I stilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel pada tahun
1869, seorang ahli biologi Jerman. Ekologi berasal dari kata oikos dan logos;
oikos berarti rumah atau tempat tinggal dan logos berarti telaah atu studi.
Jadi secara harfiah ekologi adalah ilmu tentang rumah atau tempat makhluk
hidup. Menurut Odum (1996), ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ekologi adalah bagian kecil yang mempelajari cabang dari ilmu biologi. Biologi
murni pada dasarnya dapat dibagi dua, yaitu pembagian berdasarkan hierarki
vertikal dan pembagian berdasarkan keeratan taksonomi (Odum 1996):
Lapisan vertikal, yaitu:
morfologi - tentang bentuk luar
anatomi - tentang bagian-bagian dalam
histology - tentang jaringan mikroskopis
fisiologi - tentang fa’al atau proses kerja
genetika - tentang sifat keturunan
ekologi - tentang “rumah” organisme
Keeratan taksonomi atau sistematika, yaitu:
mikologi - tentang jamur
mikrobiologi - tentang jasad renik
entomologi - tentang serangga
ornitologi - tentang burung
botani - tentang tumbuhan
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
2
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
3
2
EKOSISTEM PERAIRAN
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk dari proses interaksi
timbal balik antar-mahluk hidup dalam suatu komunitas dalam lingkungan
abiotiknya (Resosoedarmo et al. 1989). Menurut Odum (1996) ekosistem atau
sistem ekologi merupakan pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang
hidup dan yang tak hidup di dalam sistem. Dua komponen dasar yang saling
mengetahui dalam suatu ekosistem, yaitu organisme—organisme yang
merupakan komponen biotik dan lingkungan fisik—kimia sebagai komponen
abiotik. Ada berbagai ekosistem yang dapat kita temui di permukaan bumi,
salah satu contohnya adalah ekosistem perairan.
Komponen penyusun ekosistem perairan (Odum 1996) adalah:
Abiotik
1. Substansi organik, seperti: karbohidrat, protein, lemak, dan lain-lain.
2. Substansi an-organik, seperti: nitrogen, fosfor, sulfur, kalsium, dan lain-
lain.
3. Iklim, seperti suhu dan faktor fisik lainnya.
2. Biotik
1. Produsen, yaitu makhluk hidup yang dapat menghasilkan makanan
sendiri (autotrof) termasuk tanaman hijau dan bakteri kemoshintetik.
2. Konsumen makro, seperti hewan (fagotrof).
3. Konsumen mikro, seperti dekomposer/osmotrof (safrotrof).
Ekosistem perairan merupakan kesatuan menyeluruh antara unsur biotik dan
abiotik perairan yang saling memengaruhi. Tipe ekosistem perairan dapat
dibedakan atas perbedaan salinitas, yaitu perairan tawar, perairan estuari
(payau), dan perairan laut. Khusus pada ekosistem perairan tawar, berdasarkan
tipe alirannya dibedakan menjadi dua, yakni perairan tergenang (lentik) dan
perairan mengalir (lotik). Klasifikasi ekologis organisme air tawar adalah:
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
6
3
EKOSISTEM PERIRAN
TERGENANG
3.1 Pendahuluan
Zona profundal, merupakan bagian dasar air yang tidak tercapai oleh
penetrasi cahaya yang efektif. Pada kolam zona profundal tidak ada.
Zonasi perairan tergenang secara vertikal (Gambar 1) adalah:
Zona eufotik; zona dimana penetrasi cahaya matahari masih ada. Pada
zona ini terdapat banyak fitoplankton karena fitoplankton membutuhkan
cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis.
Zona disfotik; zona dimana penetrasi cahaya matahari tidak ada. Pada zona
ini pitoplankton tidak ada.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Salah satu jenis perairan tergenang adalah situ. Situ merupakan genangan air
dipermukaan bumi yang terbentuk secara alami maupun buatan manusia,
sumber airnya terbentuk melalui siklus hidrologi. Berdasarkan proses
bentuknya, situ terbagi menjadi dua bagian, yaitu situ alami dan situ buatan.
Situ alami terbentuk sebagai akibat kegiatan alamiah seperti bencana alam,
kegiatan vulkanik, dan kegiatan tektonik. Situ buatan merupakan hasil kegiatan
manusia dengan maksud—maksud tertentu, misalnya untuk keperluan
pembangkit tenaga listrik, rekreasi, irigasi, dan lain sebagainya.
