Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN

HASIL MONITORING DAN EVALUASI HAND HYGIENE


RSIA NUN SURABAYA

RSIA NUN SURABAYA


2015
BAB I
PENDAHULUAN

1. Pengertian
Hygiene adalah suatu ilmu kesehatan yang mencakup seluruh faktor yang membantu
atau mendorong adanya kehidupan yang sehat baik perorangan maupun melalui masyarakat
(Mukono, 2000). Sedangkan menurut Azwar (2000). Hygiene adalah usaha kesehatan
masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadapkesehatan manusia, upaya
mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga
terjamin pemeliharaan kesehatan.
Keselamatan pasien adalah suatu upaya dari petugas kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang aman untuk pasien. World Health Organization (WHO) telah
mengkampanyekan program keselamatan pasien salah satunya adalah menurunkan risiko
infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan salah satu masalah mayor yang dihadapi
rumah sakit karena dapat mengakibatkan pasien lebih lama berada di rumah sakit serta
meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. Infeksi nosokomial ini dapat disebarkan melalui
kontak langsung, terutama melalui tangan para petugas kesehatan. Petugas Kesehatan memiliki
peran yang sangat penting dalam terjadinya transmisi mikroba pathogen dari pasien ke pasien,
serta dari pasien ke petugas. Salah satu cara paling sederhana dan efektif untuk mencegah
persebaran infeksi melalui kontak tangan ini adalah cuci tangan (hand hygiene).
Dalam standar manajemen organisasi pelayanan kesehatan, terdapat 6 standar yang
salah satunya adalah pencegahan dan pengendalian infeksi (prevention and control of
infections) yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan diantara pasien, staf, profesional
kesehatan, dan pengunjung. Program pencegahan dan pengendalian infeksi harus dilakukan
dengan pendekatan berbasis risiko infeksi yang ada di rumah sakit, sehingga tiap rumah sakit
akan memiliki program pencegahan dan pengendalian infeksi yang berbeda tergantung dari
risiko infeksinya karena memiliki perbedaan layanan klinis, populasi pasien yang dilayani,
lokasi geografis, volume pasien dan jumlah pegawai rumah sakit.
Hand hygiene merupakan salah satu cara untuk mengurangi infeksi yang berkaitan
dengan perawatan kesehatan. Penelitian menjelaskan bahwa hand hygiene yang dilakukan oleh
semua pegawai rumah sakit dapat mencegah terjadinya hospital acquired infections (HAIs)
sebesar 15-30 % (Grol R, 2003 & Lautenbach, 2001). Banyak upaya dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan hand hgyiene namun umumnya tidak efektif dan berjangka pendek.
Sehingga penting untuk mencari strategi berbasis bukti yang jelas untuk meningkatkan
kebiasaan hand hygiene.
Penilaian ini berdasarkan dilakukan atau tidaknya cuci tangan dalam five moments for
hand hygiene (lima momen cuci tangan) yang ditetapkan oleh WHO. Lima momen tersebut
adalah:
1. Sebelum bersentuhan dengan pasien
2. Sebelum melakukan prosedur bersih/steril
3. Setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien risiko tinggi
4. Setelah bersentuhan dengan pasien
5. Setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien
BAB II
ISI

Sampel Tdk
No Momen Cuci Tangan Patuh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Patuh
1 Sebelum kontak dengan pasien P Tp p Tp Tp Tp Tp P Tp Tp Tp Tp P Tp Tp Tp Tp 4/17 13/17
2 Sebelum tindakan aseptic P P P Tp 3/4 1/4
3 Setelah terkena cairan tubuh pasien P P P P 4/4 0/4
4 Setelah kontak pasien p p P p P P P p P Tp Tp P P Tp Tp Tp Tp 11/17 6/17
5 Setelah sentuh area sekitar pasien Tp Tp Tp 0/3 3/3
Total 22/45 23/45

