Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daging
Daging adalah salah satu bahan makanan yang memiliki sumber protein hewani
dengan nilai gizi tunggi. Dalam kondisi segar, daging tidak dapat disimpan pada waktu
yang lama. Salah satu cara untuk memperpanjang daya simpan daging adalah dengan
mengelolahnya menjadi dendeng, nugget, sosis, bakso dan juga abon. Abon salah satu
poduk pengawetan pangan yang dilakukan dengan teknik pengeringan (Fiannisa,
2017).
Daging adalah semua jaringan tubuh hewan dan produk hasil olahannya dapat
dikonsumsi. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah organ-organ seperti
ginjal, otak, hati, paru-paru, pankreas, limfa dan jaringan otot. Daging tersusun dari
berbagai macam jaringan tubuh seperti adiposa, jaringan ikat, jaringan saraf, jaringan
epitel dan jaringan otot. Jaringan otot merupakan kompenen terbesar pada daging
(Kastalani dkk., 2017).
Daging sapi segar memiliki kandungan gizi yang cukup baik dibandingkan dengan
daging lainnya. Jika daging sapi diolah menjadi abon dan dendeng sapi maka kalori
produk tersebut menjadi dua kali lipat disbanding dengan daging sapi segar (Soeparno,
2005; Elia dkk., 2016).
Daging sapi sangat mudah mengalami kerusakan, baik secara kimia, fisik maupun
mikrobiologis sehingga mempengaruhi umur simpan daging menjadi singkat. Hal
tersebut lah yang mendorong berbagai inovasi teknologi dalam pengolahan daging
untuk mengolah daging menjadi produk yang memiliki daya simpan lebih lama
(Ramadhan dkk., 2019).
Dalam daging segar terkandung jutaan mikroba yang dapat berkembang biak
dengan sangat cepat (mikroba botulisme, E-colli, listeria dan salmonela). Mikroba
tersebut akan mengkontaminasi daging sehingga daging akan cepat rusak dan
membusuk (tidak tahan lama). Untuk memperpanjang daya simpan daging agar lebih
tahan lama (awet), terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan yaitu penyimpanan
(pembekuan/freezer, diberi bumbu/curing) dan daging olahan (daging asap, dendeng,
abon) (Suharyanto, 2008; Kastalani dkk., 2017).

2.2 Abon
Abon adalah produk kering yang dibuat dengan cara digoreng. Penggorengan
merupakan salah satu tahap yang umum dilakukan dalam proses pengolahannya.
Pengeringan adalah salah satu metode pengawetan yang digunakan untuk mengurangi
kadar air yang terdapat pada pangan sehingga daya simpan produk tersebut lebih lama
(Estiasih, 2009). Prinsipnya, abon merupakan suatu proses pengawetan yaitu
kombinasi antara perebusan dan penggorengan dengan menambahkan berbagai
bumbu (Hastanto, 2015).
Abon adalah produk kering yang dibuat dengan cara digoreng. Penggorengan
merupakan salah satu tahap yang umum dilakukan dalam proses pengolahannya.
Pengolahan abon, baik abon daging maupun abon ikan, dilakukan penggorengan yang
menggunakan minyak yang banyak (deep frying). Deep frying adalah proses
penggorengan dimana bahan yang digoreng terendam semuanya ke dalam minyak.
Dalam proses penggorengan sistem deep frying, suhu yang digunakan adalah 170℃-
200℃ (Perkins dan Errickson, 1996; Hastanto, 2015).
Abon memiliki bentuk seperti serat, karena sebagian besar abon didominasi serat-
serat otot yang mengering. Umumnya abon yang sering dijumpai berwarna coklat terang
sampai berwarna coklat kehitaman. Abon merupakan daging cincang yang telah
dihaluskan, didihkan, dan digoreng (Putri dan Arifuddin, 2017). Umumnya daging yang
digunakan dalam pembuatan abon adalah daging sapi atau kerbau, namun dapat pula
dikombinasikan dengan bahan nabati. Abon yang di campur dengan bahan nabati di
kenal sebagai abon nabati. Campuran abon nabati ini dapat berasal dari kluwih, nangka
mudan dan sukun (Astuti, 2018).
Abon sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar mutu yang telah
ditetapkan Departemen Perindustrian. Penetapan standar mutu merupakan acuan
bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang baik dan aman bagi kesehatan, Adapun
syarat mutu abon dapat dilihat pada Table 1.
Standar mutu abon berdasarkan SNI 01-3707-1995 dapat disajikan pada Tabel 1.

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan


1. Keadaan
1.1 Bentuk - Normal
1.2 Bau - Normal
1.3 Rasa - Normal
1.4 Warna - Normal
2 Air % b/b Maks. 7
3 Abu % b/b Maks. 7
4 Abu tidak larut dalam air % b/b Maks. 0,1
5 Lemak % b/b Maks. 30
6 Protein % b/b Maks. 15
7 Serat kasar % b/b Maks. 1,0
8 Gula jumlah sebagai sukrosa % b/b Maks. 30
9 Pengawet -- Sesuai SNI 01-0222-95
10 Cemaran logam mg/kg Maks. 2,0
10.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 20
10.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 40,0
10.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0
10.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 0,05
10.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 1,0
11 Cemaran arsen (As) mg/kg
12 Cemaran mikroba
12.1 Angka lempeng total koloni/gr Maks. 5 x 104
12.2 MPN coliform koloni/gr Maks. 10
12.3 Salmonella koloni/25 g Negatif
12.4 Staphylococcus aureus koloni/gr 0