8
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
3.2 Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk mengenalkan dan
menjelaskan komponen-komponen penyusun ekosistem perairan tergenang,
menjelaskan interaksi, dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun
ekosistem tersebut dan menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap komponen
penyusun ekosistem.
3.3 Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe
ekologi perairan dan parameter kunci di ekosistem perairan tergenang.
A. Pengambilan contoh
9
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
B. Analisis data
Inle
t I
n
l
e
Keterangan:
Stasiun
t
Substasiun
outl
Gambar 2 Penentuan titik pengambilan contoh di perairan tergenang/situ
11
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
12
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
pada tiap-tiap sub stasiun untuk dituangkan ke dalam plankton net. Contoh
plankton yang diperoleh tersaring dalam botol film dan diawetkan dengan
larutan lugol.
Pengamatan dan analisa dilakukan di laboratorium menggunakan mikroskop
dengan pembesaran 10 x 10 dan atau 4 x 10. Air contoh diteteskan pada gelas
objek menggunakan pipet dan ditutupi gelas penutup. Pengamatan dilakukan
pada lima lapang pandang sebanyak tiga kali ulangan. Hasil pengamatan
digambar dan diidentifikasi serta dicatat dalam tabel.
3.8.2. Perifiton
Contoh perifiton diperoleh dengan melakukan pengerikan pada permukaan
substrat keras berupa batang kayu atau batu yang ditemukan pada tiap
substasiun. Bidang pengerikan seluas 4 cm2 (2 cm x 2 cm) dengan
menggunakan cutter dan dimasukan dalam botol film kemudian diencerkan
dengan aquades sampai botol film penuh. Air contoh perifiton yang diperoleh
diidentifikasi di laboratorium menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10
x 10 dan atau 4 x 10. Contoh diteteskan di gelas objek dan ditutupi gelas
penutup. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang dengan tiga kali
ulangan. Hasil identifikasi dicatat dalam tabel.
3.8.3. Bentos
Pengambilan contoh bentos dilakukan dengan memasukkan paralon ke dasar
perairan. Paralon dimasukkan ke dasar perairan secara tegak lurus. Mulut
paralon pada bagian atas ditutup dengan tangan lalu diangkat. Substrat yang
terambil disaring untuk memisahkan bentos dari substratnya. Organisme yang
diperoleh dimasukkan dalam plastik transparan dan diawetkan dengan
formalin 4%, apabila biota bentos yang diperoleh berukuran besar dapat
digunakan formalin 10%. Pengambilan contoh dilakukan pada setiap substasiun
dengan tiga kali ulangan. Contoh bentos tersebut diamati dan dianalisa di
laboratorium. Alat khusus untuk mengambil bentos adalah ekman grab.
3.8.4 Neuston
Pengambilan contoh dilakukan dengan cara menangkap organisme yang ada
dipermukaan air, kemudian dimasukan ke dalam plastik transparan dan
diawetkan dengan formalin 4% untuk diidentifikasi di laboratorium.
13
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
3.8.5. Nekton
Contoh nekton diambil dengan cara mencari dan menangkap organisme yang
hidup di dalam kolam air, kemudian dimasukkan ke dalam plastik transparan
dan diawetkan dengan formalin 4%, kemudian diidentifikasi di laboratorium.
Selain itu, untuk mengetahui jenis-jenis biota nekton juga dapat dilakukan
wawancara terhadap penduduk/masyarakat di sekitar lokasi danau/situ.
Keterangan:
Ni = Kelimpahan plankton jenis i (ind/l)
Oi = Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op = Luas lapang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr = Volume botol contoh (ml) = 30 ml
Vo = Volume satu tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
Vs = Volume air yang disaring pada plankton net (L) = 100 L
n = Jumlah plankton jenis i yang tercacah
14
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Keterangan:
X = Kepadatan bentos (ind/m2)
µ = Jumlah bentos jenis i (ind)
m = Luas permukaan mulut alat (m2)
15
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
3.10.1 Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan komponen penyusun ekosistem perairan tergenang/situ/danau.
Selain itu, mahasiswa dapat menjelaskan bentuk-bentuk hubungan yang
mungkin terjadi mulai dari produsen (plankton), konsumen (dari bentos sampai
ikan). Setelah itu, mahasiswa mengetahui potensi ekologi perairan tergenang
untuk kegiatan budi daya perairan.
16
4
EKOSISTEM PERIRAN
MENGALIR
4.1 Pendahuluan
Pada perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh
dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik.
Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, serta sangat
dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola aliran air. Kecepatan arus, erosi, dan
sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga
kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel
tersebut (Effendi 2003).