Analisa Sederhana :
Angka Kepatuhan Cuci Tangan :
22/45 x 100% = 48,9 %
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil indikator kepatuhan cuci tangan yang tercapai bulan Agustus 36,5 % dan target yang
ditetapkan sebesar 100 %, serta hasil telusur tim KP RS terhadap kepatuhan cuci tangan pada bulan
Oktober didapatkan 48,9%, maka hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan karyawan RSIA NUN masih
sangat kurang, meskipun ada peningkatan. Tetapi masih jauh dari standar yang ditetapkan, yaitu 100%.
Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, baik faktor individunya atau faktor non individu. Dari hasil
telusur tim KPRS ditemukan rendahnya kesadaran individu akan pentingnya cuci tangan sebagai media
penularan penyakit. Meskipun pengetahuan akan cuci tangan, baik cara/langkah cuci tangan atau
momen cuci tangan sudah cukup bagus, tetapi belum cukup menumbuhkan kesadaran pada karyawan
RSIA NUN Surabaya akan budaya cuci tangan. Kesadaran akan pentingnya Keselamatan Pasien masih
belum tertanam dalam individu karyawan RSIA NUN Surabaya, sehingga budaya Keselamatan Pasien
RSIA NUN masih cukup rendah.
Selain kesadaran akan budaya cuci tangan, pengawasan akan budaya cuci tangan juga masih
kurang. Hal ini tampak dari kurangnya antar karyawan saling mengingatkan cuci tangan, fungsi
pengawasan hanya tampak dari SPI dan hasil telusur tim PPI. Untuk menciptakan budaya cuci tangan
diperlukan koordinasi tidak hanya secara vertikal, tapi juga secara horizontal. Hal terakhir ini yang
tampak masih perlu ditingkatkan. Karena koordinasi vertikal lebih terkonsentrasi pada langkah cuci
tangan, sedangkan momen cuci tangan yang seringkali terlewatkan sehari-hari. Hal inilah fungsi
pengawasan horizontal sangat diperlukan, seperti mengingatkan teman sebelum menyentuh pasien,
mengingatkan setelah menyentuh area sekitar pasien. Dengan adanya kesadaran yang tinggi antar
sesama rekan kerja, diharapkan akan menumbuhkan budaya Keselamatan Pasien di RSIA NUN
Surabaya.
Dari hasil penelusuran tim KPRS terhadap segi sarana dan prasarana, masih hanya ditemukan
,... titik yang terpasang handrub, dari ... titik yang seharusnya terpasang handrub. Hal ini menunjukkan
masih kurang tersedianya fasilitas cuci tangan di RSIA NUN Surabaya. Meskipun bukan merupakan
faktor utama rendahnya kepatuhan cuci tangan di RSIA NUN Surabaya, tetapi hal ini menunjang
terlaksananya budaya cuci tangan di seluruh karyawan RSIA NUN Surabaya.
BAB IV
REKOMENDASI

Rekomendasi :
1. Sosialisasi secara intens terkait budaya cuci tangan.
Untuk tercipta budaya cuci tangan di RSIA NUN Surabaya, diperlukan review secara berkala
sehingga karyawan senantiasa ingat akan pentingnya cuci tangan, langkah cuci tangan, dan
kapan harus cuci tangan. Diharapkan melalui sosialisasi secara intens, karyawan dapat
mengetahui kesungguhan rumah sakit untuk menciptakan budaya keselamatan pasien, sehingga
ikut berpartisipasi dalam menciptakan budaya keselamatan pasien.
2. Tumbuhkan budaya cuci tangan di masing-masing unit.
Budaya cuci tangan terjadi apabila kesadaran masing-masing individu akan pentingnya cuci
tangan tinggi. Memulai budaya cuci tangan harus dimulai dari unit terkecil terlebih dahulu,
baru melangkah pada satuan kerja yang lebih besar. Karena hal inilah, diharapkan di masing-
masing unit kerja terbentuk budaya cuci tangan. Antar teman kerja diharapkan mampu saling
mengingatkan, bersama-sama menggalakkan budaya cuci tangan, adanya pengawasan dan
pendekatan secara proaktif oleh pimpinan. Hal ini juga bisa dijadikan sebagai kompetisi,
sehingga menumbuhkan budaya cuci tangan di unit kerja masing-masing.
3. Penggalakan champions di masing-masing unit kerja.
Champion di unit kerja tidak hanya berfungsi sebagai surveyor dan tidak hanya bertugas
melakukan penelusuran saja, tetapi fungsi utamanya sebagai penggerak di masing-masing unit
kerjanya. Perlu diadakan pelatihan terhadap para champion ini sehingga mampu menjalankan
funginya sebagai penggerak di masing-masing unitnya. Ketika kepatuhan cuci tangan di
unitnya rendah, maka champion harus bekerja lebih keras menggerakkan teman kerjanya
sehingga kepatuhan cuci tangan pada unit bisa meningkat.
4. Melengkapi sarana dan prasarana cuci tangan.
Perlu adanya penambahan handrub pada titik yang harusnya terpasang.

Anda mungkin juga menyukai