).
Corpus Luteum
Setelah ovulasi terjadi, terbentuk lekukan pada permukaan ovarium yang telah
melepaskan isinya kemudian terisi darah dan cairan limfe. Bagian folikel yang pecah
kemudian bertaut kembali dan folikel pada saat ini dinamakan korpus hemoragicum.
14

Selanjutnya darah membeku diresorbsi dan terjadi lutenisasi sel-sel granulosa dan sel
teka, sehingga terbentuk korpus luteum (Partodihardjo 1980). Pertumbuhan korpus
luteum berlangsung melalui hipertrofi sel luteal. Pembentukan dan pertumbuhan
korpus luteum dirangsang oleh LH. Sedangkan prolaktin (luteotropik hormon)
berperan dalam memelihara fungsi korpus luteum agar tetap menghasilkan
progesteron (Nalbandov 1990). Perkembangan selanjutnya dari korpus luteum
tergantung pada terjadi tidaknya fertilisasi dan kebuntingan. Bila sel telur dibuahi dan
terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan tetap bertahan dan dikenal dengan
korpus gravidatatum (CL kebuntingan) (Partodihardjo 1980). Apabila hewan betina
tidak mengalami kebuntingan, maka korpus luteum mengalami regresi dan terjadi
pematangan folikel yang baru. Regresi korpus luteum disertai munculnya sel tenun
pengikat lemak dan struktur hialin diantara sel-sel luteum. Kondisi ini mempercepat
regresi korpus luteum sampai sel luteum tidak terdapat lagi (Nalbandov 1990). Regresi
korpus luteum berlangsung melalui kerja prostaglandin PGF2ά yang dihasilkan oleh
uterus. PGF2ά akan merangsang vasokontriksi pembuluh darah pada korpus luteum
sehingga suplai darah berkurang. Berkurangnya suplai darah menyebabkan luteolisis
sel luteal (Sammuelson et al.1978).

Uterus
Uterus tikus merupakan tipe dupleks, yang terdiri atas dua tanduk (kornus
uteri) dan satu badan yang bersatu membentuk huruf Y. Korpus uteri merupakan
bagian pendek yang berbatasan dengan vagina. Sedangkan kornus uteri merupakan
bagian uterus yang memanjang. Bagian proksimal berbatasan dengan tuba uterine,
sedangkan bagian distalnya saling mendekat yang hanya dipisahkan oleh sekat tipis
yang bermuara ke dalam lumen korpus uteri. Bagian uterus yang berbatasan langsung
dengan vagina disebut serviks uteri (Baker 1979). Bagian-bagian uterus dapat dilihat
pada gambar 7 berikut :
15

Ginjal
Ureter
Ovarium
Oviduct
Cornus Uteri kanan
Uretra
Vagina
Preputial Gland
Gland Clitoris
Liang Vagina
Gambar 7. Uterus tikus (Baker 1979).
Dinding uterus dari luar kedalam terdiri atas 3 lapisan yaitu membrana serosa,
myometrium dan endometrium. Membrana serosa merupakan lapisan terluar.
Myometrium merupakan lapisan otot yang tersusun atas pembuluh darah, limfe dan
saraf. Endometrium merupakan lapisan dinding lumen yang terdiri atas epitel, kelenjar
uterus dan tenunan pengikat. (Rugs 1968, Ross & Schreiber 1991).
Perubahan yang terjadi pada uterus selama siklus estrus disebut siklus uterus.
Selama pertumbuhan folikel terjadi juga pertumbuhan dalam endometrium. Selama
periode perkembangan korpus luteum, endometrium menyesuaikan diri untuk
menerima kehamilan. Jika sel telur tidak dibuahi maka endometrium ke keadaan
semula bersamaan dengan regresinya korpus luteum. Sedangkan jika terjadi
pembuahan, maka endometrium dipertahankan pada keadaan yang terbaik untuk
kehamilan (Sartono 1994).
Pada awal siklus estrus yaitu fase proestrus, folikel akan berkembang dan
menghasilkan hormon estrogen untuk mempertahankan pertumbuhan maupun
menyebabkan proliferasi endometrium. Dinding endometrium berangsur-angsur
mengalami hiperemia, berproliferasi dan menebal dengan cepat. Kelenjar yang pendek
menjadi bertambah panjang, dan pembuluh darah bertambah banyak (Bullock et al.
2004). Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Fase proestrus ini
merupakan periode terjadinya involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan
praovulasi folikel (Mc Donald 1989). Selain itu pada tahapan ini juga terjadi
vaskularisasi epitel vagina (Tolihere 1981). Vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen
yang semakin tinggi. Di samping itu juga terdapatnya cairan yang terkumpul di uterus
sehingga uterus sangat kontraktil (Turner & Bagnara 1976).
16