Menurut Real (1961) dalam Luvi (2000), sungai dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kontinuitas alirannya, antara lain:
1. Permanent streams
Merupakan sungai yang menerima sumber air utama melalui rembesan air
dalam tanah dan aliran mata air yang berasal dari bawah permukaan.
2. Intermittent streams
18
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Merupakan sungai yang menerima sumber air utama berasal dari aliran
permukaan tanah. Karena aliran ini bersifat musiman, maka aliran sungai ini
biasanya terjadi pada musim hujan.
3. Interrupted streams
Merupakan sungai yang mengalir bergantian di atas dan di bawah
permukaan.
Ekosistem perairan mengalir berbeda dengan ekosistem perairan tergenang dan
mangrove. Hal ini terlihat jelas dari keberadaan aliran arus (dengan adanya luas
penampang yang kecil dan kedalaman yang rendah sehingga menyebabkan air
yang mengalir cukup besar), pertukaran air dengan tanah relatif lebih ektensif
pada aliran air, yang menghasilkan ekosistem yang lebih terbuka dan
metabolisme ekosistem tipe heterotrofik dan tekanan oksigen yang lebih merata
dalam aliran air (Odum 1996), memiliki resident time relatif cepat (waktu tinggal
arus yang cepat), organisme memiliki adaptasi yang khusus terhadap aliran
searah, substrat umumnya berupa batu, kerikil, pasir, dan lumpur, hampir tidak
terdapat stratifikasi suhu dan oksigen, rentan terhadap pencemaran, tetapi
menghilangkan pencemaran dengan cepat.
Pada perairan tergenang (lentik) pada habitatnya terdapat plankton lebih banyak
karena arus yang hampir tidak ada sehingga cocok dijadikan tempat hidup
plankton, neuston, dan juga nekton, memiliki residence time yang lama,
organismenya tidak terlalu membutuhkan adaptasi khusus, terdapat stratifikasi
suhu, substrat yang terdapat pada perairan tergenang umumnya berupa lumpur
halus.
Pada ekosistem perairan mangrove atau payau, organisme yang dapat hidup
adalah organisme yang mampu beradaptasi dengan salinitas yang cukup tinggi
karena merupakan daerah peralihan ekosistem laut dan tawar, substrat
umumnya berupa lumpur, lempung, pasir atau kombinasi dari ketiganya,
perairannya bersalinitas payau atau asin, memiliki adaptasi khusus terhadap
substrat (Fardiaz 1992).
Penzonasian pada ekosistem mengalir dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan
gradien dan aliran air (Odum 1996):
19
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
A
Dataran Tinggi
Dataran rendah
20
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Menurut Le Cren (1972) dalam Luvi (2000), sungai memiliki beberapa fungsi
sebagai berikut.
1). Untuk pelayaran dan transportasi.
2). Untuk mencegah banjir dengan cara pembuatan bendungan.
3). Energi aliran sungai dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik.
21
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
4.2 Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk: mengenalkan dan
menjelaskan komponen-komponen penyusun ekosistem perairan mengalir,
menjelaskan interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun
ekosistem tersebut dan menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap komponen
penyusun ekosistem.
22
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
4.3 Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe
ekologi perairan dan paramameter kunci di ekosistem perairan mengalir.
23
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
24
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
LBS
LS
Penampang melintang:
Keterangan:
Stasiun
Substasiun
4.6.2 Kecerahan
Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan secchi disc yang dimasukan ke
dalam perairan secara perlahan, diamati kedalaman saat secchi disc tepat
menghilang (D1) dan setelah ditenggelamkan sedikit kemudian secchi disc
diangkat sampai terlihat kembali (D2). Pengukuran kecerahan perairan dilakukan
sebanyak tiga kali ulangan dalam 1 sub-stasiun.
4.6.3 Suhu
Untuk mengetahui suhu perairan dilakukan dengan menggunakan termometer
lapangan. Caranya yaitu dengan mencelupkan termometer secara perlahan ke
25
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
dalam air, dengan memegang tali yang diikatkan pada termometer agar suhu
tubuh praktikan tidak memengaruhi suhu yang ada pada termometer, kemudian
dilihat skala suhunya setelah dicelupkan ke dalam air selama kira-kira 30 detik.
Pengukuran suhu dilakukan sebanyak tiga kali ulangan di tiap SS secara diagonal
agar mewakili suhu tiap-tiap sub-stasiun.