Sumber : SNI 01-3707-1995


2.3 Sifat Fisika Abon
Berbagai sifat fisik dan kondisi makanan dapat dilihat, diperiksa dan dinilai
dengan menggunakan organoleptik warna, bentuk, kondisi bersih atau kotor, tercampur
bahan-bahan asing dan berbagai kelainan fisik bahan makanan dapat mudah dinilai
dengan inspeksi (penglihatan) (Sediaoetomo, 2004; Nurani, 2011)

2.4 Sifat Kimia Abon


Perubahan komponen-komponen kimianya seperti kadar air, protein, lemak dan
abu memiliki sumber yang bervariasi tergantung spesies ternak, umur, jenis kelamin,
pakan serta lokasi dan fungsi bagian-bagian otot dalam tubuh menentukan kualitas
daging (Hastuti dan Suparman, 2018)
Pengujian sifat kimia akan membantu produsen dalam mengetahui kualitas
produk yang dihasilkan. Metode pemasakan dan lokasi otot berpengaruh terhadap
kualitas daging. Abon umumnya memiliki komposisi gizi yang cukup baik. Manusia
menemukan keseimbangan jumlah dan jenis zat yang diperlukan ada dalam daging dari
pada dalam bahan pangan nabati. Abon daging menambah keanekaragaman pangan,
memperoleh pangan yang berkualitas tinggi, tahan selama penyimpanan, meningkatkan
nilai tukar, dan meningkatkan daya guna bahan mentahnya (Hastuti dan Suparman,
2018)

2.5 Variabel Pengamatan (Kualitas Fisik dan Kimia Abon)


2.5.1 Warna
Warna merupakan salah satu parameter selain cita rasa, tekstur dan nilai nutrisi
yang menentukan persepsi konsumen terhadap suatu bahan pangan. Preferensi
konsumen sering kali ditentukan berdasarkan penampakan luar suatu produk pangan.
Warna pangan yang cerah memberikan daya tarik yang lebih terhadap konsumen. Warna
pada produk pangan memiliki beberapa fungsi antara lain: sebagai indikator
kematangan, terutama untuk produk pangan segar seperti buah-buahan, sebagai
indikator kesegaran misalnya pada produk sayuran dan daging dan sebagai indikator
kesempurnaan proses pengolahan pangan misalnya pada proses penggorengan,
timbulnya warna coklat sering kali dijadikan sebagai indikator akhir kematangan produk
pangan. Warna pada abon memiliki karakteristik yaitu coklat terang, coklat, coklat tua
dan coklat kehitaman (Prasetyo, 2016; Astuti, 2018).
Warna merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan kualitas atau
derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Suatu bahan pangan yang dinilai enak dan
teksturnya baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang kurang sedap
dipandang atau telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Penentuan mutu suatu
bahan pangan tergantung daribeberapa faktor, tetapi sebelum faktor lain diperhatikan
secara visualfaktor warna tampil lebih dulu untuk menentukan mutu bahan pangan
(Winarno, 2004; Salman dkk., 2015) Reaksi Maillard merupakan reaksi antara gula
pereduksi dengan protein pada suhu 150-260℃ yang menyebabkan warna coklat pada
makanan (Aisyah, 2011; Salman dkk., 2015)

2.5.2 Uji Kadar Air


Kadar air memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan daya awet
dari bahan makanan karena dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia, perubahan
mikrobiologi, dan perubahan ensimatis (Kurniawati, 2010). Hal ini juga didukung oleh
pernyataan Astuti (2018) yang menyatakan bahwa penggorengan dapat mengubah
eating quality suatu makanan dan mengurangi kadar air sehingga daya simpan menjadi
lebih baik.
Kadar air antar sampel abon daging ayam yang beredar di Kota Palu berbeda-
beda. Hal ini diduga karena suhu dan lama waktu penggorengan yang berbeda,
sehingga jumlah air yang diuapkan juga berbeda-beda. Diduga bahwa kadar air bahan
sudah terjadi pada setiap tahap pengolahan abon yaitu mulai saat perebusan daging
ayam segar, selanjutnya daging ayam rebus ditambah bumbu/rempah kemudian
digoreng hingga jadi abon (Halid dan Abdul, 2018)
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan sehingga dalam
proses pengolahan dan penyimpanan bahan pangan, air perlu dikeluarkan, salah
satunya dengan cara pengeringan. Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui
batasan maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan
(Hastuti dan Suparman, 2018).

2.5.3 Uji Kadar Abu

2.5.4 Uji Kadar Protein (Metode Kjehdal)


Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien, tidak seperti
bahan makronutrien lainnya (karbohidrat, lemak), protein ini dapat juga dipakai
sebagai sumber energi. Protein merupakan salah satu sumber yang sangat penting bagi
tubuh karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur, selain itu juga
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh. Protein adalah sumber asam-asam amino
yang mengandung unsurunsur C, H, O dan N, yang tidak dimiliki oleh lemak dan
karbohidrat. energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Protein merupakan suatu zat makanan
(Winarno, 2002; Astuti, 2018)
Kadar protein abon juga dipengaruhi oleh adanya proses pemanasan yang akan
mengakibatkan berkurangnya kadar protein. Berkurangnya kadar protein selama
proses pemanasan diakibatkan oleh reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi
antara gula pereduksi dengan protein pada suhu 150-260℃ yang menyebabkan warna
coklat pada makanan (Aisyah, 2011; Salman dkk., 2015) Mengacu pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) (1995) tentang syarat mutu abon, ukuran standar protein
batas minimumnya sebesar 15%

Anda mungkin juga menyukai