Pada fase estrus, estrogen meningkat merangsang sekresi kelenjar uterus dan
merangsang serviks untuk berkontriksi, sehingga uterus menggelembung. Pada akhir
fase ini, progesteron mulai dihasilkan oleh korpus luteum dan akan merangsang
serviks untuk relaksasi. Hal ini menandai timbulnya hasrat kawin dan kopulasi
mungkin terjadi pada tikus betina (Martin 1985). Fase ini berlangsung sekitar 12 jam
(van Tienhoven 1983, Smith & Mangkoewidjojo 1988). Ciri khas pada fase ini hewan
betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
sekresi estrogen yang tinggi (Nalbandov 1990). Estrogen dari folikel de Graaf yang
matang menyebabkan berbagai perubahan pada organ reproduksi seperti uterus
tegang, mukosa vagina tumbuh cepat disertai sekresi lendir, terdapatnya sel-sel yang
menumpuk dan menanduk. Sel-sel ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Bullock et
al. 2004 & Rugs 1968).
Saat memasuki fase metestrus (setelah ovulasi), hasrat kawin menurun. Pada
fase ini korpus luteum mulai tumbuh. Korpus luteum merupakan perubahan bentuk
dari folikel de Graaf yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi. Uterus yang
sudah berkembang mengalami oedema akibat pengaruh estrogen. Selanjutnya oleh
pengaruh progesteron, kelenjar uterus aktif mensekresikan zat yang berguna untuk
makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi (Martin 1985 &
Nelson 1983). Pembuluh darah bertambah panjang dan lebar. Apabila terjadi
implantasi, mukosa endometrium makin menggelembung akibat pengaruh hormon
estrogen dan progesteron. Mukosa endometrium menggelembung dan tempat
implantasi zigot diketahui sebagai desidua (Nelson 1983). Pada akhir fase metestrus
degenerasi epitel meningkat bahkan menghilang dan leukosit banyak terdapat pada
dinding uterus (Bullock et al. 2004). Lapisan endometrium kembali ke fase istirahat
dan dimulainya siklus baru yaitu fase diestrus. Pada fase ini hewan betina terlihat
lebih tenang dan tidak ada aktivitas kelamin (van Tienhoven 1983). Pada fase ini
korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata.
Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Tolihere 1981), selaput mukosa
vagina tipis, pucat, otot mengendur, uterus mengecil, anemik, dan agak kontraktil
(Turner & Bagnara 1976). Fase ini berlangsung sekitar 60-70 jam (van Tienhoven
17

1983). Pada preparat ulas vagina terlihat banyaknya leukosit dan sel epitel berinti
(Nalbandov 1990).

Vagina
Vagina merupakan saluran terpanjang yang terletak di bagian dorsal uretra dan
bagian ventral rectum. Pembukaan vagina terjadi tidak lama setelah ovulasi pertama
dan dipakai sebagai tanda pubertas (Hafez 2000). Perubahan karakteristik dinding
epitel vagina selama estrus dapat diketahui melalui sediaan apus vagina yang
merupakan petunjuk tahap-tahap dalam siklus estrus (Ganong 2003).
Siklus estrus merupakan cerminan bagi berbagai aktivitas yang saling
berkaitan antara hipotalamus-hipofisis-ovarium. Selama siklus estrus terjadi
perubahan baik pada organ reproduksi maupun perubahan tingkah laku seksual (Hafez
2000).
Meskipun peristiwa fisiologis yang utama pada siklus estrus terjadi pada
ovarium, tetapi peristiwa tersebut tercermin pada vagina di bawah pengaruh hormon
ovarium yaitu estrogen dan progesteron (Johnsons & Everith 1988). Perubahan siklus
vagina tikus dapat dideteksi dengan menggunakan teknik preparat apus vagina.
Gambaran perubahan yang terjadi di vagina dapat mencerminkan kejadian pada
ovarium sehingga dapat digunakan untuk menentukan fase reproduksi pada tikus
betina yang diperiksa (Sartono 1984). Apus vagina diperoleh dari sekret vagina yang
diambil dengan menggunakan cotton bud pada 1/3 proksimal vagina (Hafez 2000).
Adapun gambaran mikroskopis hasil ulas vagina berbagai fase siklus estrus tertuang
pada Tabel 1 dan Gambar 8.
18

Tabel 1. Gambaran mikroskopis hasil ulasan vagina pada berbagai


fase siklus estrus.