4.6.4 Kedalaman
Pengukuran kedalaman dilakukan dengan paralon berskala. Paralon berskala ini
dimasukkan ke dalam perairan dengan posisi tegak sampai menyentuh dasar
perairan. Batas yang ditunjukkan pada paralon adalah kedalaman dari perairan
tersebut. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada setiap sub-
stasiun.
26
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
saat dan selanjutnya cocokkan dengan indikator warna yang terdapat pada pH
indikator.
Alat untuk mengukur oksigen terlarut adalah dengan DO meter. Cara pengukuran
oksigen terlarut dengan DO meter adalah alat tersebut dihidupkan (tekan tombol
on pada alat) kemudian masukkan probe ke dalam air (titik yang akan diukur),
biarkan beberapa saat sampai pada layar alat DO meter terlihat angka yang
cendrung stabil (kira-kira 30 detik), kemudian catat hasilnya pada data sheet.
Cara lain untuk mengukur oksigen terlarut adalah dengan cara metode winkler
(pengukuran oksigen dengan menggunakan bahan kimia).
4.8.2 Perifiton
Perifiton diambil dengan mengerik substrat berukuran 2 cm x 2 cm yang telah
kita dapatkan yang berupa kayu-kayu ataupun bebatuan. Hasil pengerikan
tersebut kita sediakan dalam kaca preparat untuk kita amati dengan mikroskop.
4.8.3 Bentos
Pengambilan bentos dilakukan dengan menggunakan surber yang diletakkan di
dasar sungai, dasar perairan diaduk dahulu. Surber diserok ke dasar perairan
agar substrat dapat terambil, kemudian dipisahkan bentosnya dan dimasukkan
ke dalam plastik.
4.8.4 Neuston
Pengambilan contoh neuston dilakukan dengan cara menangkapnya secara
langsung, baik dengan saringan ataupun secara manual.
27
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
4.8.5 Nekton
Pengambilan contoh nekton dilakukan dengan cara menangkapnya secara
langsung dengan menggunakan saringan, kemudian masukkan ke dalam plastik
yang ditambahkan dengan aquades.
Keterangan:
Ni : Kelimpahan plankton jenis i (ind/l)
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
Vs : Volume air yang disaring pada plankton net (100 l)
n : Jumlah plankton jenis i yang tercacah
P : Jumlah lapang pandang (5)
U : Ulangan (3 kali)
28
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
29
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Axw
Q
t
atau dapat juga menggunakan rumus (Wetzel 2001)
Q = V x W x lebar sungai
Keterangan:
Q : Debit air (m3/s)
V : Kecepatan Arus (m/s)
t : Waktu (sekon)
A : Luas transek (m2)
W : Kedalaman Perairan (m)
30
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
4.10.1 Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan komponen penyusun ekosistem perairan tergenang/situ/danau.
Kemudian dapat menjelaskan betul-betul hubungan yang mungkin terjadi mulai
dari habitat produsen (plankton). Konsumen (dari bentos sampai ikan). Setelah
itu mahasiswa mengetahui potensi ekologi perairan mengalir untuk kegiatan
budi daya perairan.
31
5
EKOSISTEM PERAIRAN
PAYAU
5.1 Pendahuluan
geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki
arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface)
antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik dan
mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya (Dahuri et
al. 2001)
34
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang
mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta,
dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2001).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Bengen (2001)
menjelaskan ekosistem mangrove umumnya berkembang di daerah intertidal
(daerah pasang surut) sehingga daerahnya tergenang air laut secara berkala
(setiap hari maupun saat pasang purnama), menerima pasokan air tawar yang
cukup dari darat, terlindung dari gelombang besar, dan arus pasang surut yang
kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang
dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung. Hutan mangrove
meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri
atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora,
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis,
Snaeda, dan Conocarpus. Terdapat salah satu jenis yang dominan dalam satu
hutan mangrove yang termasuk famili: Rhizophoraceae, Sonneratiaceae,
Avicenniaceae, Meliaceae (Bengen 2001).
Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi (maximum spring
tide) sampai level di sekitar atau di atas permukaan rata-rata (mean sea level).
Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di
daerah tropis dan sub tropis. Menurut McGill (1958) hampir 75% tumbuhan
mangrove hidup di antara 35 °LU–35 °LS, dan terbanyak terdapat di kawasan Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera, dan beberapa daerah di Kalimantan yang
mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman. Di Indonesia tercatat ada
sekitar 3,75 juta ha (PHPA-AWB 1987; Departemen Kehutanan 1982), yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
35
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
a. Fisiografi pantai
Mangrove dapat tumbuh pada pantai yang bentuknya landai. Walaupun
mangrove masih dapat tumbuh di daerah pantai yang terjal, akan tetapi
pertumbuhannya tidak optimal.
b. Iklim
Pantai yang beriklim tropik basah yang dicirikan dengan kelembaban, angin
musim, curah hujan, dan temperatur yang tinggi menyebabkan pencegahan
akumulasi garam-garam tanah sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan
dapat berkembang biak dengan baik.
c. Pasang Surut
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada
tanah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik,
dan menurun selama pasang surut.
d. Gelombang dan Arus
Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel
pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap,
terakumulasi membentuk pantai berpasir.
e. Salinitas
Lingkungan asin/bergaram diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove.
Salinitas air dan salinitas tanah merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove.
f. Oksigen Terlarut
Tanah pada hutan mangrove yang berlumpur dan jenuh air mengandung
oksigen rendah dan terkadang bahkan tidak mengandung oksigen. Dalam
keadaan demikian, hanya spesies-spesies tumbuhan tertentu saja yang dapat
hidup. Untuk beradaptasi dengan keadaan tersebut, selain dengan adanya
sistem perakaran yang khas, kekurangan oksigen juga dapat dipenuhi oleh
adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan seperti
harimau dan lain sebagainya.
g. Substrat
Substrat yang terdapat pada sekitar daerah mangrove, yaitu tanah
berlumpur, tanah berpasir, ataupun tanah berkerikil.
36
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
h. Nutrien
Nutrien di mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik.
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung
oleh berbagai faktor lingkungan, seperti kondisi jenis tanah dan faktor genangan
pasang surut. Zonasi hutan mangrove di Indonesia meliputi:
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia
spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
37
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Pohon mangrove juga memiliki akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar. Akar digunakan untuk memperkokoh pohon,
selain itu juga untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen sebagai
sistem adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut.
Mann (1982) menambahkan pasang surut di habitat mangrove akan
memengaruhi kestabilan tanah sehingga lebih labil dari tanah umumnya,
adaptasi yang dilakukan spesies mangrove adalah dengan membuat struktur akar
ekstensif dan jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon,
mengambil unsur hara, dan menahan sedimen.
38
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Akar dan daun pada mangrove tersebut merupakan karakteristik morfologi dasar
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan mangrove.
Karakteristik lain yang dapat digunakan adalah bunga dan buah. Semua jenis
mangrove menghasilkan buah dan biji. Ketika biji ini jatuh akan mengapung,
sehingga penyebarannya dengan mudah dibantu angin dan arus. Jika
menemukan substrat yang sesuai, biji tersebut akan tumbuh menjadi vegetasi
baru (Kitamura et al. 1997).
39
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
5.3 Tujuan
Praktikum ekosistem perairan payau bertujuan untuk mengenalkan dan
menjelaskan komponen-komponen penyusun ekosistem mangrove, menjelaskan
interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem
tersebut, dan menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap komponen penyusun
ekosistem.
5.3.1 Manfaat
Setelah praktikum ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe
ekologi perairan dan parameter kunci di ekosistem mangrove.
40
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
41
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
42
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
43
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
dst
Catatan : Untuk penentuan/pengambilan contoh parameter fisika, kimia, dan biologi perairan sama
dengan yang dilakukan pada ekosistem perairan tergenang
44
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
45
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
46
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Keterangan:
Di : Kerapatan jenis i
Ni : Jumlah tegakan dari jenis i
A : Luas total area pengambilan contoh
Fi Pi / P
Keterangan:
Fi : Frekuensi jenis i
Pi : Jumlah plot dimana ditemukannya jenis i
Σp : Jumlah total plot yang diamati
Frekuensi Relatif Jenis (RFi)
Perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh
jenis (ΣF)
Fi
RFi x100
F
Keterangan:
Rfi : Frekuensi relatif jenis i
F : Frekuensi jenis i
ΣF : Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
47
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
48
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
5.8 Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian, diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan komponen penyusun ekosistem perairan payau/mangrove,
kemudian dapat menjelaskan betul-betul hubungan yang mungkin terjadi, mulai
dari habitat produsen (plankton) sampai konsumen (dari bentos sampai ikan).
Setelah itu, mahasiswa mengetahui potensi ekologi perairan mangrove/payau
untuk kegiatan budi daya perairan.
49
6
EKOSISTEM
PERAIRAN LAUT
2. Terdapat pada batas terendah daerah pasang surut dekat pohon bakau atau
di daerah terumbu karang.