HASIL ULASAN VAGINA


Nalbandov Turner & Bagnara Smith & Sartono
FASE (1990) (1976) Mangkoewidjoyo (1994)
(1988)
Proestrus Sel epitel berinti Sel epitel berinti Sel-sel kecil Epitel berinti
dengan inti bulat Berlendir
Estrus Sel berkornifikasi Sel-sel menanduk Epitel menanduk Epitel menanduk
Inti piknotik
Metestrus Leukosit diantara Leukosit banyak, Sel berkornifikasi Epitel bertanduk
sel berkornifikasi Sel menanduk sedikit Ada leukosit berkurang
Epitel berinti
banyak
Diestrus Epitel berinti Leukosit bermigrasi Sel epitel dan Leukosit banyak,
Leukosit Leukosit epitel berinti

Sel epitel berinti

Sel epitel
berinti

Proestrus Diestrus
Leucosit

Leucosit

Kornifikasi

Estrus Sel menanduk Metestrus


Gambar 8. Irisan melintang dinding vagina tikus putih pada
berbagai fase siklus estrus (Turner & Bagnara, 1976).
19

Kelenjar Susu
Peristiwa fisiologis siklus estrus tikus tercermin pada siklus pertumbuhan dan
regresi kelenjar susu meskipun sedikit berbeda apabila terjadi kebuntingan
(Knobil & Neills 2006). Pada fase proestrus terlihat saluran panjang di sekitar kelenjar
susu, terutama dekat puting. Selanjutnya saluran makin membesar pada fase estrus.
Sedangkan pada fase metestrus pelebaran saluran ini menjadi berkurang dan
menghilang dan tampak kembali pada fase diestrus. Siklus kelenjar susu dirangsang
oleh hormon estrogen dan progesteron (Ganong 2003). Hormon estrogen
mempengaruhi proliferasi saluran kelenjar susu, sedangkan hormon progesteron
merangsang perkembangan lobulus.

Kopulasi
Kopulasi biasanya terjadi 3 jam pertama fase estrus. Pada fase estrus ini
estrogen mempengaruhi substrat metabolik vagina sehingga memproduksi asam yang
mudah menguap dan menyebabkan timbulnya daya tarik seks tikus betina (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Terjadinya kopulasi ditandai dengan sumbat vagina (vaginal
plug) pada liang vagina (Rugs 1968). Sumbat vagina merupakan air mani yang
menggumpal yang berasal dari sekret kelenjar prostat tikus jantan. Kondisi ini dapat
diamati kira-kira 16-48 jam setelah kopulasi (Hafez 2000).

Fertilisasi
Proses fertilisasi terjadi pada bagian ampula oviduk. Sel telur yang dilepas dari
folikel saat ovulasi dikelilingi oleh sel kumulus ooforus, korona radiata, dan zona
pellucida. Sebelum spermatozoa melakukan penetrasi terjadi pelepasan kumulus
ooforus sehingga memudahkan penetrasi spermatozoa (Syahrum et al. 1994). Zona
pellucida merupakan lapisan ekstraseluler yang mengandung asam dan enzim akrosim
yang berasal dari akrosom sperma akan membantu sperma dalam menembus zona
pellucida. Setelah berhasil menembus zona pellucida spermatozoa akan memasuki
sitoplasma ovum secara perlahan sedangkan bagian tengah dan ekornya akan tetap
tinggal di luar dan akhirnya terlepas (Hafez 2000). Sejalan dengan itu implantasi
terjadi setelah 4-5 hari sejak kopulasi (Syahrum et al. 1994 & Hafez 2000).
20