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan
terlindung.
4. Sangat tergantung pada intensitas matahari yang masuk dalam perairan
tersebut.
5. Mampu melaksanakan proses metabolisme secara optimal jika seluruh
tubuhnya terendam air.
6. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
53
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
1. Daun pipih................................................................................................................ 2
Daun berbentuk silindris .............................................................................................. Syringodium
............................................................................................................................ isoetifolium
2. Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali ..................................... Halophila
Panjang helai daun 10-40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang daun...................... H. ovalis
Daun dengan 4-7 pasang tulang daun......................................................................... b
a. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai Tangkai daun, tangkai panjang ........... H. spinulosa.
b. Panjang daun 0,5-1,5 cm, pasangan daun Dengan tegakan pendek ....................... H. minor
Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji .................................................. H. decipiens
Daun membujur seperti garis, biasanya panjang
5-100 m ..................................................................................................................... 3
3. Daun berbentuk selempang yang menyempit pada bagian bawah ....................... 4
Tidak seperti di atas .................................................................................................... 6
54
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
5. Jumlah akar 1 – 5 dengan tebal 0,5 – 2 mm, ujung daun seperti gigi ..................... Thalassodendron
.................................................................................................................................... ciliatum
Tidak seperti di atas ................................................................................................... Cymodecea
Ujung daun halus (licin, tulang daun 9-15) ................................................................ C. rotundata
Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13 – 17 ....................................................... C. serrulata
6. Rimpang berdiameter 2 – 4 mm tanpa rambut- rambut kaku ; panjang daun 10
– 30, lebar 4 – 10 cm. ............................................................................................... Thalassia hemprichii
Rimpang berdiameter lebih 1 cm dengan
rambut-rambut kaku; panjang daun 30 –150 cm, lebar 13 – 17 mm......................... Enhalus acoroides
6.1.4 Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk mengenalkan dan
menjelaskan komponen-komponen penyusun ekosistem lamun, menjelaskan
interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem
tersebut dan menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap komponen penyusun
ekosistem.
6.1.5 Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe
ekologi perairan dan paramameter kunci di ekosistem perairan lamun.
55
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
56
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
% Penutupan
Kelas Nilai penutupan lamun pada substrat Nilai tengah
substrat
5 1/2–seluruhnya 50–100 75
4 1/4–1/2 25–50 37,5
3 1/8–1/4 12,5–2,5 18,75
2 1/16–1/8 6,25–12,5 938
1 Kurang dari 1/16 < 6,25 3,13
0 0 0 0
57
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Hitung persentase penutupan (C) dari tiap spesies lamun dalam t–iap
transek kuadrat ( 1 x1 m2) dengan rumus English, et al.1997 in Yayasan
Terangi 2005:
[∑(𝑀𝑖 𝑥 𝑡𝑖)]
𝐶 =
∑𝑓
Dimana:
Mi = nilai tengah persentase dari kelas ke-I
F = frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)
6.1.10 Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan komponen penyusun ekosistem lamun. Kemudian dapat
menjelaskan betul-betul hubungan yang mungkin terjadi mulai dari produsen
(plankton) sampai konsumen (dari bentos sampai ikan). Setelah itu, mahasiswa
mengetahui potensi ekologi perairan mengalir untuk kegiatan budi daya
perairan.
58
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
59
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
60
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Gambar 16 Tipe terumbu karang (fringing reef, barrier reef, dan atoll)
(Sumber: Nybakken 1992)
61
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
62
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
63
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
G. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan
adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila
disentuh.
64
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
H. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada
rangkanya.
65
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
66
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
6.2.5 Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk mengenalkan dan
menjelaskan komponen-komponen penyusun ekosistem perairan karang,
menjelaskan interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen penyusun
ekosistem tersebut dan menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap komponen
penyusun ekosistem.
6.2.6 Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe
ekologi perairan dan parameter kunci di ekosistem karang.
67
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
68
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
69
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
2. Transek Kuadrat
Prosedur analisa data (English, et al.1997 in Yayasan Terangi 2005):
∑(Mi)x (fi)
C =
∑f
Keterangan:
Mi = Nilai tengah persentase dari kelas ke-i
f = frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)
Tabel 8 Penetapan persen penutupan karang
Kelas Nilai penutupan karang % penutupan Nilai tengah (Mi)
5 1/2–seluruhnya 50–100 75
4 1/4–1/2 25–50 37,5
3 1/8–¼ 12,5–25 18,75
2 1/16–1/8 6,25–12,5 9,38
1 < 1/16 < 6,25 3,13
0 Kosong 0 0
Kriteria penutupan:
C < 5% = sangat jarang
5%-<= C < 25% = jarang
25% <= C < 50% = sedang
50% <= C < 75% = rapat
C > 75 = sangat rapat
70
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
6.2.11 Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan komponen penyusun ekosistem perairan karang. Kemudian dapat
menjelaskan betul-betul hubungan yang mungkin terjadi mulai dari habitat
produsen (plankton). Konsumen (dari bentos sampai ikan). Setelah itu
mahasiswa mengetahui potensi ekologi perairan mengalir untuk kegiatan
budidaya perairan.
71
7
KOMUNITAS
Menurut Odum (1996), komunitas adalah suatu sistem dari kumpulan populasi
yang hidup pada area tertentu dan terorganisasi secara luas dengan karakteristik
komponen tertentu, serta berfungsi sebagai kesatuan transformasi rantai
metabolis. komunitas biotik ialah kumpulan populasi yang hidup di daerah
tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu kesatuan yang
terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik. Konsep komunitas ini dapat
digunakan dalam menganalisis lingkungan perairan karena komposisi dan
karakter organisme di dalam suatu komunitas dapat menjadi indikator yang
cukup baik untuk melihat keadaan lingkungan dimana komunitas tersebut
berada. Karakteristik suatu komunitas meliputi 5 komponen yaitu keragaman,
dominansi, kelimpahan relatif, bentuk dan struktur pertumbuhan serta struktur
trofik (Krebs, 1989). Struktur komunitas adalah suatu susunan atau bentuk dari
semua individu (1 spesies) yang hidup di suatu daerah.
74
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
75
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
Menurut Mann (1981) in Harteman (1998) bahwa dominansi jenis sering terjadi
karena beberapa hal antara lain kompetisi pakan alami oleh jenis tertentu yang
disertai perubahan kualitas lingkungan, tidak seimbangnya antara predator dan
mangsa sehingga terjadi kompetisi antar jenis. Sejumlah besar ikan yang di
perairan sungai, membentuk komunitas yang berbeda-beda dan tiap jenis ikan
memiliki spesialisasi dan mampu memanfaatkan pakan dengan seefisien
mungkin, karena persaingan antara jenis ikan sangat dalam memperoleh pakan
alami. Jenis ikan-ikan tersebut sangat peka terhadap perubahan lingkungan
(Kottelat et al., 1993). Hoston in Mann (1981) in Harteman (1998) menyatakan
tentang keseimbangan model dinamis dari keanekaragaman jenis. Bila
lingkungan habitat ikan berubah dapat menyebabkan perubahan keragaman
komunitas dan populasi.
Secara ekologi diasumsikan bahwa keanekaragaman spesies yang tinggi
menunjukkan keseimbangan ekosistem yang lebih baik dan memiliki elastisitas
terhadap berbagai bencana, seperti penyakit, predator, dan lainnya. Sebaiknya
keanekaragaman yang rendah (jumlah spesies sedikit) menunjukkan sistem yang
stress atau sistem yang sedang mengalami kerusakan, misalnya bencana alam,
polusi, dan lain-lain. Clarck (1974) in Sinaga (1995) mengatakan bahwa dalam
ekologi biasanya digunakan indeks keanekaragaman sebagai ukuran kondisi
suatu ekosistem yang mungkin dipengaruhi oleh berbagai gangguan lingkungan.
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesies-spesies terbentuk secara
bersama-sama, berinteraksi suatu dengan lainnya, juga terhadap lingkungan
dalam berbagai cara dimana hal tersebut menentukan jumlah spesies yang ada
serta kelimpahan relatifnya.
76
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
77
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
79
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
2) Indeks kesamaan (s) antara dua sampel (Sorenson 1948 in Odum 1996)
2C
S
A B
Dimana:
A : jumlah spesies dalam sampel A
B : jumlah spesies dalam sampel B
C : jumlah spesies yang sama pada kedua sampel
Catatan: Indeks ketidaksamaan = 1 – S
S 1 S S
d1 d2 d3
log N N 1000
Dimana:
S : jumlah spesies
N : jumlah individu dan sebagainya
80
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
e
log S
Dimana:
H : indeks Shannon
S : jumlah spesies
c. Indeks Shannon untuk diversitas umum (H) (Shannon dan Weaver 1949 in
Odum 1996)
Diversitas (keanekaragaman) merupakan jenis jumlah organisme yang
terdapat dalam suatu area. Indeks keragaman menunjukkan kekayaan jenis
dalam komunitas dan juga memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian
jumlah individu tiap jenis. Jenis keragaman dapat dibagi menjadi keragaman
pola dan genetik. Keragaman pola terdiri dari stratifikasi, zonasi, dan rantai
makanan, sedangkan keragaman genetic terdiri dari bentuk, morfologi, dan
warna. Indeks diversitas dipengaruhi oleh jumlah spesies dan jumlah individu
tiap spesies (Odum 1996).