Pengendalian Hormon terhadap Siklus Reproduksi


Seperti halnya mamalia lain, kunci siklus reproduksi tikus betina terletak
pada hipotalamus yang berhubungan dengan kelenjar hipofisis. Siklus reproduksi
berlangsung dengan bantuan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar
hipofisis bagian anterior melalui sistem portal hipotalamus – hipofisis. Hormon
gonadotropin terdiri atas FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing
Hormone), Prolactin dan LTH (Luteotropic Hormone). Sintesis dan sekresi FSH dan
LH dirangsang oleh Gonadotropic Releasing Hormon (Gn RH) yang disekresi oleh
hipotalamus. Hormon ini mulai bekerja saat hewan mencapai masa pubertas
(kematangan sel kelamin) (Johnsons & Everith 1988). FSH dan LH dibutuhkan untuk
perkembangan normal folikel di ovarium. Perkembangan awal sel folikel dikendalikan
oleh FSH yang selanjutnya merangsang sel granulose dan sel teka ovarium untuk
mensekresi estrogen. Sedangkan progesteron terdapat dalan jumlah sedikit pada awal
perkembangan sel folikel tetapi produksi progesteron mulai meningkat di bawah
pengaruh LH (Partodihardjo 1980 & Lay Cock 1982).
Perkembangan akhir sel folikel dikendalikan oleh LH dan selanjutnya LH
mendorong pecahnya folikel dan ovulasi (Nalbandov 1990). Sedangkan prolaktin
bersifat luteolitik pada siklus estrus dan berfungsi untuk mempertahankan korpus
luteum serta merangsang korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron
(Nalbandov 1990). Selain itu hormon prolaktin berfungsi untuk laktasi dan
perkembangan ovarium selama kehamilan (Knobil and Neills 2006).
Nasib folikel telur dalam ovarium tergantung pada hormon gonadotropin.
Banyak folikel yang mengalami atresia karena FSH dan LH hanya mampu
menumbuhkan dan mematangkan folikel telur dalam jumlah tertentu. Akan tetapi
folikel atresia dapat dicegah bila konsentrasi FSH dan LH di dalam sirkulasi darah
cukup memadai. Hormon ini terikat dengan reseptor FSH dan LH pada sel folikel
ovarium. Disamping itu hormon gonadotropin mempengaruhi perubahan folikel pre
antral menjadi folikel antral (Johnsons & Everith 1988).
Fungsi endokrin ovarium adalah menghasilkan estrogen dan progesteron
(Guyton 1996). Sumber estrogen selain sel teka interna folikel ovarium juga korpus
luteum (Ganong 2003). Fungsi estrogen merangsang perkembangan jaringan
21

reproduksi, pertumbuhan saluran kelamin, menyebabkan pemanjangan dan hipertrofi


kelenjar uterus, serta menyebabkan kontraksi uterus. Selain itu estrogen merangsang
proliferasi dan diferensiasi epitel vagina, merangsang perkembangan saluran kelenjar
susu, menimbulkan hasrat kawin dan merangsang peregangan tulang pinggul (Martin
1985 & Ganong 2003).
Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum di bawah rangsangan LH. Fungsi
progesteron antara lain mempersiapkan endometrium untuk implantasi. Sedangkan
progesteron dan estrogen dalam jumlah yang cukup berfungsi mempertahankan
implantasi zigot (Knobil & Neills 2006).
Pada permulaan fase folikuler, estrogen menghambat dan memberi umpan
balik negatif terhadap sekresi FSH dan LH, tetapi pada akhir fase folikuler (sebelum
ovulasi), peningkatan estrogen merangsang dan memberi umpan balik positif terhadap
sekresi LH. Pada fase luteal jumlah estrogen dan progesteron yang tinggi menghambat
dan memberi umpan balik negatif terhadap sekresi FSH dan LH. Adapun mekanisme
umpan balik hormon pada poros hipothalamus-hipofisis-gonad tertera pada Gambar 9.

Gambar 9. Mekanisme umpan balik hormon pada poros


hipotalamus-hipofisis-gonad (Syahrum et al. 1994).

Adapun hubungan antara hipotalamus dan beberapa siklus reproduksi


pada mamalia baik berupa siklus ovarium, siklus vagina, siklus endometrium dan
hormon-hormon yang berperan dapat dilihat pada Gambar 10 berikut :
22

Gambar 10. Hubungan antara GnRH dan Hormon ovarium serta perubahan
reproduksi pada mamalia betina poliestrus (Nelson 1983).

Peranan Hormon dalam Siklus Estrus


Pada akhir fase diestrus, korpus luteum yang mensekresi progesteron
mengalami regresi. Regresi ini disebabkan pengaruh prostaglandin yang dihasilkan
oleh uterus. Setelah produksi progesteron merendah, FSH-RH/LH-RH dilepas ke
sistem porta hipofisa. Selanjutnya FSH-RH/LH-RH merangsang produksi dan
pelepasan FSH yang disusul oleh produksi LH oleh hipofisa anterior. FSH
merangsang folikel tertier pada ovarium untuk tumbuh menjadi folikel de Graaf.
Lapisan sel teca interna dan sel granulosa pada folikel de graaf menghasilkan
estrogen. Semakin masak dimensi folikel de Graaf semakin tinggi produksi produksi
estrogen. Estrogen ini menyebabkan vaskularisasi alat kelamin. Setelah kadar estrogen
dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadilah efek positif
terhadap produksi dan pelepasan LH dari hipofisa anterior. Mekanisme ini disebut
umpan balik (feed back) positif. Kadar LH dalam darah mendadak meningkat
sehingga terjadi ovulasi. Ovulasi adalah peristiwa pecahnya dinding de Graaf dan
keluarnya ovum (Nalbandov 1990).
23

Setelah ovulasi terjadi, kadar LH menurun dengan cepat, tetapi tidak kembali
ke kadar dasar, melainkan cukup untuk merangsang sel teca interna untuk membentuk
korpus luteum. Sejak terbentuknya korpus luteum, sel ini memproduksi hormon
progesteron yang berfungsi meredakan aktivitas estrogen. Kecuali oleh LH, fungsi
korpus luteum ditunjang oleh LTH. LTH berperan dalam merangsang korpus luteum
untuk memproduksi progestin. Setelah folikel de Graaf pecah, produksi estrogen turun
dengan cepat, hingga mencapai kadar dasar (kadar paling rendah dalam darah).
Penurunan ini diikuti oleh kenaikan produksi FSH secara berangsur-angsur, FSH
diperlukan oleh ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh
secara berangsur-angsur mempertinggi kadar estrogen dalam darah. Setelah kadar
estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadi rangsangan
pada uterus untuk memproduksi prostaglandin. Prostaglandin ini menyebabkan korpus
luteum beregresi dan progestin secara tajam menurun. Menurunnya progesteron dalam
darah estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga terjadilah estrus
(Partodihardjo 1980).

Mekanisme Antifertilitas terhadap Reproduksi Tikus


Suatu zat yang berkhasiat anti fertilitas dapat bekerja melalui beberapa
mekanisme dan beberapa tempat kerja. Efek anti fertilitas suatu zat dapat terjadi di
beberapa tempat atau pada tempat kerja yang sama tetapi dengan mekanisme berbeda.
Sebagai contoh pada mamalia betina, aktivitas zat antifertilitas dapat terjadi di
hipotalamus, hipofisis, ovarium, oviduk, uterus, dan vagina (Cheeke 1989).
Ada tiga macam istilah untuk aktivitas zat antifertilitas, yaitu zat yang bersifat
sebagai kontrasepsi, abortivum dan intersepsi. Zat yang bersifat kontrasepsi
berfungsi mencegah terjadinya ovulasi dan fertilisasi. Zat yang bersifat abortivum
menyebabkan keluarnya fetus sebelum terjadinya implantasi sedangkan sebagai zat
intersepsi, zat tersebut bekerja setelah terjadi fertilisasi yang akan mengganggu
perjalanan menuju implantasi (Farnsworth et al. 1975 & Cheeke 1989).
Hewan betina yang tidak mengalami proses kebuntingan dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu penghambatan proses ovulasi, fertilisasi dan implantasi
(Suherman 2007). Salah satu penghambat proses ovulasi adalah penggunaan obat-
24