ni ni
H ( ) log( ) atau H PiLogPi
N N
Dimana:
ni : nilai kepentingan untuk setiap spesies
N : nilai kepentingan total
Pi : peluang kepentingan untuk tiap spesies
81
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, Dietriech G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut.
Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan.
Bengen DG. 2009. Perspektif ekosistem pesisir dan laut dalam karakteristik dan
dinamikanya. Tidak dipublikasikan. Bahan Kuliah Mayor Ilmu Kelautan,
FPIK, IPB. Bogor.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP dan Sitepu M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumber daya dan
lingkungan periaran. Kanisius: Yogyakarta.
Ewusse SY. 1990. Ekologi Tropik, Terjemahan Usman Tanuwijaya. ITB. Bandung
Gonawi GR. 2009. Struktur Komunitas Nekton Di Sungai Cihideung, Bogor, Jawa
Barat. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK
IPB
Fardiaz S. 1992. Polusi air dan udara. Kerja sama Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor. Kanisius: Yogyakarta
Fortes MD. 1989. Seagrasses: A Resources Unknown in The ASEAN Region.
ICLARM Education Series 5.
Harteman E. 1998. Afinitas Komunitas Ikan dengan Habitat di Sungai Kapuas, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Hartog C. den. 1970. Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam
Kiswara W, MK Moosa, dan M Hutomo. 1994. Struktur Biologi Padang Lamun di
Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Proyek
Pengembangan kelautan dan Pusat Pengembangan Oseanologi, LIPI.
Jakarta.
Kottelat M, AJ Whitten, SN Kartikasari, dan S Wirjoatmodjo. 1993. Fres Water
Fishes of Westren Indonesia and Sulawesi-Ikan Air Tawar indonesia
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
bagian Barat dan Sulawesi. (Edisi Dwi Bahasa). Priplus Edition LTD.,
Hongkong 377 h.
Krebs CJ. 1972. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Harper and Rows Publisher. 694 p.
Krebs CJ. 1989. Ecology Methodology. Hal.293-368. Harper Collins Publishers
New York 694 h.
Luvi DM.2000. Aspek reproduksi dan kebiasaan makan ikan lalawak di sungai
simanuk, sumedang. [skripsi]. FPIK, IPB. Bogor.
Odum EP. 1996. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan oleh Ir. Tjahyono Samingan,
MSc dan Ir. B. Srigandono, Msc. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta
Odum WE dan Johannes RE. 1975. The response of mangroves to man-induced
environmental stress. Tropical Marine Pollution. Elsevier Scientific. the
Netherland, Amsterdam
Odum E. 1975. Fundamentals of ecology. Philadelphia, PA: Saunders
Mann KH. 1982. Ecology of coastal waters, second edition. Oxford: Blackwell
Scientific Publication.
National Geographic Indonesia, April 2007.
Nurcahyadi W. 2000. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Ikan di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cikiniki dan Cisukawayana, Taman Nasional Gunung
Halimun, Jawa Barat. [Skripsi]. Progaram Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor (tidak di publikasikan).
Nybakken JW. 1992. Bilologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. P.T. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Rangkuti AM. 2009. Studi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, dan Cd pada Air dan
Sedimen di Perairan Pulau Panggang-Pramuka Kep. Seribu DKI Jakarta.
[skiripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB
Resosoedarmo S, Kuswata K, dan Aprilari S. 1989. Pengantar Ekologi. Remadja
Karya CV Bandung. Bandung
Sinaga TP. 1995. Bioekologi Komunitas Ikan di Sungai Banjaran Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Soegiarto A. 1976. Pedoman umum pengelolaan wilayah pesisir. Lembaga
Oseanologi Nasional, Jakarta.
84
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM
www.eoearth.org/article/River
www. Mollusca.com
www.usd.edu/esci/figures/158401.JPG
www.usda.gov/stream_restoration/chap1.htm
85
EKOLOGI PERAIRAN SUATU PANDUAN PRAKTIKUM