obatan atau zat kontrasepsi yang berupa fitosterol yang terkandung pada daun maja (β-
sitosterol dan stigmasterol). Keadaan ini menyebabkan laju fertilitas dan tingkat
kesuburan menjadi menurun.
Bahan aktif β-sitosterol dan stigmasterol tergolong steroid dan merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti ether,
etanol, kloroform, dan benzena (Harborne 1987). Steroid tumbuhan dapat bekerja
sebagai kontrasepsi dengan menekan ovulasi pada sebagian besar siklus dan
menghambat pelepasan gonadotropin (menghambat fungís ovarium) melalui
mekanisme umpan balik (Nalbandov 1990). Selain itu steroid tumbuhan umumnya
bersifat estrogenik sehingga akan mempengaruhi siklus menstruasi dan perkembangan
folikel (Farnsworth et al. 1975). Steroid ini tentunya dapat turut meningkatkan kadar
estrogenik dalam darah. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat menghambat
hipofisis dalam mensekresi hormon FSH melalui umpan balik negatif (Ganong 2003,
Johnsons & Everith 1988). Steroid tumbuhan memiliki kesamaan dengan steroid yang
dihasilkan ovarium yaitu estrogen dan progesteron. Keduanya memiliki gugus utama
berbentuk cincin siklopentana perhidrofenantrena (Tyler 1976 & Harborne 1987).
Berdasarkan sasaran aktivitas pada organ target, mekanisme zat antifertilitas
dibedakan atas :
1. Hipotalamus-hipofisis
Mekanisme kerja steroid pada hipotalamus maupun hipofisis dapat
menyebabkan aktivitas anti gonadotropin, artinya steroid tersebut akan secara
langsung menghambat sekresi FSH dan LH yang dihasilkan oleh hipotalamus maupun
hipofisis yang mengakibatkan terhambatnya produksi hormon estrogen dan
progesteron. Estrogen dan progesteron diperlukan untuk memunculkan birahi normal
pada hewan ovulator spontan, sehingga zat yang menekan gonadotropin
mengakibatkan terhambatnya ovulasi dan menekan libido (Farnsworth et al. 1975).
Selain itu juga akan menghambat induksi saraf ke hipotalamus yang mengatur sekresi
GnRH pada hewan ovulator spontan yakni akan memberikan efek antifertilitas
sebelum ovulasi (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000).
25

2. Ovarium
Mekanisme kerja zat antifertilitas terhadap ovarium dapat ditunjukkan
aktivitasnya pada penghambatan ovulasi dan steroidogenesis (Farnsworth et al. 1975
& Hafez 2000). Terhambatnya ovulasi ini sebagai akibat dari terhambatnya produksi
estrogen dan progesteron seperti berkurangnya korpus luteum yang terbentuk
berhubungan erat dengan jumlah ovum yang diovulasikan (Richards 1980). Selain itu
juga akan menyebabkan penekanan jumlah dan perkembangan folikel yang
mengakibatkan penurunan berat ovarium dan steroidogenesis (Zambrana 1971).
3. Oviduk
Mekanisme kerja zat antifertilitas dapat menyebabkan kekacauan fertilisasi dan
kegagalan implantasi serta dapat menyebabkan sel telur yang sudah dibuahi akan
mengalami regresi bila tiba terlalu dini di uterus (Farnsworth et al. 1975 & Hafez
2000).
4. Uterus
Mekanisme kerja zat antifertilitas pada uterus dapat bersifat interseptif maupun
abortivum. Keseimbangan hormon estrogen dan progesteron pada tikus sangat
diperlukan pada proses implantasi. Ada progesteron yang dilaporkan dapat
menimbulkan gangguan keseimbangan proliferasi endometrium, sehingga
mengganggu implantasi. Demikian juga antiestrogenik dapat menghambat implantasi
pada hewan yang memerlukan estrogen pada proses implantasi (Farnsworth et al.
1975 & Hafez 2000). Mekanisme lain juga dapat berupa fetus yang mati atau resorbsi
disebabkan karena terhambatnya aliran darah yang berasal dari placenta menuju fetus
baik karena kekurangan oksigen maupun sari-sari makanan (Bronsons 1966). Selain
itu resorbsi fetus dapat terjadi pada periode organogenesis yang terbukti dengan
adanya bekas tapak implantasi pada uterus, maupun fetus yang melekat di daerah
serviks akan diresorbsi sebagai benda asing oleh uterus (Rugs 1968).
5. Vagina
Mekanisme kerja zat antifertilitas di daerah vagina dapat bersifat spermisida
(Farnsworth et al. 1975). Zat antifertilitas yang bersifat spermisida dapat mencegah
terjadinya fertilisasi yang disebabkan tidak bergerak (imobilisasi) dan matinya
spermatozoa (Syahrum et al. 1994).

Anda mungkin juga menyukai